Bab II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Bab V Analisis dan Pembahasan

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

III. METODE PENELITIAN

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk salah satu negara penghasil utama minyak atsiri di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Input dan Output Produksi

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

III. KERANGKA PEMIKIRAN

INDUSTRI.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Analisis Input-Output (I-O)

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

VI. MODEL PENENTUAN PRODUK PROSPEKTIF DAN PASAR POTENSIAL

Peranan Sektor Agroindustri Dalam Pembangunan Nasional Oleh: Iis Turniasih *), Nia Kania Dewi **)

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan melakukan pembangunan baik dalam jangka pendek dan jangka

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah stagnasi perekonomian nasional, UKM telah membuktikan

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. buah, biji maupun dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Meskipun

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

Transkripsi:

Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Jalur Distribusi Menurut American Supply Chain Association jalur distribusi bisa diartikan sebagai seluruh kegiatan yang yang terlibat dalam produksi dan pengiriman produk akhir atau jasa antar produsen satu ke produsen yang lain atau konsumen yang satu ke konsumen yang lain, sehingga pemilihan pasangan yang strategis menjadi penting untuk relasi kerjasama antar perusahaan inti untuk membentuk aliansi dengan perusahaan yang lain (Wu, 2007). Jalur distribusi dapat juga didefenisikan suatu rantai atau jaringan dari suatu sistem organisasi, manusia, teknologi aktivitas informasi atau sumber daya yang melibatkan perpindahan produk atau jasa dari produsen ke konsumen. Jalur distribusi juga bisa dikatakan suatu aktivitas yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi yang harus didistribusikan dari produsen ke konsumen akhir (Wikipedia, 2008). Jalur distribusi dapat juga didefenisikan sebagai aliran transformasi dari bahan baku menjadi barang intermediate sampai produk akhir dan mendistribusikan dari produsen ke konsumen akhir (Cope et al., 2007). II.1.1. Metode Optimisasi Metode optimisasi dapat mencerminkan perilaku para pelaku ekonomi seperti konsumen dan produsen. Konsumen akan selalu memaksimumkan kepuasan dan produsen akan memaksimumkan keuntungan dengan meminimumkan biaya (Kuncoro, 2004). Oleh karena itu metode optimisasi selalu berkaitan dengan masalah maksimasi, minimasi atau kombinasi keduanya. Metode optimisasi sering digunakan untuk memecahkan masalah dalam ilmu ekonomi, riset operasi (operation research) dan ilmu teknik. Penerapan metode optimisasi yang semakin luas telah mendorong perkembangan dengan cepat, 8

khususnya sejak tahun 1947 Danzig memperkenalkan metode simpleks untuk memecahkan programasi linear (linear programming) (Kuncoro, 2004). Pemograman linear ini dikembangkan pada berbagai bidang terapan seperti analisis teknik, manajemen industri dan ekonomi. Bersamaan dengan kemajuan penggunaan komputer, metode ini juga berkembang untuk pemogramanpemograman yang bersifat non linear seperti integer programming, quadratic dan geometric programming. Metode optimisasi sering digunakan dalam mengambil keputusan operasional, terutama dibidang industri untuk mencapai sasaran yang maksimal. Metode optimisasi merumuskan suatu permasalahan secara sederhana dan tidak berubah secara dinamis. Permasalahan yang akan diselesaikan dengan metode optimisasi umumnya memiliki fungsi tujuan, baik maksimum atau minimum dan variablevariabelnya terkendali. Fungsi tujuan biasanya berupa meminimumkan ongkos produksi atau memaksimalkan keuntungan yang diharapkan dari kegiatan. Metode ini bersifat kaku karena hanya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah apabila fungsi tujuan jelas, variabelnya lengkap sesuai yang dibutuhkan, sehingga dapat digunakan untuk menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu kegiatan (Kuncoro, 2004). Model optimisasi bersifat kaku karena hanya dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah apabila memenuhi format yang dibutuhkan yaitu fungsi tujuannya jelas, semua variabel pengendali lengkap sesuai yang dibutuhkan pengambil keputusan dan kendala sistem bisa dirumuskan secara tepat. Metode optimisasi sulit diterapkan pada pemilihan mengambil, melepas atau memutuskan memenuhi permintaan (Gresh et al., 2007). II.1.2. Model Simulasi Simulasi komputer digunakan untuk mempelajari konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku dinamis dari suatu sistem. Perkembangan yang amat pesat dalam dunia simulasi komputer membuat simulasi dari konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku dinamis ini dapat dilakukan dengan biaya yang rendah. Simulasi 9

komputer memberikan sumbangan besar dalam perancangan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu sistem dengan kemampuan untuk memberikan konsekuensi yang akan ditimbulkan atas kebijakan itu sendiri (Sushil, 1993). Metode simulasi adalah adanya kecenderungan inovasi yang dapat menggambarkan suatu permasalah dan memberikan solusi yang dapat langsung diterapkan dengan waktu yang lebih cepat (Cope et al., 2007). Dengan mengasumsikan bahwa dalam sistem nyata terdiri dari sistem yang tertutup, didominasi umpan balik, non linear dan ada tenggang waktu, metode simulasi paling sesuai diterapkan pada sistem yang betul-betul memiliki karakteristik tersebut. Secara umum model simulasi dicirikan oleh pola-pola dinamis tertentu, horison waktu yang panjang dan batas interdisiplin yang luas. Model simulasi pada umumnya digunakan untuk mempelajari perilaku dan kecenderungan suatu sistem akibat perubahan faktor-faktor internalnya. Metode simulasi kurang baik digunakan untuk mempelajari sistem jangka pendek, ketepatan model sangat bergantung pada pembuat model sehingga sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Selain itu jika semua proses belum terdefenisi, maka metode simulasi tidak bisa dijalankan (Cope et al., 2007). II.1.3. Model Input Output Manfaat utama model input output adalah dapat menggambarkan aliran output dari suatu sektor ke sektor lain dan dari produsen ke konsumen akhir (Sumodiningrat, 1991). Analisis menggunakan model ini juga memberi gambaran tentang aliran barang, jasa dan input antar sektor sekaligus dapat digunakan sebagai alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan situasi ekonomi atau kebijakan ekonomi (Boediono, 1993). Model input output merupakan suatu cara untuk menggambarkan aliran uang, sumber daya atau produk di antara berbagai produsen dan konsumen di dalam perekonomian. Teknik ini secara langsung menggunakan data perekonomian yang 10

dapat diobservasi. Paradigma teknik model input output murni deskriptif, tidak normatif atau teoritis (Kuncoro, 2004) Kegunaan model input ouput dapat digunakan untuk menganalisa aliran barang, jasa dan input antar sektor. Untuk jalur distribusi model input output dapat menggambarkan aliran kegiatan dari bahan baku menjadi bahan jadi. Selain itu model ini juga digunakan untuk menggambarkan kegiatan dari produsen sampai ke konsumen dalam jalur distribusi. Seperti model lain model input output juga mempunyai kelemahaan seperti aplikasinya bersifat terbatas, yaitu pada pada sistem yang statis dan strukturnya tertentu, membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang lama untuk membuatnya. Kesulitan memenuhi konsistensi internal model, disebabkan karena adanya keharusan total input sama dengan total output (BPS, 2000). Walaupun ada beberapa kelemahan metode input output, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya analisis dengan menggunakan metode input output memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1. dapat menjelaskan hubungan keterkaitan antar sektor dalam perekonomian 2. dapat menjelaskan dan mengidentifikasikan sektor basis dalam perekonomian 3. dapat digunakan untuk analisa dampak suatu kebijakan dalam perekonomian. Oleh karena itu sangatlah tepat apabila metode Input-Ouput digunakan untuk melakukan analisis jalur distribusi karena manfaat utama dari model input output adalah dapat menggambarkan aliran bahan baku menjadi bahan jadi dan dapat menggambarkan aliran kegiatan dari produsen sampai ke konsumen akhir. Tabel Input Output (I-O) adalah bagian dari tampilan data. Data pada prinsipnya digunakan untuk mengevaluasi hasil pembangunan melalui analisis ekonomi dan juga untuk bahan perencanaan. Tabel I-O menggambarkan suatu fakta yang ada 11

pada saat ini, oleh karena lebih banyak bersifat evaluasi atas rencana yang dicanangkan sebelumnya. Untuk perencanaan dibutuhkan perapihan melalui asumsi yang lebih realistik dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi makro (BPS, 2000). Tabel I-O adalah suatu perangkat data yang komprehensif, konsisten dan terinci yang menggambarkan suatu negara, wilayah atau daerah yang lingkupnya lebih kecil. Tabel ini merangkum seluruh kegiatan ekonomi. Semua kegiatan ekonomi dikelompokkan berdasarkan prinsip kesamaan, proses, bahan baku dan teknologi. Pengelompokkan ini mengacu kepada Klasifikasi Lapangan Usaha Industri (KLUI) yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O pada dasarnya terdiri dari empat kuadran, namun dalam praktik pengisian angkanya hanya tiga kuadran dapat dilihat pada Gambar II-1. Gambar II-1 Contoh Tabel Input Output (3 Sektor) 1. Kuadran I Permintaan Antara atau Biaya Antara Kuadran ini menunjukkan hubungan atau saling ketergantungan antara sektor-sektor ekonomi. 2. Kuadran II Permintaan Akhir Kuadran ini menunjukkan hubungan atau saling ketergantungan antara sektor-sektor ekonomi dengan institusi pengguna akhir barang dan jasa. 12

Dalam I-O nasional kelompok permintaan akhir ini dirinci menurut institusi yaitu rumah tangga termasuk lembaga sosial yang melayani rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal, ekspor, dan selisih stok. Dalam kelompok ini sering ekspor digabung dengan impor dan diperoleh ekspor netto. 3. Kuadran III Kelompok Faktor Produksi Kuadran ini disebut juga nilai tambah sebab balas jasa faktor produksi adalah nilai tambah. Kuadran ini menunjukan kontribusi masing-masing faktor produksi di dalam proses produksi pada suatu sektor ekonomi. Kelompok ini terdiri dari upah, gaji, penyusutan, pajak tidak langsung, subsidi dan surplus usaha. Surplus usaha ini merupakan gabungan dari keuntungan bersih, pajak langsung, bunga bank dan sumbangan atau hibah pihak lain. 4. Kuadran IV kelompok Faktor Produksi dan Institusi Kelompok ini menunjukkan hubungan antara faktor produksi dengan produk akhir. Tabel I-O dalam pengembangannya mempunyai variasi. Beberapa variasi tersebut memungkinkan analisis dan perencanaan ekonomi daerah menjadi lebih tajam dan terstruktur (BPS, 2000). Variasi tabel I-O antara lain: 1. Bila nilai setiap sel dihitung pada saat barang dan jasa dibeli oleh konsumen, tabel ini disebut tabel atas dasar harga pembeli. 2. Bila nilai dalam setiap sel dihitung pada saat barang dan jasa dijual oleh penghasil/produsen, tabel ini disebut tabel atas dasar harga produsen. 3. Bila angka dalam setiap sel dipisahkan antara barang yang berasal dari hasil dari daerah itu, maka tabel itu disebut tabel transaksi domestik. 4. Bila angka sel tersebut hanya menunjukkan barang dari luar daerah, maka tabel itu disebut tabel transaksi impor. Gabungan antara tabel transaksi domestik dengan transaksi impor disebut tabel transaksi total. 5. Bila konsumsi rumah tangga dari kuadran II dipindahkan ke kuadran I disebut tabel I-O tertutup 13

6. Bila nilai dalam tabel IO dinyatakan dalam harga pada suatu tahun dasar, tabel ini disebut tabel atas dasar harga konstan. 7. Bila angka dalam sel tersebut dinyatakan dalam satuan masing-masing komoditinya misalnya ton, meter dan sebagainya. Tabel itu disebut tabel I- O kuantitas 8. Bila tabel I-O daerah dibagi menjadi beberapa wilayah pembangunan atau daerah yang lebih kecil wilayahnya, tabel itu disebut tabel I-O intra daerah 9. Bila dinyatakan dalam keterkaitannya dengan daerah tetangganya, tabel ini disebut tabel I-O inter daerah atau interregional pada tingkat nasional. II.1.3.1. Tabel turunan I-O Dalam tabel I-O terdapat dua tabel turunan yang terkenal dalam pengunaannya yaitu tabel koefisien input dan tabel pengganda ekonomi. Kedua tabel ini berfungsi untuk menganalisis kondisi perekonomian suatu daerah dan bahan untuk perencanaan ekonomi daerah (BPS, 2000). a. Tabel koefisien input Tabel koefisien input menggambarkan struktur biaya atau input suatu kegiatan ekonomi pada satu tahun. Tabel ini diperoleh dengan membagi semua sel dalam satu kolom dengan total input kolom tersebut. Hasilnya adalah ketergantungan suatu sektor terhadap sektor lain untuk menghasilkan satu rupiah output sektor tersebut. Tabel ini pada permintaan akhir menggambarkan struktur konsumsi, investasi, dan ekspor daerah pada tahun tersebut. b. Tabel pengganda ekonomi (Matriks Leontief = Matriks B) Tabel ini terkenal dengan nama Matriks Leontief sebagai penghargaan terhadap penemu model I-O ini untuk kegunaan berbagai analisis dan perencanaan ekonomi. Matriks ini diturunkan dari tabel koefisien input dengan mengambil angka pada kuadran I. Tabel koefisien kuadran I ini sering disebut matriks A. Bila matriks A ini sebagai pengurang dari matriks identitas, kemudian hasilnya dibalikkan (inverse), maka diperoleh Matriks Leontief 14

yang sering dinyatakan sebagai Matriks B. Secara matematika diperoleh sebagai berikut: B = [ I A] 1 Matriks pengganda ekonomi menunjukan pengaruh dan saling ketergantungan antar kegiatan ekonomi di daerah itu. Matriks ini digunakan untuk mengetahui secara kuantitatif dampak suatu variabel ekonomi terhadap seluruh kegiatan ekonomi daerah itu. Bahkan dampak terhadap daerah lain dan daerah tetangga dapat diketahui bila I-O yang digunakan adalah I-O inter daerah. Dalam kehidupan nyata, keterkaitan kegiatan dinyatakan dalam pengertian pengaruh langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects). Pengaruh ini dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai proses pengganda ekonomi (economic multiplier) (Kuncoro, 2004). Untuk menggunakan model input output harus memenuhi empat asumsi dasar yaitu: 1. Homogenitas (Homogeneity) Yaitu satu sektor menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi antar output dari sektor yang berbeda. 2. Proporsionalitas (Proportionality) Artinya dalam kenaikan penggunaan input oleh satu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan. 3. Aditivitas (Additivity) Artinya jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai bidang sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. 4. Instantenius (Instanteneous) Adalah asumsi yang menyatakan bahwa model I-O memberikan hasil prediksi dalam skala sesaat sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan pada permintaan akhir. 15

Ada beberapa teori dan studi empiris yang menjelaskan bagaimana keterkaitan antar sektor mempengaruhi perekonomian suatu negara. Di banyak negara dimana sektor pertanian masih substansial, pemikiran mendinamiskan sektor pertanian lewat kekuatan dan keterkaitannya dengan sektor lain merupakan wacana yang menarik. Banyak pendapat bahwa salah satu syarat perlu (necessary condition) untuk dapat dicapainya tranformasi struktural dari pertanian (industri primer) ke industri sekunder adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh (Kuncoro, 2004) Dalam membahas dan menganalisa perencanaan sektoral digunakan metoda analisis input output. Walaupun sederhana metode ini dianggap cukup mampu memperkirakan dampak suatu sektor di suatu wilayah terhadap perekonomian negara tersebut secara keseluruhan termasuk terhadap tingkat pendapatan masyarakat di wilayah tersebut (Miller dan Blair, 1985) II.2. Industri Kecil dan Menengah (IKM) II.2.1. Definisi IKM a Departemen Perindustrian (Kebijakan pengembangan IKM tahun 2005 2009) Definisi IKM menurut Departemen Perindustrian dengan mengacu pada UU No.9/1995 adalah sebagai berikut: Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang dan jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah diluar tanah dan bangunan tempat usaha dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar 1 milyar atau kurang Kriteria usaha kecil adalah : Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar 16

Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, termasuk koperasi. Industri Menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau badan bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial yaitu mempunyai nilai penjualan per tahun lebih besar dari 1 milyar namun kurang dari 50 milyar rupiah. Menurut Inpres No. 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah, industri menengah didefinisikan sebagai perusahaan industri yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 20 juta sampai dengan Rp. 10 Milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b Biro Pusat Statistik (2000) BPS menggunakan batasan usaha dengan berdasarkan pada jumlah tenaga kerja, tanpa memperhitungkan aspek mesin bertenaga atau permodalan. Industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah tenaga kerja 5 19 orang. Industri Menengah adalah unit usaha dengan jumlah tenaga kerja 20 99 orang. Staley & Morse (1965) menyatakan terdapat sepuluh kekuatan yang menguntungkan bagi industri kecil, enam faktor terkait dengan karakteristik produk dan empat lainnya berhubungan dengan kondisi dinamis industri kecil. Kekuatan / keunggulan dari industri kecil tersebut adalah sebagai berikut: 1. Keselarasan antara aspek fisik dengan aspek teknologi produk dan proses produksi. Adanya keselarasan hubungan antara aspek fisik dan rekayasa /teknologi dalam pembuatan produk dengan tingkat ketelitian rendah (sederhana), sehingga hanya diperlukan operasi dan peralatan yang sederhana dengan tingkat pengembalian dapat dicapai dengan jumlah produk yang sedikit. 2. Produk memerlukan ketrampilan manual yang tinggi. Produk dengan karakteristik memerlukan ketrampilan tenaga kerja yang dominan, akan lebih sesuai dilakukan oleh industri kecil. 17

3. Produksi massa untuk komponen khusus. Faktor ini ditandai dengan sifat massal produksi dan kekhususan produk yang dibuat. Sifat kekhususan produk membatasi aspek penggunaan produk, sehingga membatasi pula dimensi pengguna produk tersebut. 4. Produk dengan skala kecil dan produksi jangka pendek. Produk yang mempunyai potensi pasar yang kecil tidak sesuai dikerjakan oleh industri besar. Sifat produk yang tidak baku menyebabkan pembuatannya tidak bisa dilakukan secara massal. 5. Faktor lokasi dan biaya transportasi. Pasar yang dilayani bersifat lokal dengan jumlah yang relatif kecil, sehingga ekonomis bila dilakukan oleh industri kecil. 6. Produk dengan rancangan khusus atau inovasi. Produk dengan desain khusus yang merupakan pesanan dari konsumen, pembuatannya tidak mungkin dilakukan secara massal. 7. Hubungan pengelola dan pekerja dekat. Ukuran industri yang kecil menyebabkan komunikasi lancar. Hubungan yang erat antara pekerja dan pimpinan ataupun antar sesama pekerja dapat meningkatkan produktivitas kerja, pola kerjasama yang efektif dan berkurangnya masalah keluar masuk karyawan. 8. Fleksibilitas dan biaya tidak langsung rendah. Prosedur operasi dan birokrasi dalam industri kecil lebih sederhana sehingga biaya tidak langsung menjadi rendah. 9. Pelayanan yang lebih baik. Memungkinkan bagi industri kecil untuk dapat memberikan perhatian khusus kepada konsumen dan kualitas pelayanan yang lebih baik. 10. Kecepatan dalam merespon peluang untuk tumbuh. Kecepatan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya pada industri kecil menyebabkan kemampuan dalam memberikan respon terhadap perubahan lebih cepat. Kedekatannya dengan konsumen juga membuat lebih peka terhadap perubahan selera konsumen dan peluang baru. 18

Secara umum, pembangunan industri kecil dan menengah memiliki tujuan penyerapan tenaga kerja, dapat meningkatkan nilai ekspor dan terjadi penyebaran pembangunan industri terutama ke daerah-daerah potensial (Depperind, 2005). Dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud, strategi pembangunan yang akan ditempuh adalah peningkatan teknologi mutu dan disain produk, peningkatan penguasaaan pasar ekspor (pemasaran) dan memfasilitasi terhadap sumber pendanaan. Terdapat 3 (tiga) cabang IKM yang dipilih yang tidak termasuk dalam kategori industri kerajinan, tapi oleh karena populasinya yang besar sehingga melibatkan jumlah pekerja yang besar serta outputnya besar, dipilih untuk diprioritaskan. Ketiga cabang IKM yang dimaksud yaitu IKM garam rakyat, IKM minyak atsiri dan IKM makanan ringan. Pembangunan ekonomi merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan ekonomi didasarkan pada sistem ekonomi kerakyatan dan pengembangan sektor unggulan, terutama yang banyak menyerap tenaga kerja dan berorientasi pada ekspor yang didukung dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi untuk memperkuat landasan pembangunan yang berkelanjutan dan meningkatkan daya saing serta berorientasi pada globalisasi ekonomi (Propenas 2001-2005). Otonomi daerah pada hakekatnya adalah mewujudkan kemandirian daerah atas dasar prakarsa, kreatifitas dan partisipasi aktif masyarakat untuk memajukan daerahnya. Salah satu upaya menuju kemandirian daerah tersebut adalah dengan memberdayakan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki dan dilaksanakan melalui pembangunan ekonomi kerakyatan sehingga struktur perekonomian beralih dari posisi ketergantungan ke posisi kemandirian (Disperindag Jabar, 2007). II.2.2. IKM Minyak Atsiri Peluang untuk mengembangkan IKM minyak atsiri cukup besar karena penggunaan turunan minyak atsiri pada berbagai industri di dalam negeri juga 19

berkembang. Impor minyak atsiri yang masih tinggi antara lain disebabkan teknologi pengolahan minyak atsiri di Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan teknologi di negara lain yang telah maju pesat. Umumnya petani minyak atsiri masih menerapkan teknologi hulu dan bersifat tradisional, sehingga belum mampu menjamin kontiniutas pengadaan produk dengan mutu yang baik. Keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia merupakan faktor yang selalu merupakan kendala terbesar bagi bangsa Indonesia dalam mengembangkan IKM minyak atsiri (Depperind, 2005). IKM minyak atsiri secara umum mempunyai permasalahan yang hampir sama yaitu terbiasa bekerja dan berpikir secara tradisional, kurangnya pengetahuan tentang perkembangan dan kemajuan sistem pertanian dan teknologi penyulingan modern, terlalu dominannya para pengumpul (tengkulak) hasil penyulingan minyak atsiri, keterbatasan dana modal kerja, informasi dan jaringan pemasaran. Jalur distribusi dan mekanisme tata niaga pemasaran pada IKM minyak atsiri yang panjang juga mempengaruhi harga penjualan produk minyak atsiri sehingga nilai tambah yang diperoleh oleh industri penyuling juga sedikit seperti dapat dilihat pada Gambar II.2 (Ketaren, 2006). Pedagang Pengumpul Eksportir Penyuling Minyak Atsiri Petani/Pengolah Pedagang Perantara Pabrik Pengolah Skala Besar Keterangan: Arus uang Arus barang Gambar II-2. Mekanisme Tataniaga Minyak Atsiri di dalam Negeri Sasaran pengembangan IKM Minyak Atsiri dalam jangka menengah diarahkan untuk meningkatnya mutu produk, tumbuh dan kuatnya kelembagaan IKM, diaplikasikannya teknologi refraksinasi modern, dan meningkatnya ekspor minyak 20

atsiri. Sedangkan untuk jangka panjang diharapkan IKM minyak atsiri mampu memproduksi minyak atsiri dengan kualitas ekspor serta melakukan ekspor secara langsung (Depperind, 2005). Pokok-pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut di atas, antara lain dengan melakukan peningkatan produktivitas dan mutu produk, melakukan peningkatan efisiensi, meningkatkan keterampilan melalui pelatihan dan konsultasi, melakukan perluasan jaringan pemasaran, melaksanakan penelitan dan pengembangan refraksinasi modern dan pengembangan industri secara terpadu. Pengembangan IKM minyak atsiri, perlu didukung oleh infrastruktur ekonomi yang memadai seperti teknologi, SDM, infrastruktur dan pasar (Depperind, 2005). Tabel II-1. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri No. Tanaman/Pohon Bagian Tanaman Minyak Atsiri Komponen Utama 1 Pohon cengkeh Bunga/daun Minyak cengkeh Eugenol 2 Pohon lawang Kulit Minyak lawang Eugeno dan safroll 3 Pohon pinus Kulit/Batang/Getah Minyak terpentin Alfa-pinena 4 Pohon cendana Kulit/Batang/Akar Minyak cendana Santanol 5 Pohon kayu putih Daun Minyak kayu putih Sineol 6 Pohon kenanga Bunga Minyak kenanga Ester 7 Pohon kayu manis Kulit/Batang Minyak kayu manis Sinamil aldehid 8 Tanaman sereh Daun Minyak sereh Sitronelal, sitronelol, geraniol 9 Tanaman nilam Daun Minyak nilam Patchouli alcohol 10 Tanaman mentha arvensis/piperita Daun Minyak permen Mentol 11 Tanaman akar wangi Akar Minyak akar wangi Vetiverol 12 Tanaman adas Biji Minyak adas Anetol, Estragol, Fenson Sumber: Guenther (1950) dan Sastrohamidjojo (2006) Dalam jangka panjang yang akan dilaksanakan meliputi antara lain membangun pilot project refraksinasi yang cocok untuk skala IKM dan mendorong tumbuhnya industri minyak wangi dan meningkatkan ekspor secara signifikan. 21

Tabel II-2. Jenis Minyak Atsiri Indonesia dan Kegunaannya No. Nama Minyak Nama Dagang Nama Tanaman Kegunaan 1 Nilam Patchouli oil Pogestemon cablin Parfum, sabun 2 Serai wangi Citronella oil Andropogon nardus Parfum, sabun 3 Akar Wangi Vetiver oil Vetiveria zizanoides Parfum, sabun 4 Kenanga Cananga oil Canangium odoratum Parfum, sabun 5 Cendana Sandalwood oil Santalum album Parfum, sabun 6 Kayu Putih Cajeput oil Melaleuca leucadendron Farmasi 7 Daun Cengkeh Clove leaf oil Syzygium aromaticum Parfum, Farmasi, Makanan, Rokok Sumber: Balitro, 2000 Industri berbasis bottom up bertumpu pada bahan baku, bahan kimia, rekayasa pabrik dan pelaksana produksi serta penelitian dan perkembangan (R&D) seperti dapat dilihat pada Gambar II-3, dengan tujuan tidak lagi mengekspor bahan baku namun mengekspor bahan olahan dengan nilai ekonomi lebih tinggi (Sastrohamidjojo, 2006). Fluktuasi harga minyak atsiri menjadi masalah yang sulit dikendalikan. Untuk menghadapinya dilakukan diversifikasi jenis komoditi baik secara vertikal dan horizontal. Kaitan antara peningkatan nilai tambah dengan diversifikasi produk banyak digunakan terhadap bahan baku yang mengandung berbagai komponen yang dapat menghasilkan produk lain atau bahan baku yang dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi. Diversifikasi produk dapat berlangsung secara vertikal mapun horizontal. Diversifikasi vertikal yaitu menganekaragamkan produk melalui pengolahan lebih lanjut jenis minyak 22

atsiri dan diversifikasi horizontal menambah keaneka ragaman jenis minyak atsiri (Hobir dan Rusli, 2002). Gambar II.3. Skema Industri Minyak Atsiri Berbasis Bottom Up Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk meningkatkan pengembangan industri minyak atsiri dari mulai dari bahan baku sampai ke industri hilir pengguna minyak atsiri sesuai dengan permintaan pasar baik di domestik maupun di luar negeri seperti dapat dilihat pada Gambar II-5. Gambar II-4. Struktur Umum, Rantai Usaha dan Pemakai Minyak Atsiri Kriteria pemilihan bahan baku untuk dikembangkan menjadi wewangian adalah aman untuk kulit, ramah lingkungan, keharuman disukai, harga/anggaran yang terjangkau oleh masyarakat, stabilitas komposisi bahan kimia penyusun, 23

performansi dari produk jadi yang baik, physical properties (eg. Solubility, colour) dan memiliki nilai tambah, pada Gambar II-5 adalah salah satu contoh dari bahan baku yang dapat digunakan seperti Architecture Fragrance dari wewangian yang oriental/ Spicy (Sabini, 2006). Gambar II-5. Architecture Fragrance (Oriental/Spicy) II.2.3. Minyak Atsiri Minyak atsiri adalah senyawa mudah menguap yang tidak larut di dalam air yang berasal dari tanaman dengan cara memisahkan minyak dari jaringan tanaman melalui proses destilasi, pada proses ini jaringan tanaman dipanasi dengan air atau uap air. Minyak atsiri akan menguap dari jaringan bersama uap air yang terbentuk atau bersama uap air yang dilewatkan pada bahan (Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumbar, 2007). Minyak atsiri yang disebut juga minyak eteris dipergunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri, antara lain, industri parfum, kosmetik (essence), industri farmasi dan industri lainnya. Dalam pembuatan parfum dan wangi-wangian, minyak atsiri berfungsi sebagai zat pewangi, terutama yang berasal dari bunga tertentu. Beberapa jenis minyak atsiri dapat digunakan sebagai pengikat bau (fixative) dalam parfum, misalnya minyak cendana, minyak nilam dan minyak akar wangi. Sedangkan minyak atsiri yang berasal dari rempah-rempah seperti minyak lada, minyak kayu manis, minyak jahe dan minyak rempah lainnya 24

umumnya digunakan untuk bahan penyedap (flavoring agent) pada industri makanan dan minuman (Ketaren, 1985). Statistik perdagangan minyak atsiri Indonesia menunjukkan ekspor tahun 2004 mencapai US$ 90 juta dengan 20 jenis minyak atsiri kasar, namun di tahun yang sama masih mengimpor produk turunan minyak atsiri senilai US$ 13,17 juta, dari potensi 40 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan dunia, 12 jenis di antaranya diekspor ke 77 negara, antara lain negara Eropa, AS, Australia, Afrika, Kanada, dan negara-negara ASEAN, juga produksi minyak atsiri Indonesia untuk jenis tertentu cukup dominan, seperti minyak nilam 1.200 ton, kenanga 30 ton, akar wangi 54 ton, sereh wangi 275 ton, pala 130 ton, dan cengkeh 2.000 ton (Ditjen IAK - Depperind). Beberapa wilayah di Indonesia sangat potensial untuk pembudidayaan pengolahan minyak atsiri. Peluang pasar dari minyak atsiri untuk perdagangan internasional yang cenderung meningkat merupakan peluang bagi Indonesia untuk melirik daerah-daerah yang potensial sebagai penghasil minyak atsiri dalam bentuk industri skala kecil dan menengah yang berpotensi meningkatkan devisa bagi Indonesia. Pengembangan IKM atsiri akan dilaksanakan pada daerah-daerah yang memiliki potensi bahan baku (Depperind, 2005). Gambar II-6. Lokasi Pengembangan IKM Minyak Atsiri (Depperind, 2005) 25

Sentra produksi minyak akar wangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut yang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Minyak ini merupakan komoditas ekspor dan di pasar dunia dikenal dengan nama (Java Golden Vetiver Oil) (Disperindag & PM Garut). Gambar II-7 Tanaman Akar Wangi Minyak Akar Wangi (vetiver oil) bersumber dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapt) yang tumbuh secara liar atau ditanam di daerah tropika dan sub tropika. Bagian tanaman yang berada di bawah tanah terdiri dari sejumlah akar yang halus, berwarna kuning muda atau abu kemerah-merahan. Bagian akar tersebut mengandung minyak atsiri yan kental dan berbau wangi. Dipulau Jawa akar wangi disebut Java vetiver, sedangkan di India disebut cus-cus atau khaskhas (Ketaren, 1985). Gambar II-8. Bagian Akar Tanaman Akar Wangi 26

Vetiver dikombinasikan dengan patchouli untuk base note, berfungsi menghalau ngengat, banyak digunakan untuk membuat deterjen, dan produk laundry lainnya. Minyak vetiver memberikan keharuman yang dapat menenangkan dan membantu mempercepat proses pemulihan nyeri otot (Sabini, 2006). Kategori Produk konsumer (konsumer good) yang menggunakan fragrance/wewangian dapat dilihat dari Gambar II-9 dimana vetiver yang mempunyai aplikasi di bagian laundry dan sebagainya. Jenis minyak atsiri yang dihasilkan dari Indonesia seperti Patchouli, vetiver, ylang ylang, sandalwood mempunyai peranan penting dalam dunia parfumery, digunakan sebagai base/middle note yang dapat menentukan mutu produk dalam aplikasi. Kontinuitas supply dan stabilitas mutu berdampak pada konsumsi minyak atsiri di aplikasi pada produk yang bersangkutan (Sabini, 2006). Gambar II-9 Kategori Konsumer Good yang Menggunakan Wewangian Dalam dunia perdagangan telah beredar ± 80 jenis minyak atsiri seperti minyak nilam, minyak serai wangi, minyak cengkeh dan minyak akar wangi dan lain-lain (Hadipoentyanti, 2006). Sebagian besar minyak atsiri yang diusahakan petani merupakan komoditas ekspor tradisional non migas. Perkembangan ekspor minyak atsiri terus naik, untuk tahun 2003 mengalami sedikit penurunan tetapi meningkat dua kali lipat pada tahun 2004 seperti dapat dilihat pada Tabel II-3. 27

Tabel II-3 Jenis dan Ekspor Minyak Atsiri Indonesia (2002-2004) No. Jenis Minyak Atsiri 2002 2003 2004 Vol. (Kg) US$ Vol. (Kg) US$ Vol. (Kg) US$ 1 vetiver 75,714 1,078,451 45,821 1,428,682 56,444 2,445,744 2 citronela 106,315 775,564 41,591 535,111 55,924 368,326 3 patchouli 1,295,379 22,526,142 1,126,821 19,164,731 2,074,250 27,136,913 4 anis 330 429 404 8,017 446,528 3,577,428 5 ginger 2,050 100,632 16,600 21,304 - - 6 cinnamomum 176 1,642,394 151 2,396 - - 7 pala 3,276 14,886,440 - - 955,466 11,164,676 Jumlah 1,483,240 41,010,052 1,231,388 21,160,241 3,588,612 44,693,087 Sumber: BPS, 2002-2004 Perlunya dikembangkan IKM minyak atsiri berhubungan dengan kebutuhan volume produksi untuk memenuhi permintaan konsumen. Permintaan konsumen bisa berasal dari permintaan dalam negeri dan permintaan dari luar negeri. Data dapat diperoleh berdasarkan data-data ekspor dan impor minyak atsiri yang dapat diperoleh dari pusat data kantor biro pusat statistik. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan minyak atsiri akan selalu ada karena kegunaan dari minyak atsiri turut berkembang sesuai dengan kegunaan dan manfaat yang banyak ditemukan oleh para peneliti. Selain mengekspor Indonesia juga mengimpor minyak atsiri. Dengan berkembangnya berbagai industri di dalam negeri, maka kebutuhan minyak atsiri dan turunannya semakin meningkat baik dari segi jenis minyak atsiri maupun volumenya. Data yang pasti berapa proporsi minyak atsiri yang dihasilkan dan yang digunakan dalam negeri sangat sulit diketahui. Namun diperkirakan jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun yang dapat dilihat dari nilai impor minyak atsiri pada Tabel II-5. 28

Tabel II-5. Jenis dan impor minyak atsiri Indonesia (2002-2004) No. Jenis Minyak Atsiri 2002 2003 2004 Vol. (Kg) US$ Vol. (Kg) US$ Vol. (Kg) US$ 1 bergamot 88,781 248,328 5,775 150,731 5,567 132,155 2 orange 204,900 810,496 269,067 857,658 316,231 1,201,433 3 lemon 12,445 203,588 22,959 390,331 47,046 426,668 4 lime 8,847 119,247 12,115 200,113 22,646 354,546 5 citrus (other) 31,679 707,085 41,790 661,667 199,612 746,446 6 geranium 6,888 152,582 4,819 194,199 63,743 854,299 7 jasmin 2,187 22,592 293 3,184 17 292 8 lavender 24,127 290,988 20,956 274,958 30,177 383,074 9 M. piperita 153,596 111,521 242,726 1,756,595 336,750 2,209,346 M. arvensis 10 (other) 84,926 543,533 38,449 629,162 93,017 1,007,582 11 vetiver 2,573 45,318 2,465 48,683 2,231 51,306 12 citronela 1,219 14,021 1,765 10,155 35 2,917 13 patchouli 6,934 91,067 2,169 36,441 1,112,107 3,814,462 14 nutmeg 4,423 46,455 1,414 53,373 52,287 722,303 15 cinnamomum 20,160 178,815 1,693 75,368 - - 16 cardamomum 84 3,764 971 22,343 - - 17 anis & fennel 10,134 83,834 28,437 276,256 1,843 19,600 18 ginger 98 8,563 38 1,305 47 2,789 tanaman 19 atsiri lain 772,534 2,669,204 654,701 2,436,852 44,244 337,610 Jumlah 1,436,535 6,351,001 1,352,602 8,079,374 2,327,600 12,266,828 Sumber: BPS, 2002-2004 II.3. Defenisi Kebijakan Kebijakan pengembangan IKM adalah bagian dari kebijakan industri, sedangkan kebijakan industri adalah bagian dari kebijakan publik. Oleh karena itu, sebelum membahas mengenai kebijakan IKM terlebih dahulu akan dibahas mengenai arti kebijakan publik dan kebijakan industri. 29

Kebijakan publik mempunyai arti, lingkup dan penekanan yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu yang mempelajarinya. Kebijakan publik didefenisikan sebagai serangkaian tindakan (action) atau diamnya (in-action) otoritas publik (pemerintah) untuk memecahkan suatu masalah (Pal, 1997). Kebijakan publik berkaitan dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah yang mempunyai suatu daftar tujuan (goals) yang memiliki urutan prioritas (Starling, 1988). Kebijakan industri difokuskan pada intervensi atau keterlibatan pemerintah terhadap peningkatan mutu produksi, dimana pemerintah melakukan intervensi, antara lain dengan cara membuat peraturan, memberikan subsidi, turut terlibat dalam produksi, memberikan bantuan atau menjadi perantara (melakukan intermediasi) yang memberikan dampak signifikan pada pengembangan IKM. II.3.1. Analisis kebijakan Defenisi mengenai analisis kebijakan ada beberapa antara lain, suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 1999). II.3.2. Elemen-elemen Kunci dalam Proses Pembuatan Kebijakan Lima elemen kunci dalam proses pembuatan kebijakan yaitu identifikasi masalah, formulasi usulan kebijakan, adopsi, implementasi dan evaluasi seperti yang diperlihatkan pada Gambar II-10 (Starling, 1988). Gambar II-10. Lima Elemen Kunci dalam Proses Pembuatan Kebijakan Berikut ini uraian elemen-elemen kunci dan proses pembuatan kebijakan. 1. Identifikasi masalah 30

- Identifikasi apa dan besarnya kebutuhan khusus yang akan diwujudkan - Identifikasi sumber penyebab masalah - Mengkaji apa dan bagaimana kelompok populasi tertentu akan dipengaruhi (geografi, ekonomi, umur, suku, dll) 2. Formulasi Usulan Kebijakan - Identifikasi tujuan dan keterkaitannya dengan masalah yang ingin diselesaikan - Identifikasi alternatif untuk mencapai tujuan tersebut - Evaluasi alternatif dan sisi manfaat dan biaya - Identifikasi distribusi dampak pada masyarakat dan setiap alternatif 3. Adopsi - Penerimaan dan pemberian kekuatan hukum agar kebijakan yang dipilih memiliki legitimasi - Instrumen untuk memberikan legitimasi adalah hukum/aturan (legislasi), politik, prosedur administrasi, pengaturan keuangan 4. Implementasi - berbagai tindakan (action) yang dilakukan individu atau organisasi pada saat dan tempat tertentu untuk mencapai berbagai tujuan - Birokrasi sudah mulai mendominasi 5. Evaluasi - Menetapkan kriteria atau standar untuk mengukur kinerja atau tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Starling (1988) terdapat hubungan antara pembuatan kebijakan dengan analisis kebijakan yang menunjukkan hal khusus dalam proses pembuat kebijakan dimana berbagai konsep analitis, proposisi dan teknik dapat memberikan arahan bagi pemikiran, pemilihan serta perilaku administratif dan pembuat kebijakan. Hubungan dapat dilihat pada Gambar II-11. 31

Action Problem Identification Policy Formulation Adoption Program Operation Evolution - diagnosis - prognosis Analysis - strategic thingking - options - cost, benefits risks - assesing impacts The political factor levers - what is good policy - two concepts of ethicts Gambar II-11. Hubungan Pembuat Kebijakan dengan Analisis Kebijakan Berikut ini uraian hubungan pembuatan pembuatan kebijakan dengan analisis kebijakan: 1. Problem Identification - Diagnosis: ada masalah apa? - Prognosis: apa yang akan terjadi jika tidak melakukan sesuatu 2. Policy Formulation - Strategic Thingking: apa rencana untuk memecahkan masalah? Apa tujuan, sasaran dan prioritas? - Option: alternatif mana untuk mencapai tujuan - Cost, Benefits, Risk: berapa biaya, keuntungan dan resiko untuk beberapa alternatif tersebut? - Assesing Impact: alternatif atau beberapa alternatif mana yang memberikan keuntungan terbesar dengan efek samping negatif terkecil 3. Adoption - The Political Factor: apakah kebijakan dapat berjalan ditinjau dan sisi politik 4. Program Operation - Levers: apa saja variabel yang dapat menjamin keberhasilan implementasi kebijakan 32

5. Evaluation - What is good policy? Apa kriteria suatu kebijakan dapat dikatakan baik? Haruskah kebijakan dihapuskan? - Two concept of ethic: kapan suatu kebijakan disebut gagal dilihat dari aspek ekonomi dan politik. Starling (1998) menggambarkan kaitan antara kebijakan, rencana dan program seperti dapat dilihat pada Gambar II-12. Rencana (plan) didefenisikan sebagai himpunan tujuan (objectives) yang dapat diukur untuk mencapai cita-cita (goals). Program (project) merupakan himpunan tindakan (actions) spesifik untuk mencapai tujuan (objectives). Gambar II-12. Kaitan antara Kebijakan, Rencana dan Program (Starling, 1998) II.4. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Indonesia Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN) tahun 2005 disusun dengan maksud untuk memberikan arah baru bagi pengembangan industri nasional di masa datang, serta memecahkan berbagai permasalahan yang menghambat perkembangan industri saat ini. Dalam penyusunan kebijakan ini, Departemen Perindustrian telah melakukan serangkaian diskusi dan sosialisasi dengan berbagai instansi terkait, KADIN, pelaku industri, dan pakar dari beberapa perguruan tinggi. Diskusi diperlukan untuk mendapatkan berbagai bahan-bahan 33

masukan dalam usaha memperbaiki daya saing Indonesia yang telah terjadi sejak terjadinya krisis tahun 1998. Dalam upaya meningkatkan kembali daya saing sektor industri diperlukan strategi yang tepat, agar mampu mengakomodasikan, dan mengantisipasi kondisi lingkungan di dalam dan di luar negeri yang perubahannya cenderung terjadi secara cepat karena didorong oleh globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi. Strategi pembangunan sektor industri, dibagi menjadi dua yaitu, strategi pokok dan strategi operasional. Strategi pokok antara lain, memperkuat keterkaitan industri, meningkatkan nilai tambah produk, meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis produk industri serta pengembangan IKM. Sedangkan strategi operasional antara lain, pengembangan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, fokus pengembangan industri dilakukan dengan mendorong pertumbuhan klaster industri prioritas, penetapan prioritas persebaran industri, pengembangan kemampuan inovasi khususnya di bidang teknologi dan peningkatan manajemen industri (Depperind, 2005). II.4.1. Kebijakan Industri Kebijakan industri merupakan intervensi pemerintah secara sengaja dan terkoordinasi untuk mengembangkan industri (Lall, 1995). Melalui kebijakan industri, maka dimaksudkan untuk memberikan: a Arahan bagi para pelaku industri, baik pengusaha maupun institusi lainnya, khususnya yang memiliki kegiatan usaha di sektor industri ataupun bidang lain yang berkaitan; b Pedoman operasional bagi aparatur pemerintah yang membidangi pengembangan industri, dan sebagai rujukan bagi instansi lain terkait dalam rangka ikut menunjang secara komplementer dan sinergik untuk suksesnya pelaksanaan program pengembangan industri sesuai dengan bidang tugasnya; c Tolok-ukur kemajuan dan keberhasilan pengembangan industri, dilihat dari segi administrasi pembangunan; 34

d Informasi untuk menggalang dukungan sosial-politis maupun kontrol sosial terhadap pelaksanaan kebijakan industri ini, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendorong partisipasi luas masyarakat untuk memberikan kontribusi secara langsung dalam kegiatan pengembangan industri ( Depperind, 2005). II.4.2. Kebijakan Pengembangan Industri Kecil Salah satu tujuan utama kebijakan industri di negara berkembang adalah untuk pertumbuhan, pembangunan dan modernisasi ekonomi. Tujuan ini berkaitan dengan pemaksimuman kesejahteraan masyarakat dengan cara penggunaan sumber daya secara efisien. Dalam praktek pembuat kebijakan, tujuan utama ini diwakili oleh sejumlah proksi tujuan yang tidak selalu kompatibel, misalnya industrialisasi (mempercepat transformasi dari perekonomian berbasis pertanian ke perekonomian berbasis industri, substitusi impor, penciptaan lapangan kerja, orientasi ekspor, pengembangan industri kecil dan menengah dll). Instrumen yang digunakan pemerintah untuk mencapai kebijakan industri adalah kebijakan pajak, kebijakan tenaga kerja, sistem insentif bagi investasi industri, peraturan penanaman modal asing, finansial, pemilikan dan investasi pemerintah serta kebijakan penyediaan infrastruktur. Menurut Staley dan Morse (1965) kebijakan mengenai industri kecil dapat dikategorikan kedalam 3 aliran : pasif, protektif dan developmental. Kebijakan pasif mengabaikan keberadaan industri kecil dalam perekonomian dan membiarkannya muncul, tumbuh, berkembang atau mati tanpa campur tangan pemerintah. Kebijakan protektif melindungi industri kecil dari kompetisi dengan membuat peraturan yang menghalangi atau membatasi perusahaan besar atau industri yang lebih modern mengambil pasar industri kecil. Kebijakan developmental berfokus pada peningkatan efisiensi industri kecil, sehingga menjadikannya lebih mampu untuk hidup dan berkembang. Hal ini dilakukan dengan mendorong muncul dan tumbuhnya industri kecil jenis tertentu dan dengan cara membantu usaha-usaha kecil melakukan penyesuaian kembali (readjustment) sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan usaha. Dalam 35

pandangan developmental, tujuan kebijakan industri kecil adalah untuk menciptakan perusahaan-perusahaan yang layak secara ekonomi (economically viable) dan dapat berdiri sendiri tanpa subsidi serta dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan pendapatan riil, sehingga juga berkontribusi pada tingkat hidup yang lebih baik. Dalam pendekatan developmental, kebijakan ditujukan bukan untuk mempertahankan unit produksi yang tradisional, primitif atau menjaga agar industri kecil tetap kecil. Kebijakan ini merangsang dan membantu industri kecil agar dapat menjadi sumber kewirausahaan yang kuat (ini berarti dapat tumbuh dari skala kecil menjadi skala menengah atau besar). Pembuat kebijakan perlu terus menerus mencari informasi dan menilai perkembangan berbagai industri kecil yang ada dan memilah-milah usaha industri kecil kedalam kategori berikut : 1. Kegiatan usaha yang memiliki masa depan 2. Kegiatan usaha yang dapat beradaptasi 3. Kegiatan usaha yang sudah usang dan tak sesuai jaman Ada 3 prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industri kecil, yaitu : Prinsip kombinasi dan interaksi Program program disusun secara terpadu sehingga dapat menangani secara simultan berbagai aspek yang mempengaruhi industri kecil. Upaya menyelesaikan hanya salah satu faktor penghambat perkembagan industri kecil umumnya akan gagal dan sia-sia Prinsip adaptasi Program pengembangan industri kecil yang ditiru dari negara lain perlu diadaptasikan dengan kondisi setempat agar dapat memberi manfaat yang diharapkan Prinsip selektivitas Faktor-faktor yang menghambat industri kecil di setiap tempat perlu dinilai secara cermat. Agar program pengembangan industri kecil sebanding dengan biayanya, program-program pada tahap awal perlu dirancang agar menyelesaikan permasalahan kritis di daerah tersebut, 36

kemudian program ini akan diperluas atau diubah sesuai dengan hambatan dan kesempatan yang dihadapi ketika perusahaan perusahaan kecil mulai tumbuh. II.5. Penelitian sebelumnya 1. Penelitian Gultom (2002) Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat keterkaitan sektoral subsektorsubsektor dalam sektor industri pengolahan yaitu keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan, mengetahui angka pengganda output, kesempatan kerja dan pendapatan subsektor-subsektor industri pengolahan, mengetahui derajat ketergantungan ekspor, angka pengganda output terhadap output juga terhadap tenaga kerja, subsektor-subsektor industri pengolahan. Model dasar yang digunakan adalah tabel input output pada tahun 1996-2000. Metoda analisis yang digunakan adalah: 1. Analisis struktur Untuk mengetahui struktur dengan menggunakan keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan dari sektor terhadap sektor lain dalam perekonomian 2. Analisis perilaku industri pengolahan Analisis perilaku industri pengolahan digunakan angka pengganda output, angka pengganda pendapatan dan angka pengganda tenaga kerja. 3. Analisis kinerja industri pengolahan Analisis kinerja industri pengolahan digunakan analisis ketergantungan ekspor, pengganda ekspor terhadap output dan tenaga kerja. Hasil penelitian 1. Berdasarkan tabel input output tahun 1996-2000, industri pengolahan di Indonesia mempunyai daya penyebaran dan kepekaan tinggi terhadap keseluruhan sektor dalam perekonomian. Dari 24 subsektor terdapat 19 subsektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang di atas 1. 8 subsektor yang mempunyai keterkaitan ke depan di atas 1, sehingga dapat diambil 37

kesimpulan output sektor digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan bukan sebagai input antara. 2. Industri yang memiliki keterkaitan ke belakang tertinggi adalah industri penggilingan padi dan yang memiliki keterkaitan ke depan yang paling tinggi adalah industri pengolahan minyak bumi. 3. Subsektor dengan pengganda output terbesar adalah industri penggilingan padi dengan angka pengganda output 2,047, subsektor dengan pengganda pendapatan terbesar adalah industri barang dari logam dengan angka pengganda pendapatan sebesar 0,2826 dan subsektor industri lain dengan pengganda tenaga kerja terbesar sebesar 0,3797. 4. Subsektor dengan derajat ketergantungan ekspor terbesar adalah industri bambu, kayu dan rotan sebesar 0,8994, subsektor dengan pengganda ekspor terhadap output terbesar adalah industri tekstil, pakaian dan kulit dengan besar indeks pengganda ekspor terhadap output sebesar 0,1748 dan subsektor dengan pengganda ekspor terhadap tenaga kerja terbesar adalah industri bambu, kayu dan rotan dengan indeks pengganda ekspor terhadap tenaga kerja sebesar 0,01091. 5. Lima prioritas pengembangan industri adalah - industri bambu, kayu dan rotan - industri minyak dan lemak - industri barang karet dan plastik - industri makanan lainnya - industri tekstil, pakaian dan kulit. 2. Penelitian Simatupang dan Syafa at (1996) Penelitian ini menganalisis peranan minyak goreng dalam menciptakan produksi dan lapangan pekerjaan agregat dengan memperhitungkan keterkaitan antara industri minyak goreng dengan sektor-sektor lain. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda input output. Tabel yang digunakan sebagai dasar analisis adalah tabel input output Indonesia 66 sektor tahun 1990 dari Biro Pusat Statistik. 38

Keterkaitan antarsektor Koefisien total kaitan ke belakang industri minyak goreng adalah 1,80652. Keterkaitan ke belakang industri minyak goreng terkonsentrasi pada tiga sektor yaitu: industri minyak goreng itu sendiri, perkebunan kelapa sawit dan kelapa. Jumlah total koefisien kaitan ke depan adalah: 1,2234. keterkaitan ke depan industri minyak goreng terkonsentrasi pada industri minyak goreng, industri makanan lainnya serta sektor hotel dan restoran. Faktor utama untuk mendorong peningkatan produksi/output industri minyak goreng adalah peningkatan permintaan akhir industri makanan lainnya dan sektor restoran dan hotel. Indeks total keterkaitan ke belakang industri minyak goreng adalah 1,19924 sedangkan indeks total keterkaitan ke depan adalah 0,81211. angka indeks total keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa industri minyak goreng mempunyai keterkaitan ke belakang yang relatif tinggi, di atas rata-rata seluruh sektor. Sebaliknya indeks total keterkaitan ke depan yang lebih kecil dari 1 menunjukkan bahwa industri minyak goreng memiliki keterkaitan ke depan yang relatif rendah, di bawah rata-rata seluruh sektor. Hal inilah yang membuat industri minyak goreng tidak dapat digolongkan sebagai salah satu sektor kunci dalam perekonomian Indonesia. Penciptaan produksi Ukuran dari andil industri minyak goreng dalam penciptaan produksi nasional dalam penelitian ini adalah andil permintaan akhir industri minyak goreng dalam penciptaan output/industri nasional. Nilai produksi perekonomian Indonesia yang tercipta sebagai hasil dari tarikan permintaan industri minyak goreng adalah Rp. 3,791 milyar. Nilai ini lebih besar dari nilai total produksi industri minyak goreng yaitu sebesar Rp. 2.809 milyar. Dengan demikian jelaslah bahwa sebagian nilai produksi tersebut tercipta pada sektor-sektor lain dalam perekonomian. Konsentrasi penciptaan produksi dari permintaan terhadap industri minyak goreng adalah pada industri minyak goreng itu sendiri, perkebunan kelapa sawit dan kelapa dengan nilai masing-masing Rp. 2,346 milyar, Rp. 560 39