PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING TERHADAP HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS XI IPA SMAN 3 MALANG PADA MATERI HIDROLISIS GARAM Nanda Maikristina, I Wayan Dasna, Oktavia Sulistina Universitas Negeri Malang Email: nandamaiiy@yahoo.com, idasna@um.ac.id, oktavia_dm@yahoo.com ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa; dan keterampilan proses sains siswa pada materi hidrolisis garam. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental semu dan deskriptif. Subjek penelitian meliputi dua kelas di SMA Negeri 3 Malang. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi, dan tes selanjutnya data dianalisis secara statistik dan deskriptif. Hasil penelitian adalah; model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa; keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki ketercapaian yang lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan menggunakan model problem solving. Kata kunci: inkuiri terbimbing, problem solving, hasil belajar, keterampilan proses sains ABSTRACT: This study was designed to see the effect of guided inquiry models on student s learning outcomes; process science skills in topic salt hydrolysis. The study was designed quasy experimental and descriptive. Research s data was collected by using observation sheet and test, and the obtained data were analyzed by applying descriptive and quantitative statistically. The students of XI th science program of the SMA Negeri 3 Malang was selected as sample of the study The results of this research showed that: guided inquiry learning model can improve student s learning outcomes; science process skills of students which using guided inquiry learning model is better than students using problem solving model. Keywords: guided inquiry, problem solving, learning outcomes, science process skills Karakteristik dari konsep-konsep ilmu kimia yang abstrak menyebabkan kimia sulit untuk dipelajari dan membutuhkan kemampuan berpikir tinggi untuk memahaminya (Kean dan Middlecamp, 1985: 5). Salah satu materi kimia yang dipelajari pada siswa kelas XI SMA adalah materi hidrolisis garam. Pada materi ini dibahas tentang reaksi ionisasi garam yang terlarut dalam air. Reaksi ini tentu saja tidak dapat dilihat secara kasat mata oleh siswa atau bersifat abstrak. Gejala atau fakta yang dapat diamati siswa adalah nilai ph larutan garam tersebut yang mengindikasikan konsentrasi [H + ] dan [OH - ] dalam larutan. Penentuan nilai ph dapat dilakukan melalui kegiatan percobaan. Dengan mengamati fakta yang didapatkan dari percobaan tersebut, diharapkan siswa dapat menemukan konsep tentang hidrolisis garam secara mandiri menggunakan keterampilan proses sains yang dimiliki. Keterampilan proses sains siswa dalam pembelajaran kimia dapat dibentuk dari pembelajaran melalui praktikum dan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Kegiatan praktikum dapat melibatkan siswa lebih banyak dalam proses pembelajaran. Banyak manfaat yang didapatkan dengan melibatkan siswa secara
langsung dalam kegiatan laboratorium antara lain meningkatkan kebermaknaan belajar, pemahaman konseptual dan pemahaman tentang sifat sains (Hofstein, 2005: 791-792). Pada pembelajaran hidrolisis garam siswa tidak hanya dituntut untuk mengetahui sifat larutan garam, siswa juga dituntut untuk menjelaskan mengapa larutan garam tesebut dapat bersifat asam, basa, netral serta perhitungan ph larutan berdasarkan hubungan K a, K b, K h dan K w. Hasil penelitian Gabel (2006) menyatakan bahwa mayoritas siswa dapat mengerjakan soal dan terlatih dalam perhitungan matematika saja, tetapi kurang memahami konsep kimia yang mendasari soal tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran hidrolisis garam sebaiknya lebih menekankan pada proses perolehan konsep, sehingga siswa tidak hanya dapat menghitung ph tetapi juga dapat mengetahi konsep yang mendasari soal tersebut. Berdasarkan karakteristik ilmu kimia tersebut, pembelajaran kimia pada saat ini tidak hanya ditekankan pada produk tetapi juga pada proses. Penguasaan proses yang baik akan memperoleh produk yang baik pula. Penguasaan proses tersebut memerlukan keterampilan ilmiah yang tercakup dalam keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains (KPS) merupakan pengembangan keterampilan fisik dan mental yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang dimiliki seseorang. Keterampilan proses sains meliputi kemampuan mengobservasi, menyusun hipotesis, eksperimen, mengendalikan variabel, mengumpulkan dan menafsirkan data, menyusun kesimpulan sementara, memprediksi serta mengkomunikasikan hasil (Semiawan, 1989: 17). Pembelajaran sains bukan hanya mempelajari tentang konsep, tetapi mencakup pula hakekat sains, praktik ilmiah, inkuiri ilmiah, serta hubungan sains, teknologi, dan masyarakat. Kegiatan inkuiri mencakup keterampilan proses sains yang akan menjadi modal dasar untuk melakukan penelitian sebenarnya di laboratorium dan dilapangan. Oleh karena itu selama pembelajaran sains, keterampilan proses pun perlu dibangun oleh siswa (Hanson, 2009). Salah satu model pembelajaran yang menekankan pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah diantaranya adalah model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada teori konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa mampu mencari makna dan membangun pengetahuannya secara individu berdasarkan pengalaman di lingkungannya (Iskandar, 2012:2). Rangkaian kegiatan pembelajaran pada model ini menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2006: 194). Menurut Jauhar (2011:7) kegiatan pembelajaran inkuiri ditujukan untuk menambah kemampuan siswa dalam menggunakan keterampilan proses dengan merumuskan pertanyaan yang mengarah pada kegiatan investigasi, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, analisis data, dan membuat kesimpulan. Hasil penelitian Schlenker (dalam Trianto, 2009: 167), menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Kurniasari (2012) pada pokok
bahasan kesetimbangan kimia juga menunjukkan bahwa inkuiri terbimbing memberikan dampak positif terhadap hasil belajar dan persepsi siswa. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa pada materi hidrolisis garam di SMA Negeri 3 Malang. METODE Peneitian ini menggunakan rancangan quasy experimental post-test only. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2013, dengan jumlah pertemuan sebanyak lima tatap muka dan satu pertemuan untuk ulangan harian. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN 3 Malang semester genap tahun pelajaran 2012-2013. Berdasarkan data sekunder nilai ujian materi sebelumnya, populasi memiliki data yang homogen dan kemampuan awal yang sama. Sampel dipilih dengan menggunakan metode Cluster Sampling, untuk menentukan kelas eksperimen dan kontrol dilakukan pengundian sehingga didapatkan kelas XI IPA 3 sebagai kelas eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbig dan XI IPA 4 sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran problem solving. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi instrumen perlakuan (silabus, RPP, dan LKS) dan instrumen pengukuran (lembar observasi, dan tes). Instrumen tes berupa 15 soal pilihan ganda, sebelum digunakan, telah dilakukan uji coba untuk menentukan validitas, daya beda, taraf kesukaran, dan reliabilitas. Data primer dalam penelitian berupa data hasil observasi terhadap keterlaksanaan pembelajaran, nilai tes hasi belajar siswa, dan hasil keterampilan proses sains siswa. Data sekunder berupa nilai ujian materi sebelumnya, yaitu pada materi larutan penyangga yang diperoleh dari dokumentasi SMAN 3 Malang. Analisis data keterlaksanaan pembelajaran, hasil belajar psikomotorik, afektif dan keterampilan proses sains siswa dilakukan dengan analisis deskriptif, sedangkan analisis data hasil belajar kognitif dilakukan dengan analisis statistik kuantitatif yang terdiri atas analisis data awal (uji prasyarat analisis) berupa uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan dua rata-rata. Sedangkan analisis data akhir berupa pengujian hipotesis (uji-t dua pihak dan analisis lanjutan dengan uji-t satu pihak) dengan taraf signifikansi α = 0,050. HASIL Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing dari pertemuan pertama hingga kelima berlangsung dengan kriteria sangat baik yang ditunjukkan oleh rata-rata persentase secara keseluruhan sebesar 100%. Komponen Keterlaksanaan Keterangan Pertemuan ke- 1 2 3 4 5 Alokasi Waktu (menit) 30 60 60 30 60 RPP I I II II III Persentase Keterlaksanaan (%) 100 100 100 100 100 Rerata Persentase Keterlaksanan (%) 100
Persentase keterlaksanaan lebih dari 75% menunjukkan bahwa RPP yang dibuat sudah terlaksana dengan sangat baik (Sugiyono, 2010). Hasi Belajar Siswa Uji hipotesis hasil belajar siswa yang dilakukan dengan uji-t dua pihak diperoleh nilai signifikansi 0,035 < 0,05. Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa H 0 ditolak dan H 1 diterima atau terdapat perbedaan hasil belajar siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen, yang berarti ada pengaruh penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa. Analisis lebih lanjut digunakan uji-t satu pihak dengan hipotesis yang diuji yaitu rata-rata nilai tes hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dari rata-rata nilai tes hasil belajar kelas kontrol (H 1 : µ >µ o ). Hasil analisis uji-t satu pihak diperoleh nilai t hitung (3,627) > t tabel (1,692), sehingga Ho ditolak dan H 1 diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh keputusan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% rata-rata nilai hasil belajar kognitif siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing (rerata 89) lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran problem solving (rerata 85). Data hasil belajar psikomotorik menunjukkan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing 97% siswa memiliki kemampuan psikomotor yang sangat baik, sedangkan 3% siswa yang lain tergolong memiliki kemampuan psikomotor yang baik. Sedangkan siswa kelas kontrol yaitu siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran problem solving 94% siswa memiliki kemampuan psikomotor yang sangat baik, sedangkan 6% siswa yang lain tergolong memiliki kemampuan psikomotor yang baik. Data hasil belajar afektif menunjukkan siswa kelas eksperimen yaitu yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing 67,6% siswa mempunyai kemampuan afektif sangat baik, dan 32,4% siswa mempunyai kemampuan afektif yang baik. Sedangkan kemampuan afektif siswa kelas kontrol yaitu siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem solving 40,6% siswa mempunyai kemampuan afektif sangat baik, sedangkan 59,4% siswa mempunyai kemampuan afektif yang baik. Keterampilan Proses Sains Siswa Aspek keterampilan proses yang diukur meliputi keterampilan menyusun hipotesis, bereksperimen, menganalisa data, menarik kesimpulan, mengkuantifikasi dan mengkomunikasikan hasil. Besarnya skor yang dapat dicapai adalah 3 (sangat baik), 2 (baik), dan 1 (cukup). Pengukuran dilakukan dengan melakukan pengamatan pada saat pembelajaran berlangsung dan penilaian hasil lembar kerja siswa sesuai dengan rubrik yang telah dibuat. Siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing hampir secara keseluruhan mencapai persentase keterampilan proses sains lebih tinggi daripada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran problem solving. Rata-rata pencapaian keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sebesar 93,2% sedangkan siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model problem solving adalah sebesar 78,4%.
PEMBAHASAN Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pada pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri terbimbing siswa belajar dengan tahapan-tahapan inkuiri yaitu perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan percobaan, menganalisis data, menyimpulkan dan mengkomunikasikan hasil. Selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol guru memantau kegiatan siswa dengan dibantu oleh 2 orang observer. Pada kelas yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing guru lebih menekankan pembelajaran secara mandiri dan berpusat pada siswa, guru bertindak sebagai fasilitator dan sebatas membimbing jika siswa mengalami kesulitan. Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan bahwa secara keseluruhan ketercapaian pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing berlangsung dengan kriteria sangat baik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kelas eksperimen berjalan dengan lancar dan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang telah dirancang dalam RPP di setiap. Hal tersebut dapat diartikan bahwa keterlaksanaan tiap kegiatan, pengelolaan waktu pembelajaran, dan kemampuan guru mengakomodasi masalah di kelas dapat tercapai dengan sangat baik. Berdasarkan hasil pengamatan kegiatan inkuiri juga dapat berlangsung sangat baik meskipun satu jam pelajaran 30 menit, dikarenakan kemampuan awal siswa di SMA Negeri 3 Malang sangat baik. Hasil Belajar Siswa Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar kognitif antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, dan hasil belajar siswa XI IPA SMA Negeri 3 Malang yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model problem solving pada materi hidrolisis garam. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam materi hidrolisis garam memberikan kesempatan bagi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan memperoleh pengalaman dalam menemukan konsep bagi diri sendiri. Siswa melakukan tahapan perolehan pengetahuan seperti cara ilmuwan bekerja yaitu dengan melakukan identifikasi masalah, membuat dugaan sementara (hipotesis), melakukan kegiatan pengumpulan data, menguji hipotesis, dan membuat kesimpulan. Pengetahuan tidak diterima secara pasif oleh siswa, tetapi dibangun oleh siswa (Von Glassersfeld dalam Pardjono, 2002: 172). Piaget (dalam Iskandar, 2011) menyatakan bahwa agar terjadi perubahan konseptual maka siswa harus dihadapkan pada konsep baru yang tidak konsisten dengan model mental yang dimilikinya. Siswa harus merasa tidak nyaman atau mengalami konflik kognitif (disequilibrium), kemudian pebelajar akan menerima bahwa konsep baru ternyata dapat dipercaya dan dapat dipergunakan pada situasi lain sehingga pebelajar akan mengganti konsep lama dengan konsep baru. Sedangkan pada kelas kontrol, penerapan model problem solving dalam materi hidrolisis garam juga menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, terdapat proses memahami masalah dan membuat strategi pemecahan masalah, namun proses pemerolehan konsep secara mandiri oleh siswa kurang ditekankan. Siswa terlatih
mempelajari pola penyelesaian masalah tanpa memahami lebih dalam konsep yang mendasari penyelesaian tersebut. Kemampuan psikomotorik siswa yang dibelajarkan menggunakan model inkuiri terbimbing lebih tinggi dari siswa yang dibelajarkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model problem solving. Namun keduanya termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini dikarenakan siswa di SMA Negeri 3 Malang sudah terbiasa dengan kegiatan laboratorium, sehingga tidak ada kendala berarti dalam kegiatan percobaan ini. Perbedaan hanya terdapat pada siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing diajak untuk menyusun percobaan sendiri dengan harapan siswa lebih siap untuk melakukan kegiatan percobaan. Sedangkan siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran problem solving hanya menjalankan prosedur yang disediakan. Kemampuan afektif siswa yang dibelajarkan menggunakan model inkuiri terbimbing lebih tinggi dari siswa yang dibelajarkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan model problem solving. Siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing terlibat aktif dalam kegiatan perolehan konsep. Guru hanya sebagai fasilitator tanpa memberitahu siswa secara langsung mengenai konsep tersebut. Oleh karena itu rasa keingintahuan siswa menjadi sangat tinggi, dan aktif dalam bertanya maupun menyampaikan pendapat. Pada tahapan analisis data, siswa juga ditekankan untuk bekerja sama dalam kelompok dan menyumbangkan ide. Siswa juga dapat berkomunikasi dengan baik karena sudah terlatih pada saat mengkomunikasikan hasil. Siswa yang dibelajarkan dengan model problem solving juga aktif dalam pembelajaran, namun perolehan konsep didapat melalui studi pustaka dan penguatan guru. Selain itu pada model pembelajaran ini siswa ditekankan untuk dapat memecahkan masalah. Pada kegiatan pemecahan masalah ini siswa cenderung bosan dan monoton karena dilakukan terus-menerus mengakibatkan afektif siswa lebih rendah dari pada siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lundgren (1991) dalam McDaniel & Green (2012: 3), bahwa penerapan pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing memiliki beberapa keuntungan, yang salah satunya adalah meningkatkan prestasi akademik siswa. Hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khan (2011) model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan prestasi siswa pada materi kimia. Keterampilan Proses Sains Siswa Siswa yang dibelajarkan dengan model inkuiri terbimbing memiliki pencapaian keterampilan proses sains lebih tinggi dikarenakan dalam pembelajaran inkuiri terbimbing terdiri dari beberapa langkah-langkah dan masing-masing langkah tersebut didukung oleh keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains yang dapat dilatih melalui pembelajaran inkuiri terbimbing meliputi: keterampilan memprediksi, melakukan eksperimen, menganalisis data, menyimpulkan, mengkuantifikasi dan mengkomunikasikan. Hal ini terbukti dalam penelitian ini bahwa pada pembelajaran materi hidrolisis garam dengan model inkuiri terbimbing, keenam keterampilan proses sains dapat diukur dan dilatih. Pada pembelajaran dengan model problem solving terdiri dari beberapa sintak yaitu pemahaman masalah, pembuatan rencana atau strategi
pemecahan masalah, pelaksanaan rencana dan pemeriksaan kembali. Siswa terlatih untuk memecahkan soal, tetapi untuk tahapan keterampilan prosesnya kurang dapat diukur pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing hampir secara keseluruhan mencapai persentase keterampilan proses sains lebih tinggi dari pada siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran problem solving. Rata-rata pencapaian keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sebesar 93,2% sedangkan siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model problem solving adalah sebesar 78,4%. Hal ini didukung dengan penelitian Zawadski (2009), yang menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing yang berorientasi pada proses dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) kualitas keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing berlangsung dengan kriteria sangat baik serta sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang telah dirancang dalam RPP pada setiap pertemuan; (2) hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing berbeda secara signifikan dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran problem solving dan penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa; (3) keterampilan proses sains siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki ketercapaian yang lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan menggunakan model problem solving. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut; (1) penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing sangat dianjurkan untuk materi hidrolisis garam karena dapat meningkatkan hasil belajar siswa, (2) peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana pengaruh model pembelajaran inkuiri terhadap pemahaman konsep siswa pada materi hidrolisis garam. DAFTAR RUJUKAN Gabel, D.L. 2006. Problem-solving Skills of High School Chemistry Students. (Online), (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ tea.3660210212/ abstract), diakses 11 Mei 2013. Hanson, D. M. 2009. Process Oriented Guided Inquiry Learning. Journal of Prentice Hall Series in Educational Innovation.Chapter 7: 91-101. Hofstein, A., Navon, O., Kipnis, M., Naaman, R. M. 2005. Developing Students Ability to Ask More and Better Questions. Journal of Research in Science Teaching. 2005. Wiley Periodicals, Inc. Vol. 42(7): 791 806. Iskandar, S.M. 2011. Pendekatan Pembelajaran Sains Berbasis Konstruktivis. Malang: Bayumedia Publishing.
Jauhar, M. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik sampai Konstruktivistik. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Kean, E & Middlecamp, C. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: PT. Gramedia. Khan, M.S., Hussain, S., Ali. R., Majoka, M.I., dan Ramzan, M. 2011. Effect of Inquiry Method on Achievement of Students in Chemistry at Secondary Level. International Journal of Academic Research. 2011. Vol. 3. No.1 (part III). Kurniasari, T. 2012. Hasil Belajar dan Persepsi Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Tumpang pada Materi Kesetimbangan Kimia yang Dibelajarkan dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dan Problem Solving. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang. McDaniel, S. & Green, L. 2012. Independent Interactive Inquiry-Based Learning Modules Using Audio-Visual Instruction In Statistics. Journal of Education, (Online), 6(1): 2-18, (http://www.escholarship.org/uc/item/ 322385kq), diakses 1 Mei 2013 Pardjono. 2002. Active Learning: The Dewy, Piaget, Vygotsky, and Constructive Perspect. Jurnal Ilmu Pendidikan. LPTK dan ISPI. Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Semiawan, C. 1989. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT. Gramedia. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media. Zawadzki, R. 2009. Is Process-Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) suitable as teaching Method in Thailand s Higher Education?. Asian Journal on Education and Learning. 2010. ISSN. Vol 1(2): 66-74. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Percetakan UM.