Dalam kajian ini sampel pemerintahan daerah dipilih dengan menggunakan data hasil

dokumen-dokumen yang mirip
Kebijakan. Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Jakarta, 25 Juni 2015

IMPLEMENTASI PEMBENTUKAN LEMBAGA LAIN DI DAERAH

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

LKIP BPMPT 2016 B A B I PENDAHULUAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG DEWAN NASIONAL DAN DEWAN KAWASAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS

PENDAHULUAN. umum.amanat tersebut, antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar

BAB II EKSISTENSI BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) DALAM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA. A. Pengertian Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan terus mengalami dinamika perubahan. Permintaan pelayanan jasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban pemerintah terhadap perbaikan pelayanan publik termasuk dalam

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2013, No.94 A. Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Pintu yang diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten Purwakarta belum

2017, No Nomor 112); 3. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indone

PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) SEBAGAI IMPLEMENTASI PERCEPATAN REFORMASI BIROKRASI DI BIDANG PELAYANAN PUBLIK

3.4 Penentuan Isu-isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG DEWAN NASIONAL DAN DEWAN KAWASAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PERDESAAN MELALUI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP)

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH

1.1. GAMBARAN UMUM BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU PROVINSI GORONTALO

Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu BAB I PENDAHULUAN

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

BAB I PENDAHULUAN telah mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN BOVEN DIGOEL DAERAH KABUPATEN BOVEN DIGOEL BUPATI BOVEN DIGOEL,

BAB I PENDAHULUAN. 10 hambatan terbesar kegiatan investasi perusahaan adalah tidak memadainya

KAJIAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2010 TERKAIT DENGAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROPINSI Oleh : Ovie Tri Widayati*)

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Hakekat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat. Pemerintah ada

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

BUPATI MAMUJU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

Kelembagaan Pemerintah RINGKASAN EKSEKUTIF

Achmad Djuned, SH, MH

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

2013, No BAB I KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI Pasal 1 (1) Lembaga Administrasi Negara yang selanjutnya disebut LAN adalah lembaga pemerintah nonke

PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BAB V PENUTUP. terbuka terhadap masuknya penanaman modal terlihat dari jargon Bela Beli Kulon

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

REVISI RENCANA STRATEGIS

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS MENUJU WILAYAH BEBAS KORUPSI (WBK) DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI (WBBM) DI DINAS PENANAMAN

BAB V PENUTUP. 1. Adapun hal-hal yang telah dilaksanakan oleh Badan Pelayanan Perijinan. dan cepat serta biaya ringan, meliputi:

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2008 NOMOR 10 SERI D-05 PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

SISTEM PELAYANAN TERPADU: STRATEGI PERBAIKAN IKLIM INVESTASI DI DAERAH (Oleh : Asropi )

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah BPMD Prov.Jateng Tahun

Ikhtisar Eksekutif. vii

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGADA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN NGADA

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

WALIKOTA PADANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LOGO PROFIL. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP)

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

No Tujuan Sasaran Indikator Kinerja Satuan Target Per Tahun

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI. III.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan OPD

PEMERINTAH KOTA MAGELANG DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU Jl. Veteran No. 7 Telp (0293) Fax (0293) MAGELANG 56117

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB II PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. LKjIP BAPPEDA Tahun 2015 I / LATAR BELAKANG

TATA NASKAH DINAS ELEKTRONIK (TNDE) Oleh : Dra. ANY INDRI HASTUTI, MM ASISTEN PEMERINTAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 24 TAHUN 2005

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAKORNIS KOPERASI & UKM, KERJASAMA, PROMOSI DAN INVESTASI SE-KALIMANTAN BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA. A. Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

PEMERINTAH KOTA PADANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Setiap kegiatan disamping

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

BAB II TATA CARA PENANAMAN MODAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service

SEMANGAT DESENTRALISASI

Transkripsi:

RINGKASAN EKSEKUTIF Data tentang investasi di Indonesia menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah investasi dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, kenaikan persetujuan investasi selama Januari Maret 2007 mencapai Rp 204,3 trilyun, meningkat 447,2% dibandingkan periode yang sama tahun 2006. Namun demikian jika dilihat data lain mengenai investasi ini, masih terdapat banyak kekurangan seperti masih lamanya waktu yang dibutuhkan dalam perijinan investasi yang saat ini mencapai kurang lebih 100 hari. Waktu ini berbeda jauh dengan waktu yang dibutuhkan oleh investor (terutama PMA) untuk berinvestasi di negara lain yang bisa selesai dalam waktu yang jauh lebih cepat. Data tersebut relevan dengan publikasi World Bank pada tahun 2008 tentang kemudahan melakukan usaha dimana Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat 129 dari 181 negara yang dinilai, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya yang menduduki peringkat 127. Harus diakui bahwa kebijakan di bidang investasi mempunyai kompleksitas yang tinggi karena banyaknya faktor yang bekerja seperti infrastruktur, stabilitas politik, peraturan perundangan/kebijakan yang mendukung dan sebagainya. Keseluruhan faktor tersebut tidak akan dapat berjalan maksimal jika tidak ditopang dengan sistem kelembagaan pelayanan investasi yang mampu memberikan layanan, informasi, dan pengawasan investasi dengan baik. Terkait dengan kelembagaan layanan investasi ini, terdapat banyak kelemahan seperti pelayanan di tingkat pusat yang masih bersifat ambivalen dan lemahnya koordinasi pelayanan di tingkat daerah. Dengan demikian telah ada kemajuan kemajuan dalam hal investasi di Indonesia khususnya sejak tahun 2005 dimana investasi mulai tumbuh positif. Namun demikian, ternyata pertumbuhan itu belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu Lembaga Administrasi Negara memandang perlu dilakukan kajian penataan kelembagaan pelayanan publik di bidang investasi. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui penataan kelembagaan pelayanan publik di bidang investasi saat ini, berbagai permasalahan, dan tantangan dalam memberikan pelayanan di bidang investasi serta memberikan rekomendasi perbaikan kelembagaan dalam pelayanan tersebut. Dari uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah bagaimana penataan kelembagaan pelayanan publik di bidang investasi saat ini dengan beberapa hal yang ingin dieksplorasi pada bagian ini adalah: bagaimana proses layanan dan organisasi apa saja yang terlibat (menyelenggarakan layanan) dalam bidang investasi, permasalahan permasalahan serta tantangan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan di bidang investasi, dan strategi yang telah dijalankan dalam rangka mengatasi persoalan persoalan tersebut. Sedangkan rumusan masalah yang lain adalah bagaimana model dan strategi perbaikan kelembagaan dalam pelayanan publik di bidang investasi. Rumusan permasalahan tersebut diajukan untuk mencapai tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi dan mendeskripsikan penataan kelembagaan pelayanan publik di i

bidang investasi saat ini, mengidentifikasi dan mendeskripsikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan di bidang investasi, serta menyusun rekomendasi strategi perbaikan kelembagaan dalam pelayanan publik di bidang investasi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang ingin menggambarkan keadaan obyek yang diteliti apa adanya. Dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini juga bersifat eksploratif, yaitu berusaha menggali berbagai informasi terkait obyek yang diteliti berdasar alat/instrumen yang ada sehingga bisa menjadi bahan masukan dalam peningkatan efektivitas kelembagaan pelayanan di bidang investasi. Dalam kajian ini sampel pemerintahan daerah dipilih dengan menggunakan data hasil studi Komite Pemantauan Pelaksanaaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dari data KPPOD terpilih Kabupaten Gianyar dan Kota Batam yang mewakili peringkat A; Kabupaten Karanganyar dan Kota Malang yang mewakili peringkat B; Kabupaten Pontianak dan Kota Tasikmalaya yang mewakili peringkat C; Kabupaten Gorontalo yang mewakili peringkat D; dan Kota Sorong yang mewakili peringkat E. Dengan tanpa bermaksud menggeneralisir, pada daerah daerah tersebut dilihat antara lain bagaimana proses pelayanan di bidang investasi saat ini, bagaimana strategi dan usaha perbaikan dalam pelayanan publik, bagaimana persepsi masyarakat/pelaku usaha terhadap pelayanan publik bidang investasi, dan bagaimana pendapat key informant terhadap PTSP bidang investasi, untuk mengetahui beberapa hal terkait bidang pelayanan publik di bidang investasi dan penataan yang diperlukan. Metode pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan/kuesioner dan panduan wawancara terhadap key informant terpilih yang dianggap menguasai permasalahan yang ditanyakan. Juga dilakukan temukaji/lokakarya untuk mendapat masukan masukan dari narasumber dan peserta temukaji (check member). Untuk data sekunder dilakukan studi pustaka terhadap peraturan perundangan dan literatur terkait. Adapun temuan temuan dari kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagaimana diatur oleh Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, serta Permendagri No. 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, pada daerah daerah yang dijadikan lokasi penelitian telah menyusun unit pelayanan perijinan terpadu dengan nomenklatur yang beragam, seperti Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) dan Kantor Pelayanan Terpadu. Selain unit pelayanan perijinan terpadu, pada tiap tiap daerah juga memiliki unit yang menangani bidang penanaman modal baik berbentuk Badan, Kantor, Bagian, Bidang ii

atau Sub Bidang yang melekat pada salah satu organisasi perangkat daerah (OPD) seperti di Sekretariat Daerah atau Dinas dan Badan. 2. Kondisi tersebut di atas, keberadaan unit pelayanan terpadu dan unit yang menangani bidang penanaman modal, perlu diperhatikan pengaturannya seiring dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Perpres ini mengatur mengenai pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal di tingkat pusat maupun daerah, dimana pelaksana PTSP di bidang penanaman modal di tingkat daerah dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) untuk tingkat provinsi dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM) untuk tingkat kabupaten dan kota. Dengan pengaturan tersebut, PDPPM dan PDKPM mempunyai dua fungsi yaitu: 1) penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal, dan 2) menyelenggarakan fungsi koordinasi di bidang penanaman modal. Kedua fungsi tersebut, pada daerah daerah penelitian, saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda. Dengan terbitnya Perpres tersebut akan dapat lahir kondisikondisi sebagai berikut: a. Terjadi atau timbul PTSP bidang Penanaman Modal Plus, karena dilakukan penggabungan dua OPD yang menangani PTSP saat ini dan OPD yang menangani Penanaman Modal sehingga tugas dan fungsinya bukan hanya PTSP di bidang penanaman modal saja karena terdapat beberapa perijinan yang sifatnya di luar penanaman modal seperti ijin gangguan, ijin trayek dan sebagainya yang masih ditangani. b. Terjadi atau timbul beberapa PTSP yaitu PTSP yang menangani bidang penanaman modal dan PTSP non bidang penanaman modal. 3. Kondisi akan bertambah complicated (terutama bagi pemerintah daerah) seiring dengan diundangkannya Undang Undang (UU) No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, karena UU ini pada pasal 9 mengamanatkan dibentuknya PP yang mengatur tentang sistem pelayanan terpadu. Jika ini terjadi, maka akan ada tiga regime peraturan perundangan yang mengatur unit pelayanan terpadu di daerah, yaitu: a. Permendagri No. 24 Tahun 2006, PP No. 41 Tahun 2007, dan Permendagri No. 20 Tahun 2008 dengan leading sector nya yaitu Departemen Dalam Negeri. b. Perpres No. 27 Tahun 2009, dengan leading sector nya yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal c. UU No. 25 Tahun 2009, dengan leading sector nya yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi iii

Jika tidak ada koordinasi yang baik diantara para leading sector tersebut di atas, maka tujuan mulia dari dibentuknya unit pelayanan terpadu akan menjadi sia sia karena terjadi benturan peraturan perundangan dan menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah dalam penerapan kebijakan unit pelayanan terpadu. 4. Mengenai visi pemerintah daerah dalam model dan strategi perbaikan kelembagaan dalam pelayanan publik di bidang investasi ke depan, pada daerah daerah penelitian ditemukan hal hal sebagai berikut: a. Adanya kesadaran yang tinggi pada pemerintah daerah untuk memajukan penanaman modal/investasi di daerah. Mereka menyadari bahwa seiring dengan penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, kemajuan dan pembangunan di daerahnya harus ditopang oleh investasi baik dari dalam dan luar negeri. b. Adanya inovasi inovasi pada daerah penelitian baik yang bersifat kebijakan maupun kelembagaan, tata laksana dan sumberdaya aparatur untuk memberikan kemudahan dan pelayanan yang terbaik kepada para penanam modal. 5. Terkait dengan persepsi masyarakat/pelaku usaha terhadap pelayanan publik bidang investasi, secara umum berbagai pelayanan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah mendapatkan respon positif. Beberapa hal seperti kemudahan dalam pengurusan perijinan untuk berusaha, kecepatan, keterbukaan, dan kejelasan syarat dan prosedur layanan mendapat apresiasi dari masyarakat/pelaku usaha. Mereka melihat adanya perbedaan yang signifikan dalam pelayanan perijinan di bidang investasi dibandingkan dengan masa masa sebelum era otonomi daerah dan desentralisasi. Namun demikian, masih ada beberapa kekurangan pada pelayanan terpadu terutama jika dibandingkan dengan pelayanan investasi di negara lain seperti anggapan bahwa layanan investasi masih berbelit dan lama, fenomena percaloan, dan budaya kerja (disiplin) yang masih rendah. 6. Terkait kesiapan pemerintah daerah, secara umum mereka menyadari bahwa selama mereka tetap menjadi bagian dari NKRI, mereka akan mentaati seluruh kebijakan dari pemerintah pusat. Namun demikian, jika dilihat dari kesiapan/ketersediaan sumberdaya (pegawai dan anggaran) serta sarana dan prasarana yang tersedia maka secara umum pemerintah daerah menghadapi banyak kendala. 7. Dalam hal perubahan kebijakan di tingkat pusat, terkait dengan kesiapan pemerintah daerah, mereka menyadari dan akan mentaati seluruh kebijakan dari pemerintah pusat. Dalam kaitan ini, bahkan timbul pertanyaan dari pemerintah daerah mengenai kesiapan pemerintah pusat karena seringnya terjadi perubahan kebijakan dan tumpang tindih kebijakan antar departemen/instansi di pusat. Dari temuan tersebut direkomendasikan, iv

1. Terkait dengan adanya tiga regime peraturan perundangan yang mengatur unit pelayanan terpadu di daerah, yaitu: a. Permendagri No. 24 Tahun 2006, PP No. 41 Tahun 2007, dan Permendagri No. 20 Tahun 2008 dengan leading sector nya yaitu Departemen Dalam Negeri; b. Perpres No. 27 Tahun 2009, dengan leading sector nya yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal; dan c. UU No. 25 Tahun 2009, dengan leading sector nya yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Perlu dilakukan koordinasi dari berbagai pihak tersebut di atas untuk sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan pelayanan terpadu perizinan. Tanpa koordinasi yang baik, niat mulia dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui pelayanan terpadu akan sia sia karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih dan saling bertentangan. Daerah, yang selama ini menjadi ujung tombak pelayanan akan menjadi korban dari kurang harmonisnya pengaturan/kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, kodifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan pelayanan publik, pelayanan perizinan, dan pelayanan non perijinan perlu segera dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai produk peraturan perundangan yang selama ini telah dikeluarkan oleh semua pihak (intansi) di tingkat pusat sehingga bisa dinilai peraturan mana yang sudah tidak diperlukan dan peraturan apa yang perlu disusun dalam rangka peningkatan pelayanan terpadu. 2. Terkait dengan PTSP di bidang penanaman modal di tingkat daerah, pembentukan PTSP ini tidak dilakukan dalam ruang dan waktu yang kosong dimana saat ini sudah ada beberapa peraturan yang mengatur pelayanan terpadu dan daerah telah membentuk PTSP. Untuk itu, pengaturan PTSP di bidang penanaman modal perlu menyesuaikan dengan berbagai pengaturan yang telah ada, dan memperhatikan kondisi dan kebutuhan daerah. Adapun pola pengaturan PTSP di bidang penanaman modal di tingkat daerah dapat mengikuti pola pola yang ada dan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal ini cukup masuk akal jika dikaitkan dengan kinerja PTSP yang ada saat ini dan persepsi positif dari masyarakat dan pengusaha terhadap PTSP di daerah. Adapun pola pola tersebut adalah sebagai berikut: a. Pola pengaturan yang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar bisa dijadikan referensi ketika pola PTSP bidang Penanaman Modal Plus dipiih. BPPT Kabupaten Karanganyar menggabungkan fungsi OPD yang menangani PTSP dan OPD yang menangani Penanaman Modal ke dalam BPPT. b. Pola yang dikembangan oleh Kota Batam yang membentuk perizinan terpadu bukan sebagai lembaga struktural, Pusat Pelayanan Perizinan Usaha (One Stop Service) di sini lebih menunjukan sebagai tempat, juga bisa menjadi salah satu v

opsi dimana Badan Penanaman Modal menjadi koordinator dan sekretaris Pusat Pelayanan Perizinan Usaha secara ex officio dijabat oleh seorang kepala bidang di Badan Penanaman Modal. c. Sementara pola yang dikembangkan oleh daerah lain dimana OPD yang menangani PTSP dan OPD yang menangani Penanaman Modal dilakukan oleh organisasi yang berbeda dapat pula dipilih sebagai referensi. Dengan komitmen kuat dari kepala daerah dan koordinasi yang baik antara OPD yang menangani PTSP dan OPD yang menangani Penanaman Modal, proses layanan di bidang investasi dapat dilaksanakan dengan baik. Opsi yang timbul jika dilakukan penerapkan Perpres No. 27 Tahun 2009 secara kaku yang dapat menimbulkan beberapa PTSP yaitu PTSP yang menangani bidang penanaman modal dan PTSP non bidang penanaman modal, sebaiknya dihindari. Walaupun di beberapa daerah berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, namun kondisi (ketersediaan sumberdaya) dan kebutuhan daerah harus pula diperhatikan untuk menjaga tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya yang ada dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, dengan melihat adanya kesadaran yang tinggi pada pemerintah daerah untuk memajukan penanaman modal/investasi di daerah dan berbagai inovasi pada daerah penelitian baik yang bersifat kebijakan maupun kelembagaan, tata laksana dan sumberdaya aparatur untuk memberikan kemudahan dan pelayanan yang terbaik kepada para penanam modal, maka sudah saatnya bagi pemerintah untuk memberikan keleluasaan yang lebih dengan panduan dan kebijakan yang tepat bagi daerah dalam melaksanakan pelayanan terpadu. 3. Terkait dengan persepsi masyarakat/pelaku usaha terhadap pelayanan publik bidang investasi, walaupun secara umum berbagai pelayanan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah mendapatkan respon positif, ternyata masih berkembang persepsi kurang baik terutama jika dibandingkan dengan pelayanan investasi di negara. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang terus menerus untuk menghilangkan layanan investasi yang masih berbelit dan lama, fenomena percaloan, dan budaya kerja (disiplin) yang masih rendah. Selain itu, dengan berbagai kekurangan dalam hal sarana dan prasarana serta kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, diperlukan perbaikan yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. vi