Tugas Filsafat Ilmu (BI7101) Dosen : Intan Ahmad Ph.D. Pelanggaran Etik Pada Pelaksanaan Uji Klinis Produk Farmasi di Negara Berkembang Tinjauan Bioetika Oleh : Maharani (NIM. 30609006) SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2009
Pelanggaran Etik Pada Pelaksanaan Uji Klinis Produk Farmasi di Negara Berkembang Tinjauan Bioetika I. Pendahuluan Uji klinis dari produk farmasi yang akan beredar merupakan suatu kegiatan riset biomedis dengan memferifikasi secara klinis efek farmakodinamiknya untuk menjamin bahwa produk farmasi aman untuk digunakan dan/atau efikasinya memenuhi persyaratan. Uji klinis ini melibatkan subjek manusia yang berpartisipasi baik sebagai resipien dari produk farmasi yang diujikan maupun sebagai kontrol. Good Clinical Practice (GCP) merupakan standar etik dan kualitas keilmiahan dari desain, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan dari uji klinis yang melibatkan manusia sebagai subjek. GCP dijadikan sebagai standar yang digunakan untuk menjamin publik bahwa hak, keamanan, dan kondisi orang yang menjadi subjek uji klinis terlindungi sesuai Deklarasi Helsinki dan data yang didapat dari uji klinis dapat dipercaya [1]. Deklarasi Helsinki merupakan prinsip-prinsip etik yang dikembangkan oleh World Medical Association untuk memberikan panduan kepada para dokter dan partisipan lain pada riset medik yang melibatkan manusia sebagai subjek [2]. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) sebagai panduan lain menyatakan bahwa semua riset yang melibatkan manusia sebagai subjek riset harus dilaksanakan sesuai dengan tiga prinsip dasar etika yaitu adanya penghormatan terhadap manusia, rasa kedermawanan dan keadilan. Secara umum telah disepakati bahwa ketiga prinsip ini, yang secara ringkas memiliki kekuatan moral, menjadi petunjuk bagi pembuatan proposal studi sains yang sangat teliti dan berhati-hati. Pada kondisi yang beragam, prinsip-prinsip tersebut dapat terimplimentasi secara berbeda dengan tingkat kekuatan moral yang juga berbeda dan aplikasinya juga mungkin menghasilkan keputusan atau prosedur yang berbeda. Penghormatan terhadap manusia merupakan gabungan dari minimal dua pertimbangan dasar etika yaitu penghormatan terhadap hak otonomi seseorang dan perlindungan terhadap orang yang hak otonominya terganggu atau berkurang. Hak 1
otonomi seseorang memungkinkan orang tersebut untuk dapat mempertimbangkan sendiri secara mendalam keputusan yang akan diambilnya dengan juga menghormati ketetapan yang dipilihnya. Hak otonomi terganggu atau berkurang dapat diartikan bahwa orang tersebut tergantung dan rentan untuk mendapat penyalahgunaan perlakuan yang berakibat pada kerugian orang yang bersangkutan. Kedermawanan merupakan suatu kewajiban terhadap etika untuk memaksimalkan manfaat dan menimimalkan kerugian yang didapat. Prinsip kedermawanan akan mengarahkan resiko pelaksanaan riset akan berbuah manfaat yang diharapkan, desain riset akan diumumkan secara luas dan bahwa investigator sebagai pelaksana uji klinis memiliki kompetensi untuk melaksanakan riset dan menjaga kesejahteraan subjek riset. Lebih jauh lagi,kedermawanan melarang terjadinya kerugian yang diderita oleh orang sebagai subjek riset,dan dikenal sebagai nonmaleficence(do no harm). Keadilan berarti kewajiban terhadap etika untuk memperlakukan setiap orang dengan layak dan sesuai dengan ketentuan moral sehingga memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya. Etika yang berlaku pada riset yang melibatkan manusia sebagai subjek,secara utama,berpedoman pada keadilan yang merata dimana tercapai keseimbangan dari beban yang diberikan dengan keuntungan yang didapat oleh partisipan sebagai subjek riset. Keseimbangan ini menghindari adanya kerentanan seseorang untuk berada di posisi subordinat dari kelompok lain [3]. Dalam banyak contoh,negara berkembang sering dianggap sebagai tempat komunitas yang rentan terhadap penyalahgunaan uji klinis oleh negara-negara maju. II. Peraturan Internasional Yang Berhubungan Dengan Uji Klinis 2.1. Prinsip Dasar Deklarasi Helsinki 2.1.1. Riset Biomedis yang melibatkan manusia sebagai subjek harus memenuhi prinsip ilmiah yang telah diterima secara umum dan harus berdasar pada eksperimen yang dilakukan pada laboratorium dan hewan laboratorium yang memadai juga berdasarkan literatur ilmiah. 2.1.2. Desain dan pelaksanaan dari prosedur eksperimen yang melibatkan manusia sebagai subjek harus terformulasi dengan jelas dalam suatu 2
protokol yang telah mendapat tinjauan berupa pertimbangan, komentar dan petunjuk dari suatu komite independen. 2.1.3. Riset Biomedis yang melibatkan manusia sebagai subjek harus dilakukan hanya oleh orang yang memenuhi kualifikasi ilmiah dan dibawah pengawasan tenaga medis yang kompeten. 2.1.4. Riset Biomedis yang melibatkan manusia tidak dapat disahkan untuk dapat dilaksanakan kecuali bila kepentingan riset bersifat proposional dengan resiko yang mungkin timbul pada subjek. 2.1.5. Setiap riset Biomedis yang melibatkan manusia harus didahului dengan penilaian terhadap resiko yang bisa diprediksi dalam perbandingannya dengan keuntungan yang juga sudah dapat diduga terhadap subjek atau lainnya. 2.1.6. Hak dari subjek riset untuk perlindungannya harus dihormati. 2.1.7. Dokter tidak bisa melakukan riset kecuali bahaya yang mungkin terjadi dapat diprediksi. 2.1.8. Dalam mempublikasi hasil riset,dokter harus menjaga tingkat akurasi dari hasil riset tersebut. 2.1.9. Dalam riset yang melibatkan manusia, setiap subjek harus cukup mendapat informasi mengenai tujuan,metoda, keuntungan dan bahaya yang potensial terjadi dan akan menimbulkan ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi. 2.1.10. Pada saat mendapat persetujuan setelah pemberitahuan pada projek riset,dokter harus bersikap hati-hati terhadap kemungkinan subjek menyetujui karena adanya paksaan. 2.1.11. Pada keadaan ketidakmampuan legal, persetujuan setelah pemberitahuan harus didapat dari pendamping yang legal sesuai peraturan pemerintah. 2.1.12. Protokol riset harus selalu memuat pertimbangan-pertimbangan etik dan dinyatakan dengan jelas sesuai deklarasi yang berlaku. 3
2.2. CIOMS Guidelines Produk farmasi, sebelum disetujui untuk digunakan secara umum, harus dilakukan uji klinis,dimana uji ini merupakan bagian yang substansial dari riset keseluruhan dan melibatkan manusia sebagai subjek. Uji klinis harus memenuhi hal-hal pokok sebagai berikut: 2.1.13. Dasar kebenaran etik dan validitas ilmiah dari riset biomedis yang melibatkan manusia di dalamnya. 2.1.14. Komite etik. 2.1.15. Review etik terhadap sponsor luar. 2.1.16. Persetujuan setelah pemberitahuan bersifat perseorangan. 2.1.17. Pada perolehan persetujuan setelah pemberitahuan,kepada calon subjek riset harus diberikan informasi yang penting/pokok. 2.1.18. Pada perolehan persetujuan setelah pemberitahuan harus terdapat kewajiban-kewajiban tertentu dari sponsor dan investigator. 2.1.19. Dukungan finansial terhadap subjek. 2.1.20. Keuntungan dan resiko seimbang dengan resiko yang diminimalkan. 2.1.21. Mengutamakan adanya pembatasan resiko bagi subjek yang tidak memiliki kemampuan terhadap persetujuan setelah pemberitahuan. 2.1.22. Mengikuti panduan pada riset yang dilakukan pada populasi dan komunitas dengan sumber daya yang terbatas. 2.1.23. Pemilihan kontrol pada uji klinis. 2.1.24. Keseimbangan pada beban dan keuntungan pada proses seleksi kelompok subjek yang akan ikut serta pada riset. 2.1.25. Mengikuti panduan riset yang melibatkan orang-orang yang rentan untuk disalahgunakan. 2.1.26. Mengikuti panduan riset yang melibatkan anak-anak. 2.1.27. Mengikuti panduan riset yang melibatkan orang-orang yang dengan alasan mental dan gangguan perilaku tidak memiliki kemampuan untuk melakukan persetujuan setelah pemberitahuan. 2.1.28. Jaminan kerahasiaan data subjek. 4
2.1.29. Hak perawatan dan kompensasi dari subjek yang mengalami perlukaan akibat uji klinis. 2.1.30. Memperkuat kapasitas etik, review ilmiah dan riset biomedis. 2.1.31. Melaksanakan kewajiban etik oleh sponsor dari luar untuk melaksanakan pelayanan kesehatan. III. Kasus Pelanggaran Bioetika pada Uji Klinis 3.1.Uji Klinis Dipyrone di Thailand Tiga uji klinis dipyrone di Thailand telah menyita perhatian kelompok perlindungan konsumen sehubungan dengan permasalahan di dalamnya yang telah diketahui secara luas. Uji klinis pertama dilakukan di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk membandingkan kemanjuran pengurangan rasa sakit dan kemampuan toleran dari dipyrone (metamizole) dan pethidine pada pasien paska operasi appendix. Dua uji klinis lainnya dilakukan untuk membandingkan kemampuan mengurangi sakit antara dipyrone dan parasetamol (asetaminofen). Salah satu dari studi itu melibatkan 60 orang anak berusia antara 4-7 tahun yang mengalami demam (38.5 o C atau lebih). Sebelumnya dipyrone telah dilarang beredar di beberapa negara [4]. 3.2. Uji klinis AZT Pada tahun 1994,protokol ACTG 076 menunjukkan bahwa pengobatan dengan AZT lima kali sehari pada sebelas minggu sebelum melahirkan,pemberian secara intravena selama melahirkan dan pemberian pada bayi usia enam minggu akan mengurangi penularan HIV dari 25% menjadi 8%. Biaya pengobatan yang setidaknya sebesar $800,menyebabkan pengobatan ini kecil kemungkinan dilakukan oleh negara berkembang yang dibiayai sendiri. Dengan demikian uji klinis AZT dilakukan di negara berkembang dengan menggunakan plasebo untuk menjamin validitas uji.uji klinis ini juga mengundang banyak komentar [5] IV. Pembahasan Uji klinis dipyrone pertama di Thailand tidak sesuai dengan prinsip ilmiah karena ternayata identitas obat tidak ada, disamping juga jumlah pasien sebanyak 130 orang dianggap tidak mencukupi untuk menilai kemampuan toleran dari dipyrone. Kedua 5
hal tersebut telah melanggar prinsip dasar deklarasi Helsinki yaitu bahwa riset biomedis yang melibatkan manusia sebagai subjek harus memenuhi prinsip ilmiah. Tidak satupun dari ketiga uji klinis dipyrone di Thailand yang mengindahkan resiko terhadap subjek. Tingkat kesakitan akibat operasi apendiks tidak dapat digunakan untuk mengarahkan apakah subjek dapat terkena agranulositosis atau syok anafilaktik. Sementara kejadian syok yang timbul akibat suntikan dipyrone sendiri diperkirakan terjadi 1 dalam 5000. Hal ini merupakan pelanggaran deklarasi Helsinki karena uji klinis dipyrone ternyata tidak didahului dengan penilaian terhadap resiko yang mungkin timbul disamping juga resiko yang mungkin terjadi tidak sepadan dengan manfaat yang didapat. Seharusnya uji klinis ini tidak dapat disahkan. Perbandingan dari kemampuan antipiretik dari dipyrone (sudah dilarang beredar di beberapa negara) dengan parasetamol pada demam biasa tidak dapat dipertanggungjawabkan merupakan pelanggaran deklarasi Helsinki karena nampaknya uji klinis tidak dilakukan berdasarkan eksperimen yang dilakukan pada laboratorium dan hewan laboratorium yang memadai dan kemungkinan juga tidak berdasarkan literatur ilmiah. Hal ini juga melanggar guidelines CIOMS karena tidak terdapat kapasitas etik dan review ilmiah yang memadai. Pelanggaran berganda terjadi karena tidak satupun dari ketiga uji klinis tersebut dilaporkan pada komite review uji klinis dari rumah sakit yang bersangkutan. Pelanggaran pada guidelines CIOMS disebabkan oleh digunakannya subjek pada anak-anak yang tidak akan pernah dibenarkan untuk digunakan sebagai subjek penelitian bisa masih mungkin dilakukan pada orang dewasa. Menurut deklarasi Helsinki anak-anak berada dalam keadaan ketidakmampuan legal sehingga persetujuan setelah pemberitahuan harus didapat dari pendamping yang legal sesuai peraturan pemerintah. Hal penting lainnya adalah apakah subjek memberikan persetujuan mereka sebelum uji klinis dilakukan dan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kompensasi yang akan diberikan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena pelaksana penelitian dan perusahaan yang mensponsori menolak untuk membuat pernyataan secara umum mengenai validitas dari pekerjaan tersebut. Ketiga uji klinis didesain, diinisiasi dan disponsori oleh Hoescht,perusahaan berkelas dunia yang memproduksi dipyrone, pada saat yang sama saat kelompok 6
perlindungan konsumen di Thailand telah menyerukan penarikan dipyrone dari pasaran. Beberapa bulan sebelum kejadian di Thailand, Hoescht mendapat perintah dari Biro Obat dan Makanan Filipina yang melarang penggunaan dipyrone. Dipyrone telah beredar di pasaran lebih dari 65 tahun. Selama penyelidikan terhadap uji klinis ini dilakukan,para ahli Thailand menyatakan bahwa tidak pernah terjadi suatu perusahaan obat asing melaksanakan uji klinis yang tidak direview. Dalam hal ini analisa dan publikasi dari data seringkali diberikan seluruhnya kepada perusahaan sponsor. Nampaknya undang-undang mengenai uji klinis sudah sangat diperlukan. Undang-undang tersebut akan memastikan bahwa uji klinis harus terdaftar tidak hanya di negara dimana uji klinis berlangsung tetapi juga di negara di mana perusahaan sponsor berada. Uji klinis harus terbuka untuk publik peneliti yang peduli terhadap etik. Diharapkan jurnal medis dapat menghormati perjanjian Helsinki dan menolak untu mempublikasi uji klinis dipyrone diatas. Penggunaan plasebo pada uji klinis AZT juga menuai kritik tajam pada banyak literatur sejak tahun 1995, akan tetapi tidak ada tanggapan yang cukup berarti sampai akhirnya Public Citizens s Health Research Group mengkritisi uji klinis tersebut pada kongres dengar pendapat bioetik pada 8 Mei 1997. Kritik tertuju pada uji klinis AZT yang dilakukan di Uganda dan Thailand. Disampaikan bahwa lebih dari 1000 anak di negara berkembang akan meninggal sia-sia. Uji klinis ini didukung oleh NGO Family Health International yang mendapat masalah cukup berat akibat kritik ini. Juga didapat informasi bahwa pejabat negara berkembang itu sendiri,edward Mbidde pejabat dari Uganda s AIDS Research Committee mendukung terlaksananya uji klinis. Penggunaan plasebo dalam uji klinis ini dianggap telah melanggar deklarasi Helsinki dan guidelines CIOMS. Pada perkembangannya CIOMS melarang pelaksanaan uji klinis fase III di suatu negara yang tidak dibarengi dengan uji klinis di negara sponsor. Akan tetapi, tidak begitu mudahnya uji klinis ini dapat ditolak mengingat deklarasi Helsinki dan guidelines CIOMS dapat saja tidak sesuai dengan kondisi negara di mana uji klinis dilakukan.transmisi perinatal ini adalah suatu contoh bahwa revisi terhadap guidelines sudah diperlukan. Walaupun idealnya revisi 7
sudah dilakukan sebelum uji klinis dilaksanakan. Bahwa transmisi HIV pada bayi yang baru lahir adalah masalah besar di negara berkembang sehingga uji klinis tersebut bisa langsung dilaksanakan,juga tidak dapat dibenarkan walaupun mungkin nantinya akan memberikan manfaat bagi subjek. Pokok bahasan lain dari uji klinis AZT ini adalah bahwa uji klinis baru bisa disetujui bila para subjek sudah menyatakan persetujuannya untuk mengikuti uji klinis.pertanyaan selanjutnya adalah apakah subjek menyadari penjelasan yang sebenar-benarnya hingga mereka memutuskan untuk terlibat pada uji klinis atau hanya karena mereka melihat uji klinis sebagai solusi dari pengobatan yang menjanjikan. Dari uji klinis AZT ini didapat informasi bahwa subjek tidak cukup mengerti atas pemberitahuan yang disampaikan kepada mereka. Di Uganda sebagai contoh, seorang wanita bernama Nicole hanya mengetahui bahwa AZT dapat menghentikan transmisi virus selama masa kehamilan. Dia menyatakan bahwa informasi yang didapat menjelaskan bahwa AZT mampu melindungi bayi dan pelaksana uji klinis akan memantau kehamilannya serta keefektifan AZT. Pada saat ditanya bagaimana bila yang didapatnya adalah plasebo, nada bicara Nicole berubah menjadi kasar dan langsung mengatakan bahwa itu tidak adil. Seharusnya apabila komite etik mengangap bahwa penggunaan plasebo ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uji yang valid,maka harus ada jaminan bahwa pihak sponsor merupakan penanggung jawab utama terhadap hal tersebut. Prinsip etik dari kedermawanan dan keadilan dengan norma dan standar hak azasi manusia secara internasional menuntut adanya kewajiban dari peneliti, sponsor dan otorita kesehatan masyarakat. Hal ini termasuk pada ketentuan perlakuan pada subjek yang terlibat pada uji klinis vaksin,obat juga metoda dan teknologi baru dari upaya pencegahan serta kuratif suatu penyakit. Desain uji klinis vaksin seharusnya memenuhi standar pencegahan terhadap hal yang tidak diinginkan yang dapat diaplikasikan pada populasi dimana uji klinis dilakukan. Desain ini harus melalui review komite etik yaitu komite yang independen dan terdiri dari ahli medis, anggota saintifik medis maupun bukan medis, mereka yang bertanggung jawab kepada hak,keamanan dan kesehatan partisipan yang terlibat pada uji klinis dengan cara melakukan review,menyetujui dan memfasilitasi review yang berkesinambungan dari 8
protokol uji klinis,amandemen, metoda, dan material yang digunakan untuk mendapatkan dan mendokumentasikan persetujuan setelah pemberitahuan dari subjek [6] Uji klinis dilaksanakan berdasarkan dua hal penting yang harus melalui proses review yaitu saintifik dan etik. Review saintifik dari suatu proposal uji klinis mengevaluasi dasar pemikiran, metoda,hal yang diharapkan dari uji klinis dan pemenuhan dari prinsip etik yang telah dapat diterima secara universal. Pada beberapa kejadian, review tersebut,dilakukan di tempat yang jaraknya jauh dari komunitas tempat uji klinis dilakukan, subjek yang ikut serta dan pelaksana yang merawat subjek selama uji klinis berlangsung. Review etik dari proposal uji klinis menaksir nilai potensial dari uji tersebut, resiko subjeknya dan manfaat potensial kepada subjek dan pemenuhan uji terhadap hukum, regulasi serta standar dan norma etik yang berlaku. Pada umumnya review dlakukan pada tingkat yang berbeda-beda yaitu Ethical Review Committees (ERCs) dari sponsor, komisi etik Nasional dan komite lokal dari dari negara dimana uji klinis dilakukan. Walaupun review etik melibatkan komponen yang peduli pada uji klinis yang akan dilakukan,biasanya masih terdapat kekurangan dalam tercapainya kesepakatan diantara stakeholder mengenai standar perawatan dan perlakuan yang diterapkan pada uji klinis. ERCs lah yang berfungsi sebagai pelindung hak dan kesejahteraan dari subjek uji dengan menjamin bahwa protokol uji terimplementasi sesuai prinsip etik (otonomi,kedermawanan dan keadilan) serta menjamin bahwa protokol dijalankan sesuai dengan regulasi nasional maupun pnduan internasional [6]. Konsep Good Research Governance yang dibangun dari praktik riset yang terbaik dan standar etik dapat dilihat sebagai hasil dan juga sebagai proses. Hasil dari Good Research Governance dapat diringkas sebagai hasil terbaik dari perpaduan kualitas riset dan pemenuhan etik riset serta pemenuhan standar hak subjek. Proses dari Good Research Governance menegaskan bahwa pada setiap riset, perjanjian yang ditujukan untuk mendapat manfaat maksimal dan pemenuhan standar etik yang optimal harus didapatkan dari mekanisme yang telah diinformasikan,distrukturkan,dinegosiasikan, keikutsertaan dan bersifat transparan. 9
V. Daftar Pustaka [1] ICH Expert Working Group. (1996), International Conference On Harmonisation of Technical Requirements For Registration Of Pharmaceuticals For Human Use. Guideline For Good Clinical Practice E6 (R1). [2] Declaration of Helsinki. (1964), Recommendation Guiding Physicians in Biomedical Research Involving Human Subjects. [3] Council for International Organization of Medical Sciences. (2002), International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects, Geneva. [4] Prasert Kiatboonsri, Judith Richter. (1988),Unethical trials of dipyrone in Thailand. The Lancet, December 24/31. [5] Reidar K. Ethical issues in clinical trial collaboration with developing countrieswith special reference to preventive HIV vaccine trial with secondary endpoints, Norway. [6] Meeting report. (2007). Ethical considerations related to the provision of care and treatment in vaccine trials. ScienceDirect.Vaccine 25, 4863-4874. 10