Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

dokumen-dokumen yang mirip
Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 3 METODE PENELITIAN

PENGARUH TERAPI STEROID INTRANASAL PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI MAKASSAR

Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 4 METODE PENELITIAN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

DAFTAR PUSTAKA. Adams G., Boies L., Higler P., Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta:

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI

HUBUNGAN IMUNOTERAPI DOSIS ESKALASI TERHADAP PERUBAHAN RASIO IL-4/IFN- DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PENDERITA RINITIS ALERGI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu

Hubungan Klasifikasi Rinitis Alergi dengan Interleukin-5 pada Penderita Rinitis Alergi di RSUP. H. Adam Malik Medan

Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Perbedaan Imunoterapi Alergen Spesifik (ITS) dengan Vaksinasi BCG dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Rinitis Alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP KADAR IgE-TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial

Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

PERUBAHAN SKOR GEJALA TOTAL DAN KUALITAS HIDUP PASCA TERAPI LORATADIN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI

Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT- KL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. Nasal Scrapping Eosinophil As a Diagnostic Test for Allergic Rhinitis

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Mometasone furoate topikal menurunkan kadar IL3, IL9-serum dan jumlah eosinofil mukosa hidung penderita rinitis alergi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

Rinitis alergika adalah suatu kelainan gejala. Efektivitas dan Keamanan Kombinasi Terfenadin dan Pseudoefedrin pada Anak Rinitis Alergika

OBSERVASI KLINIS EKSTRAK KAPSUL BUAH MAHKOTA DEWA UNTUK PENGOBATAN DIABETES MELLITUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

128 Rinitis Alergi pada Anak

Eosinofil Mukosa Hidung Sebagai Uji Diagnostik Rinitis Alergi pada Anak

Maria Caroline Wojtyla P., Pembimbing : 1. Endang Evacuasiany, Dra., MS., AFK., Apt 2. Hartini Tiono, dr.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersinbersin,

SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. Sejak Agustus sampai November 2010 terdapat 197 pasien dengan suspek rinitis

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI (Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

ABSTRAK. Rhenata Dylan, Pembimbing I : Diana K. Jasaputra, dr., M.Kes Pembimbing II: Dr. Slamet Santosa, dr., M.Kes

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai derajad Magister Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

NIP : : PPDS THT-KL FK USU. 2. Anggota Peneliti/Pembimbing : Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K)

EFEKTIVITAS EDUKASI UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PENANGANAN RINITIS ALERGI

Transkripsi:

Laporan Penelitian Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi Rita Talango, Aminuddin, Abdul Qadar Punagi, Nani Iriani Djufri Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan gangguan fungsi hidung, terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE. Penggunaan kortikosteroid baik tunggal maupun kombinasi dengan antihistamin telah direkomendasikan oleh ARIA-WHO dan sering digunakan dalam penatalaksanaan RA. Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas terapi kombinasi flutikason furoat intranasal (FFI) dan loratadin oral (LO) dengan terapi tunggal FFI berdasarkan kadar eosinofil dan gejala klinis penderita RA. Metode: Uji klinik terbuka pada 4 penderita RA, dibagi menjadi 2 penderita pada kelompok pertama diberikan terapi kombinasi FFI dengan LO dan 2 penderita kelompok kedua diberikan terapi tunggal FFI. Pemeriksaan eosinofil dan gejala klinis dilakukan sebelum dan sesudah terapi. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon, Friedman dan Mann Whitney. Hasil: Terjadi penurunan kadar eosinofil dan gejala klinis secara signifikan (p<,5) pada kedua kelompok terapi, namun tidak ada perbedaan efektivitas secara signifikan (p>,5) antara kedua kelompok terapi. Kesimpulan: Terapi FFI tunggal maupun dikombinasikan dengan LO efektif menurunkan kadar eosinofil dan gejala klinis serta tidak ada perbedaan efektivitas, namun terapi kombinasi masih lebih baik dibanding terapi tunggal. Kata kunci: rinitis alergi, flutikason furoat intranasal, loratadin oral ABSTRACT Background: Allergic rhinitis (RA) is a symptomatic disorder of the nose induced by IgE mediated inflamation. Corticosteroid alone or in combination with antihistamine have been recommended by the ARIA-WHO and is often used in the management of RA. Purpose:

1 To compare the effectiveness of a combination therapy of intranasal fluticasone furoate (IFF) and oral loratadine (LO) with a single therapy of IFF, based on the levels of eosinophils and clinical symptoms patients with RA. Method: Open clinical trial with 4 of patients divided into two groups 2 patients was given a combination therapy and 2 patients was given only IFF. The level of eosinophils and clinical symptoms were examined before and after therapy. Data were analyzed using the Wilcoxon, Friedman and Mann Whitney tests. Results: Showed decrease in eosinophils level and clinical symptoms were significant (p<.5) in both treatment groups, but there was no significant difference (p>.5) in the effectiveness between both treatments. Conclusion: Therapy with IFF, alone or combined with LO were effective to decrease the level of eosinophils and clinical symptoms and there was no difference in efficacy, but still combination therapy is better than single therapy. Keywords: allergic rhinitis, intranasal fluticasone furoate, oral loratadine Alamat korespondensi: Rita Talango, Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FKUNHAS, Makassar. E- mail: rita.talango@yahoo.com PENDAHULUAN Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh adanya lge pada mukosa hidung dengan gejala-gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Dewasa ini rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai 1 25% populasi di seluruh dunia di mana prevalensinya terus meningkat. 1 Meskipun rinitis alergi bukan suatu penyakit yang amat serius, namun secara signifikan berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan produktivitas kerja, prestasi di sekolah dan aktivitas sosial, bahkan penderita dengan alergi berat dan lama dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi. 2,3 Penanganan rinitis alergi pada dasarnya adalah mengatasi gejala rinitis alergi akibat reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Penanganan lini pertama adalah dengan pemberian antihistamin. Pilihan terapi medikamentosa lain yang dapat mengatasi gejala alergi pada RAFC dan RAFL adalah dengan kortikosteroid. Dalam pedoman penatalaksanaan rinitis alergi dengan kortikosteroid ini, ARIA- WHO merekomendasikan penggunaannya pada rinitis alergi intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten sedang berat, baik pemberian intranasal secara

1 tunggal maupun kombinasi dengan antihistamin oral. 4,5 Penelitian efektivitas pemberian kombinasi kortikosteroid dengan antihistamin pernah dilakukan oleh Lorenzo et al, 6 Barnes et al 7 dan Ratner et al 8, yang hasilnya menunjukkan pemberian kombinasi flutikason dan antihistamin oral tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Penelitian flutikason secara tunggal dilakukan oleh Keiser et al, 9 Baroody et al 1 dan Philpot et al 11 dan didapatkan flutikason efektif dalam penanganan gejala rinitis alergi. Hasil penelitian di atas menimbulkan pertanyaan apakah pemberian kortikosteroid intranasal tunggal sudah cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergi dan apakah pemberian secara kombinasi antara kortikosteroid intranasal dengan antihistamin masih diperlukan sebagaimana rekomendasi ARIA-WHO? Berdasarkan hal tersebut, penelitian tentang perbandingan efektivitas antara kombinasi flutikason furoat dan loratadin oral dengan flutikason furoat tunggal berdasarkan pemeriksaan kadar eosinofil mukosa hidung dan gejala klinis penderita rinitis alergi menjadi penting. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan klinis pemilihan jenis terapi standar yang rasional pada penatalaksanaan rinitis alergi. METODE Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis terbuka (open clinical trial). Populasi penelitian adalah pasien rinitis alergi yang datang berobat ke tempat penelitian dilakukan. Sampel penelitian adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi berupa bebas obat antihistamin, kortikosteroid dan dekongestan minimal 7 hari, berusia 17 sampai dengan 6 tahun, tidak pernah mendapat imunoterapi dan bersedia untuk mengikuti penelitian dan menyelesaikan penelitian sampai akhir. Sampel akan dieksklusi apabila ada dermatografism (+), riwayat operasi hidung, menderita polip nasi, deviasi septum nasi, tumor sinonasal dan nasofaring, menderita ISPA dalam dua minggu terakhir dan menderita rinitis alergi intermiten ringan ARIA-WHO. Jumlah sampel adalah sebanyak 4 penderita rinitis alergi dan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Dua puluh penderita pada kelompok pertama diberikan terapi kombinasi flutikason furoat intranasal (FFI) dengan loratadin oral (LO) dan 2 penderita pada kelompok kedua diberikan terapi tunggal flutikason furoat intranasal (FFI). Sebelumnya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan THT. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tes alergi dengan cara uji cukit kulit (prick test) terhadap

2 alergen inhalan. Hasil dikatakan (+) bila skor hipersensitivitas (+3) dan (+4). Setelah pasien dinyatakan memenuhi kriteria sampel penelitian, dilakukan penentuan skor gejala klinis rinitis alergi dan pemeriksaan kadar eosinofil mukosa hidung. Penentuan skor gejala klinis dilakukan menurut Okuda 12 dengan cara penderita diberikan format penilaian dan diminta untuk menilai gejala pokok rinitis alergi yaitu bersin, rinore, gatal hidung dan hidung tersumbat. Pemeriksaan kadar eosinofil mukosa hidung dilakukan dengan kerokan mukosa hidung dan pewarnaan dengan cara Haenzel. 13 Hasil dinyatakan negatif (skor ) bila dengan pemeriksaan mikroskopis tidak dijumpai eosinofil, positif (+1) atau skor 1 bila ditemukan1-15 eosinofil per 1 lapangan pandang, positif (+2) atau skor 2 bila ditemukan 16-3 eosinofil, positif (+3) atau skor 3 bila ditemukan 31-45 eosinofil dan positif (+4) atau skor 4 bila ditemukan lebih dari 46 eosinofil. 12,13 Setelah dilakukan pemeriksaan gejala klinis dan eosinofil mukosa hidung, sampel secara berurutan ditempatkan pada kedua kelompok terapi dan dilakukan pemeriksaan gejala klinis setiap minggu selama empat minggu terapi, serta pemeriksaan eosinofil pada akhir minggu keempat terapi. Data dikumpulkan dan dikelompokkan kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan pemilihan metode statistik yang sesuai, yakni dengan uji Friedman, Wilcoxon dan uji Mann Whitney U. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan distribusi frekuensi. HASIL Penelitian ini dilakukan pada 4 penderita rinitis alergi yang datang berobat ke poliklinik THT RS. Wahidin Sudirohusudo dari bulan Februari Juli 211 yang memenuhi syarat sampel penelitian. Dari sejumlah sampel tersebut didapatkan proporsi laki-laki dan perempuan hampir sama banyak, pada kelompok terapi tunggal laki-laki sebanyak 8 orang (4%) dan perempuan sebanyak 12 orang (6%), sedangkan untuk kelompok terapi kombinasi laki-laki sebanyak 11 orang (55%) dan perempuan sebanyak 9 orang (45%). Distribusi terbanyak pada kelompok umur 18-3 tahun yaitu sebanyak 9 orang (45%) pada kelompok terapi tunggal dan 1 orang (5%) pada kelompok terapi kombinasi. Pada tabel 1 terlihat hasil pemeriksaan kadar eosinofil mukosa hidung sebelum terapi pada kedua kelompok yang sebagian besar berada pada skor 3. Setelah terapi terjadi penurunan skor pada masing-masing kelompok dengan sebagian besar berada

3 pada skor 1, penurunan terbesar pada kelompok terapi kombinasi FFI dengan LO yakni sebesar 9%. Tabel 1. Pemeriksaan eosinofil mukosa hidung sebelum dan setelah terapi FFl tunggal dan terapi kombinasi FFI dengan LO Terapi FFI tunggal Kelompok terapi Skor ( eosinofil) Skor 1 (1-15 eosinofil) Skor 2 (16-3 eosinofil) Skor 3 (31-45 eosinofil) Skor 4 (>45 eosinofil) Terapi kombinasi FFI dan LO Skor ( eosinofil) Skor 1 (1-15 eosinofil) Skor 2 (16-3 eosinofil) Skor 3 (31-45 eosinofil) Skor 4 (>45 eosinofil) Jumlah sampel Ssbelum terapi Jumlah sampel setelah terapi n % n % 5 15 3 17 25 75 15 85 15 4 1 18 2 75 2 5 9 1 Berdasarkan uji Wilcoxon, kedua kelompok terapi efektif dalam menurunkan kadar eosinofil (p<,5), namun berdasarkan uji perbandingan antara kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi diperoleh nilai probabilitas uji Mann Whitney U tidak signifikan yakni sebesar,435 dan,24. Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas antara kedua kelompok. Pada gambar 1 terlihat grafik perbandingan penurunan rata-rata skor gejala klinik mingguan dari awal hingga akhir terapi untuk semua gejala klinik. Skor bersin Skor rinore

1 Skor gatal hidung Skor hidung tersumbat Keterangan : = FFI = FFI dan LO Gambar 1. Grafik perbandingan penurunan gejala klinis rinitis alergi setelah terapi FFI tunggal dan terapi kombinasi FFI dengan LO Pada grafik ini terjadi penurunan skor gejala untuk masing-masing kelompok terapi, dengan penurunan gejala terbesar terjadi pada minggu pertama, meskipun demikian nilai penurunan skor gejala klinis tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan uji Mann Whitney U yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Perbandingan skor gejala klinis pra dan pascaterapi tunggal FFI dan terapi kombinasi FFI dengan LO

1 Terapi dan kelompok terapi Pra terapi Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 n Uji Mann Whitney U Bersin Rinore Gatal hidung H. Tersumbat Me p Me P Me p Me p,62 19,5,53 19,,218 2,5 1, FFI 2 18, FFI+LO 2 23, 21,5 22, 2,5 FFI 2 22,85 22,95 23,5 22,75,131,118,13 FFI+LO 2 18,15 18,5 17,95 18,25 FFI 2 23,13 23,5 22,68 21,78,94,13,134 FFI+LO 2 17,88 17,95 18,33 19,23 FFI 2 21,85 21,85 21,4 2,95,351,351,521 FFI+LO 2 19,15 19,15 19,6 2,5 FFI 2 21,95 22,9 21,48 21,95,314,74,485 FFI+LO 2 19,5 18,1 19,53 19,5,142,38,739,235 Adapun efek samping yang ditemukan pada kedua kelompok adalah efek samping ringan berupa keluhan sefalgia pada 1 sampel (5%) untuk masingmasing kelompok dan keluhan rasa kering pada hidung ditemukan 1 sampel (5%) pada kelompok terapi tunggal dan 2 sampel (1%) pada kelompok kombinasi. DISKUSI Telah dilakukan penelitian perbandingan efektivitas antara terapi tunggal flutikason furoat intranasal (FFI) dengan terapi flutikason furoat intranasal (FFI) dikombinasikan dengan loratadin oral (LO). Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 4 sampel terdiri atas 19 sampel (47,5%) laki-laki dan 21 sampel (52,5%) perempuan, dengan rasio perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1,1. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Soediro 14 di RS Hasan Sadikin Bandung yang melaporkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1:1,3. Dari kepustakaan dikatakan secara umum bahwa distribusi jumlah penderita rinitis alergi sama pada perempuan dan laki-laki. Dari 4 sampel penelitian ini, didapatkan distribusi terbanyak adalah pada kelompok umur 18-3 tahun. Hasil penelitian ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Tjahyadewi 15 bahwa dari 3 sampel penelitiannya penderita rinitis alergi dengan usia rerata 29 tahun, serta penelitian Alimah 13 yang melaporkan distribusi kelompok penderita rinitis alergi berada pada kelompok umur 2-29 tahun. Dari studi epidemiologi disebutkan prevalensi rinitis alergi mencapai puncaknya pada umur dewasa muda, usia produktif dan menurun drastis setelah umur 4 tahun. Hal ini karena pada usia tersebut lebih banyak berada di lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang mudah

1 terpajan aeroalergen seperti lingkungan pekerjaan, area sekolah ataupun tempat belajar berdebu dengan ventilasi ruangan yang kurang baik. 13,16,17 Pemeriksaan eosinofil mukosa hidung dilakukan untuk menentukan jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi diberikan. Hasil pemeriksaan menunjukkan walaupun tidak ada perbedaan efektivitas secara signifikan di antara kedua kelompok terapi, namun masing-masing kelompok terapi efektif dalam menurunkan jumlah eosinofil dan masing-masing kelompok menunjukkan nilai yang signifikan. Hasil pemeriksaan ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Tjahyadewi 16 yang mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid intranasal efektif dalam menurunkan eosinofil mukosa hidung penderita rinitis alergi. Perbaikan gejala ini dimungkinkan karena efek kortikosteroid pada flutikason furoat intranasal ditambah efek antihistamin pada loratadin menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil sehingga mencegah terbentuknya IgE oleh sel B, sehingga produksi mediator seperti histamin yang menyebabkan gejala dan reaksi inflamasi pada hidung segera berkurang serta mengurangi infiltrasi eosinofil dan berakibat pada penurunan jumlah eosinofil di mukosa hidung. Dengan demikian penelitian ini turut memperkuat peran penting eosinofil dalam proses inflamasi pada RAFC dan RAFL. Pada penentuan skor gejala klinis rinitis alergi pada kedua kelompok terapi memperlihatkan efektivitas penurunan gejala klinis, namun tidak ada perbedaan efektivitas yang bermakna di antara keduanya. Hal yang sama juga didapatkan oleh Ratner et al 8 bahwa pemberian flutikason intranasal baik secara tunggal maupun kombinasi dengan antihistamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Dengan demikian flutikason furoat intranasal sebagai kortikosteroid topikal baik terapi tunggal maupun kombinasi dengan antihistamin dapat menekan jumlah eosinofil dan sel-sel inflamasi pada rinitis alergi dan akhirnya akan menekan gejala rinitis alergi seperti yang terlihat pada akhir penelitian, di mana terjadi penurunan jumlah eosinofil hidung yang signifikan pada kedua kelompok dan penurunan skor gejala klinis secara signifikan pada kedua kelompok, walaupun terapi kombinasi FFI dengan LO secara umum masih lebih baik seperti yang terlihat dari perbedaan nilai skor jumlah eosinofil dan skor gejala klinis pada minggu pertama setelah terapi. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan antara lain

2 efektivitas, kemudahan dalam pemakaian obat dan penerimaan pasien terhadap kemungkinan efek samping obat. Untuk penerimaan pasien dengan pemberian selama empat minggu menunjukkan keamanan terapi baik secara tunggal maupun kombinasi yang terlihat dari minimalnya efek samping dari kedua kelompok tersebut. Efek samping yang ditemukan adalah sefalgia, masing-masing kelompok sebanyak 1 sampel serta rasa kering pada hidung ditemukan 1 sampel pada kelompok terapi FFI tunggal dan 2 sampel pada kelompok kombinasi FFI dan LO. Dapat diambil kesimpulan bahwa terapi flutikason furoat intranasal baik pemberian tunggal maupun kombinasi dengan loratadin oral terbukti efektif dalam menurunkan kadar eosinofil mukosa hidung dan gejala klinis penderita rinitis alergi. Namun demikian tidak terdapat perbedaan efektivitas antara terapi kombinasi FFI dan LO dibandingkan dengan terapi FFI tunggal, walaupun kombinasi FFI dan LO terlihat masih lebih baik dibanding FFI tunggal terutama pada minggu pertama, sehingga disarankan kombinasi FFI dengan LO untuk tetap diberikan kepada penderita rinitis alergi terutama pada minggu pertama terapi dengan tetap mempertimbangkan rekomendasi dari ARIA-WHO 21. DAFTAR PUSTAKA 1. Quraishi SA, Davies MJ, Craig TJ. Inflamatory responses in alergic rhinitis: traditional approaches and novel treatment strategies. JAODA 24; 14(5 suppl):57-s15. 2. Rolan P, McCluggage CM, Sciinneider GW. Evaluation and management of allergic rhinitis: a guide for family physicians. Texas Acad Fam Physic 21; 1-15. 3. Virant FS. Allergic rhinitis. Immunol Allergy Clin North Am 2; 2(2):265-82. 4. Durham SR. Mechanisms and treatment of allergic rhinitis. In: Kerr AG, editor. Scott-Brown s otolaryngology rhinology. 6 th ed. Oxford: Butterworth Heinemann; 1997. p. 461-3. 5. Bousquet J, Cauwenberge PV, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) in collaboration with the WHO. J Allergy Clin Immunol 21; 18:S147-336. 6. Di Lorenzo G, Pacor ML, Pellitteri ME, Morici G, Di Gregoli A, Lo Bianco C, et al. Randomized placebocontrolled trial comparing fluticasone aqueous nasal spray in mono-therapy, fluticasone plus cetirizine, fluticasone plus montelukast and cetirizine plus

3 montelukast for seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 24; 34(8):259-67. 7. Barnes ML, Ward JH, Fardon TC, Lipworth BJ. Effects of levocetirizine as add-on therapy to fluticasone in seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 26; 36(5):676-84. 8. Ratner PH, van Bavel JH, Martin BG, Hampel FC, Howland WC 3 rd, Rogenes PR, et al. A comparison of the efficacy of fluticasone propionate aqueous nasal spray and loratadine, alone and in combination, for the treatment of seasonal allergic rhinitis. J Fam Pract 1998; 47:118-25. 9. Kaiser HB, Naclerio RM, Given J, Toler TN, Ellsworth A, Philpot EE. Fluticasone furoate nasal spray: a single treatment option for the symptoms of seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 27; 119(6):143-7. 1. Baroody FM, Shenaq D, DeTineo M, Wang J, Naclerio RM. Fluticasone furoate nasal spray reduces the nasalocularreflex: a mechanism for the efficacy of topical steroids incontrolling allergic eye symptoms. J Allergy Clin Immunol 29; 123(6):1342-8. 11. Philpot E, Toler T, Wu W. Pilot study of fluticasone furoate nasal spray administered once daily in subjects with irritant (non-allergic) rhinitis triggered by air pollution. J Allergic Clin Immunol February 21. 12. Okuda M, Ishikawa T, Saito Y, Shimizu T, Baba S. A clinical evaluation of N-5 with perennial type allergic rhinitis: a test multi-clinic, intergoup, double blind comparative method. Ann Allegy 1984; 53;178-85. 13. Alimah Y. Hubungan jumlah eosinofil mukosa hidung dengan gejala rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO 21. Karya Akhir Pendidikan Dokter Spesialis I THT. Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin; 25. 14. Soediro M, Madiadipoera T. Pemeriksaan sitologi hidung pada pasien rinitis dengan pengecatan Romanowsky. Bandung: FK Unpad; 23. h. 1-2. 15. Mygind N, Nielson LP, Hoffmann HJ, Shukla A, Blumberga G, Dahl R, et al. Mode of action of intranasal corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 21; 18 Suppl:16-24. 16. Tjahyadewi S. Efektivitas klinik penggunaan triamicinolone acetonide 22mg dan 11mg semprot hidung pada penderita rinitis alergi perenial. Tesis Magister Biomedik. Semarang: Pascasarjana Undip; 23.

4 17. Sumarwan I. Strategi rasional pengelolaan rinitis alergis perenial: ditinjau dari aspek mediator, sitokin dan molekul adhesi. Makalah Simposium allergic and quality of life. Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad; 2:17.