BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Pajak Menurut Para Ahli

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para

Subjek Pajak PPh Pasal 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh wajib

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Secara Umum

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,S.H. (Waluyo, 2000 : 2), pajak

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 BAB IV

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Catatan: - Untuk Point 1, 3, 4 dan 5 dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 20% (Dua puluh persen).

2.1 Definisi Pajak. Landasan Teori. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

Landasan Hukum: Pasal 23 UU PPh PMK No. 244/ PMK.03/ 2008

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB III KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF EFEKTIF DALAM PEMUNGUTAN PPh PASAL 23 ATAS JASA LAIN

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23. Jenis Penghasilan. Jumlah Penghasilan Bruto

BAB II LANDASAN TEORI. Inggris disebut Administration artinya To Serve, yaitu melayani

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN. Pajak merupakan kewajiban rakyat untuk memberikan sebagian harta

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

Tinjauan Atas Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Pada PT. Indonesia Power UBP Saguling

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1)

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (Mardiasmo, 2013: 1) adalah

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB II BAHAN RUJUKAN

Repositori STIE Ekuitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB II LANDASAN TEORI

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah. BAB IV PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

BAB II. Tinjauan Pustaka. Menurut Rochmat Soemitro yang di kutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-Cuma).

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

BAB II LANDASAN TEORI. untuk menyerahkan sebagian kekayaan Negara karena suatu keadilan,

Perpajakan Bagi Koperasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-70/ PJ. / 2007 TANGGAL : 9 April 2007

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ.

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II BAHAN RUJUKAN

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB 1 PERPAJAKAN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) kehidupan masyarakat khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut S.1 Djajadiningrat (Mardiasmo, 2003:1), pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum. Sedangkan menurut Rochmat Soemitro (2006:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)dengan tidak mendapatkan jasa timbal (Kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 6

2.1.2 Macam - Macam Pajak Terdapat seribu satu macam pajak yang berlaku di dunia ini berikut ini adalah macam macam pajak yang terdapat di Indonesia yang sedang berlaku saat ini (Markus, 2005:1). a) Pajak Daerah (Wewenang pemajakannya berada di tangan pemerintah daerah). 1) Pajak Provinsi Contoh PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dan Kendaraan di Atas air, PBBKB (Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2) Pajak Daerah Kabupaten/Kota Contoh PHR (Pajak Hotel dan Restoran), Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir. b) Pajak Pusat (Wewenang pemajakan berada ditangan pemerintah pusat ). Contoh: PPh (Pajak Penghasilan), Bea Masuk, Cukai Tembakau dan Ethil Alkohol beserta Hasil Perolehannya, PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Merah) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). 7

2.1.3 Fungsi Pajak Pada umumnya, undang-undang pajak didesain untuk mendorong dan meningkatkan bentuk kerjasama, dimana dalam suatu pajak terdapat beberapa fungsi pajak dengan cara pengklasifikasian. Menurut (Mardiasmo, 2009:1) fungsi pajak dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu : 1) Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang di peruntukan bagi pembiayaan pengeluaran pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh adalah dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2) Fungsi Mengatur (Regulerent) Pajak yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contohnya adalah pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras, pajak yang dikenakan atas barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsuntif, tarif pajak ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.2 Pajak Penghasilan Undang-Undang no.7 tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali dirubah dengan Undng-Undang No.36 Tahun 2008. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dalam Mardiasmo 8

(2011) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-udang PPh disebut wajib pajak. Wajib pajak kenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak dan atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai dan berakhirnya dalam tahun pajak (Mardiasmo,2011). 2.2.1 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Sebelum tahun 1984, pelaksanaan Pajak Penghasilan di Indonesia menggunakan undang-undang pajak warisan kolonial, ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Selanjutnya pada tahun 1983 dilakukan reformasi dibidang perpajakan yang menghasilkan beberapa undang-undang perpajakan, salah satunya adalah undang-undang no 7 tahun 1983 tentang Pajak penghasilan yang mulai pada 1 Januari 1984. Undang-undang tersebut telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang: a. Nomor 7 tahun 1991 tentang perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. b. Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. c. Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghsilan. d. Dan yang terakhir nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak Penghasilan. 9

2.2.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 a. No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir UU no.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23. b. PMK244/PMK 03/2008 tentang jenis jasa lain c. SE 53/PJ/2009 tentang penjelasan PPH 23 d. SE 35/PJ/2010 tentang Pengertian Jasa Teknik, Jasa Manajemen. 2.2.3 Tata Cara Pemungutan Pajak Untuk tata cara pemungutan pajak sendiri itu ada tiga yaitu : a. Stesel Nyata/ Riil Yaitu pengenaan pajak di dasarkan pada (objek penghasilan nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui : Kelebihan Kelemahan : Pajak dikenakan lebih realistis : Pajak baru dikenakan pada akhir periode b. Stelsel Anggapan Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Kelebihan : Pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu sampai akhir tahun. Kelemahan : Pajak dibayarkan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya. 10

c. Stelsel Campuran Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun pembayaran didasarkan dan disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. 2.2.4 Sistem Pemungutan Pajak Menurut (Mardiasmo, 2011:7) terdapat 3 sistem pemungutan pajak yaitu : a. Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah : 1) Pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak. 2) Wajib pajak bersifat pasif, dan 3) Hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak. b. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya adalah: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 11

2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. 2.2.5 Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelengara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 2.3 Pemotongan dan Penyetoran Pajak 2.3.1 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 ( Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah 12

a. Badan Pemerintah Tidak ada penjelasan dalam, Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti badan pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimagsud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah Negara Republik Indonesia dan Pemerintah Dearah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotong PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah. b. Subjek Pajak badan dalam negeri Subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di ndonesia. Istilah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan sendiri berdasarkan pasal 2 ayat (1) hurup b undangundang pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,dana pensiun,persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasimassa, organisasi sosial politik, atau 13

organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. c. Penyelenggara Kegiatan Penyelengara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukan, perlombaan, seminar, dan lain-lain. d. Bentuk Usaha Tetap e. BUT adalah bagian dari subjek pajak luar negeri yang mlakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, penentuan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undangundang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapn puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel dan lain-lain. 14

f. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia jugamerupakan pemotong PPh pasal 23. Contohnya adalah Representative office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. 2.3.2 Pihak Yang Dipotong pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang pajak Penghasilan, penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak badan dalam negeri ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan. 2.3.3 Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan yang dipotong serta tarif Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebagai berikut: a. 15% dari jumlah bruto atas; 1) Dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti. 2) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21 b. 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan atau bangunan. c. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan d. 2%dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yaitu : 1. Jasa Penilai, 15

2. Jasa Aktuaris, 3. Jasa Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan, 4. Jasa Perancang, 5. Jasa Pengeboran di bidanng migas kecuali yang dilakukan oleh BUT. 6. Jasa Penunjang di bidang penambangan migas, 7. Jasa Penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas, 8. Jasa Penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara, 9. Jasa penebangan hutan, 10. Jasa pengolahan limbah, 11. Jasa penyedia tenaga kerja, 12. Jasa perantara dan/atau keagenan, 13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan KSEI dan KPEI, 14) Jasa kustodian /penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI, 15) Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara, 16) Jasa mixing film, 17) Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan, 18) Jasa instalasi / pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di 16

bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, 19) Jasa perawatan / pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,ac, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, 20) Jasa maklon, 21) Jasa penyelidikan dan keamanan, 22) Jasa penyelenggaraan kegiatan atau even organizer, 23) Jasa pengepakan, 24) Jasa penyedian tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar negeri atau media lainnya untuk penyampaian informasi, 25) Jasa pembasmian hama, 26) Jasakebersihan atau cleaning service, 27) Jasa katering atau tata boga. Sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPH pasal 23. 17

Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimagsud diatas tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimagsud di atas. 2.3.4 Pengecualian Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah: a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, b. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dan penyertaan modal badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat, 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, 2) Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor, d. Deviden yang diterima oleh orang pribadi, e. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kntrak investaso kolektif. 18

f. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya. g. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan. 2.4 Tata cara Penyetoran PPh Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan dalam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. Pemotongan PPh Pasal 23 wajib Pajak memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT tahunannya. 19

Apabila masa pajak telah berakhir,pemotong PPh pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tertentu. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh 23/26 ke Kntor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 November 2010. Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang di tetapkanoleh Pemerintah. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima 20

pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak. 2.5 Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotong PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutng dalam tahun tersebut yang nntinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotongan PPh pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan pajak tempat wajib pajak Pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama (dua puluh) hari setelah Masa pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010. 2.6 PPh Pasal 23 atas Jasa Sewa Sewa (rent expense) atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Dalam 21

artikel ini, kita akan membahas mengenai pengertian sewa, tarif PPh Pasal 23 dan DPP atau dasar pengenaan pajaknya. 2.6.1 Pengertian Sewa. Dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-35/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010, Dirjen Pajak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata sewa adalah penghasilan atau imbalan sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu, baik dengan perjanjian tertulis maupun lisan, sehingga harta tersebut hanya digunakan oleh penerima hak (penyewa) selama jangka waktu yang telah disepakati. Penjelasan ini diharapkan dapat menghilangkan perdebatan yang selama ini sering terjadi, misalnya dalam soal sewa gudang dengan jasa penitipan/ penyimpanan, jasa angkutan umum kendaraan dengan sewa (charter) kendaran, dan beberapa transaksi sejenis. 2.6.2 Objek, Tarif dan DPP PPh Pasal 23 1) Objek PPh Pasal 23 Sewa harta (rent expenses) yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah imbalan sewa yang terhutang atau kita bayarkan kepada Subjek Pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupun badan dan kepada BUT ( bentuk usaha tetap atau permanent establishment). 2) Tarif dan DPP Tarif PPh Pasal 23 atas sewa harta ditetapkan sebesar 2% dengan ketentuan jika si penerima imbalan sewa tidak memiliki NPWP, maka tarinya dinaikkan menjadi 4% [Pasal 23 ayat (1a)UU PPh]. Ssedangkan yang menjadi DPP adalah jumlah bruto sewa, dalam 22

bentuk apapun ( barang atau uang). Dengan demikian, PPh Pasal 23 atas sewa harta dihitung= 2% (4%) dikalikan ddengan jumlah broto imbalan sewa. 2.6.3 Pengecualian Tidak semua imbalan sewa (rent expenses) harus dipotong PPh Pasal 23. Berikut ini jenis sewa yang tidak dipotong PPh Pasal 23, yaitu : 1. Imbalan sewa yang dibayarkan atau terutang kepada perbankan yang berstatus Subjek Pajak dalam negeri (Pasal 23 ayat (4) UU PPh) 2. Imbalan sewa tanah maupun bangunan, karena khusus untuk imbalan sewa ini ditetapkan sebagai objek pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) oleh Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun1996 stdd Peraturan Pemerintah Nomor 5 ahun 2002; 3. Imbalan sewa kapal laut, yang dibayarkan atau terutang kepada pihak yang mempunyai surat izin usaha dibidang pelayaran atau pengangkutan di laut. Sebab khusus untuk sewa ini ditetapkan sebagai objek PPh Pasal 15 sesuai Keputusan menteri Keuangan (KMK) Nomor 416/KMK.04/1996 dan KMK Nomor 417/KMK.04/1996; 4. Imbalan sewa kapal terbang (pesawat udara), yang dibayarkan atau terutang kepada pihak yang mempunyai izin usaha di bidang penerbangan atau pengangkatan di udara. Sebab sewa ini ditetapkan sebagai objek PPh Pasal 15 sesuai KMK Nomor 475/KMK.04/1996. 23