HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN

dokumen-dokumen yang mirip
PESTISIDA 1. Pengertian 2. Dinamika Pestisida di lingkungan Permasalahan

PAPARAN PESTISIDA DI LINGKUNGAN KITA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Pestisida. Metil. Bromida. Karantina. Tumbuhan. Penggunaan.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STANDAR TEKNIS PERLAKUAN FUMIGASI FOSFIN FORMULASI CAIR

PENDAHULUAN. Toksikologi : ilmu tentang racun-racun

KEDARURATAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkat tinggi setelah aplikasi pestisida. Penggunaan bahan-bahan beracun itu pada

PENCEGAHAN KERACUNAN SECARA UMUM

BAB 1 PENDAHULUAN. yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu

Seri Perlakuan Karantina Tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh hamahama

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN

Manual Fumigasi Metil Bromida (Untuk Perlakuan Karantina Tumbuhan)

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung.

I. TOLAK PIKIR PERLINDUNGAN TANAMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) yang menyatakan bahwa Penggunaan pestisida dalam rangka

Modul 1: Peranan, Jenis, dan Faktor Berperan

KERACUNAN AKIBAT PENYALAH GUNAAN METANOL

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. besar. Total produksi selama tahun adalah sebesar ,73 kg,

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

IDENTIFIKASI BAHAYA B3 DAN PENANGANAN INSIDEN B3

BAB I PENDAHULUAN. Lalat buah merupakan hama penting yang menyerang buah-buahan. Lalat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

PT. TRIDOMAIN CHEMICALS Jl. Raya Merak Km. 117 Desa Gerem Kec. Grogol Cilegon Banten 42438, INDONESIA Telp. (0254) , Fax.

Ambang Ekonomi. Dr. Akhmad Rizali. Strategi pengendalian hama: keuntungan dan resiko Resiko aplikasi pestisida

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat di

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

No.1274, 2014 KEMENTAN. Pestisida. Pengawasan. Pencabutan.

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produksi pertanian.

LEMBAR DATA KESELAMATAN

adalah 70-80% angkatan kerja bergerak disektor informal. Sektor informal memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran yang dikonsumsi oleh sebagian

tertuang dalam berbagai kesepakatan bersama, diantaranya dalam International Plant

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

LEMBAR DATA KESELAMATAN

I. PENDAHULUAN. lain terjadinya pencemaran di lingkungan perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan

LEMBAR DATA KESELAMATAN

BAB I PENDAHULUAN. yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati (Sastrodiharjo et al.,

Paparan Pestisida. Dan Keselamatan Kerja

LEMBAR DATA KESELAMATAN

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB 1 LATAR BELAKANG. signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2006, luas lahan areal kelapa

BUDIDAYA DAN PEMELIHARAAN TANAMAN STROBERI

BAB I PENDAHULUAN. hama. Pertanian jenis sayuran kol, kubis, sawi dan sebagainya, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik.

Jenis Bahaya Dan Cara Penanganan Kecelakaan Yang Terjadi Laboratorium Biologi

BAB I PENDAHULUAN. Pestisida adalah bahan racun yang disamping memberikan manfaat di bidang


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang dan negara agraris yang

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki wilayah perkebunan kelapa sawit yang cukup luas.

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip ekologi telah diabaikan secara terus menerus dalam pertanian modern,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. upaya perlindungan terhadap tenaga kerja sangat diperlukan. Salah satunya dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan. Tumbuhan yang digunakan meliputi untuk bahan pangan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dhora Dwifianti, 2013

PROSEDUR PENANGANAN BAHAN BERACUN DAN BERBAHAYA. Pengertian. Tujuan. 1. Bahan Beracun dan Berbahaya

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok

PEMANFAATAN LIMBAH ROKOK DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypty

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN

ASUHAN BAYI BARU LAHIR DAN NEONATUS

Kanker Darah Pada Anak Wednesday, 06 November :54

BAB I PENDAHULUAN. mengendalikan hewan atau tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat, termasuk

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I.

Pengelolaan dan Manajemen Laboratorium Kimia

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

PENANGGULANGAN KECELAKAAN KERJA

LEMBAR DATA KESELAMATAN

PERILAKU DAN APLIKASI PENGGUNAAN PESTISIDA SERTA KELUHAN KESEHATAN PETANI DI DESA URAT KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HAMA DAN PENYAKIT IKAN

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NOMOR : KEP. 187 / MEN /1999 T E N T A N G PENGENDALIAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA

BAB I PENDAHULUAN. dan berkesinambungan terus diupayakan untuk mencapai tujuan nasional. Adapun

BAHAN AJAR BAHAYA TEKANAN TINGGI DI BAWAH PERMUKAAN AIR. Dekompresi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TEKNIK PENYEMPROTAN PESTISIDA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indra Sukarno Putra, 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke

TATACARA PELAKSANAAN FUMIGASI DENGAN FOSFIN

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini?

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

BAB I PENDAHULUAN. membunuh atau mengendalikan berbagai hama tanaman. Tetapi pestisida. lingkungan apabila tidak tepat dalam menggunakannya.

TOKSIKOLOGI BEBERAPA ISTILAH. Toksikologi Toksisitas Toksin / racun Dosis toksik. Alfi Yasmina. Sola dosis facit venenum

Transkripsi:

HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN Tugas Terstruktur I Disusun Oleh: Bogi Diyansah 0810480131 AGROEKOTEKNOLOGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2O11

Pertanyaan dan jawaban 1. Ambang fumigasi Ambang fumigasi adalah suatu batas tertentu dimana suatu binatang melakukan serangan kerusakan pada suatu komoditas yang dapat menurunkan tingkat kuantitas maupun kualitas komoditas tersebut. Fumigasi merupakan salah satu bentuk perlakuan secara kimiawi. Tindakan perlakuan dengan cara fumigasi umumnya dipilih apabila OPT yang menjadi sasaran perlakuan diantaranya adalah serangga hama, tungau, nematoda, atau moluska. Fumigasi merupakan salah satu standar perlakuan yang digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan karena dapat membunuh hama dalam berbagai stadia hingga 100 persen, contohnya dengan menggunakan Metil Bromide. 2. Ambang fumigasi yang bisa diterima konsumen Metil bromida adalah fumigan yang sangat beracun, tidak berwarna dan tidak berbau. Peraturan di beberapa negara mensyaratkan agar metil bromida yang digunakan dalam perlakuan fumigasi harus mengandung zat indikator, misalnya kloropikrin sebanyak 2 persen. Metil bromida mengandung kloropikrin bersifat fitotoksik terhadap tanaman hidup, bunga potong, buah segar dan sayuran serta biji-bijian. Di beberapa negara, residu kloropikrin pada bahan makanan tidak diperkenankan. Perlakuan dengan metil bromida secara berulang-ulang dapat meninggalkan residu bromida yang melebihi batas yang diperbolehkan pada bahan makanan. Residu bromida yang tinggi pada bahan makanan dapat berakibat buruk pada kesehatan konsumen. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu untuk inorganic bromide yang diperbolehkan pada bahan makanan berkisar antara 0,01-20 mg/kg, tergantung pada jenis bahan makanan tersebut. Hal terpenting yang perlu menjadi perhatian dalam penggunaan metil bromide adalah bahwa fumigan ini sangat beracun terhadap manusia. Keracunan metil bromide

dapat berakibat fatal (kematian) bagi manusia. Gejala keracunan fumigan ini sering tidak tampak sampai beberapa waktu yang cukup lama sehingga kerap tidak disadari. Tidak jarang terjadi bahwa korban tidak tertolong lagi atau pemulihan sulit dilakukan karena gejala terlambat diketahui. Oleh karena itu, ketentuan tentang keselamatan kerja perlu dipatuhi dengan sungguh-sungguh dalam melaksanakan fumigasi dengan fumigan ini. Pengaruh dari paparan (exposure) gas tergantung pada konsentrasi gas, jangka waktu dan seringnya terkena paparan. Pengaruh yang buruk dapat terjadi tidak hanya dikarenakan oleh paparan pada konsentrasi yang tinggi, tapi juga paparan terus menerus atau berulang-ulang walaupun dalam konsentrasi rendah. Batas yang direkomendasikan untuk paparan pada waktu bekerja terhadap metil bromida adalah 5 ppm (0,02 g/m3) untuk 8 jam rata-rata waktu paparan, serta 15 ppm (0,06 g/m3) untuk 10 menit rata-rata waktu paparan. Seseorang yang terkena paparan pada konsentrasi rendah mungkin tidak akan langsung merasakan gejala apapun. Keracunan dapat terjadi pada paparan pada konsentrasi 25-120 ppm. Dalam jangka waktu yang singkat penderita akan mulai merasa kurang sehat, menderita sakit kepala, mata sakit dan merasa mual. Gejala-gejala ini dapat dikira sebagai gejala penyakit biasa sehingga kurang diperhatikan walaupun sebenarnya sangat membahayakan. Pengaruh yang lebih serius dapat terjadi karena paparan pada konsentrasi yang lebih tinggi (di atas 120 ppm). Gejala ini biasanya berupa kerusakan pada sistem syaraf, yang sering tidak langsung terlihat sampai setelah suatu jangka waktu yang cukup lama, mulai dari beberapa jam sampai kurang lebih satu hari. Gejala yang timbul ditunjukkan dengan kesulitan dalam memfokuskan mata, gangguan pembicaraan, serta sempoyongan (seperti dalam keadaan mabuk). Terkadang timbul perasaan lemah pada anggota badan, terutama kaki. Gejala ini dapat diikuti dengan ayan dan tidak sadarkan diri. Apabila hal ini sampai terjadi, penderita akan sangat sulit untuk dipulihkan. Jika penderita tetap hidup, diperlukan waktu beberapa bulan sampai beberapa tahun untuk dapat pulih kembali. Selama waktu itu, timbul perasaan depresi, kehilangan ingatan, tidak dapat tidur, lemah dan menggigil, serta dapat mengakibatkan kekurang-warasan. Paparan pada konsentrasi tinggi juga dapat mengakibatkan oedema paru-paru serta kerusakan ginjal. Kerusakan pada kulit dapat terjadi karena kontak dengan metil bromida cair atau gas dalam konsentrasi tinggi. Pakaian, sarung tangan karet, dan pembalut luka dapat ditembus oleh metil bromida, dan gas tersebut dapat tetap bersentuhan dengan kulit untuk waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan timbulnya pelepuhan. Lepuh biasanya

berukuran besar, dikelilingi oleh daerah berwarna merah dan bengkak, serta memerlukan waktu lama untuk sembuh. Hal terpenting yang perlu menjadi perhatian dalam penggunaan metil bromide adalah bahwa fumigan ini sangat beracun terhadap manusia. Keracunan metil bromide dapat berakibat fatal (kematian) bagi manusia. Gejala keracunan fumigan ini sering tidak tampak sampai beberapa waktu yang cukup lama sehingga kerap tidak disadari. Tidak jarang terjadi bahwa korban tidak tertolong lagi atau pemulihan sulit dilakukan karena gejala terlambat diketahui. Oleh karena itu, ketentuan tentang keselamatan kerja perlu dipatuhi dengan sungguh-sungguh dalam melaksanakan fumigasi dengan fumigan ini. 3. Kegiatan monitoring hama gudang Monitoring Konsentrasi Fumigan Monitoring konsentrasi gas bertujuan untuk memastikan bahwa konsentrasi gas metal bromida dalam ruangan fumigasi menyebar dengan merata dan konsentrasinya sesuai dengan yang telah ditetapkan. Monitoring konsentrasi gas harus menggunakan alat pengukur konsentrasi gas metil bromida (interferometer). Terdapat beragam peralatan yang tersedia untuk mengukur konsentrasi metal bromida. Peralatan yang digunakan harus sesuai untuk monitoring konsentrasi dan kebocoran fumigan. Untuk fumigasi metil bromida, peralatan pengukur harus mampu mengukur konsentrasi metil bromida dalam ruangan fumigasi antara 2-100 g/m3. Monitoring Pertama/Awal Monitoring awal dilakukan 30 menit setelah selesainya pelepasan gas yang bertujuan untuk mengetahui kecukupan dan penyebaran gas. Waktu perhitungan fumigasi (expousure time) dimulai apabila: Konsentrasi gas cukup; dan Gas menyebar secara merata ke semua ruang fumigasi (equilibrium). Konsentrasi gas dinyatakan cukup apabila hasil monitoring menunjukkan bahwa konsentrasi gas berada pada atau di atas nilai standar pada table Ready Reckoner. Konsentrasi gas telah menyebar secara merata (equilibrium) jika hasil monitoring

menunjukkan perbedaan nilai konsentrasi tertinggi dan terendah tidak lebih dari 15 persen dari nilai konsentrasi yang terendah hasil monitoring. ika ini tidak tercapai pada waktu monitoring awal, maka harus diambil indakan untuk mengatasi masalahnya. Contoh : Suatu fumigasi dilaksanakan dengan dosis awal 48 g/m3 selama 24 jam. Setengah jam setelah pelepasan gas dilakukan monitoring dengan hasil sebagai berikut : Monitoring selang monitor I : 38 g/m3; Monitoring selang monitor II : 41 g/m3; Monitoring selang monitor III : 43 g/m3; Dari hasil monitoring tersebut dapat disimpulkan bahwa : Konsentrasi gas sudah cukup karena semua konsentrasi gas pada selang monitor diatas konsentrasi standar pada tabel ready reckoner (36 g/m3); dan Gas menyebar secara merata ke semua ruang fumigasi (equilibrium) sebab perbedaan nilai konsentrasi tertinggi dan terendah tidak lebih dari 15 persen, yaitu (43 38)/38 x 100 % = 13,16 %. Dengan demikian, dapat dicacat sebagai awal dimulainya perhitungan waktu fumigasi (To). Monitoring Kedua dan Selanjutnya Monitoring kedua dan selanjutnya dilakukan untuk mengetahui apakah konsentrasi gas masih berada pada standar tabel Ready Reckoner sesuai dengan waktu dilakukannya monitoring. Hasil monitoring ini memberikan gambaran kepada fumigator bahwa pelaksanaan fumigasi telah berjalan dengan baik atau sebaliknya, selain itu fumigator dapat segera mengambil tindakan koreksi apabila terjadi permasalah dalam pelaksanaan fumigasi. Monitoring Akhir Monitoring akhir bertujuan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya pelaksanaan fumigasi dan dilakukan pada akhir masa (waktu) fumigasi. Pelaksanaan fumigasi

dinyatakan berhasil apabila konsentrasi gas pada semua selang monitor berada pada atau di atas standard. Apabila ada konsentrasi gas yang berada di bawah standar namun masih pada atau di atas konsentrasi minimum pada tabel ready reckoner maka fumigasi masih dapat diperbaiki dengan melakukan penambahan gas (topping-up) dan waktu fumigasi selama 4 (empat) jam. Penambahan gas (topping-up) dilakukan dengan cara sebagaimana contoh di bawah ini. Untuk fumigasi yang masa pemaparan gasnya kurang dari 12 jam tidak diperbolehkan dilakukan penambahan gas. Contoh : Suatu fumigasi dilaksanakan dengan dosis awal 48 g/m3 selama 24 jam. Pada akhir fumigasi, salah satu titik monitoring menunjukkan konsentrasi gas sebesar 13 g/m3. Konsentrasi ini berada di bawah garis standar (14,4 g/m3), tetapi masih di atas garis batas terendah (9,4 g/m3). Tindakan menaikkan ke garis paling tinggi (19,4 g/m3) harus dilakukan. Jumlah fumigan yang dapat ditambahkan adalah jumlah yang diperlukan untuk menaikkkannya ke garis standar di tambah 5 g/m3, yaitu : 14,4 g/m3 13 g/m3 + 5 g/m3 = 6,4 g/m 3. Apabila hasil monitoring menunjukkan ada konsentrasi gas yang berada di bawah nilai terendah pada tabel ready reckoner maka fumigasi dinyatakan gagal.