FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA UBI KAYU INDONESIA (Studi tahun 1991-2013 dengan menggunakan persamaan simultan)



dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

DETERMINAN PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA UBI KAYU INDONESIA (Studi tahun dengan menggunakan persamaan simultan) Kristian [1]

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pembangunan pertanian tidak lagi berorientasi semata - mata

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

I. PENDAHULUAN. untuk tanaman pangan salah satunya yaitu ubi kayu (Manihot utilissima). Ubi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beras/padi. Komoditas yang memiliki nama lain Zea mays merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

PENDAHULUAN. (Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan ).

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KETERANGAN TW I

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sedang berkembang, dengan sektor

BAB I PENDAHULUAN. politik. Oleh karena itu, ketersediaan beras yang aman menjadi sangat penting. untuk mencapai ketahanan pangan yang stabil.

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. didasarkan pada nilai-nilai karakteristik lahan sangat diperlukan sebagai

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

KELAPA. (Cocos nucifera L.)

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, KONSUMSI DAN HARGA UBI KAYU INDONESIA (Studi tahun 1991-2013 dengan menggunakan persamaan simultan) Kristian 1 Sulastri Surono 2 Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia ABSTRAK Dengan potensi ekonomi yang besar dari ubi kayu dalam perdagangan dunia dan meningkatnya kebutuhan dunia akan ubi kayu serta dengan keterbatasan-keterbatasan Indonesia dalam meningkatkan produksi ubi kayu, perlu dikaji faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi, konsumsi maupun harga ubi kayu di Indonesia. Produksi ubi kayu dipengaruhi secara signifikan oleh variabel harga ubi kayu, luas areal panen ubi kayu dan harga pupuk urea. Konsumsi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh variabel jumlah penduduk Indonesia. Harga ubi kayu di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh variabel luas panen ubi kayu, konsumsi ubi kayu dan panjang jalan beraspal. Berdasarkan proyeksi, produksi ubi kayu akan mengalami peningkatan jika harga ubi kayu, produktivitas lahan ubi kayu maupun luas panennya ditingkatkan. Konsumsi ubi kayu Indonesia diproyeksikan akan mengalami penurunan jika secara bersamaan ada peningkatan harga ubi kayu, peningkatan pendapatan perkapita dan adanya peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Harga ubi kayu diproyeksikan akan mengalami peningkatan jika konsumsi ubi kayu mengalami penurunan dibarengi dengan penurunan luas areal panen ubi kayu. Kata kunci : Ubi Kayu, Persamaan Simultan, Penawaran, Permintaan Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL) : Q110 Agriculture: Aggregate Supply and Demand Analysis; Prices ABSTRACT With great economic potential of cassava in the world trade and the increasing world demand for cassava as well as the limitations of Indonesia to increase cassava production it needs to be investigated factors that can affect the production, consumption and prices of cassava in Indonesia. Cassava production is significantly influenced by the variable price of cassava, cassava harvested area and price of urea fertilizer. Consumption of cassava in Indonesia is significantly influenced by population of Indonesia. The price of cassava in Indonesia is significantly influenced by cassava harvested area, consumption of cassava and the length of tarred road. Based on projections, cassava production would increase if cassava price, cassava land productivity and harvested area are improved. Indonesian cassava consumption is projected to decline if there are increasing in cassava price, per capita income and population of Indonesia simultaneously. The price of cassava is projected to increase if the consumption of cassava decreased accompanied by a decrease in the total area harvested cassava. Keywords: Cassava, Simultaneous Equations, Supply, Demand Journal of Economic Literature (JEL) Classification : Q110 Agriculture: Aggregate Supply and Demand Analysis; Prices PENDAHULUAN Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut didasarkan pada peranannya sebagai penyedia bahan pangan, bahan baku industri, sumber pendapatan bagi jutaan petani yang tersebar di seluruh Indonesia, serta sebagai sumber penghasil devisa negara setelah sektor minyak dan gas. Meski struktur perekonomian Indonesia mulai bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan, namun seperti pada Tabel di bawah dapat dilihat bahwa sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang besar yaitu 14,43 % dan merupakan sektor kedua terbesar penyumbang PDB di tahun 2013 setelah sektor industri pengolahan. 1

Tabel PDB Atas Dasar Harga Berlaku (trilyun rupiah), 2000-2013 Kontribusi NO Lapangan Usaha 2011 2012 2013 persektor tahun 2013 (%) 1. Pertanian, 1.091,45 1.193,45 1.311,04 14,43 Peternakan, Kehutanan Dan Perikanan 2. Pertambangan Dan 876,98 970,82 1.020,77 11,24 Penggalian 3. Industri Pengolahan 1.806,14 1.972,52 2.152,59 23,70 4. Listrik, Gas, Dan Air 55,88 62,23 70,07 0,77 Bersih 5. Bangunan 753,55 844,09 907,27 9,99 6. Perdagangan, Hotel 1.023,72 1.148,69 1.301,51 14,33 Dan Restoran 7. Pengangkutan Dan 491,29 549,11 636,89 7,01 Komunikasi 8. Keuangan, 535,15 598,52 683,01 7,52 Persewaan & Jasa Persh. 9. Jasa Jasa 785,01 889,99 1.000,82 11,02 Produk Domestik 7.419,19 8.229,44 9.083,97 100 Bruto Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2011-2013 Disamping itu sektor pertanian juga memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan kapital, penyediaan pangan dan penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri (Nainggolan, 2005). Pernyataan ini sejalan dengan data dari BPS dimana jumlah tenaga kerja yang diserap oleh lapangan pekerjaan utama pertanian masih mendominasi dibanding lapangan usaha lainnya dengan mengambil proporsi 38 % di tahun 2010 dan 35 % di tahun 2011-2012. Tabel Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama (juta jiwa) NO Lapangan Pekerjaan Utama 2010 2011 2012 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan 41,4 39,3 38,8 2. Pertambangan dan Penggalian 1,2 1,4 1,6 3. Industri Pengolahan 13,8 14,5 15,3 4. Listrik, Gas, dan Air 0,23 0,24 0,24 5. Bangunan 5,5 6,3 6,8 6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel 22,5 23,3 23,2 7. Angkutan, Pergudangan, dan 5,6 5 4,99 Komunikasi 8. Keuangan, Asuransi, Usaha 1,7 2,6 2,7 Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan 9. Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan 16 16,6 17 Perorangan Jumlah/Total 108 109 110 Sumber : BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2010-2012 Seiring dengan penurunan produksi minyak dan gas dalam negeri, maka kebijakan ekonomi Indonesia diarahkan pada peningkatan ekspor non migas melalui pengembangan komoditi-komoditi unggulan pertanian yang mempunyai prospek dan pangsa pasar dan menyumbang nilai devisa yang cukup besar bagi Negara. Salah satu komoditi yang prospek dan cukup menjanjikan di sektor pertanian adalah ubi 2

kayu. Ubi kayu merupakan tanaman multifungsi yang memiliki peran sebagai bahan baku sumber energi alternatif, pangan maupun pakan (fuel, food, feed). Dengan ketiga peran tersebut, bahkan ubi kayu telah memberi kontribusi terhadap PDB sektor tanaman pangan terbesar ketiga setelah padi dan jagung (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2011). Dalam perdagangan dunia, antara tahun 2010 sampai dengan 2013, produksi rata-rata pertahun ubi kayu dunia adalah sebanyak 245 juta ton. Sedangkan total pengunaan ubi kayu di dunia diproyeksikan mencapai 275 juta ton di tahun 2020 (IFPRI dalam Westby, 2008), bahkan beberapa peneliti memperkirakan bisa mencapai 291 juta ton (Scott et al, 2000 dalam Westby, 2008). Tingginya produksi dan permintaan ubi kayu di dunia selain karena faktor bahan pangan sebagian besar masyarakat di Afrika, Asia dan Amerika Latin juga karena ubi kayu telah menjadi salah satu sumber alternatif bahan pembuat biofuel bersama jagung, sawit dan tebu. Seperti ekspor yang dilakukan oleh Thailand yang mengirim 98% produksi ubi kayunya ke China untuk dijadikan biofuel di tahun 2010. Bahkan Uni Eropa bahkan telah menargetkan di tahun 2020 seluruh bahan bakar untuk moda transportasi 10 % nya harus berasal dari energi terbarukan seperti biofuel dan angin. Juga di tahun 2022 Pemerintah Amerika menargetkan pemakaian biofuel pertahunnya akan mencapai 36 milyar gallon. Hal-hal di atas sangat berkontribusi terhadap ketatnya pasar Ubi kayu dunia di masa mendatang (Rishi Sidhu dalam artikel Cassava, the latest biofuel? http://foreignpolicyblogs.com/2011/04/12/cassava-the-latest-biofuel/). Dari segi produksi Indonesia merupakan produsen ubi kayu keempat terbesar dunia dengan produksi 24 juta ton di tahun 2012, tetapi di tahun 2013 mengalami penurunan produksi. Tabel Produsen Ubi Kayu Dunia 2010-2013 (ribu ton) Negara 2010 2011 2012 2013 Nigeria 42.533 52.403 54.000 55.000 Brazil 24.967 25.349 23.414 24.117 Thailand 22.006 21.912 26.601 28.276 Indonesia 23.918 24.044 24.177 23.936 Kongo 15.014 15.024 15.000 14.985 Ghana 13.504 14.241 14.547 15.141 Sumber : FAO, Food Outlook 2013 Dari segi permintaan domestik ubi kayu diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,78% pertahun (Road Map Peningkatan Produksi Ubikayu Tahun 2010-2014). Peningkatan tersebut terjadi karena saat ini ubi kayu telah memiliki peran baru yaitu sebagai bahan baku sumber energi alternatif. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perpres No. 5/2006 dan UU Energi No. 30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati, ubi kayu sebagai sumber protein nabati merupakan suatu kekuatan dalam bentuk dukungan pemerintah untuk mendorong pemasaran produk ubi kayu, yaitu bioetanol. Dari sisi pangan, ubi kayu sangat potensial untuk dijadikan bahan pangan pokok (Bantacut, 2010 dalam Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2011). Ubi kayu merupakan sumber pangan utama karbohidrat alternatif dalam mendukung kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Dalam Road Map Peningkatan Produksi Ubikayu Tahun 2010-2015 dikatakan bahwa pengembangan ubikayu sangat penting artinya di dalam upaya penyediaan bahan pangan karbohidrat non beras dan diversifikasi konsumsi pangan lokal dalam upaya mendukung peningkatan ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Proyeksi kenaikan permintaan domestik ubi kayu tidak didukung dengan kenaikan luas panen ubi kayu dimana menurut BPS terjadi penurunan luas panen ubi kayu di tahun 2013 yang menyebakan terjadinya penurunan produksi ubi kayu Indonesia. Penurunan luas panen pertanian pada umumnya disebabkan adanya konversi lahan sejak awal 1990an menjadi perumahan dan perkebunan. Persaingan penggunaan lahan dengan palawija lain juga diduga sebagai penyebab turunnya areal panen ubi kayu. Indikatornya adalah harga rill jagung. Secara teoritis, kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam komoditi tersebut. Konsekuensinya, kenaikan areal tanam jagung (sebagai komoditi pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal ubi kayu, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama (Direktorat Tanaman Pangan, 2012). Seiring dengan peran ubi kayu yang bertambah maka peningkatan produksi akhirnya menjadi sebuah keharusan agar kebutuhan akan ubi kayu baik sebagai penopang ketahanan pangan maupun bahan baku energi domestik maupun luar negeri dapat dipenuhi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Peluang pengembangan ubi kayu masih sangat luas jika dilihat dari ketersediaan lahan. Hal tersebut mengingat ketersediaan lahan yang cukup luas dimana 3

berdasarkan data dari BPS tahun 2005 menunjukkan bahwa terdapat potensi lahan kering seluas 25.955.901 ha yang terdiri dari lahan tegal seluas 10.775.051 ha, ladang seluas 3.839.093 ha dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 11.341.757 ha. Lahan-lahan tersebut merupakan potensi yang tersedia untuk pengembangan areal budidaya/usahatani ubi kayu. Rumusan Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Salah satu komoditi yang prospek dan cukup menjanjikan di sektor pertanian adalah ubi kayu. Potensi ekonomi dari ubi kayu sangatlah besar dalam perdagangan dunia dengan melihat permintaan ubi kayu dunia yang setiap tahunnya naik. Peningkatan permintaan ubi kayu dunia dikarenakan peran ubi kayu sebagai sumber bahan baku energi alternatif. Selain itu ubi kayu juga berperan sebagai sumber bahan makanan pendukung ketahanan pangan di Indonesia yang merupakan sumber pangan utama karbohidrat setelah padi dan jagung. Agar sektor pertanian dapat mengambil peran dalam pembangunan maka Indonesia harus meningkatkan produksi ubi kayu dalam mengantisipasi permintaan ubi kayu dunia dan mendukung program ketahanan pangan. Hal tersebut dapatlah terhambat oleh adanya penurunan luas panen ubi kayu yang menyebakan terjadinya penurunan produksi ubi kayu Indonesia, dimana penurunan harga menjadi disinsentif yang menyebabkan terjadinya penurunan areal panen ubi kayu tersebut. Untuk itu perlu dianalisis faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap produksi, konsumsi dan harga ubi kayu di Indonesia serta melakukan proyeksi produksi, konsumsi dan harga ubi kayu pada tahun 2025. Tujuan Penelitian Tesis Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi, konsumsi dan harga ubi kayu di Indonesia. Melakukan proyeksi produksi, konsumsi dan harga ubi kayu di masa yang akan datang terutama pada tahun 2025. Ruang Lingkup Dalam penelitian ini akan dianalisa faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi ubi kayu dari sisi penawaran dan konsumsi ubi kayu dari sisi permintaan serta harga ubi kayu di Indonesia selama periode 1991 sampai dengan 2013. Adapun jenis ubi kayu yang akan diteliti adalah ubi kayu segar/kering. Penawaran dan Permintaan KAJIAN TEORI DAN METODELOGI Ekonomi modern secara berkelanjutan melakukan pertukaran antar barang baik langsung maupun melalui sarana uang. Aktivitas tersebut dapat menjadi rumit untuk dijelaskan sehinga kita butuh suatu model sederhana untuk membantu menggambarkan aktivitas tersebut. Model tersebut adalah model penawaran dan permintaan yang akan membantu menerangkan bahwa jumlah barang yang dijual terhubung dengan harga barang tersebut. Penawaran Penawaran adalah jumlah suatu barang yang akan dan dapat dijual oleh produsen pada tingkatan harga tertentu di waktu tertentu. Hukum penawaran merupakan hubungan positif antara harga dan jumlah barang yang ditawarkan, dimana peningkatan harga pasar akan juga meningkatkan jumlah penawaran dan sebaliknya penurunan harga pasar akan menurunkan jumlah penawaran (Case and Fair, 2002). Hukum tersebut dapat dijelaskan dengan mudah pada Gambar kurva penawaran menunjukkan kuantitas barang yang dapat dijual oleh produsen pada tingkatan harga berapapun, dengan faktor lain yang dapat mempengaruhi kuantitas yang ditawarkan adalah tetap seperti yang digambarkan oleh kurva S pada Gambar kurva penawaran. Sumbu vertikal menunjukkan harga per unit dari suatu barang (P). Ini adalah harga yang diterima dari berapapun kuantitas yang ditawarkan. Sumbu horisontal menunjukkan penawaran total (Q) yang diukur dalam jumlah unit per periode. Jadi dapat dikatakan kurva penawaran merupakan hubungan antara jumlah penawaran dan harga (Pyndick dan Rubinfeld, 2009). Selain harga, faktor lain yang mempengaruhi sisi penawaran adalah harga produksi dan harga dari produk terkait (Case and Fair, 2002). Harga produksi juga bergantung pada beberapa faktor, termasuk ketersediaan teknologi dan harga input produksi yang dibutuhkan oleh produsen (seperti lahan, modal, energi, tenaga kerja dan 4

lainnya). Harga bahan baku yang lebih rendah atau biaya apa saja yang lebih rendah membuat produksi lebih menguntungkan, yang akan mendorong produsen lama untuk memperluas produksi dan memungkinkan produsen baru memasuki pasar. Sehingga pada saat harga pasar tetap di P1 akan terjadi kenaikan jumlah penawaran yang lebih besar dari sebelumnya dimana kurva penawaran (S) akan bergeser ke kanan (S ). Berkaitan dengan harga produk terkait, produsen akan bereaksi terhadap perubahan dari produk terkait, misal jika sebuah lahan pertanian dapat digunakan untuk memproduksi komoditas A ataupun B, jika harga komoditas pertanian A lebih baik maka produsen akan cenderung memilih untuk menanam komoditas A dibanding B. Harga/P S S P1 P2 Permintaan Q1 Gambar Kurva Penawaran Q2 Kuantitas/Q Permintaan menyatakan berapa banyak konsumen bersedia membeli pada waktu harga per unit barang berubah (Pyndick dan Rubinfeld, 2009). Harga/P D D P2 P1 Q1 Q2 Kuantitas/Q Gambar Kurva Permintaan Hal tersebut dapat digambarkan dengan mudah dengan kurva permintaan, dimana kurva permintaan merupakan hubungan antara jumlah barang yang konsumen bersedia membeli dengan harga tersebut. Kurva permintaan dengan kemiringan yang menurun (D) menunjukkan bahwa konsumen bersedia membeli lebih banyak barang selama harga turun, di saat faktor lain adalah konstan. Ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara harga dengan jumlah permintaan, dimana harga naik maka jumlah permintaan turun dan disaat harga turun maka jumlah permintaan akan naik. Hal ini disebut dengan hukum permintaan. Tentu saja jumlah barang yang akhirnya konsumen dapat beli tergantung pada jumlah barang aktual yang ada di pasar. Selain itu, hal lain yang dapat mempengaruhi jumlah permintaan adalah pendapatan konsumen yang akan meningkatkan permintaan dari Q1 ke Q2 di saat harga konstan ataupun meningkatkan harga dari P1 ke P2 sehingga membuat kurva permintaan bergeser dari D ke D. 5

Selain harga barang, jumlah barang yang ada di pasaran dan pendapatan konsumen, yang mempengaruhi permintaan adalah harga dari barang/jasa lain, selera dan faktor ekspektasi (Case and Fair, 2002). Ketika kenaikan dari harga suatu barang menyebabkan permintaan akan barang lain juga meningkat maka kedua barang tersebut memiliki hubungan subtitusi. Ketika kenaikan salah satu barang memicu penurunan permintaan barang lain maka kedua barang tersebut merupakan barang komplemen. Selera juga dapat membentuk permintaan, tetapi sangat sulit untuk menggeneralisasi selera karena berkaitan dengan permintaan per individu yang tidak terbatas. Untuk ekspektasi, keputusan konsumen untuk membeli suatu barang tidak hanya tergantung dengan pendapatan yang dimiliki sekarang tetapi dengan berapa pendapatan yang akan diterima di masa mendatang. Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Keseimbangan antara penawaran dan permintaan terjadi disaat kedua kurva saling berpotongan pada jumlah dan harga keseimbangan atau market clearing price (Pyndick dan Rubinfeld, 2009). Pada posisi harga keseimbangan (P0) jumlah penawaran dan permintaan adalah sama (Q0), dimana kecenderungan ini merupakan mekanisme pasar bebas. Penawaran dan permintaan tidak selalu berada pada keseimbangan dan beberapa pasar mungkin tidak mencapai keseimbangan dengan cepat bila ada perubahan kondisi yang cepat, tetapi tetap kecenderungan pasar biasanya mengarah pada keseimbangan. Harga/P D S P1 P0 P2 B A Kuantitas/Q Q0 Gambar Keseimbangan Penawaran Permintaan Harga merupakan penentu dari penawaran ataupun permintaan. Tetapi pada saat keseimbangan pasar, penawaran dan permintaan secara bersama-sama yang menentukan harga akhir pasar (Case and Fair, 2002). Selain keseimbangan ada dua kondisi juga yang terjadi di pasar pada saat ini, yaitu kondisi kelebihan penawaran (A) dan kelebihan permintaan (B). Kelebihan penawaran terjadi ketika ketika jumlah penawaran melebihi jumlah permintaan disaat harga tetap (P1). Pada kondisi ini maka harga perlahan turun ke P0 sehingga permintaan akan bertambah dan menyamai penawaran pada titik keseimbangan. Kelebihan permintaan terjadi ketika jumlah permintaan akan suatu barang melebihi jumlah penawaran barang tersebut disaat harga tetap (P2). Pada kondisi ini harga perlahan naik menuju P0 sehingga produsen meningkatkan jumlah barang dipasaran untuk menyamai permintaan dan mencapai titik keseimbangan. Konsep Produksi, Konsumsi dan Harga Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey, 1993). Sedangkan menurut Putong (2003), produksi atau proses memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Suatu proses produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat dan sarana untuk melakukan proses produksi. Proses produksi juga melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Dalam pertanian, proses produksi sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Salvatore (2001), fungsi produksi merupakan hubungan matematis antara input dan output. Menurut Doll dan Orazem (1984), fungsi produksi selain menggambarkan hubungan erat antara input dan output juga menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk. Sedangkan menurut Putong (2003) fungsi produksi adalah hubungan teknis bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi. Bila faktor produksi tidak ada, maka produksi juga tidak ada. 6

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi pertanian (Timmer, 1983), yaitu lahan (dimana pertanian merupakan satu-satunya sektor yang menempatkan lahan sebagai input produksi paling penting), ketersediaan pupuk, benih, kredit, pengairan, sistem transportasi, pestisida dan mesin pertanian. Selain itu kebijakan pemerintah yang efektif dalam pengontrolan harga untuk tanaman pangan maupun input pertanian juga akan mempengaruhi perilaku petani untuk berproduksi. Sedangkan konsumsi adalah kegiatan menghabiskan atau menggunakan barang untuk keperluan tertentu. Adanya kegiatan konsumsi dalam jumlah besar maka terbentuklah permintaan. Teori ekonomi menyatakan bahwa permintaan suatu jenis barang sangat tergantung pada harga barang tersebut, yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan, selera, harga barang substitusi dan sebagainya. Bagi orang yang berpendapatan rendah, elastisitas terhadap barang kebutuhan pokok atau primer lebih tinggi daripada terhadap barang-barang mewah. Sebaliknya, bagi orang yang berpendapatan tinggi elastisitasnya lebih besar terhadap barang mewah daripada barang kebutuhan pokok. Kebutuhan terhadap bahan pangan merupakan salah satu diantara barang-barang primer. Bagi penduduk Indonesia, beras merupakan bahan makanan yang lebih superior daripada bahan pangan lainnya seperti jagung, ubi, sagu dan lainnya. Sehingga bagi masyarakat yang berpendapatan rendah akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, terutama pangan beras. Oleh karena itu, konsumsi pangan sangat terkait erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat (Irawan, 2009). Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila kalori dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat, sampai akhirnya melewati standar kecukupan konsumsi per kapita sehari. Kecukupan gizi yang dianjurkan per kapita per hari adalah penyediaan energi 2.500 kalori dan protein 55 gram. Permintaan akan ubikayu sebagai bahan konsumsi makanan di Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan dan harga. Jika pendapatan perkapita naik, maka masyarakat yang mengkonsumsi ubi kayu akan menggantinya dengan beras atau jagung, sehingga dapat dikatakan peningkatan pendapatan masyarakat akan mengurangi konsumsi ubi kayu sebagai bahan makanan langsung. Tetapi bila ubi kayu dikonsumsi secara tak langsung, diolah terlebih dahulu menjadi makanan ringan atau tepung, maka pengaruh peningkatan pendapatan terhadap permintaan ubi kayu bisa positif atau negatif tergantung dari besaran peningkatan pendapatan maupun distribusi peningkatan pendapatan (John A. Dixon, 1982). Pada sistem perekonomian pasar, harga suatu barang atau jasa sangat tergantung pada kekuatan pasar. Jumlah produksi yang ditawarkan oleh produsen serta jumlah permintaan yang dilakukan oleh konsumen akan menentukan harga suatu barang dan atau jasa. Tingkat harga umum dari sebuah komoditas pertanian dipengaruhi oleh berbagai kekuatan pasar yang dapat mengubah pergerakan atau keseimbangan penawaran dan permintaan. Kekuatan pasar tersebut berasal dari jumlah produksi yang ada dalam pasar, preferensi konsumen, perubahan kebutuhan pengguna akhir, faktor yang mempengaruhi proses produksi itu sendiri (misalnya, cuaca, biaya input, hama, penyakit, dan lainnya), harga relatif komoditas subtitusi, kebijakan pemerintah, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyimpanan dan transportasi serta kondisi pasar internasional (Schnepf, 2005). Hal ini juga yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menjelaskan perilaku pasar di sektor pertanian. Khususnya di sektor pertanian, pada saat panen raya dimana jumlah barang yang ditawarkan menjadi sangat besar harga menjadi sangat rendah. Jumlah barang yang ditawarkan lebih besar dari jumlah barang yang diminta oleh konsumen sehingga terjadi kelebihan penawaran atau ekses suply yang berdampak pada turunnya harga. Sebagai ilustrasi, petani akan cenderung memilih untuk mengobral hasil panennya asalkan dapat terjual dari pada membawa barang yang dihasilkan tersebut ke rumah dan menyimpannya di gudang dengan resiko tinggi lebih. Kebijakan harga juga dapat mempengaruhi keputusan untuk mengkonsumsi ubi kayu di Indonesia. Jika ubi kayu lebih murah dari beras dan gandum (melalui penurunan harga ubi kayu atau peningkatan harga beras dan gandum) maka permintaan akan ubi kayu akan meningkat. Tetapi hal ini tak mudah untuk diterapkan, karena pola konsumsi ubi kayu maupun beras ditiap daerah sangatlah beragam. Jika harga beras atau gandum dinaikan maka akan memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat perkotaan yang mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya. Lain halnya dengan masyarakat pedesaan, yang lebih memiliki keanekaragaman pangan dibanding masyarakat perkotaan, dimana konsumen akan lebih mudah berganti bahan pangannya seiring dengan perubahan harga. Hal lain yang membuat kebijakan harga sangat sulit diterapkan untuk ubi kayu adalah karena ubi kayu tidak mudah untuk disimpan dan mudah busuk (John A. Dixon, 1982). Peran Ubi Kayu dalam Ketahanan Pangan Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk membangun ekonomi nasional melalui pembangunan pertanian adalah program ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan agenda 7

penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Ubi kayu dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti beras karena merupakan sumber pangan utama karbohidrat setelah padi dan jagung. Selain itu ubi kayu memiliki kandungan gizi yang cukup baik bagi tubuh. Komposisi kandungan gizi ubi kayu dibandingkan dengan beras nasi dapat dilihat pada Tabel di bawah ini : Tabel Komposisi Gizi Ubi Kayu dan Beras/Nasi (per 100 g) Komposisi Gizi Ubi Kayu Beras/Nasi Energi (kal) 146,00 178,00 Karbohidrat (g) 34,70 40,60 Protein (g) 1,20 2,10 Lemak (g) 0,30 0,10 Besi (mg) 1,00 1,00 Kalsium (mg) 33,00 5,00 Fosfor (mg) 40,00 22,00 Vitamin B1 (mg) 0,06 0,20 Vitamin C (mg) 30,00 0,00 Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan dalam Syafani (2014) Dalam Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015 (Badan Ketahanan Pangan, 2012), ubi kayu mempunyai prospek menjadi sumber bahan pangan pilihan dalam diversifikasi pangan. Beberapa keunggulan dari ubi kayu ini adalah: a) tanaman ini sudah dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai bahan pokok dan sebagai bahan cadangan pangan pada musim paceklik; b) masyarakat Pulau Jawa khususnya di pedesaan telah terbiasa mengolah dan mengonsumsinya dalam bentuk gatot dan tiwul; c) nilai kandungan gizinya cukup tinggi; dan d) mudah beradaptasi dengan lingkungan atau lahan yang marginal dan beriklim kering. Sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu dapat dikonsumsi dalam bentuk langsung maupun makanan olahan yang berasal dari tepung. Tanaman ubi kayu relatif mudah dibudidayakan, dapat dibudidayakan pada ketinggian dari 0 sampai 1500 m dpl dengan curah hujan antara 750-1.000 mm per tahun. Ubi kayu juga dapat diusahakan pada segala jenis tanah asal mempunyai drainase yang baik, dengan ph tanah yang dikehendaki antara 4,5 sampai 8,0. Penanaman ubi kayu dilakukan secara monokultur atau tumpangsari dengan tanaman lain. Selain itu keunggulan ubi kayu dari sebaran wilayahnya juga dapat dilihat dari Peta Potensi Pangan Spesifik Wilayah keluaran Badan Ketahanan Pangan (2012) dimana dapat dilihat bahwa sebaran potensi wilayah komoditas ubi kayu terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia Tabel Peta Potensi Pangan Spesifik Wilayah Komoditas Provinsi Jagung Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, NTT Ubi kayu Ubi jalar Sumatera Utara, Bangka Belitung, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Nusa Tenggara Barat Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Papua Barat, Papua 8

(Lanjutan tabel peta potensi...) Komoditas Sagu Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesri Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, Papua Barat Sumber : Road Map Peningkatan Produksi Ubikayu Tahun 2010-2015, BKP 2012 Ubi Kayu dan Kebijakan Bahan Bakar Nabati Upaya untuk mendukung pengembangan bioenergi di dalam negeri telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5, tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang antara lain menetapkan sasaran penggunaan bahan bakar nabati menjadi lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2005. Sasaran kebijakan energi nasional ini akan dicapai melalui kebijakan utama dan kebijakan pendukungnya. Kebijakan utama dalam Perpres tersebut adalah: (1) penyediaan energi melalui penjaminan ketersediaan pasokan energi, optimalisasi produksi dan pelaksanaan konservasi energi, (2) Pemanfaatan energi melalui efisiensi dan diversifikasi, (3) Penetapan kebijakan harga berdasarkan harga keekonomiannya, dan (4) Pelestarian lingkungan. Sedangkan kebijakan pendukungnya adalah melalui pengembangan infrastruktur energi, kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha, pemberdayaan masyarakat, penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan. Dalam rangka mempercepat penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), kebijakan tersebut di atas diikuti dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006, yang antara lain menginstruksikan kepada Menteri Pertanian untuk mendorong penyediaan bahan tanaman, termasuk fasilitas penyediaan benih dan bibitnya, penyuluhan dan mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen bahan tanaman, untuk mendukung penyediaan bahan bakar nabati. Untuk melaksanakan Inpres No. 1 tahun 2006, Kementerian Pertanian telah memiliki program aksi dan terus mengembangkan bahan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku bioenergi, meliputi jarak pagar, ubi kayu, sorghum, sagu, kelapa, kelapa sawit dan bahan tanaman lainnya. Kebijakan yang telah dilakukan dalam pengembangan bioenergi yaitu: (1). Pengembangan/intensifikasi komoditas yang sudah ditanam secara luas : kelapa sawit, tebu, ubi kayu, sagu, kelapa; (2). Pengkajian dan pengembangan komoditas potensial penghasil bioenergi seperti jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung dan aren; (3). Pemanfaatan biomassa limbah pertanian dan; (4). Pemanfaatan kotoran ternak sebagai biogas (Badan Litbang pertanian, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, beberapa tanaman, seperti kelapa sawit, jagung, ubi kayu, tebu, tanaman jarak, kemiri sunan dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi. Apabila energi sumber nabati ini dapat dikembangkan masyarakat terutama di pedesaan maka akan diciptakan masyarakat yang mandiri energi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga sehari-hari. Harus diakui bahwa sampai saat ini ongkos produksi energi terbarukan masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil (Kementerian Pertanian, 2010). Sasaran pengembangan BBN sampai dengan tahun 2010 meliputi: Pengembangan tanaman BBN seluas minimal 5,25 juta ha untuk sawit 1,5 juta ha, jarak pagar 1,5 juta ha, ubi kayu 1,5 juta ha dan tebu 750 ribu ha pada lahan yang belum dimanfaatkan. Hal ini sesuai dengan rencana Tim Nasional Bahan Bakar Nabati yang telah mencanangkan untuk mengembangkan komoditas utama penghasil BBN seluas 6,40 juta ha selama periode 2005-2015, yaitu kelapa sawit, jarak pagar, tebu, dan ubi kayu. Penelitian Terdahulu Leo dan kawan-kawan (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh input produksi yang adalah lahan, bibit, pupuk, herbisida dan tenaga kerja terhadap produksi ubi kayu di Kabupaten Serdang Bedagai. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa variabel luas panen beserta variabel pupuk berpengaruh nyata dan memiliki tanda positif terhadap variabel produksi ubi kayu. Disertasi Suryadi (2013) mengenai penawaran dan permintaan ubi kayu di Indonesia, menyatakan bahwa harga barang lain yaitu jagung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap konsumsi ubi kayu. Sedangkan variabel luas areal panen ubi kayu memiliki hubungan yang positif terhadap produksi ubi kayu. Penelitian Ismono dan kawan-kawan (2013) mengenai pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan petani ubi kayu di Provinsi Lampung mengemukakan bahwa harga ubi kayu dipengaruhi 9

secara negatif oleh produksi melalui luas areal panen ubi kayu dimana bila peningkatan luas areal panen terjadi maka harga akan menurun. Harga ubi kayu dipengaruhi secara positif oleh konsumsi ubi kayu dimana bila permintaan akan konsumsi ubi kayu meningkat maka harga ubi kayu pun akan meningkat. Selain itu harga ubi kayu juga dipengaruhi positif oleh tingkat bunga dan harga urea serta secara negatif oleh harga tahun sebelumnya. Dari segi konsumsi, diketahui bahwa harga ubi kayu, pendapatan dan konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap konsumsi ubi kayu. Sedangkan populasi berhubungan secara positif terhadap konsumsi ubi kayu. Penelitian Mvodo dan Dapeng Liang (2012) mengenai faktor-faktor produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga ubi kayu menyatakan bahwa akses terhadap jalan beraspal, harga padi dan jagung, luas panen dan produksi memiliki dampak yang signifikan terhadap harga ubi kayu. Permintaan atas konsumsi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan dan harga ubi kayu, dimana ketika pendapatan masyarakat pedesaan meningkat maka konsumsi ubi kayu akan berkurang tergantikan dengan beras dan jagung. Untuk masyarakat di perkotaan, seiring dengan peningkatan pendapatan maka konsumsi produk turunan ubi kayu dapat meningkat ataupun berkurang tergantung dari besaran pendapatan. Jika harga ubi kayu lebih murah dari pada padi atau gandum, maka masyarakat pedesaan akan merubah konsumsi pangannya menjadi ubi kayu sehingga permintaan konsumsi ubi kayu meningkat. Sedangkan untuk masyarakat perkotaan harga ubi kayu tidak terlalu berpengaruh terhadap pola konsumsinya. Hal ini dikarenakan masyarakat pedesaan lebih memiliki keragaman pangan dibanding masyarakat perkotaan yang hanya mengandalkan beras (John A. Dixon, 1982). Penelitian Pangabean (1986) mengenai ubi kayu di Indonesia mengetengahkan dua persamaan untuk menganalisis permintaan dan penawaran, yaitu persamaan produksi dan persamaan konsumsi. Produksi ubi kayu di Indonesia diketahui dipengaruhi secara signifikan oleh harga ubi kayu, harga komoditas subtitusi dan luas areal panen ubi kayu. Harga ubi kayu mempengaruhi secara positif dimana peningkatan harga ubi kayu akan memicu peningkatan produksi ubi kayu. Harga komoditas subtitusi berpengaruh negatif dimana peningkatan harga komoditas subtitusi akan membuat produksi ubi kayu menurun akibat beralihnya petani ubi kayu untuk menanam komoditas subtitusi. Untuk variabel luas panen berpengaruh positif terhadap produksi ubi kayu. Dari segi konsumsi ubi kayu, variabel-variabel yang mempengaruhi signifikan adalah harga ubi kayu, harga komoditas subtitusi, pendapatan perkapita dan populasi. Harga ubi kayu, pendapatan dan populasi memiliki pengaruh yang negatif sedangkan harga komoditas subtitusi berpengaruh positif. Kerangka Pemikiran Teoritis Berkaitan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat dibuat gambaran umum penelitian berupa Kerangka Pemikiran Teoritis sebagai berikut : HARGA UREA JALAN ASPAL PENDA PATAN PRODUKSI UBI KAYU HARGA KONSUMSI UBI KAYU LUAS PANEN HARGA JAGUNG POPULASI KEBIJAKAN BBN KETAHANAN PANGAN Gambar Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Peningkatan produksi ubi kayu perlu dicapai dalam rangka memenuhi permintaan dunia, mendukung kebijakan bahan bakar nabati dan mendukung kebijakan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan non-beras. Peningkatan produksi ubi kayu dipengaruhi oleh fluktuasi harga ubi kayu dan harga jagung sebagai komoditas subtitusi maupun luas areal panen yang dicapai serta harga pupuk urea sebagai salah satu input produksi dari ubi kayu. Adanya hubungan positif antara harga dan jumlah barang yang diproduksi dapat dijelaskan bahwa dimana peningkatan harga pasar akan meningkatkan jumlah penawaran dan sebaliknya penurunan harga pasar akan menurunkan jumlah penawaran. Berkaitan dengan harga komoditas subtitusi, produsen ubi kayu akan bereaksi terhadap perubahan dari produk terkait, misal jika sebuah lahan ubi kayu dapat digunakan untuk memproduksi komoditas ubi kayu ataupun jagung, jika harga komoditas jagung lebih baik maka produsen akan cenderung memilih untuk menanam komoditas jagung dibanding ubi kayu. Untuk lahan, sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang menempatkan lahan sebagai input produksi paling penting disamping pupuk. Peran ubi kayu dalam komoditas pangan masih menjadi pangan kelas dua setelah beras dimana ada beberapa hal yang mempengaruhi konsumsinya yaitu harga ubi kayu, harga komoditas subtitusi, pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Harga tidak saja mempengaruhi sisi penawaran tetapi juga sisi permintantaan dimana harga akan menentukan pada tingkatanan berapakah permintaan akan dilakukan. Untuk harga komoditas subtitusi seperti jagung, secara teori memiliki hubungan yang positif dengan permintaan ubi kayu. Jika harga jagung meningkat lebih tinggi dari harga ubi kayu maka permintaan ubi kayu akan meningkat dan sebaliknya. Sebagai barang inferior, respon konsumsi ubi kayu terhadap peningkatan pendapatan perkapita akan negatif, dimana seiring denga peningkatan pendapatan maka masyarakat cenderung untuk tidak mengkonsumsi ubi kayu. Sedangkan jumlah penduduk akan mempengaruhi permintaan akan ubi kayu dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk juga akan meningkatkan jumlah masyarakat yang mengkonsumsi ubi kayu. Peran harga ubi kayu selain mempengaruhi konsumsi dan produksi ubi kayu juga dipengaruhi oleh variabel konsumsi ubi kayu, luas areal panen dan variabel panjang jalan beraspal. Pemilihan variabel jalan beraspal dikarenakan ketersediaan infrastruktur yang baik merupakan salah satu faktor penentu dari harga komoditas. Setelah diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi, konsumsi dan harga ubi kayu maka dapat dilakukan proyeksi di tahun 2025. Model Ekonometrik Dengan mengikuti Kerangka Pemikiran Teoritis maka disusun model ekonometrik atau model yang dapat ditaksir dalam penelitian ini. Model didefinisikan sebagai representasi dari dunia nyata (the real world system). Fenomena aktual diwakili oleh model agar dapat menjelaskan, memprediksi, mengontrol dan menyelesaikan permasalahan. Atau juga merupakan penyederhanaan dari masalah dunia nyata yang begitu kompleks agar dapat diselesaikan dengan mudah dan baik. Model ekonometrik adalah suatu ukuran ekonomi atau didefinisikan sebagai analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi yang sebenarnya (aktual) yang didasarkan pada pengembangan dari teori dan pengamatan, dihubungkan dengan metode inferensi yang sesuai (Samuelson et al. dalam Gujarati, 1978). Model yang disampaikan adalah model penawaran dan permintaan dimana pada sisi penawaran terdapat fungsi produksi, sedangkan di sisi permintaan terdapat fungsi konsumsi. Sedangkan fungsi harga berada pada sisi penawaran maupun permintaan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari penawaran dan permintaan ubi kayu Indonesia yang didekati dari fungsi produksi dan konsumsi ubi kayu. Model ini dibangun oleh Panggabean (1986) yang terdiri dari dua persamaan : Produksi = f(harga ubi kayu, Harga komoditas subtitusi, Luas areal panen ubi kayu) Konsumsi = f(harga ubi kayu, Harga komoditas subtitusi, Pendapatan perkapita, Jumlah penduduk) Adapun dalam model simultan yang hendak dibangun dalam penelitian ini dimasukan persamaan harga dengan pertimbangan harga merupakan titik kesetimbangan dari penawaran dan permintaan. Persamaan harga ubi kayu diambil dari penelitian Ismono dan kawan-kawan (2013), yang adalah : Harga ubi kayu = f(luas areal panen ubi kayu, Konsumsi ubi kayu, Suku bunga, Harga urea, Harga ubi kayu tahun sebelumnya) Sehingga akhirnya dirumuskan model simultan sebagai berikut : Prod=C11+C12* Hrg+C13*Hrgjag+C14*Lpanen+C15*Hrgurea+U1 Kons=C21+C22*Hrg+C23*Hrgjag+C24*Pendpatan+C25*Populasi+U2 Hrg=C31+C32*Lpanen+C33*Kons+C34*Pjalan+U3 11

Dimana : Prod Hrg Hrgjag Lpanen Kons Pendpatan Populasi Hrgurea Pjalan U Hipotesis Penelitian = Produksi ubi kayu = Harga ubi kayu = Harga jagung = Luas areal panen ubi kayu = Konsumsi ubi kayu = Pendapatan perkapita = Jumlah penduduk Indonesia = Harga pupuk urea = Panjang jalan beraspal = Peubah penggangu Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis dan model ekonometrik di atas, maka dapat dibuat rumusan hipotesis sebagai berikut : Produksi ubi kayu dipengaruhi secara positif oleh variabel luas panen ubi kayu dan harga ubi kayu. Sedangkan harga jagung dan harga pupuk urea akan berpengaruh negatif terhadap produksi ubi kayu Konsumsi ubi kayu dipengaruhi secara positif oleh variabel harga jagung dan jumlah penduduk, sedangkan harga ubi kayu dan pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap konsumsi ubi kayu. Harga ubi kayu dipengaruhi secara positif oleh variabel konsumsi ubi kayu, sedangkan variabel luas areal panen ubi kayu dan panjang jalan beraspal berpengaruh negatif terhadap harga. Hasil Estimasi Model HASIL DAN PEMBAHASAN Model yang dibangun merupakan model persamaan simultan. Sebelum melakukan analisis terhadap model, dilakukan spesifikasi model untuk tujuan pemilihan model terbaik yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Selanjutnya identifikasi terhadap beberapa persamaan tersebut untuk melihat apakah underidentified, overidentified atau exactlyidentified. Model memiliki tiga persamaan dimana hasil uji keidentifikasian menunjukkan bahwa ketiga persamaan tersebut overidentified dimana : K : Total variabel eksogen dan konstanta dalam model (harga jagung, luas areal panen ubi kayu, pendapatan perkapita, jumlah penduduk Indonesia, harga pupuk urea, panjang jalan beraspal) k : Total variabel eksogen dan konstanta dalam persamaan (persamaan produksi : C, harga jagung, luas areal panen ubi kayu, harga urea; persamaan konsumsi : C, pendapatan perkapita, jumlah penduduk Indonesia, harga jagung; persamaan harga : C, luas panen areal ubi kayu,panjang jalan beraspal) G : Total variabel endogen dalam persamaan (persamaan produksi : harga; persamaan konsumsi : harga; persamaan harga : konsumsi) Persamaan Produksi : K-k (6-4) G-1 (1-1), overidentified Persamaan Konsumsi : K-k (6-4) G-1 (1-1), overidentified Persamaan Harga : K-k (6-3) G-1 (1-1), overidentified Pada tiga persamaan terdapat total sembilan variabel, dengan tiga variabel endogen dan enam variabel eksogen, sehingga memungkinkan penyelesaiannya dengan menggunakan metode TSLS. Dilakukan uji asumsi klasik meliputi uji autokorelasi, ujimultikolinearitas dan uji heteroskedastisitas untuk mendapatkan hasil estimasi yang valid dan memenuhi kriteria BLUE (best linear unbiased estimator). Hasil uji asumsi klasik dalam sistem persamaan simultan pada penelitian ini, adalah sebagai berikut : Persamaan Produksi Autokolinerity (Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test) signifikan dengan nilai prob 0,8274 Tabel Hasil Uji Asumsi Klasik Multikolinieritas (Correlation Matrix) Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di bawah 0,8 Heteroskedastisitas (Heteroskedasticity Test: White) Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,1150 12

(Lanjutan tabel hasil uji...) Persamaan Konsumsi Harga Autokolinerity (Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test) signifikan dengan nilai prob 0,4917 signifikan dengan nilai prob 0,4944 Multikolinieritas (Correlation Matrix) Ada Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di atas 0,8 Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di bawah 0,8 Heteroskedastisitas (Heteroskedasticity Test: White) Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,1240 Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,4510 Dapat disimpulkan ada satu persamaan yang disajikan belum memenuhi kriteria BLUE (best linear unbiased estimator) yaitu persamaan konsumsi dengan memiliki multikolinearitas sehingga variabel yang terkena asumsi perlu dihilangkan. Setelah beberapa kali dilakukan pembersihan variabel yang bermasalah, kemudian dilakukan uji asumsi kembali untuk model tersebut dengan hasil : Persamaan Produksi Konsumsi Harga Autokolinerity (Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test) signifikan dengan nilai prob 0,8274 signifikan dengan nilai prob 0,8747 signifikan dengan nilai prob 0,4944 Tabel Hasil Uji Asumsi Klasik Ulang Multikolinieritas (Correlation Matrix) Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di bawah 0,8 Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di bawah 0,8 Nilai koefisien antar beberapa variabel independen di bawah 0,8 Heteroskedastisitas (Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey) Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,1150 Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,1271 Data Time Series dan signifikan dengan nilai prob 0,4510 Persamaan-persamaan yang disajikan dalam model sekarang telah memenuhi kriteria BLUE (best linear unbiased estimator), dimana persamaan-persamaan tersebut yang kemudian akan diinterpretasi adalah sebagai berikut : Log(Prod)=C(11)+C(12)*Log(Hrg)+C(13)*Log(Hrgjag)+C(14)*Log(Lpanen)+C(15)*Log(Hrgurea) Log(Kons)=C(21)+C(22)*Log(Pendpatan)+C(23)*Log (Populasi) +C(24)*Log (Hrgjag) Log(Hrg)=C(31)+C(32)*Log(Lpanen)+C(33)*Log(Kons)+C(34)*Log(Pjalan) Hasil dugaan model dalam setiap persamaan yang diperoleh relatif cukup baik dengan nilai koefisien determinasi R-square dari masing-masing persamaan berkisar antara 0,88 sampai 0,98. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum variabel-variabel eksogen yang ada dalam persamaan relatif mampu menjelaskan dengan baik masing-masing variabel endogen. Besarnya nilai F yang diperoleh berkisar antara 40 sampai 446 dengan nilai prob (F-statistic) sebesar 0,000000 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas dalam setiap persamaan secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel bebas pada taraf nyata α = 1%. Untuk uji normalitas, ketiga persamaan memenuhi kriteria dimana error term terdistribusi normal yang dapat dilihat dari tidak signifikannya nilai probabilitas pada Jarque-Bera. Persamaan produksi memiliki nilai probabilitas Jarque-Bera 0,985. Persamaan konsumsi memiliki nilai probabilitas Jarque-Bera 0,263. Sedangkan persamaan harga memiliki nilai probabilitas Jarque-Bera 0,946. 13

Hasil Model Ekonometrik Setelah melakukan uji asumsi klasik terhadap persamaan-persamaan dalam model maka hasilnya perhitungannya dapat dijabarkan sebagai berikut : Produksi Produksi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi oleh harga ubi kayu, harga harga komoditas saingan (jagung), luas areal panen ubi kayu dan harga urea. Variabel luas panen dan harga ubi kayu berpengaruh positif terhadap produksi ubi kayu. Sedangkan harga jagung berpengaruh negatif terhadap produksi ubi kayu. Hasil estimasi parameter produksi ubi kayu Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Estimasi Parameter Produksi Ubi Kayu Indonesia Variabel Koefisien Prob. Ket C 6,579843 0,2671 log(hrg) 0,437109 0,0677 *** log(hrgjag) -0,051782 0,8265 log(lpanen) 1,114950 0,0117 ** log(hrgurea) -0,151058 0,0495 ** Sumber : Diolah Ket : R-squared = 90,16 %, Adjusted R-Squared = 87,98 % dan Prob(F-Statistic) = 0,000000. **: signifikan pada α = 5% *** : signifikan pada α = 10% Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien determinasi R-squared dari persamaan produksi ubi kayu mengartikan 90,16 % produksi ubi kayu dapat jelaskan oleh keragaman variabel-variabel eksogen dalam persamaan yakni harga ubi kayu, harga jagung, luas panen ubi kayu dan harga pupuk urea. Atau dengan kata lain produksi ubi kayu di Indonesia sangat ditentukan oleh keempat variabel dimaksud, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam persamaan. Adapun nilai F-statistic sebesar 0,000000 menunjukan bahwa variabel-variabel eksogen dalam persamaan produksi ubi kayu tersebut mampu secara bersama-sama menjelaskan variabel endogen dengan baik. Dari nilai probabilitas yang dimiliki menunjukkan bahwa variabel harga ubi kayu berpengaruh nyata pada taraf 10 %. Sedangkan variabel luas panen ubi kayu dan harga urea berpengaruh nyata pada taraf 5 %. Variabel harga ubi kayu (hrg) menunjukkan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap produksi ubi kayu dengan koefisien regresi sebesar 0,437109. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan harga ubi kayu pada tingkatan 1 % akan meningkatkan produksi ubi kayu sebesar 0,43 % dan sebaliknya, jika ada penurunan harga ubi kayu sebesar 1 % maka produksi ubi kayu akan menurun sebanyak 0,43 %, ceteris paribus. Harga merupakan insentif bagi petani ubi kayu untuk meningkatkan produksinya, dimana peningkatan harga pasar akan juga meningkatkan jumlah produksi ubi kayu dan sebaliknya jika ada penurunan harga pasar ubi kayu akan menurunkan jumlah produksi ubi kayu. Pada tataran riil berdasarkan data BPS, peningkatan harga ubi kayu dari Rp. 150/kg di tahun 1991 menjadi Rp. 2166/kg di tahun 2013 seiring sejalan dengan peningkatan produksi ubi kayu pada periode waktu yang sama. Variabel luas panen ubi kayu (lpanen) signifikan mempengaruhi produksi ubi kayu dengan koeifisen regresi sebesar 1,114950. Hal ini mengartikan bahwa setiap kenaikan luas panen sebesar 1 % akan meningkatkan produksi sebesar 1,11 %. Sebaliknya jika ada penurunan luas panen sebesar 1 % maka produksi ubi kayu akan menurun sebesar 1,11 %, ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan ilmu ekonomi dimana ada peningkatan input produksi maka produksi itu sendiri akan meningkat dan begitu sebaliknya. Pada tataran riil, menurut data BPS, terjadi penurunan tingkat luas panen ubi kayu di Indonesia dari 1.319.143 ha di tahun 1991 menjadi 1.065.752 ha di tahun 2013 dan bersamaan dengan itu produksi ubi kayu di tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 23.936.921 ton dari 24.177.372 ton di tahun 2012. Variabel harga urea (hrgurea) signifikan mempengaruhi produksi ubi kayu dengan koefisien regresi sebesar -0,151058. Hal ini mengartikan bahwa setiap kenaikan harga urea sebagai input produksi sebesar 1 % akan menurunkan produksi sebesar 0,15 %. Sebaliknya jika ada penurunan harga urea sebesar 1 % maka produksi ubi kayu akan meningkat sebesar 0,15 %, ceteris paribus. Pupuk urea merupakan salah satu input utama bagi produksi ubi kayu, dimana pada bulan-bulan pertama perkembangan tanaman ubi kayu sangat memerlukan adanya pupuk urea tersebut sebagai nutrisi pertumbuhannya. Jika pasokan pupuk urea tidak mencukupi maka produksi ubi kayu perhektarnya akan berkurang signifikan. Dengan adanya peningkatan 14

harga pupuk urea membuat petani ubi kayu mengurangi asupan pupuk urea pada lahan ubi kayu untuk mengurangi ongkos produksinya sehingga secara otomatis produksi ubi kayu akan berkurang. Variabel harga jagung (hrgjag) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi ubi kayu walau memiliki tanda hubungan yang benar, dengan koefisien regresi sebesar -0,051782. Harga komoditas saingan memang menjadi salah satu tolak ukur petani untuk memproduksi, tetapi dalam produksi ubi kayu faktor-faktor yang lebih mempengaruhi adalah faktor input produksi seperti lahan dan pupuk urea serta harga ubi kayu itu sendiri. Hal ini dikarenakan petani ubi kayu tidak akan begitu saja mengganti produk pertaniaannya dengan komoditas lainnya karena petani cenderung untuk bermain aman dan adanya kesulitan dalam pemasaran maupun permodalan untuk mengubah menanam komoditas yang lain. Konsumsi Konsumsi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, jumlah penduduk Indonesia dan harga komoditas jagung. Variabel pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap konsumsi ubi kayu sedangkan jumlah penduduk dan harga jagung berpengaruh positif terhadap konsumsi ubi kayu Indonesia. Hasil estimasi parameter konsumsi ubi kayu Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Estimasi Parameter Konsumsi Ubi Kayu Indonesia Variabel Koefisien Prob. Ket C -8,852480 0,4561 log(pendpatan) -0,192699 0,1344 log(populasi) 2,821839 0,0148 ** log(hrgjag) 0,123302 0,2750 Sumber : Diolah Ket : R-squared = 88,51 %, Adjusted R-Squared = 86,70 % dan Prob(F-Statistic) = 0,000003. **: signifikan pada α = 5% Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien determinasi R-squared dari persamaan konsumsi ubi kayu mengartikan 88,51 % konsumsi ubi kayu dapat jelaskan oleh keragaman variabel-variabel eksogen dalam persamaan yakni pendapatan perkapita, jumlah penduduk Indonesia dan harga komoditas jagung. Dengan kata lain konsumsi ubi kayu di Indonesia sangat ditentukan oleh ketiga variabel tersebut, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam persamaan. Adapun nilai F-statistic sebesar 0,000000 menunjukan bahwa variabel-variabel eksogen dalam persamaan konsumsi ubi kayu tersebut mampu secara bersama-sama menjelaskan variabel endogen dengan baik. Dari nilai probabilitas yang dimiliki menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk Indonesia berpengaruh nyata pada taraf 5 %. Sedangkan untuk variabel pendapatan perkapita dan harga jagung tidak menunjukkan pengaruh yang signfikan pada taraf nyata 10 %. Variabel pendapatan (pendpatan) secara negatif dan tidak signifikan mempengaruhi konsumsi ubi kayu dengan koeifisen regresi sebesar -0,192699. Pada umumnya pendapatan dan konsumsi memiliki hubungan positif, dengan kata lain kuantitas barang yang dikonsumsi akan meningkat seiring dengan pendapatan. Barang tersebut merupakan barang normal dimana konsumen ingin membeli lebih sebagai dampak dari peningkatan pendapatan mereka. Dalam hal ubi kayu yang dikonsumsi secara langsung, pengaruh peningkatan pendapatan terhadap permintaan ubi kayu bersifat negatif dikarenakan masyarakat Indonesia masih menganggap ubi kayu adalah barang inferior. Adapun hubungan yang tidak signifikan antara pendapatan perkapita dengan konsumsi ubi kayu dapat dijelaskan bahwa karena adanya keterbatasan waktu dan data maka data konsumsi ubi kayu yang dipakai dalam penelitian ini hanya data ubi kayu segar dan tidak mencakup data ubi kayu yang dikonsumi secara tak langsung, diolah terlebih dahulu menjadi makanan ringan atau tepung yang dapat menjadi barang normal bagi masyarakat Indonesia. Variabel jumlah penduduk Indonesia (populasi) secara signifikan dan positif mempengaruhi konsumsi domestik ubi kayu dengan koeifisen regresi sebesar 2,821839. Hal ini mengartikan bahwa setiap adanya kenaikan pada jumlah penduduk sebesar 1 % akan meningkatkan konsumsi ubi kayu sebesar 2,82 %. Sebaliknya jika ada penurunan jumlah penduduk sebesar 1 % maka konsumsi ubi kayu akan menurun sebesar 2,82 %, ceteris paribus. Pada umumnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk berarti kebutuhan akan pangan juga akan meningkat, dimana ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif akan mengalami peningkatan dalam permintaan akan konsumsi. Berkaitan dengan selera masyarakat, kecenderungan yang terjadi pada pola makanan masyarakat Indonesia, ubi kayu terus mengalami 15

penurunan yang signifikan pada skala rumah tangga. Pada tahun 1999 ubi kayu hanya mengambil porsi 8,83 % dari keseluruhan konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia dan di tahun 2010 terus mengalami penurunan dibarengi dengan peningkatan konsumsi beras dan tepung terigu. Variabel harga jagung tidak signifikan mempengaruhi konsumsi ubi kayu dengan koefisien regresi sebesar 0,123302. Hubungan yang tidak signifikan tersebut dapat dijelaskan dimana jagung merupakan barang subtitusi bagi ubi kayu, tetapi dengan koefisien regresi yang rendah maka jagung dan ubi kayu menjadi barang independen sehingga jika ada penurunan harga jagung tidak serta merta mempengaruhi pola makan/konsumsi masyarakat Indonesia yang telah mengkonsumsi ubi kayu begitu juga sebaliknya. Harga Harga ubi kayu di Indonesia dipengaruhi oleh luas panen ubi kayu, konsumsi ubi kayu dan panjang jalan beraspal. Variabel luas areal panen ubi kayu berpengaruh negatif terhadap harga ubi kayu. Sedangkan konsumsi ubi kayu, dan panjang jalan beraspal berpengaruh positif terhadap harga ubi kayu. Hasil estimasi parameter harga ubi kayu Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Estimasi Parameter Harga Ubi Kayu Indonesia Variabel Koefisien Prob. Ket C -23,40195 0,0689 log(lpanen) -2,344059 0,0008 * log(kons) 1,599087 0,0001 * log(pjalan) 2,033582 0,0000 * Sumber : Diolah Ket : R-squared = 98,60 %, Adjusted R-Squared = 98,38 % dan Prob(F-Statistic) = 0,000000. * : signifikan pada α = 1% Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien determinasi R-squared dari persamaan harga ubi kayu mengartikan 98,60 % harga ubi kayu dapat jelaskan oleh keragaman variabel-variabel eksogen dalam persamaan yakni luas panen ubi kayu, konsumsi ubi kayu dan panjang jalan beraspal. Harga ubi kayu di Indonesia sangat ditentukan oleh ketiga variabel tersebut, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam persamaan. Adapun nilai F-statistic sebesar 0,000000 menunjukan bahwa variabel-variabel eksogen dalam persamaan harga ubi kayu tersebut mampu secara bersama-sama menjelaskan variabel endogen dengan baik. Dari nilai probabilitas yang dimiliki menunjukkan bahwa luas panen ubi kayu, konsumsi ubi kayu dan panjang jalan beraspal berpengaruh nyata pada taraf 1 %. Variabel luas panen ubi kayu (lpanen) secara signifikan dan negatif mempengaruhi harga ubi kayu dengan koefisien regresi sebesar -2,344059. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan luas panen ubi kayu sebanyak 1 % akan menurunkan harga ubi kayu sebesar 2,34 % dan sebaliknya, jika ada penurunan luas panen ubi kayu sebesar 1 % maka harga ubi kayu akan meningkat sebanyak 2,34 %, ceteris paribus. Hal ini dapat dijelaskan bahwa produksi ubi kayu akan meningkat seiring dengan peningkatan luas panen ubi kayu sehingga jika produksi ubi kayu meningkat maka kecenderungannya harga akan mengalami penurunan. Sebagai gambaran, di tahun 1996 terjadi peningkatan luas lahan panen ubi kayu dari 1.324.259 ha menjadi 1.415.101 ha sehingga meningkatkan produksi ubi kayu secara signifikan dari 15.441.481 ton menjadi 17.002.455 ton. Hal tersebut membuat penurunan harga ubi kayu dari Rp. 224/kg menjadi Rp. 218/kg. Variabel konsumsi ubi kayu (kons) secara signifikan dan positif mempengaruhi harga ubi kayu dengan koeifisen regresi sebesar 1,599087. Hal ini mengartikan bahwa setiap kenaikan konsumsi ubi kayu sebesar 1 % akan menaikan harga ubi kayu sebesar 1,59 %. Sebaliknya jika ada penurunan konsumsi ubi kayu sebesar 1 % maka harga ubi kayu akan turun sebesar 1,59 %, ceteris paribus. Hal tersebut dapat diasumsikan peningkatan kebutuhan konsumsi ubi kayu di saat produksinya tidak bertambah akan membuat kelangkaan komoditas ubi kayu di Indonesia, dimana kelangkaan tersebut dapat memicu kenaikan harga ubi kayu. Variabel panjang jalan beraspal (pjalan) secara signifikan dan positif mempengaruhi harga ubi kayu dengan koefisien regresi sebesar 2,033582. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa setiap adanyanya peningkatan panjang jalan beraspal sebanyak 1 % akan menaikkan harga ubi kayu sebesar 2,03 % dan sebaliknya, jika ada penurunan panjang jalan beraspal sebesar 1 % maka harga ubi kayu akan menurun sebanyak 0,88 %, ceteris paribus. Meskipun dengan sarana transportasi yang baik dapat mengurangi biaya produksi dan secara tak langsung dapat menekan harga, tetapi dengan mudahnya akses petani ke pasar 16

akan membuat petani lebih mendapat informasi mengenai kondisi riil pasar dimana hal ini juga akan menjadi salah satu faktor penentu dalam penentuan harga. Proyeksi Produksi, Konsumsi dan Harga Ubi Kayu Tahun 2025 Tren luas areal panen ubi kayu dari tahun 1991 sampai dengan 2013 mengalami penurunan dengan tren penurunan luas sebesar 0,85 % pertahunnya. Sedangkan untuk produktivitas ubi kayu dari tahun 1991 sampai dengan 2013 memiliki tren peningkatan produktivitas sebesar 2,94 % pertahunnya. Karena produksi ubi kayu merupakan hasil dari perkalian antara luas areal panen dan produktivitas lahannya, maka dengan asumsi tren masa lalu dari luas areal panen ubi kayu dan produktivitas dilakukan proyeksi produksi ubi kayu sampai tahun 2025 seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel Proyeksi Produksi Ubi Kayu dari Sisi Perkalian Tren Luas Areal Panen dengan Tren Produktivitas Lahan Ubi Kayu Tahun Luas Areal Panen Produktivitas (ha) (ha/ton) Produksi (ton) 2016 1.038.806 24,50 25.450.747 2019 1.012.541 26,72 27.055.096 2022 986.940 29,15 28.769.301 2025 961.986 31,8 30.591.155 Sumber : Diolah Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi produksi ubi kayu dapat disimpulkan bahwa produksi ubi kayu pada tahun 2025 akan meningkat jika melihat asumsi tren peningkatan produktivitas lahan yaitu sebesar 30.591.155 ton. Walaupun tren luas areal panen menurun pertahunnya tetapi produktivitas ubi kayu memiliki kecenderungan yang meningkat pertahunnya sehingga nilai proyeksi produksi ubi kayu yang dihasilkan pun akan meningkat lebih karena faktor produktivitas lahannya. Dari asumsi tren kenaikan harga dari tahun 1991 sampai dengan 2013 sebesar 14 % pertahunnya, dilakukan proyeksi produksi ubi kayu sampai tahun 2025 seperti pada tabel di bawah ini. Tabel Proyeksi Produksi Ubi Kayu dari Sisi Harga Tahun Harga (rp/kg) Produksi (ton) 2016 3.209 29.468.980 2019 4.755 40.998.000 2022 7.045 57.031.920 2025 10.437 79.331.060 Sumber : Diolah Dengan adanya asumsi peningkatan harga 14 % pertahunnya maka produksi ubi kayu pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat menjadi 79.331.060 ton, meningkat 231,42 % dibandingkan tahun dasarnya yaitu tahun 2013. Meski begitu, menurut penulis dengan peningkatan harga hanya menjadi Rp. 10.437/kg di tahun 2025 sangat tidak menarik bagi produsen untuk menanam ubi kayu sehingga proyeksi peningkatan produksi ubi kayu di atas cenderung sulit dicapai. Terhadap perkembangan konsumsi, diasumsikan dari tahun 1991 sampai dengan 2013 terjadi tren peningkatan harga ubi kayu sebesar 14 % pertahunnya, peningkatan pendapatan perkapita sebesar 8 % pertahunnya dan peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,41 % pertahunnya, maka didapatkan proyeksi konsumsi ubi kayu Indonesia seperti pada tabel di bawah ini : Tabel Proyeksi Konsumsi Ubi Kayu dari Sisi Harga, Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk Indonesia Tahun Jumlah Penduduk Konsumsi Ubi Harga Ubi Kayu Pendapatan Perkapita Indonesia (ribu Kayu (kg) (rp/kg) (rp) jiwa) 2016 796.103.300 3.209 47.682.881 259.492 2019 625.472.600 4.755 60.568.645 270.624 2022 491.408.100 7.045 76.936.643 282.234 2025 386.090.700 10.437 97.727.908 294.341 Sumber : Diolah Dapat dilihat bahwa kenaikan pendapatan perkapita, jumlah penduduk Indonesia dan harga ubi kayu akan menyebabkan konsumsi ubi kayu Indonesia mengalami penurunan sebesar 386 ton di tahun 2025. Jika tidak ada intervensi pemerintah dalam hal diversifikas pangan dan pembatasan konsumsi beras, 17

kemungkinan besar peran ubi kayu sebagai salah satu komoditas pendukung ketahanan panga Indonesia akan ditinggalkan. Terhadap perkembangan harga ubi kayu, jika diproyeksikan dengan hasil asumsi jumlah konsumsi ubi kayu pada tabel di atas, dibarengi dengan asumsi tren penurunan luas areal panen ubi kayu sebesar 0,85 % pertahunnya, maka didapatkan proyeksi harga ubi kayu Indonesia di bawah ini : Tabel Proyeksi Harga Ubi Kayu dari Sisi Konsumsi Ubi Kayu dan Luas Areal Panen Ubi Kayu Tahun Harga Ubi Konsumsi Ubi Luas Areal Kayu (rp/kg) Kayu (kg) Panen (ha) 2016 3.344 796.103.300 1.038.806 2019 4.355 625.472.600 1.012.541 2022 4.889 491.408.100 986.940 2025 4.956 386.090.700 961.986 Sumber : Diolah Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa penurunan konsumsi dan luas areal panen ubi kayu secara bersamaan diproyeksikan hanya meningkatan harga ubi kayu Indonesia sebesar Rp. 4.956,- di tahun 2025. Dengan peningkatan harga yang tidak signifikan tersebut, petani ubi kayu dipastikan akan meninggalkan komoditas tersebut dan mengganti dengan komoditas yang lebih menjanjikan dari segi harga. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini terlihat bahwa produksi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh variabel harga ubi kayu, luas areal panen ubi kayu dan harga pupuk urea. Sedangkang variabel harga jagung sebagai komoditas subtitusi tidak berpengaruh signifikan. Dengan adanya peningkatan harga ubi kayu maka petani ubi kayu akan meningkatkan produksinya. Variabel luas areal panen berpengaruh positif terhadap produksi ubi kayu dikarenakan lahan merupakan input produksi paling penting dari ubi kayu. Sedangkan pengaruh pupuk urea terhadap produksi ubi kayu dikarenakan merupakan salah satu input produksi dari ubi kayu. Dalam penelitian ini, konsumsi ubi kayu di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh variabel jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan variabel harga pendapatan perkapita dan harga jagung tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi ubi kayu. Pengaruh yang positif dari jumlah penduduk Indonesia terhadap konsumsi ubi kayu menyatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk secara otomatis akan meningkatkan pengguna ubi kayu dan secara otomatis meningkatkan konsumsi ubi kayu Inodnesia. Dalam penelitian ini, harga ubi kayu di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh variabel luas panen ubi kayu, konsumsi ubi kayu dan panjang jalan beraspal. Ketersediaan ubi kayu akan meningkat seiring dengan peningkatan luas panen ubi kayu. Peningkatan kebutuhan konsumsi ubi kayu di saat produksinya tidak bertambah akan membuat kelangkaan komoditas ubi kayu di Indonesia, dimana kelangkaan tersebut dapat memicu kenaikan harga ubi kayu. Selanjutnya dalam penelitian ini, diasumsikan berdasarkan perhitungan proyeksi produksi sampai tahun 2025, produksi ubi kayu pada tahun 2025 jika melihat tren peningkatan produktivitas lahan akan meningkat sebesar 30.591.155 ton. Peningkatan produksi kayu ini lebih besar dibanding dengan mengupayakan peningkatan luas panen ubi kayu yang hanya meningkatkan produksi menjadi 24.898.010 ton saja. Sedangkan dengan asumsi adanya peningkatan harga sebesar 14 % pertahunnya maka diproyeksikan produksi ubi kayu pada tahun 2025 akan meningkat sebesar 79.331.060. Untuk perhitungan proyeksi konsumsi ubi kayu jika diproyeksian dengan tren peningkatan harga ubi kayu sebesar 14 % pertahunnya, dibarengi dengan peningkatan pendapatan perkapita sebesar 8 % dan peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,41 % pertahunnya akan menyebabkan konsumsi ubi kayu Indonesia mengalami penurunan sebesar 386 ton di tahun 2025. Untuk perhitungan proyeksi harga ubi kayu jika diproyeksian dengan proyeksi konsumsi ubi kayu, dibarengi dengan tren penurunan luas areal panen ubi kayu, maka harga ubi kayu Indonesia akan meningkat sebesar Rp. 4.956,- di tahun 2025. Saran Terkait bertambahnya peranan ubi kayu menjadi tidak hanya sebagai penyedia pangan alternatif, tetapi juga sumber pakan dan bahan bakar alternatif maka yang diharapkan ke depan adalah adanya peningkatan produksi ubi kayu agar program ketahanan pangan yang dicanangkan dapat berjalan dengan 18

baik. Peningkatan produksi ubi kayu di Indonesia dapat dilakukan dengan peningkatan luas areal ubi kayu yang dilakukan bersamaan dengan peningkatan produktivitas lahan panen ubi kayu melalui peningkatan teknologi pertanian berupa penyediaan benih unggul serta meningkatkan asupan pupuk pertanian. DAFTAR PUSTAKA Allem, AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16. Anonim. 2003. Materi Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Pembangunan. Makassar : Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Bappenas. 2014. Rencana Kerja Pemerintah Buku III. Jakarta Badan Ketahanan Pangan. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan 2011-2015. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2013. Kebijakan Penyediaan Bahan Baku Bioenergi Mendukung Ketahanan Energi Nasional. Jakarta. Blanchard, Oliver. 2006. Macroeconomics Fourth Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Canning, David. 1999. Infrastructure s Contribution to Aggregate Output. World Bank Policy Research Working Paper No. 2246. Case, Karl E., Ray C. Fair. 2002. Principles of Economics Sixth Edition. New Jersey : Prentice Hall. Darjanto dan Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Direktorat Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2012. Roadmap Peningkatan Produksi Ubi Kayu Tahun 2010-2014. Jakarta. Dixon, John A. 1982. Cassava in Indonesia: its Economic Role and Use as Food. Contemporary Southeast Asia, Vol. 3, No. 4 (March 1982), pp. 361-373) Doll, J.P and F. Orazem. 1984. Production Economics. New York : John Wiley and Sons. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga. Irawan, Bambang. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 116-131 Ismono, R. Hanung., Septaria Indah Sari., Indah Nurmayasari. 2013. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Ubi Kayu Di Provinsi Lampung. JIIA Volume 1 No. 1. Januari 2013 Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Empat. Koutsoyianis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. New York : The Macmillan Press. Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementan 2010-2014. Jakarta Kotler, Phillip dan Gary Amstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran, jilid 2, edisi ke-8. Jakarta : Penerbit Erlangga. Leo., Kelmin., Salmiah. 2012. Analisis Pengaruh Input Produksi Terhadap Produksi Usahatani Ubi Kayu Di Desa Sukasari Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness Vol 1 No 1. Medan : Universitas Sumatera Utara. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta : Binarupa Aksara. Mvodo, Elise Stephanie Meyo & Dapeng Liang. 2012. Cassava sector development in Cameroon: Production and marketing factors affecting price. SciRes Agricultural Sciences Vol.3, No.5, 651-657 (2012) Nainggolan, Kaman. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Panggabean, Martin Partahi Hasoloan. 1986. Analisa Permintaan dan Penawaran Ubikayu di Indonesia. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2013. Statistik Pertanian. Jakarta. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro (Edisi 2). Jakarta : Ghalia Indonesia. Pyndick, Robert S., Daniel L. Rubinfeld. 2009. Mikroekonomi Edisi Keenam (terj). Jakarta : PT Indeks. Salvatore, Dominick. 2001. Managerial Economics, dalam Perekonomian Global. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Sani, Sondah. 2006. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Ubi kayu untuk Agroindustri. Jakarta : Ditjen Tanaman pangan Kementerian Pertanian. Schnepf, Randy. 2005. Price Determination in Agricultural Commodity Markets: A Primer. Congressional Research Service. Washington DC : The Library of Congress. Suryadi, Tatang. 2013. Analisis Penawaran Dan Permintaan Ubi Kayu di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 19

Syafani, Tyas Sekartiara. 2014. Analisis Preferensi, Pola Konsumsi, dan Permintaan Tiwul oleh Konsumen Rumah Makan di Provinsi Lampung. Skripsi. Bandar Lampung : Universitas Lampung. Timmer, C. Peter., Walter P. Falcon., Scott R. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. Published for the World Bank. Baltimore and London : The Johns Hopkins University Press. 20