KUANTIFIKASI SENYAWA PENGOTOR ORGANIK PADA PRODUK BIOETANOL EKO PRABOWO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

PRODUKSI BIO-ETANOL DARI DAGING BUAH SALAK ( Salacca zalacca ) PRODUCTION OF BIO-ETHANOL FROM FLESH OF SALAK FRUIT ( Salacca zalacca )

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KADAR METANOL DAN ETANOL DALAM MINUMAN BERALKOHOL MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS. Abstrak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. formula menggunakan HPLC Hitachi D-7000 dilaksanakan di Laboratorium

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

ANALISIS PROFENOFOS DALAM KUBIS MENGGUNAKAN METODE EFFERVESCENCE-LPME DENGAN INSTRUMEN HPLC UV-Vis SKRIPSI

4027 Sintesis 11-kloroundek-1-ena dari 10-undeken-1-ol

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

APLIKASI EFFERVESCENCE-LIQUID PHASE MICROEXTRACTION UNTUK ANALISIS SENYAWA PESTISIDA KLORPIRIFOS DALAM MENTIMUN MENGGUNAKAN HPLC UV-VIS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 3: Oksida-oksida sulfur (SO X ) Seksi 2: Cara uji dengan metoda netralisasi titrimetri

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 6: Cara uji kadar amoniak (NH 3 ) dengan metode indofenol menggunakan spektrofotometer

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber-Sumber Energi yang Ramah Lingkungan dan Terbarukan

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 8: Cara uji kadar hidrogen klorida (HCl) dengan metoda merkuri tiosianat menggunakan spektrofotometer

BIOETANOL DARI LIGNOSELULOSA: POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH PADAT DARI INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT

Penetapan Kadar Eugenol dalam Minyak Atsiri dari Daun Sirih Merah (Piper cf fragile Benth.) dan Sirih Hijau (Piper betle L.) secara Kromatografi Gas*

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Spektrum Derivatif Metil Paraben dan Propil Paraben

PENENTUAN KADAR SENYAWA PESTISIDA KLORPIRIFOS MENGGUNAKAN METODE EFFERVESCENCE LIQUID PHASE MICROEXTRACTION HPLC UV-VIS SKRIPSI

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

SIMULASI KONSUMSI ENERGI PEMURNIAN BIOETANOL MENGGUNAKAN VARIASI DIAGRAM ALIR DISTILASI EKSTRAKTIF DENGAN KONFIGURASI, V

Ari Kurniawan Prasetyo dan Wahyono Hadi Jurusan Teknik Lingkungan-FTSP-ITS. Abstrak

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK

PEMANFAATAN KULIT NANAS SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN BIOETANOL

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Konsumsi Bahan Bakar Diesel Tahunan

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI

KARAKTERISTIK GAS BUANG YANG DIHASILKAN DARI RASIO PENCAMPURAN ANTARA GASOLINE DAN BIOETANOL

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Sampel. Sampel yang digunakan adalah tanaman nilam yang berasal dari Dusun

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi

III. METODOLOGI PENELITIAN di Laboratorium Kimia Analitik dan Kimia Anorganik Jurusan Kimia

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

LAMPIRAN 1 DATA PERCOBAAN

UNJUK KERJA METODE FLAME ATOMIC ABSORPTION SPECTROMETRY (F-AAS) PASCA AKREDITASI

VALIDASI METODE ANALISIS PENENTUAN KADAR HIDROKINON DALAM SAMPEL KRIM PEMUTIH WAJAH MELALUI KLT-DENSITOMETRI

PRAKTIKUM ANALISIS KUALITATIF MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS (GLC)

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Pemisahan dan Pemurnian Zat Cair. Distilasi dan Titik Didih. Nama : Agustine Christela Melviana NIM :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISA VITAMIN C METODE HPLC HIGH PERFORMANCE LIQUID CROMATOGRAPHY

BAB IV METODE PENELITIAN

PERCOBAAN I PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA

PENGUJIAN MODEL BURNER KOMPOR BIOETANOL DENGAN VARIASI VOLUME BURNER CHAMBER 50 cm 3, 54 cm 3, 60 cm 3, 70 cm 3

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang industri jasa maupun industri pengolahan bahan baku menjadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN NANOMAGNETIT SEBAGAI PENYEDIA UNSUR HARA NITROGEN PADA TANAMAN JAGUNG ILFA NURAISYAH SIREGAR

4001 Transesterifikasi minyak jarak menjadi metil risinoleat

4 Hasil dan Pembahasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai dengan bulan

I. PENDAHULUAN. dengan laju penemuan cadangan minyak bumi baru. Menurut jenis energinya,

4002 Sintesis benzil dari benzoin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik / Fisik Fakultas

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

5013 Sintesis dietil 2,6-dimetil-4-fenil-1,4-dihidropiridin-3,5- dikarboksilat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 7: Cara uji kadar hidrogen sulfida (H 2 S) dengan metoda biru metilen menggunakan spektrofotometer

III. BAHAN DAN METODE

Gambar 3.1. Alur Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

EKSTRAKSI OLEORESIN DARI KAYU MANIS BERBANTU ULTRASONIK DENGAN MENGGUNAKAN PELARUT ALKOHOL

DISTILASI BERTAHAP BATCH (DBB)

Kata Kunci : kromatografi gas, nilai oktan, p-xilena, pertamax, pertamax plus.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus:

PENDAHULUAN Latar Belakang

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BIOETANOL BERBAHAN BAKU UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA PT PANCA JAYA RAHARJA, SUKABUMI, JAWA BARAT

ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

PEMANFAATAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU PRODUKSI METIL ESTER FEBNITA EKA WIJAYANTI

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol

EKA DIAN SARI / FTI / TK

ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS BENZO(a)PYRENE PADA DAGING SAPI, KAMBING DAN BABI YANG DIBAKAR DENGAN METODE GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROSCOPY (GC-MS)

Transkripsi:

KUANTIFIKASI SENYAWA PENGOTOR ORGANIK PADA PRODUK BIOETANOL EKO PRABOWO DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

ABSTRAK EKO PRABOWO. Kuantifikasi Senyawa Pengotor Organik pada Produk Bioetanol. Dibimbing oleh ETI ROHAETI dan YOSI ARISTIAWAN. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penghematan konsumsi minyak bumi ialah penggunaan bahan bakar nabati (BBN). Gasohol adalah salah satu jenis BBN yang merupakan campuran bensin dengan dengan bioetanol. Mutu gasohol dikendalikan dengan suatu bahan standar yang saat ini masih dalam tahap pengembangan. Penentuan kemurnian bioetanol merupakan tahapan dalam pengembangan bahan standar. Salah satu bagian dari penentuan kemurnian secara tidak langsung ialah penentuan pengotor organik. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data pengotor organik pada 2 buah sampel bioetanol menggunakan kromatografi gas. Metode analisis diverifikasi dengan parameter linearitas, ketelitian, ketepatan, dan limit deteksi. Hasil analisis pengotor organik menunjukkan bahwa dalam kedua sampel bioetanol terdapat 8 senyawa pengotor organik berupa metanol, aseton, 2-propanol, 1-propanol, etil asetat, isobutanol, 1- butanol, dan isoamil alkohol. Sampel 1 memiliki kemurnian sebesar 99.86% dan konsentrasi metanol sebesar 294.40 ppm, sedangkan sampel 2 memiliki kemurnian sebesar 99.85% dan konsentrasi metanol sebesar 178.26 ppm. Hasil tersebut menunjukkan kedua sampel memenuhi syarat SNI 7390:2008 sebagai bahan dasar pembuatan bahan standar. Kata kunci: verifikasi metode, kemurnian bioetanol, pengotor organik, kromatografi gas. ABSTRACT EKO PRABOWO. Quantification of Organic Impurity Compounds in Biethanol Product. Supervised by ETI ROHAETI and YOSI ARISTIAWAN. One effort in decreasing petroleum consumption is using gasohol. Gasohol is one of biofuel which is a mixture of gasoline and bioethanol. Gasohol quality is controlled by reference material which is now in developing process. Purity assessment of bioethanol is a step in developing the reference material. Quantification of organic impurity is part of indirect purity assessment. The aim of this study was to obtain organic impurity data in bioethanol using gas chromatography. The analysis method was verified based on parameters of linearity, precision, accuracy, and detection limit. The result shows that organic impurities in 2 bioethanol samples contain were 8 organic impurities, namely methanol, acetone, 2-propanol, 1-propanol, ethyl acetate, isobutanol, 1-butanol, and isoamyl alcohol. The purity of sample 1 was 99.86% and containing 294.40ppm methanol, and that of sample 2 was 99.85% with methanol contain of 178.26 ppm. The results showed that the quality of both samples met SNI 7390:2008 as base material to make reference material. Keywords: purity of bioethanol, organic impurity, gas chromatography, verification method.

KUANTIFIKASI SENYAWA PENGOTOR ORGANIK PADA PRODUK BIOETANOL EKO PRABOWO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Judul skripsi : Kuantifikasi Pengotor Senyawa Organik pada Produk Bioetanol Nama : Eko Prabowo NIM : G44080018 Pembimbing I Disetujui Pembimbing II Dr. Eti Rohaeti, M.S NIP 19600807 198703 2 001 Yosi Aristiawan, S.Si NIP 19850915 200912 1 002 Diketahui Ketua Departemen Kimia Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S NIP 19501227 197603 2 002 Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Kuantifikasi Senyawa Pengotor Organik pada Produk Bioetanol. Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Juli 2012 di Laboratorium Kimia Analitik dan Standar, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Eti Rohaeti, MS selaku pembimbing pertama dan Yosi Aristiawan SSi selaku pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan dorongan semangat kepada penulis selama penelitian. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Ibu Eka Sajekti atas bantuan dan masukan selama penelitian berjalan. Terima kasih tak terhingga kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Viola Monik, Rizki Septiani, Mutiara Wide, Rofiiqoh Inayati, dan M Wahyu yang telah memberikan bantuan serta dukungan. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Desember 2012 Eko Prabowo

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rejang Lebong Bengkulu pada tanggal 7 Februari 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Jalinus dan ibu Suprapti. Tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Curup dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB tahun ajaran 2009/2010 dan asisten praktikum Kimia Analitik layanan tahun ajaran 2011/2012. Penulis pernah bergabung dalam Organisasi Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa tahun 2009/2010. Penulis juga sempat aktif mengajar mata pelajaran Kimia Dasar di bimbingan belajar MS Collage (2010). Pada bulan Juli-Agustus 2011, penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Balai Penelitian Tanah, Bogor, Jawa Barat dengan judul Analisis Unsur Hara Makro Primer sebagai Rekomendasi Pemupukan Tanaman Karet.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... vii PENDAHULUAN... 1 BAHAN DAN METODE... 1 Alat dan Bahan... 1 Metode... 1 HASIL DAN PEMBAHASAN... 4 Identifikasi Senyawa berdasarkan kromatogram GC... 4 Optimasi Pengukuran... 4 Verifikasi Metode... 4 Penentuan Pengotor Organik pada Bioetanol... 6 SIMPULAN DAN SARAN... 9 Simpulan... 9 Saran... 9 DAFTAR PUSTAKA... 9 LAMPIRAN...11

DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil pengujian ketelitian... 5 2 Pengujian limit deteksi metode... 5 3 Identifikasi puncak pengotor bioetanol... 7 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kromatogram standar NIST etanol dalam bahan bakar... 3 2 Kurva regresi linear (a) split 1:200 dan (b) split 1:100... 4 3 Kromatogram sampel bioetanol (a) sampel 1 dan (b) sampel 2... 7 4 Struktur polidimetilsiloksana... 8 5 Perbandingan konsentrasi pengotor sampel bioetanol... 9 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir penelitian...12 2 Nilai SBR masing-masing split ratio...13 3 Pengujian linearitas...13 4 Pengujian ketepatan... 13 5 Jumlah puncak pengotor berdasarkan volume injeksi... 14 6 Waktu retensi standar senyawa pengotor organik bioetanol...15 7 Konsentrasi pengotor dan kemurnian sampel... 15

PENDAHULUAN Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2010), pada tahun 1987 jumlah kendaraan bermotor Indonesia hanya sebesar 7 981 480. Jumlah tersebut terus meningkat hampir 10 kali lipat pada tahun 2009, yaitu sebesar 70 714 569. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak diikuti dengan peningkatan produksi minyak mentah tanah air. Produksi minyak mentah Indonesia pada tahun 1996 sebesar 485 573.80 barel, sedangkan pada tahun 2010 turun menjadi 300 923.30 barel (BPS 2011). Jumlah cadangan minyak bumi Indonesia berdasarkan data Januari 2011 ialah sebesar 7.41 miliar barel, sehingga dengan tingkat produksi saat ini maka cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam jangka waktu 12 tahun (BPMIGAS 2011). Oleh sebab itu, diperlukan suatu langkah untuk menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) atau dikenal juga dengan istilah biofuel merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. BBN merupakan campuran antara BBM dengan bahan bakar alternatif yang dapat diperbarui. Meskipun tidak menggantikan secara keseluruhan, penggunaan bahan tersebut dapat menghemat penggunaan BBM yang berasal dari minyak bumi. Sumber BBN dapat berupa tanaman pertanian terutama kelapa sawit dan jarak pagar yang menghasilkan biodisel serta ketela pohon dan tebu yang menghasilkan bioetanol. Biodisel digunakan sebagai bahan komposisi solar yang dikenal sebagai biosolar, sedangkan bioetanol digunakan sebagai komposisi bensin yang dikenal sebagai gasohol (Balat & Balat 2009). Produksi bioetanol saat ini sudah berkembang ke arah penggunaan bahan yang mengandung lignoselulosa berupa hasil hutan dan limbah pengolahan hasil hutan (EREC 2007). Saat ini penggunaan biosolar secara luas di Indonesia telah dilakukan, namun penggunaan gasohol masih sangat terbatas. Menurut Prihanandana dan Hendroko (2007) program pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia sudah dikaji sejak tahun 1980 hingga pada tingkat pengujian kendaraan dengan bahan bakar gasohol. Namun, rendahnya harga minyak mentah dan naiknya harga bahan baku bioetanol pada saat itu menyebabkan program tersebut kemudian dihentikan. Saat ini harga minyak mentah dunia terus mengalami peningkatan dan cadangan minyak Indonesia jumlahnya semakin terbatas. Oleh sebab itu, program tersebut dilanjutkan kembali. Menurut Ballat dan Ballat (2009), komposisi yang paling umum ialah 10% bioetanol dan 90% bensin yang dikenal dengan istilah E10. Komposisi tersebut tidak memerlukan modifikasi pada mesin. Modifikasi pada mesin kendaraan memungkinkan penggunaan bioetanol dengan proporsi yang lebih banyak. Yuksel dan Yuksel (2004) melakukan modifikasi sederhana pada karburator kendaraan dan menghasilkan mesin yang dapat menggunakan komposisi 60% bioetanol dan 40% bensin sebagai bahan bakar. Penggunaan bioetanol sebagai pengganti atau substitusi bensin telah dilakukan di berbagai negara. Amerika Serikat telah memulai program penggunaan bietanol sebagai bahan bakar sejak tahun 1980 dan saat ini Amerika Serikat telah mengembangkan teknologi kendaraan dengan sistem dual fuel atau Flexible Fuel Vehicle. Tekonologi ini memungkinkan penggunaan E85 yang merupakan komposisi antara 85% bioetanol dan 15% bensin (Ulmer et al. 2004). Konsentrasi etanol dalam BBN perlu dianalisis, sebab berpengaruh terhadap fungsinya sebagai bahan bakar. Ketidaksesuaian konsentrasi etanol dengan jenis mesin dapat mengakibatkan kerusakan pada mesin kendaraan. Analisis secara kuantitatif etanol BBN membutuhkan bahan standar, namun harga bahan standar tersebut sangat mahal. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan bahan standar tersebut di dalam negeri. Ketentuan mengenai standar bioetanol terdenaturasi (bioetanol yang sudah diracuni) sebagai gasohol yang berlaku di Indonesia tercantum dalam SNI 7390:2008 yang menyaratkan biotanol yang digunakan sebagai gasohol harus memiliki konsentrasi 99.5% yang lazim dikenal sebagai fuel grade ethanol (Prihandana & Hendroko 2007). Kemurnian bioetanol merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap kinerja mesin kendaraan. Oleh sebab itu, dibutuhkan data analisis kemurnian bioetanol yang valid sebagai acuan kualitas bioetanol. Penentuan pengotor organik merupakan salah satu tahap dalam penentuan kemurnian dengan pendekatan tidak langsung. Penelitian bertujuan mendapatkan data pengotor organik yang valid dari dua sampel bioetanol menggunakan kromatografi gas (GC).

Validitas data dijamin dengan verifikasi metode menggunakan bahan standar yang diakui secara internasional. Hasil analisis pengotor organik tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memutuskan kelayakan bioetanol tersebut sebagai bahan baku standar etanol dalam bahan bakar. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini berupa seperangkat alat kromatografi gas GC Shimadzu 17-A, dengan spesifikasi kolom Equity -1 100m 0.25mm, detektor FID, gas helium, gas nitrogen, gas argon, compressor udara, dan syringe. Selain itu juga digunakan alat lain berupa neraca analitik dan alat-alat gelas. Bahan yang digunakan berupa standar National Institute of Standard and Technology (NIST) etanol 10% dalam bahan bakar yang digunakan dalam proses optimasi pengukuran dan verifikasi metode. Selain itu, digunakan juga standar metanol, etanol, aseton, isopropil alkohol, 1-propanol, 2-butanol, etil asetat, isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol yang digunakan untuk penentuan konsentrasi pengotor organik sampel bioetanol. Bahan lain yang digunakan berupa heksana dan dua buah sampel bioetanol yang berasal dari Unit Produksi bioetanol Pusat Penelitian Kimia- LIPI Serpong. Metode Metode yang dilakukan pada penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 1, meliputi optimasi pengukuran, verifikasi metode analisis, serta penentuan pengotor organik pada sampel bioetanol. Optimasi pengukuran (Nuryatini et al. 2011) Optimasi pengukuran berupa optimasi split ratio dilakukan dengan cara penginjeksian sebanyak 0.1 µl standar NIST etanol dalam bahan bakar ke dalam sistem GC dengan kondisi sebagai berikut, (1) suhu injektor 300 C, (2) suhu detektor 300 C, (3) oven 40 C selama 10 menit kemudian suhu dinaikkan 30 C/menit sampai 250 C dan ditahan selama 19 menit, (4) gas pembawa helium dengan laju alir 1 ml/menit. Split ratio divariasikan dengan nilai 1:50, 1:75, 1:100, 1:125, 1:150, 1:175, 1:200. Injeksi dilakukan masing-masing sebanyak lima kali ulangan untuk tiap split ratio dan dihitung nilai simpangan baku relatif (SBR) luas puncak etanol dari setiap split ratio. Kemudian dipilih split ratio dengan nilai SBR paling kecil. Verifikasi metode Parameter-parameter yang diukur dalam verifikasi adalah linearitas, ketelitian, ketepatan, dan limit deteksi. Sebelum dilakukan verifikasi terlebih dahulu dilakukan preparasi larutan standar NIST. Preparasi larutan standar NIST. Larutan standar NIST yang digunakan memiliki konsentrasi etanol 10%. Pembuatan standar dengan konsentrasi yang lebih rendah dilakukan dengan cara mengencerkan standar NIST dengan menggunakan pelarut heksana. Linearitas. Linearitas diukur dengan cara injeksi 0.1 µl standar NIST etanol dalam bahan bakar dengan konsentrasi 0.5%, 1%, 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% ke dalam sistem GC dan dilakukan sebanyak dua kali pengulangan. Ketelitian. Ketelitian diukur dengan cara injeksi sebanyak 0.1 µl larutan standar NIST etanol dalam bahan bakar dengan konsentrasi 4% sebanyak tujuh kali ulangan. Ketepatan. Ketepatan diukur dengan cara menginjeksikan 0.1 µl standar NIST etanol dalam bahan bakar 4% sebanyak tiga kali ulangan. Konsentrasi etanol kemudian dihitung dengan menggunakan kurva standar. Ketepatan pengukuran dihitung dengan cara membandingkan konsentrasi etanol berdasarkan pengukuran dengan konsentrasi etanol sebenarnya berdasarkan penimbangan. Limit deteksi. Limit deteksi ditentukan dengan cara menginjeksikan 0.1 µl standar NIST etanol dalam bahan bakar 0.1% ke dalam sistem GC dan dilakukan pengamatan terhadap puncak etanol. Jika masih terdapat puncak etanol diinjeksikan lagi larutan standar dengan konsentrasi yang lebih kecil. Penginjeksian dilakukan sampai puncak etanol tidak terdeteksi lagi. Penentuan pengotor organik pada sampel bioetanol (Wong et al. 2011) Penentuan pengotor organik pada bioetanol diawali dengan preparasi larutan standar campuran pengotor. Selanjutnya, dilakukan identifikasi semua kemungkinan pengotor organik pada sampel. Setelah semua pengotor teridentifikasi, dilakukan

pengukuran konsentrasi tiap pengotor dan penghitungan kemurnian sampel. yang dihasilkan dari standar ini dapat dilihat pada Gambar 1. Preparasi standar campuran. Standar campuran dibuat dengan cara mengambil standar metanol, etanol, aseton, isopropil alkohol, 1-propanol, 2-butanol, etil asetat, isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol masing-masing sebanyak 1% berdasarkan bobot. Standar-standar tersebut kemudian dicampurkan ke dalam vial dan dilarutkan menggunakan etanol. Standar dengan konsentrasi lebih kecil dibuat dengan cara mengencerkan standar campuran stok tersebut menggunakan pelarut etanol. Identifikasi senyawa pengotor organik pada produk bioetanol. Sebanyak 0.3 µl bioetanol diinjeksikan ke dalam sistem GC, kemudian diamati puncak-puncak pada kromatogram. Penginjeksian dilakukan lagi dengan menambahkan volume injeksi sampai tidak ada lagi puncak pengotor yang muncul pada kromatogram. Selanjutnya puncakpuncak tersebut diidentifikasi menggunakan standar pengotor bietanol. Volume injeksi yang menghasilkan puncak terbanyak dan volume paling kecil selanjutnya digunakan untuk pengukuran konsentrasi pengotor organik pada sampel bioetanol. Pengukuran Konsentrasi Senyawa Pengotor Organik dan Penentuan Kemurnian Sampel. Pengukuran konsentrasi pengotor organik dilakukan dengan menggunakan standar eksternal. Standar campuran dari semua pengotor organik disiapkan dengan konsentrasi 15, 50, 100, 150, 300, dan 1000 ppm. Standar pengotor organik dan sampel bioetanol kemudian diinjeksikan ke dalam sistem GC. Konsentrasi pengotor dalam sampel bioetanol kemudian diukur berdasarkan kurva standar eksternal. Pengukuran konsentrasi pengotor organik pada sampel bioetanol dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Konsentrasi total dari semua pengotor digunakan untuk menghitung kemurnian sampel. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Senyawa berdasarkan kromatogram GC Bahan standar etanol dalam bahan bakar yang digunakan berasal dari National Institute of Standards and Technology (NIST) yang terdiri atas tiga senyawa penyusun, yaitu etanol, isooktana, dan heptana. Kromatogram Gambar 1 Kromatogram standar NIST etanol dalam bahan bakar Waktu retensi puncak suatu senyawa dipengaruhi oleh titik didih senyawa dan kepolaran dari senyawa tersebut. Kolom yang digunakan pada instrumen GC adalah polidimetilsiloksana yang bersifat nonpolar, sehingga senyawa yang bersifat nonpolar akan tertahan lebih lama pada kolom dibandingkan senyawa polar. Etanol memiliki waktu retensi sebesar 13.5 menit. Waktu retensi yang kecil tersebut disebabkan etanol memiliki titik didih yang rendah, yaitu sebesar 78 C. Selain itu etanol juga bersifat polar, sehingga tidak tertahan terlalu lama pada kolom. Kedua komponen lainnya memiliki titik didih yang lebih besar dibandingkan etanol, yaitu keduanya memiliki titik didih sebesar 99 C. Kedua komponen tersebut juga merupakan hidrokarbon yang bersifat nonpolar. Oleh sebab itu, kedua komponen tersebut memiliki waktu retensi yang lebih besar dari etanol. Titik didih yang sama tersebut menyebabkan puncak isooktana dan puncak heptana tidak terpisah dengan baik. Berdasarkan penginjeksian standar didapatkan waktu retensi isooktana ialah sebesar 26.9 menit. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan untuk puncak kedua merupakan puncak isooktana, sedangkan untuk puncak ketiga merupakan puncak heptana. Heptana memiliki struktur yang lebih lurus dibandingkan isooktana, sehingga sifatnya lebih nonpolar dibandingkan isooktana. Sifat heptana yang cenderung lebih nonpolar tersebut menyebabkan waktu retensi heptana lebih besar dari isooktana.

4 Optimasi Pengukuran Optimasi pengukuran pada percobaan dilakukan dengan cara mengubah split ratio. Split ratio merupakan fasilitas pada GC yang memungkinkan pengguna untuk mengatur banyaknya sampel yang masuk ke dalam kolom. Angka pada split ratio merupakan perbandingan antara banyaknya sampel yang masuk ke dalam kolom dengan sampel yang dibuang. Semakin besar nilai split ratio, maka semakin sedikit sampel yang masuk ke dalam kolom (Eiceman et al. 2002). Optimasi pengukuran bertujuan untuk mendapatkan kondisi instrumen yang memberikan puncak etanol yang baik. Puncak yang baik ini ditunjukkan dengan keterpisahannya dengan puncak lain. Selain itu, puncak yang baik juga dapat dilihat dari keterulangan nilai luas puncaknya. Berdasarkan kromatogram pada Gambar 1, terlihat bahwa puncak etanol sudah terpisah dengan baik dari kedua puncak lainnya. Oleh sebab itu, optimasi dilakukan untuk mendapatkan puncak etanol dengan luas puncak yang memiliki keterulangan paling baik (nilai SBR paling kecil). Data nilai SBR dari 5 kali pengulangan tiap variasi split ratio disajikan pada Lampiran 2. Hasil dari optimasi memperlihatkan bahwa split ratio 1:200 memiliki nilai SBR yang paling kecil, sehingga untuk proses verifikasi metode digunakan split ratio 1:200. Verifikasi Metode Verifikasi metode digunakan untuk menjamin suatu metode menghasilkan data yang memiliki arti dan dapat dipercaya (Taverniers et al. 2004). Pada penelitian ini dilakukan verifikasi untuk menjamin bahwa hasil analisis pengotor organik yang didapatkan dengan kolom GC baru bersifat valid. Hasil analisis yang didapatkan harus dapat dipercaya karena data pengotor organik ini akan digunakan untuk menentukan kemurnian dari sampel bioetanol yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan kualitas dari bioetanol. Verifikasi ini dilakukan dengan menggunakan standar NIST etanol dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan karena pada penelitian selanjutnya akan dikembangkan bahan standar etanol dalam bahan bakar. Verifikasi merupakan pengujian kembali keabsahan suatu metode yang pernah divalidasi sebelumnya. Oleh sebab itu, parameter yang diujikan hanya meliputi pengujian linearitas, ketelitian, ketepatan, dan limit deteksi. Linearitas Linearitas merupakan kemampuan prosedur analisis untuk menghasilkan suatu hasil pengujian yang sebanding dengan konsentrasi analat yang terdapat di dalam sampel (Chan et al. 2004). Berdasarkan data optimasi pengukuran didapatkan bahwa split ratio 1:200 memiliki nilai keterulangan yang paling baik. Menurut Eiceman et al. (2004) split ratio yang besar cocok digunakan untuk analat dengan konsentrasi yang besar dan kurang baik untuk konsentrasi kecil. Semakin besar nilai split ratio semakin banyak pula sampel yang dibuang. Oleh sebab itu, jika nilai split ratio yang besar digunakan untuk menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah, maka puncak tidak akan dapat dideteksi. Pengujian linearitas selain menggunakan split ratio 1:200 dilakukan juga dengan menggunakan split ratio 1:100. Split ratio 1:100 dipilih karena pada verifikasi sebelumnya yang dilakukan oleh Nuryatini et al. (2011), split ratio ini menghasilkan pemisahan paling baik. Meskipun berdasarkan hasil optimasi pengukuran, split ratio yang memiliki keterulangan yang paling baik setelah split ratio 1:200 ialah split ratio 1:150, namun split ratio tersebut dinilai masih terlalu besar dan dikhawatirkan menghasilkan respon yang kurang baik. Kurva regresi linear hasil pengujian linearitas untuk kedua nilai split ratio ditampilkan pada Gambar 2, sedangkan data pengujian linearitas masingmasing split ratio dicantumkan pada Lampiran 3. 4 luas puncak ( 10 2 ) luas puncak ( 10 2 ) 2 0-2 10 5 0-5 (a) y = 3931,x - 2210, R² = 0.988 0 5 10 konsentrasi (%) y = 8646,x - 4890, R² = 0.998 0 5 10 konsentrasi (%) (b) Gambar 2 Kurva regresi linear (a) split 1:200 dan (b) split 1:100

5 Hasil tersebut menunjukkan bahwa split ratio 1:100 memiliki respon yang lebih linear dari split ratio 1:200. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai R 2 split ratio 1:100 sebesar 0.998, sedangkan untuk split ratio 1:200 memiliki nilai R 2 hanya sebesar 0.988. Batas penerimaan linearitas berdasarkan AOAC (1998) ialah nilai R 2 minimal 0.997. Oleh sebab itu, linearitas dari split ratio 1:100 masih diterima, sedangkan linearitas split ratio 1:200 tidak diterima. Berdasarkan hasil tersebut, proses verifikasi selanjutnya hanya dilakukan dengan split ratio 1:100. Ketelitian Ketelitian merupakan ukuran kedekatan setiap hasil analisis yang dilakukan berulang kali untuk sampel yang homogen pada kondisi analisis yang sama. Ketelitian diukur dari nilai simpangan baku relatif (SBR) dari pengukuran berulang (Chan et al. 2004). Hasil pengujian ketelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengujian ketelitian Ulangan luas puncak 1 2 3 4 5 6 7 Rerata Simpangan baku SBR (%) 30283 30203 29717 29672 30621 29982 30520 30142.5714 370.3714 1.2287 Dari hasil pengujian sebanyak 7 kali pengulangan didapatkan nilai RSD sebesar 1.2287%. Berdasarkan AOAC (1998), batas penerimaan ketelitian untuk sampel dengan konsentrasi 1 10% ialah maksimum sebesar 1.5%, sehingga pengujian ketelitian yang dilakukan masih diterima. Hasil pengujian ketelitian tersebut menunjukkan bahwa metode analisis dapat memberikan hasil analisis dengan keterulangan yang baik. Ketepatan Ketepatan merupakan ukuran kedekatan nilai yang diperoleh dari hasil analisis dengan nilai sebenarnya (Chan et al. 2004). Hasil pengujian ketepatan disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil tersebut, pengujian terhadap ketepatan didapatkan sebesar 99.1442%. Batas penerimaan nilai ketepatan untuk sampel dengan konsentrasi 1% 10% sebesar 95% 102% (AOAC 1998), sehingga hasil pengujian ketepatan tersebut masih diterima. Nilai ketepatan yang besar tersebut menunjukkan bahwa nilai yang didapatkan dari pengukuran dengan nilai yang sebenarnya sangat dekat. Limit deteksi Limit deteksi ialah konsentrasi analat yang terendah yang masih dapat dideteksi oleh sistem (Chan et al. 2004). Hasil pengujian limit deteksi disajikan pada Tabel 2. Hasil pengujian terhadap limit deteksi menunjukkan bahwa limit deteksi sistem ialah sebesar 0.02%. AOAC (1998) menyaratkan nilai SBR yang baik untuk sampel dengan konsentrasi di bawah 0.1% ialah kurang dari 10%. Berdasarkan hasil tersebut, pengujian terhadap konsentrasi tersebut juga masih memiliki keterulangan yang baik.keterulangan yang baik tersebut menunjukkan bahwa metode analisis masih dapat mendeteksi puncak dengan stabil meskipun dengan konsentrasi kecil. Tabel 2 Pengujian limit deteksi Konsentrasi Ulangan Luas puncak SBR 0.10% 1 660 1.38% 2 673 0.05% 1 123 1.75% 2 120 0.04% 1 144 1.93% 2 148 0.03% 1 99 8.32% 2 88 0.02% 1 20 9.86% 2 23 0.01% 1 2 - - - Hasil pengujian linearitas, ketepatan, dan ketelitian yang dilakukan pada penelitian ini lebih baik dari verifikasi yang dilakukan sebelumnya oleh Nuryatini et al. (2011). Pada verifikasi sebelumnya menghasilkan nilai ketepatan 98.94% % dan ketelitian 3.7605%. Verifikasi pada tahun sebelumnya yang menggunakan kolom innowax dengan panjang kolom 30 meter. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan kolom baru dengan fase diam polidimetilsiloksana dan panjang 100 meter memberikan hasil analisis yang lebih baik. Hasil verifikasi ini dapat digunakan untuk menjamin validitas hasil analisis pengotor organik pada sampel produk bioetanol.

6 Penentuan Pengotor Organik pada Produk Bioetanol Bioetanol merupakan etanol (C 2 H 5 OH) yang dihasilkan dari fermentasi biomassa yang dapat diperbarui, contohnya hasil pertanian dan hasil hutan (Yunoki & Saito 2009). Bioetanol yang diproduksi dari hasil pertanian yang mengandung pati dan gula disebut sebagai bioetanol generasi pertama, sedangkan bioetanol yang dihasilkan dari bahan yang mengandung lignoselulosa disebut bioetanol generasi kedua (EREC 2007). Saat ini produksi bioetanol dari bahan pangan perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena mencuatnya isu mengenai ketahanan pangan. Sebagai gantinya produksi bioetanol saat ini terus diupayakan dari bahan nonpangan, yaitu dari biomassa yang mengandung lignoselulosa. Selain potensinya yang sangat besar produksi bioetanol dari biomasa ini juga dapat mengatasi permasalahan pencemaran akibat limbah pabrik yang masih mengandung lignoselulosa (Balat & Balat 2009 ). Bioetanol yang dianalisis pada penelitian ini dihasilkan dari fermentasi tandan kosong kelapa sawit (TKKS). TKKS merupakan limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dalam jumlah besar. Bahan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol karena mengandung lignoselulosa. Salah satu syarat bioetanol agar dapat digunakan sebagai gasohol berdasarkan SNI 7390:2008 ialah harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi, yaitu sebesar 99.5%. Kemurnian yang tinggi tersebut agar sifat dari campuran bensin dan etanol yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Jika konsentrasi pengotor terlalu tinggi, dikhawatirkan akan mengganggu proses pembakaran bahkan dapat merusak mesin kendaraan bermotor (Yuksel & Yuksel 2004). Selain itu, SNI 7390:2008 juga menyaratkan konsentrasi metanol yang terkandung dalam bietanol tidak boleh melebihi 300 ppm. Konsentrasi metanol dalam bioetanol yang akan digunakan sebagai bahan bakar tidak boleh terlalu tinggi karena menurut Prihandana dan Hendroko (2007), metanol bersifat sangat korosif bahkan terhadap alumunium yang biasanya digunakan sebagai pelapis antikarat, sehingga jika konsentrasi metanol terlalu tinggi akan menyebabkan korosi sehingga akan merusak mesin kendaraan bermotor. Sifat korosif ini disebabkan metanol bersifat asam dengan keberadaan air dan memiliki nilai pka sebesar 15.5 (Fessenden & Fessenden 1997). Sifat asam ini menyebabkan metanol mudah melepaskan proton dan bereaksi dengan logam. Pengotor organik lain sifat asamnya lebih lemah dibandingkan metanol. Secara umum, penentuan kemurnian senyawa kimia organik kemurnian tinggi dilakukan dengan pendekatan tidak langsung, yaitu dengan cara mengkuantifikasi semua kemungkinan pengotor yang terdapat pada sampel. (Wong et al. 2011). Pendekatan tidak langsung digunakan pada penelitian untuk menentukan kemurnian bioetanol karena pendekatan secara langsung menggunakan kromatografi gas tidak mungkin dilakukan karena konsentrasi bioetanol yang sangat besar. Teknik lain yang dapat dilakukan untuk menentukan kemurnian etanol secara langsung ialah dengan metode titrimetri. Metode ini juga tidak dapat digunakan karena hasil yang akan didapat hanya berupa profil dari bioetanol. Berdasarkan SNI 7390:2008 selain menyaratkan kemurnian dari bioetanol, disyaratkan pula batas dari konsentrasi metanol. Oleh sebab itu, penentuan kemurnian bioetanol lebih tepat dilakukan dengan pendekatan secara tidak langsung. Identifikasi senyawa pengotor organik pada produk bioetanol Langkah pertama yang dilakukan dalam penentuan pengotor organik pada produk bioetanol ialah identifikasi semua kemungkinan senyawa pengotor organik yang terdapat pada sampel. Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu volume injeksi yang menghasilkan jumlah puncak pengotor maksimum. Setelah didapatkan jumlah puncak pengotor maksimum, kemudian ditentukan volume injeksi minimum yang menghasilkan jumlah puncak pengotor maksimum tersebut. Pemilihan volume injeksi minimum dimaksudkan untuk menghemat sampel dan standar yang diinjeksikan. Selain itu, dengan volume injeksi yang minimum diharapkan puncak pengotor dapat terpisah dengan lebih baik. Data jumlah puncak pengotor pada sampel bioetanol disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil tersebut, baik sampel bietanol 1 maupun sampel bioetanol 2 memiliki delapan puncak pengotor. Volume injeksi minimum yang menghasilkan delapan puncak pengotor tersebut ialah sebesar 0.7 µl. Volume injeksi ini selanjutnya digunakan untuk injeksi standar dan sampel bioetanol. Kromatogram kedua sampel dapat dilihat pada Gambar 3.

7 (a) (b) Gambar 3 Kromatogram sampel bioetanol (a) sampel 1 dan (b) sampel 2 Setelah didapatkan jumlah puncak maksimum yang terdapat dalam sampel bioetanol, langkah berikutnya ialah identifikasi puncak-puncak pengotor tersebut. Puncak tersebut diidentifikasi dengan membandingkan waktuu retensi puncak pengotor dengan waktu retensi standar Waktu retensi no (menit) Senyawa S1 * S2 * 1 11.9 12.0 Metanol 2 14.6 14.7 Aseton 3 15.0 15.1 2-propanol 4 17.5 17.6 1-propanol 5 20.9 21.1 Etil asetat 6 22.2 22.1 Isobutanol 7 23.8 24.0 1-butanol 8 28.0 28.1 Isoamil alkohol * S1: Sampel 1, S2: Sampel 2 Tabel 3 Identifikasi puncak pengotor sampel BM (g mol -1 ) (CRC 1981) 32.04 58.08 60.10 60.10 88.11 74.12 74.12 88.15 senyawa pengotor yang mum terdapat pada bioetanol yang disajikan pada Lampiran 6. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki pengotor organik dengan jenis yang sama. Pengotor organik dari kedua sampel berupa metanol, aseton, 2-propanol, 1- propanol, etil asetat, isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol. Hasil identifikasi tersebut disajikan pada Tabel 3. Besarnya waktu retensi puncak suatu senyawa dipengaruhi oleh titik didihnya. Selain itu, dipengaruhi juga oleh interaksi antara senyawa dengan fase diam yang berkaitan dengan kepolarannya. Secara umum titik didih suatu senyawa berhubungan dengan nilai bobot molekulnya. Semakin besar bobot molekul, maka semakin besar gaya London yang bekerja antar molekul suatu senyawa. Akibatnya semakin tinggi titik didihnya. Namun terdapat pengecualian untuk senyawa golongan alkohol. Terlihat pada Tabel 3 metanol dengan bobot molekul yang lebih kecil dari aseton memiliki titik didih yang lebih besar dari aseton yang memiliki bobot molekul yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena terdapat ikatan hidrogen antar senyawa pada alkohol. Ikatan hidrogen ini lebih kuat dibandingkan gaya London. Akibatnya titik didih alkohol akan tinggi meskipun memiliki bobot molekul kecil. Hal tersebut dapat dilihat pula pada etil asetat dan isoamail alkohol. Meskipun memiliki bobot molekul yang hampir sama, titik didih etil asetat berada jauh di bawah isoamil alkohol. Perbedaan titik didih tersebut terjadi karena isoamil alkohol memiliki ikatan hidrogen antar molekulnya. Senyawa yang memiliki titik didih yang tinggi akan memiliki waktu retensi yang makin besar. Hal tersebut dapat dilihat pada senyawa 2-propanol, 1-propanol, isobutanol, 1-butanol, dan isoamil alkohol. Urutan munculnya puncak senyawa-senyawaa tersebut sesuai dengan titik didihnya. Td (ºC) (CRC 1981) 64.7 56.2 82.5 97.0 77.1 107.9 118.0 131.1 Kepolaran relatif (Reichardt 2003) 0.762 0.648 0.546 0.617 0.228 0.552 0.586 -

8 Pengecualian terjadi pada senyawa metanol, aseton, dan etil asetat. Waktu retensi ketiga senyawa tersebut tidak sesuai dengan pertambahan titik didih. Waktu retensi metanol lebih kecil dibandingkan aseton. Padahal metanol memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkann aseton. Hal tersebut juga terjadi pada etil asetat. Etil asetat memiliki waktu retensi yang besar. Jika didasarkan pada titik didih, seharusnya puncak etil asetat akan keluar setelah aseton. Pada kromatogram puncak etil asetat memiliki waktu retensi sebesar 20..8 menit dan muncul setelah puncak 1-propanol. Perbedaan waktu retensi tersebut terjadi akibat interaksi senyawaa dengan fase diam penyusun kolom. Fase diam yang digunakan pada penelitian berupa polidimetilsiloksana yang bersifat nonpolar. Struktur polidimetilsiloksana dapat dilihat pada Gambar 4. Senyawa yang memiliki kesamaan kepolaran dengan fase diam akan berinteraksi kuat, sehingga akan tertahan lebih lama pada kolom. Pada Tabel 3 disajikan kepolaran relatif dari masing-masing senyawa. Semakin polar senyawa nilainya akan mendekati 1, sedangkan semakin nonpolar maka akan semakin mendekati 0. Aseton cenderung lebih bersifat nonpolar dibandingkan metanol. Akibatnya dengan titik didih yang lebih rendah aseton tertahan lebih lama pada kolom dibandingkan metanol, sehingga waktu retensinya lebih besar dibandingkan metanol. Hal tersebut juga dapat dilihat dari waktu retensi etil asetat. Meskipun etil asetat memiliki titik didih yang rendah tapi waktu retensinya besar karena etil asetat ini bersifat non polar, sehingga ditahan lebih lama pada kolom. Gambar 4 Strukturr polidimetilsiloksana Suhu injektor dan suhu detektor GC diatur pada suhu tinggi, yaitu sebesar 300ºC. Suhu yang tinggi pada injektor dimaksudkan agar semua senyawa yang terdapat dalam sampel teruapkan dan dapat dibawa oleh fase gerak ke dalam kolom. Suhu detektor juga dibuat tinggi dengan tujuan yang sama, yaitu agar semua senyawa dalam sampel tetap dalam bentuk gas dan terdeteksi oleh detektor (Harvey 2000). Pemanasan oven GC dilakukan dengan temperatur terprogram dengan suhu awal 40 C yang ditahan selama 10 menit, kemudian suhu dinaikkan 30 C permenit sampai suhu mencapai 250 C dan ditahan 19 menit. Suhu awal harus lebih rendah dari titik didih senyawa yang memiliki titik didih paling rendah, dengan tujuan senyawa tersebut terkondensasi lagi setelah mencapai kolom. Suhu akhir diatur pada suhu tinggi dengan tujuan untuk memastikan semua senyawa yang terkandung dalam sampel dapat teruapkan. Pada puncak metanol dan isoamil alkohol terlihat bahwa kedua puncak tersebut tidak ideal. Kedua puncak tersebut pada sisi kiri sangat tajam, sedangkann pada sisi kanan landai. Kondisi puncak seperti ini dikenal dengan istilah tailing. Tailing disebabkan karena salah satu sisi pada fase diam menahan analat lebih kuat dibandingkan sisi lainnya (Harvey 2000). Hal ini dapat dijelaskan dari struktur polidimetilsiloksana. Sisi oksigen pada polidimetilsiloksanaa bersifat polar, sedangkan sisi metil bersifat nonpolar. Perbedaan kepolaran tersebut menyebabkan perbedaan interaksi dengan analat. Metanol dan isoamil alkohol yang bersifat polar akan tertahan lebih kuat pada sisi oksigen dibandingkan pada sisi metil. Hal tersebut menyebabkan tailing pada puncak metanol dan isoamil alkohol. Kuantifikasi pengotor sampel bioetanol Pengukuran konsentrasi pengotor pada sampel dilakukan dengan menggunakan standar eksternal. Hasil analisis terhadap pengotor sampel disajikan pada Gambar 5, sedangkan data analisis dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pengotor pada sampel 1 sebagian besar berupa isobutanol, yaitu sebesar 26.53% dari total pengotor, sedangkanuntuk sampel 2 pengotor terbanyak berupa isoamil alkohol, yaitu sebesar 34.68% dari total pengotor. Selain itu, terlihat pula bahwa sampel 2 memiliki jumlah pengotor yang lebih besar dari sampel 1. Jumlah pengotor pada sampel 1 sebesar 1366.87 ppm dan memiliki kemurniann sebesar 99.86%, sedangkan sampel 2 mengandung pengotor sebesar 1488.96 ppm dan kemurnian sebesar 99.85%. Konsentrasi metanol pada sampel 1 sebesar 249.40 ppm, sedangkan untuk sampel 2 sebesar 178.26 ppm.

kadar pengotor organik ( 10 2 ppm) 6 5 4 3 2 1 0 sampel 1 sampel 2 jenis pengotor organik Gambar 5 Perbandingan konsentrasi pengotor sampel bioetanol Konsentrasi pengotor organik produk bioetanol dari unit produksi bioetanol yang sama sebelumnya pernah dilaporkan oleh Nuryatini et al. (2011). Analisis dilakukan dengan kolom innowax 30 m berdasarkan metode kalibrasi satu titik dan tidak dilakukan identifikasi jenis pengotornya. Hasil dari analisis tersebut menunjukkan bahwa sampel mengandung lima pengotor dengan konsentrasi total sebesar 0.06%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa konsentrasi pengotor organik yang didapatkan dari hasil penelitian ini lebih kecil dari hasil analisis sebelumnya. Hasil yang didapatkan juga lebih akurat karena penentuannya dilakukan dengan menggunakan standar dari masing-masing pengotor. Jenis pengotor yang teridentifikasi juga lebih banyak dibandingkan hasil sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa limit deteksi dengan menggunakan kolom polidimetilsiloksana 100 m lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan kolom innowax 30m. Limit deteksi yang lebih kecil ini berkaitan dengan kemampuan kolom polidimetilsiloksana 100 m untuk menampung sampel dalam jumlah yang lebih banyak. Berdasarkan hasil analisis tersebut,baik sampel 1 maupun sampel 2 masih memenuhi syarat SNI 7390:2008. Kemurnian dari kedua sampel yang diujikan di atas 99.5% dengan kadar metanol kurang dari 300 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua sampel bioetanol masih layak digunakan sebagai bahan baku untuk membuat standar etanol dalam bahan bakar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsentrasi pengotor organik pada sampel bioetanol dapat ditentukan dengan menggunakan kromatografi gas. Metode analisis tersebut telah diverifikasi untuk menjamin bahwa hasil analisis yang didapatkan valid dan menghasilkan ketelitian 1.2287%, ketepatan 99.2927%, linearitas 0.998, dan limit deteksi 0.02%. Sampel 1 memiliki kemurnian sebesar 99.86% dan konsentrasi metanol sebesar 294.40 ppm, sedangkan sampel 2 memiliki kemurnian 99.85% dan konsentrasi metanol sebesar 178.26 ppm. Persyaratan bioetanol yang digunakan sebagai gasohol di Indonesia tercantum dalam SNI 7390:2008, yaitu harus memiliki konsentrasi etanol minimum sebesar 99.5% dan memiliki konsentrasi metanol maksimum sebesar 300 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua sampel masih memenuhi syarat SNI 7390:2008 untuk digunakan sebagai bahan baku standar etanol dalam bahan bakar. Saran Perlu dilakukan pengujian lanjut berupa penentuan konsentrasi pengotor anorganik dan konsentrasi air pada kedua sampel untuk mengetahui kemurnian sebenarnya dari sampel tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku untuk membuat standar etanol dalam bahan bakar. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Analytical Communities. 1998. Peer-Verified Methods Program, Manual on policies and procedures. Arlington: AOAC. [BPMIGAS] Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 2011. Dari minyak, terbitlah gas. Buletin BPMIGAS 73: 2-5. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2009[internet]. [diacu 20 Februari 2012].

10 Tersedia dari http://www.bps.go.id/tab_ sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_suby ek=17&notab=12 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi Minyak Bumi dan Gas Alam, 1996-2010 [internet]. [diacu 20 Februari 2012]. Tersedia dari: http://www.bps.go.id/tab_ sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&i d_subyek=10&notab=1. [CRC] Chemical Rubber Company. 1981. Handbook of Chemistry and Physics. Florida: CRC Press. [EREC] European Renewable Energy Council. 2007. Bioethanol Production and Use. Brusel: European Biomass Industry Association. Balat M, Balat H. 2009. Recent trends in global production and utilization of bioethanol fuel. Applied Energy 86: 2273 2282. Chan CC, Lam H, Lee YC, Zhang XM. 2004. Analytical Method Validation and Instrument Performance Verification. New York: J Willey. Eiceman GA. 2004. Encyclopedia Anal Chem. New York: J Willey. Fessenden RJ, Fessenden JS. Kimia Organik Jilid 1. Pudjaatmaka AH, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York : Mc Graw Hill. Nuryatini, Aristiawan Y, Sujarwo, Styarini D. Verifikasi analisis kemurnian bioetanol untuk pembuatan bahan acuan. Di dalam: Prosiding PPI Standardisasi 2011; Jakarta 16 November 2011. Prihandana P, Hendroko R. 2007. Energi Hijau Pilihan Bijak Menuju Mandiri Energi. Jakarta: Penebar Swadaya. Reichardt C. 2003. Solvents and Solvent Effects in Organic Chemistry. New York: Willey. Taverniers I, Loose MD, Bockstaele EV. 2004. Trends in quality in the analytical laboratory. II. Analytical method validation and quality assurance. Trends Anal Chem 23: 535-552. Ulmer JD, Huhnke RL, Bellmer DD, Dwayne D, Cartmell. 2004. Acceptance of ethanolblended gasoline in Oklahoma. Biomass and Bioenergy 27: 437 444. Wong Siu-kay, Law Tin-yau, Wong Yee-lok. 2011. Purity assessment for 17β-estradiol. Accred Qual Assur 16:245-252. doi: 10.1007/s00769-011-0762-5. Yuksel F, Yuksel B. 2004. The use of ethanol gasoline blend as a fuel in an SI engine. Renewable Energy 29: 1181 1191. Yunoki S, Saito M. 2009. A simple method to determine bioethanol content in gasoline using two-step extraction and liquid scintillation counting. Bioresource Technol 100: 6125 6128.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian Optimasi pengukuran berupa optimasi split ratio (1:50, 1:75, 1:100, 1:200, dan 1:300) Preparasi standar NIST etanol dalam bahan bakar Kondisi optimum Preparasi standar campuran Verifikasi metode analisis meliputi pengujian linearitas, ketelitian, ketepatan, dan limit deteksi Pengukuran konsentrasi pengotor organik sampel Penetapan kemurnian sampel 12

13 Lampiran 2 Nilai SBR masing-masing split ratio split ratio SBR (%) 1:50 4.7675 1:75 4.2500 1: 100 3.1990 1: 125 3.8996 1:150 2.0783 1:175 4.3104 1:200 1.9221 Lampiran 3 Pengujian linearitas Konsentrasi Luas puncak (%) Split ratio 1:100 Split ratio 1:200 0.5 1812.7 920.5 1 3862.5 1763.5 2 10336.5 4434 4 28762.33 11996 6 46475.5 24010.5 8 64584 27681.7 10 82293 37562 R² = 0.998 R² = 0.988 Lampiran 4 Pengujian ketepatan Pengukuran luas puncak deret standar etanol dalam bahan bakar konsentrasi luas puncak 1 4536 2 13251 5 38180 8 65887 10 82703 luas area ( 104) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 8713,x - 4400 R² = 0.999 0 2 4 6 8 10 12 konsentrasi (%) Kurva standar etanol dalam bahan bakar

14 Hasil analisis konsentrasi etanol berdasarkan pengukuran Ulangan Konsentrasi etanol Luas puncak (%) 1 26281 3.5219 2 26606 3.5586 3 26701 3.5695 Rerata 3.5498 Contoh perhitungan Ulangan 1 : y = 8713 x - 4400 26281 = 8713 x 4400 26281 + 4400 = 8713 x x = 3.5219% bobot SRM etanol dalam bahan bakar = 138.266 gram, bobot larutan = 392.344 gram, konsentrasi etanol berdasarkan penimbangan = ketelitian = 1- = bobot SRM bobot etanol 10.08% 138.266 gram 392.344 gram 10.08% = 3.5523% konsentrasi sebenarnya-konsentrasi percobaan konsentrasi sebenarnya = 1-.. 100%. = 99.1442% 100% Lampiran 5 Jumlah puncak pengotor berdasarkan volume injeksi Volume injeksi (µl) 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Jumlah puncak pengotor Sampel 1 Sampel 2 3 3 4 4 5 5 6 6 6 6 7 7 8 8 8 8 8 8 8 8

15 Lampiran 6 Waktu retensi standar senyawa pengotor no waktu retensi (menit) senyawa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12.0 13.9 14.5 14.9 17.5 20.1 20.8 22.2 24.0 28.1 Metanol etanol Aseton 2-propanol 1-propanol 2-butanol Etil asetat Isobutanol 1-butanol Isoamil alkohol Lampiran 7 Konsentrasi pengotor dan kemurnian sampel a. Metanol Konsentrasi Luas puncak 15.07 2851 41.71 4139 93.18 4621 159.79 7429 317.18 11906 1001.72 32183 luas area ( 104) 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 y = 29,66x + 2468, R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar metanol

16 Konsentrasi metanol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 11896 317.87 316.09 2 11944 319.49 3 11690 310.92 2 1 9037 221.48 225.93 2 9169 225.93 3 9301 230.38 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 29.66x + 2468 11896 = 29.66x + 2468 (11896 2468) x = 29.66 = 317.87 ppm Rerata konsentrasi metanol sampel 1 = 317.87+319.49+310.92 3 = 316.09 ppm b. Aseton Konsentrasi Luas puncak 18.47 458 41.41 832 92.52 1223 158.64 2446 315.42 4872 994.49 15467 luas puncak ( 10 4 ) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 y = 15,48x + 33,04 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar aseton

17 Konsentrasi aseton pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 1224 76.94 77.28 2 1204 75.64 3 1260 79.26 2 1 1277 80.36 80.10 2 1242 78.10 3 1300 81.84 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 15.48x + 33.04 1224 = 15.48x + 33.04 (1224 33.04) x = 15.48 = 76.94 ppm 76.94 + 75.64 + 79.26 Rerata konsentrasi aseton sampel 1 = 3 = 77.28 ppm c. 2-propanol Konsentrasi Luas puncak 13.59 295 37.65 679 84.12 1409 144.24 2807 286.79 4916 904.24 16045 luas puncak ( 10 4 ) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 y = 17,68x + 23,72 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 konsentrasi (ppm) Kurva standar 2-propanol

18 Konsentrasi 2-propanol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 942 51.94 54.31 2 1017 56.18 3 993 54.82 2 1 970 53.52 51.90 2 913 50.30 3 941 51.88 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 17.68x + 23.72 942 = 17.68x + 23.72 (942 23.72) x = 17.68 = 51.94 ppm 51.94 + 56.18 + 54.82 Rerata konsentrasi 2-butanol sampel 1 = 3 = 54.31 ppm d. 1-propanol Konsentrasi Luas puncak 15.95 305 44.14 819 98.63 1916 169.13 4054 336.28 7203 1060.28 23941 30 luas puncak ( 10 3 ) 25 20 15 10 5 0 y = 22,66x - 142,2 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar 1-propanol

19 Konsentrasi 1-propanol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 4442 202.30 202.85 2 4402 200.54 3 4519 205.70 2 1 4235 193.17 193.27 2 4233 193.08 3 4244 193.57 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 22.66x 142.2 4442 = 22.66x 142.2 (4442 +142.2) x = 22.66 = 202.30 ppm 202.30 + 200.54 + 205.70 Rerata konsentrasi 1-propanol sampel 1 = 3 = 202.85 ppm e. Etil asetat Konsentrasi Luas puncak 18.47 428 51.13 744 114.24 1212 195.89 2428 389.49 5049 1228.04 15710 luas area ( 10 3 ) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 y = 12,77x + 8,704 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 konsentrasi (ppm) Kurva standar etil asetat

20 Konsentrasi etil asetat pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 2949 230.25 231.66 2 2931 228.84 3 3021 235.89 2 1 2830 220.93 221.24 2 2836 221.40 3 2836 221.40 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 12.77x + 8.704 2949 = 12.77x + 8.704 x = (2949-8.704) 12.77 = 230.25 ppm 230.25 + 228.84 + 235.89 Rerata konsentrasi etil asetat sampel 1 = 3 = 231.66 ppm f. Isobutanol Konsentrasi Luas puncak 15.97 291 44.23 794 98.82 2041 169.46 4331 336.94 7987 1062.35 26414 luas puncak ( 10 3 ) 30 25 20 15 10 5 0 y = 25,05x - 238,1 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar isobutanol

21 Konsentrasi isobutanol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 11296 460.44 459.59 2 11302 460.68 3 11226 457.65 2 1 10779 439.80 439.72 2 10599 432.62 3 10953 446.75 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 25.05x - 238.1 11296 = 25.05x 238.1 (11296 + 238.1) x = 25.05 = 460.44 ppm 460.44 + 460.68 + 457.65 Rerata konsentrasi isobutanol sampel 1 = 3 = 459.59 ppm g. 1-butanol Konsentrasi Luas puncak 16.1 357 44.57 807 99.59 2150 170.78 4354 339.56 7956 1070.62 26414 luas puncak ( 10 2 ) 30 25 20 15 10 5 0 y = 24,80x - 191,2 R² = 0.999 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar 1-butanol

22 Konsentrasi 1-butanol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 426 24.89 24.97 2 437 25.33 3 421 24.69 2 1 326 20.85 20.56 2 314 20.37 3 316 20.45 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 24.80x 191.2 426 = 24.80x 191.2 (426 + 191.2) x = 24.80 = 24.89 ppm 24.89 +25.33 + 24.69 Rerata konsentrasi 1-butanol sampel 1 = 3 = 24.97 ppm h. Isoamil alkohol Konsentrasi Luas puncak 15.38 9944 42.56 10157 163.09 15051 324.26 18054 1022.24 36929 luas puncak ( 10 3 ) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 y = 26,75x + 9640, R² = 0.996 0 200 400 600 800 1000 1200 konsentrasi (ppm) Kurva standar isoamil alkohol

23 Konsentrasi isoamil alkohol pada sampel sampel ulangan Luas puncak Konsentrasi Rerata konsentrasi (ppm) (ppm) 1 1 19231 358.54 365.66 2 19328 362.17 3 19705 376.26 2 1 26915 645.79 654.42 2 27121 653.50 3 27401 663.96 Contoh perhitungan Contoh 1 ulangan 1: y = 26.75x + 9640 19231 = 26.75x + 9640 (19231-9640) x = 26.75 = 358.54 ppm 358.54 + 362.17 + 376.26 Rerata konsentrasi isoamil alkohol sampel 1 = 3 = 365.66 ppm i. Pengotor organik sampel senyawa Konsentrasi pengotor (mg/kg) Konsentrasi pengotor (mg/l) Sampel 1 Sampel 2 Sampel 1 Sampel 2 Metanol 316.09 225.93 249.40 178.26 Aseton 77.28 80.10 60.97 63.20 2-propanol 54.31 51.90 42.85 40.95 1-propanol 202.85 193.27 160.05 152.49 Etil asetat 231.66 221.24 182.78 174.56 Isobutanol 459.59 439.72 362.62 346.94 1-butanol 24.97 20.56 19.70 16.22 Isoamil alkohol 365.66 654.42 288.50 516.34 Konsentrasi pengotor total 1366.87 1488.96 Kemurnian bioetanol 99.86% 99.85% Konversi konsentrasi pengotor Konsentrasi metanol sampel 1 = konsentrasi metanol (mg/kg) ρ etanol = 316.09 mg/kg 0.789 kg/l = 249.40 mg/l Persentase konsentrasi isobutanol sampel 1 terhadap pengotor total = 362.62 1366.87 100% = 26.53 %