PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA' (Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla' Wilayatul Hukmi) 1

dokumen-dokumen yang mirip
PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA'

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

HISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN. T. Djamaluddin 1

Imkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan analisis dalam pembahasan disertasi ini, peneliti. 1. Matlak menurut fikih adalah batas daerah berdasarkan jangkauan

BAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh

Awal Ramadan dan Awal Syawal 1433 H

Penentuan Awal Bulan Qamariyah & Prediksi Hisab Ramadhan - Syawal 1431 H

Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)

PERBEDAAN IDUL FITRI: HISAB, RU YAH LOKAL, DAN RU YAH GLOBAL

IMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL

PREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA. Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung)

Unifikasi Kalender Islam di Indonesia Susiknan Azhari

Hisab dan rukyat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklop...

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH

Metode Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal Rukyat or Hisab; Local or Global? (Lanjutan)

LEBARAN KAPAN PAK?? Oleh : Mutoha Arkanuddin Koord. Rukyatul Hilal Indonesia (RHI)

ASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI TENTANG UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DAN PROSPEKNYA MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA

Kapan Idul Adha 1436 H?

ALMANAK KALENDER TAHUN 2017 LEMBAGA FALAKIYAH PWNU JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. hadirnya hilal. Pemahaman tersebut melahirkan aliran rukyah dalam penentuan

Modul Pelatihan HISAB - RUKYAT AWAL BULAN HIJRIYAH

MENYATUKAN SISTEM PENANGGALAN ISLAM. Syamsul Anwar

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah

Hilal Ramadhan Monday, 25 July 2011

Kaedah imaging untuk cerapan Hilal berasaskan Charge Couple Device (CCD) Hj Julaihi Hj Lamat,

Wawancara Merdeka.com: Metode hisab dan Rukyat Bisa Disatukan karena Ilmu Astronomi Bisa Tentukan Awal Bulan Sesuai Dalil Rukyat

BAB I PENDAHULUAN. DARI PENGARUH ORMAS-ORMAS ISLAM SEPERTI NU 1, MUHAMADIYAH 2, PERSIS,

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan Qamariyah kerap

Kilas Balik Penetapan Awal Puasa Dan Hari Raya Di Indonesia. Moh Iqbal Tawakal

BAB I PENDAHULUAN. baik secara nasional maupun internasional dalam halnya menentukan awal bulan

BAB I PENDAHULUAN. terbenam terlebih dahulu dibandingkan Bulan. 2. ibadah. Pada awalnya penetapan awal bulan Kamariah ditentukan

Polemik Ramadhan Ketinggian Hilal Harus 2 derajat?

BAB I PENDAHULUAN. karena itu para ahli hukum Islam menentukan lembaga-lembaga mana yang. berwenang melakukannya, prosedur dan mekanismenya.

IMKAN AL-RUKYAT MABIMS SOLUSI PENYERAGAMAN KELENDER HIJRIYAH

TINJAUAN UMUM TENTANG HADIS-HADIS HISAB-RUKYAT DAN TRADISI ISLAM PEMBAHARU DI TIMUR TENGAH DAN INDONESIA... 55

BAB IV ANALISIS PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG WUJU<DUL HILAL

KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)

Rukyat Legault, Ijtimak Sebelum Gurub, dan Penyatuan Kalender Islam

BAB III RESPONS ULAMA NU DAN MUHAMMADIYAH KUDUS TERHADAP UPAYA UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA PERSPEKTIF ASTRONOMI

BAB 1 PENDAHULUAN. nampaknya semua orang sepakat terhadap hasil hisab, namun penentuan awal

Penentuan Awal Bulan Qomariah

BAB III KONSEP UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI

Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya

OTORITAS DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH (KONFRONTASI ANTARA PEMIMPIN NEGARA DAN PEMIMPIN ORMAS KEAGAMAAN) ABSTRAK

PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH DAN PERMASALAHANNYA DI INDONESIA. Wahyu Widiana Mahkamah Agung RI Absrak

MAKALAH ASTRONOMI KALENDER BULAN. Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Astronomi. Dosen Pengampu: Arif Widiyatmoko, M.Pd.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

Oleh: Hafidz Abdurrahman

BAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI. A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi

BAB I PENDAHULUAN. dengan kelangsungan kegiatan peribadatan umat islam. Ketepatan dan

BAB II TEORI VISIBILITAS HILAL

BAB I PENDAHULUAN. dari pengaruh ormas-ormas Islam seperti NU 1, Muhamadiyah 2, Persis,

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

IMPLEMENTASI MATLAK WILAYATUL ḤUKMI

Buku ini diawali dengan puisi "Bulan, Apa Betul itu, Kau Sulit Dilihat" katya Tauflq Ismail, yang dapat menambah semangat dalam membaca buku ini.

Idul Fitri 2007, Akankah Kita Berbeda Lagi?

BAB III PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT. A. Letak Geografis dan Sejarah Pantai Kartini Jepara

Kriteria Imkan Rukyat Kesepakatan Perlu Diubah Disesuaikan dengan Kriteria Astronomis. Posted on 24 Mei 2012 by tdjamaluddin.

BAB I PENDAHULUAN. keislaman yang terlupakan, padahal ilmu ini telah dikembangkan oleh

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB I PENDAHULUAN. karena selain untuk menentukan hari-hari besar, penentuan awal bulan juga

KRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI)

FATWA MUI TENTANG PENENTUAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZÛ AL-HIJJAH (UPAYA REKONSTRUKSI METODOLOGIS)

HISAB PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (STUDI PENETAPAN HUKUMNYA) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penetapan awal bulan kamariah, terdapat beberapa metode yang

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam

PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG

PENJELASAN TENTANG HASIL HISAB BULAN RAMADAN, SYAWAL, DAN ZULHIJAH 1436 H (2015 M)

Kajian Astronomi Perubahan Zona Waktu Indonesia (Catatan Ringkas Bahan Pemaparan)

Topik ini menggarisbawahi akan pentingnya kekaffahan seseorang dalam ber-islam agar mampu melihat persoalan tidak secara parsial, utamanya dalam

Menjelang tahun 1390H / 1970, isu penentuan awal Ramadhan dan Syawal menjadi

Pengantar Memahami Astronomi Rukyat

Kelemahan Rukyat Menurut Muhammadiyah PERMASALAHAN RUKYAT

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan hijriyah.

Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal

AKTUALISASI MATLAK WILAYATUL ḤUKMI DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH (PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH)

KONSEP DAN KRITERIA HISAB AWAL BULAN KAMARIAH MUHAMMADIYAH

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

Fiqh Ulil Amri: Perspektif Muhammadiyah 1

Oleh PENGAJIAN RAMADAN 9 RAMADAN 1433 H/28 JULI 2012 M PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH. Oman Fathurohman SW

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi dalam menentukan awal bulan Kamariah khususnya Ramadan,

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

HISAB PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (STUDI PENETAPAN HUKUMNYA) NASKAH PUBLIKASI

BAB IV ANALISIS TINGKAT KEBERHASILAN RUKYAT DI PANTAI TANJUNG KODOK LAMONGAN DAN BUKIT CONDRODIPO GRESIK TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara mengenai penentuan arah kiblat, khususnya di Indonesia sudah

PERADABAN TANPA KALENDER UNIFIKATIF: INIKAH PILIHAN KITA? Syamsul Anwar

Otoritas Pemerintah dalam Menetapkan Awal Bulan Qamariyah

LAMPIRAN FOTO 1. : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah

Transkripsi:

PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA' (Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla' Wilayatul Hukmi) 1 T. Djamaluddin 2 1. Pendahuluan Perbedaan pendapat tentang hisab rukyat dan mathla' serta implikasinya telah menyita banyak energi ummat Islam. Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusakkan ukhuwah Islamiyah. Padahal kita akui bersama, tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang sangat temporal dan situasional. Namun seringkali kita terpaku pada pendapat ulama yang zamannya dan situasinya jauh berbeda dengan saat ini. Keterpakuan pada pendapat-pendapat lama dan kesempitan wawasan akan perkembangan baru terbukti telah mengkotak-kotakkan ummat Islam pada madzhabmadzhab yang representasinya berasosiasi dengan ormas-ormas Islam. Di Indonesia, sekian puluh tahun pandangan hisab-rukyat didominasi oleh perbedaan dua ormas besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan beberapa varian pada ormas kecil. Makalah ini akan membahas identifikasi substansi masalah sesungguhnya yang kadang luput dari perhatian dalam mencari solusi ummat secara integral, bukan parsial dalam komunitas ormas tertentu saja. Kita semua diajak untuk mengubah paradigma kita dari "perdebatan dalil hukum tentang metode yang paling sahih dan paling baik dengan upaya saling menghargai" menjadi "pencarian kriteria bersama untuk metode yang berbeda dengan upaya saling mengisi". Kita reorientasikan upaya ijtihadiyah kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "menuju titik temu bersama". Sudahlah cukup energi ummat dicurahkan untuk mengkaji sepenggal dalil yang kadang hanya berujung pada kompilasi pendapat lama. Pada bagian selanjutnya akan diulas pendapat yang berkembang di Indonesia dan kritik terhadap pendapat itu, termasuk kritik terhadap metode hisab wujudul hilal dengan mathla' wilayatul hukmi. Ada potensi untuk menuju titik temu antara penedapat-pendapat yang berkembang tersebut. Pada akhirnya akan dibahas konsepsi titik temu yang diusulkan untuk dikaji pada Munas ini. 2. Substansi Masalah Dalil Alquran dan Hadits tentang hisab rukyat sebenarnya tidak banyak. Tanpa menyebut satu persatu dalil Al-Quran dan Al-Hadits yang biasa dikemukakan oleh para ahli fikih, secara umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal-hal berikut: 1. Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan ibadah (QS 2: 189). 2. Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah kering dengan periode yang tertentu (QS 36:39). 1 Disampaikan pada "Musyawarah Nasional Tarjih ke-26", PP Muhammadiyah, Padang 1 5 Oktober 2003 2 Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung, Telepon: 022-601-2602, 603-8060 (K), 607-7680 (R) e-mail: t_djamal@bdg.lapan.go.id, t_djamal@hotmail.com; http://media.isnet.org/isnet/djamal/ 1

3. Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan dapat digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan bilangan tahun (QS 10:5, 55:5). 4. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis edarnya (QS 36:40) 5. Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di langit yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah atau mengulurnya karena suatu alasan (misalnyam strategi perang atau penyesuaian dengan musim) tidak dibenarkan (QS 9:36-37). 6. Shaumlah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya. Bila terhalang awan maka sempurnakan bilangan bulan 30 hari atau perkirakan (dengan hisab atau istikmal 30 hari) (Al-Hadits). Dari sekian dalil Al-Quran dan Al-Hadits, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, ummat Islam ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan mengkuantitaskan pedoman umum dalam nash Al- Quran dan Al-Hadits. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat. Semuanya bersifat dinamis. Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, dirinci, dan dikuantitaskan adalah sebagai berikut: a. Apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga terdefinisi dalam dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Misalnya, definisi lengkapnya akan dirumuskan sebagai berikut: Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit. Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang). b. Sejauh mana keberlakuan rukyatul hilal atau mathla'? Kita semua mengetahui bahwa bumi itu bulat, bukan seperti selembar kertas. Dapat dipastikan ada daerah yang bisa melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak ada batasan fisik kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan mathla' tanpa mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan geopolitik pada suatu masa. Gagasan untuk membuat rukyat yang bersifat global akan berbenturan dengan sekian kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu kesaksian hilal yang belum pasti atau memaksa orang menqadha shaum bila terlewat. Sementara membuat batasan radius sekian derajat juga tidak ada alasan ilmiah yang sahih. Sedangkan gagasan fuqaha menentukan mathla' bersifat wilayatul hukmi dipandang sangat beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai pemersatu ummat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati oleh semua ummat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang global bisa terwujud. 2

Ada masalah muskil yang mengemuka dan berimplikasi munculnya perbedaan pendapat yang berkepanjangan. Untuk mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di atas, umat Islam terus menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nash Al-Quran dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya. Ada juga kecenderungan simplifikasi masalah sehingga solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama kita berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul ungkapan "rukyat bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat bil 'ain". Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya rukyat pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan hisab, penggunaan hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplifikasi permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final. Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi "hilal" yang integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah yang terbuka. Riset tidak berarti harus memulai dari nol dengan merukyat sendiri, karena hal itu justru bukan metodologi riset yang efisien untuk masalah masalah hisab rukyat yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan wilayah yang sangat luas. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru. 3. Hisab Rukyat di Indonesia Kini Mencermati perkembangan praktek penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kita bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria yang digunakan oleh dua ormas besar: NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti Persis (Persatuan Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar berada pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk mencari titik temu, perlu kita memahami kesamaannya dan perbedaannya serta kemungkinan untuk dipersatukan. 3. 1. Muhammadiyah Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya sebagai pembantu rukyat. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam hadits atau Alquran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan. Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai. Itu merupakan syarat perlu untuk munculnya hilal. Tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah wujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal itu terjadi di Indonesia Dzulhijjah 1423 lalu. Di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah wujud pada saat maghrib 1 Februari, 3

tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus yang ekstrim terjadi pada bulan Syaban 1423 (Oktober 2002). Saat itu di sebagian besar Indonesia bulan telah wujud, tetapi belum terjadi ijtimak. Dalam beberapa kasus (misalnya, saat penentuan Idul Adha 1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul hukmi. Tetapi bila kasus ekstrim seperti Sya'ban 1423 dengan garis ujtima' saat maghrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep wilayatul hukmi tidak dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtimak sebelum maghrib (ijtimak qablal ghurub). Garis Tanggal Dzulhijjah 1423 kriteria imkan rukyat, h=2, w ujudul hilal 1 Februari 2003 (--- maghrib saat ijtima') 31 Januari 2003 Garis Tanggal Sya'ban 1423 kriteria imkan rukyat, h=2, wujudul hilal 7 Oktober 2002 (--- maghrib saat ijtima') 6 Oktober 2002 Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari penafsiran QS 36:39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis, bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau ijtimak, tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi ijtimak. Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian rukyat. Di satu daerah hilal tampak, sedangkan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas mathla' dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antardaerah masih sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi, kesaksian rukyatul hilal disuatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini konsep mathla' diperlukan untuk memberikan kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni, mathla' tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua. 4

Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria ijtimak qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoritik yang tidak punya landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat. 3.2.Nahdlatul Ulama NU sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah. Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan awal bulan, misalnya pada penetapan Idul Fitri 1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat. Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat 2 derajat. Namun prinsip itu belum secara konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif dari beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang mengisyaratkan Idul Fitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanur rukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum disosialisasikan. Padahal kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan. Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadhan 1394/16 September 1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis menyatakan tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut bulanmatahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata. Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996. 5

NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2 derajat, walau pun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri 1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah. 4. Konsepsi Titik Temu Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi tentang hilal. Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan "hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah. Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam. Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, berkeberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut bulan matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan ilmiahnya. Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca 4 November 2002) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan Persis pra 4 November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi. Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian juga saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian 6

rukyatul hilal yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya. Secara astronomis pengertian rukyatulhilal bil fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan. Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul hilal internasional. Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisabrukyat dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB, Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia. Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962 1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktek hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Umur hilal minimum 8 jam 2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan matahari. Beda Azimut Tinggi minimum ( o ) 0,0 8,3 0,5 7,4 1,0 6,6 1,5 5,8 2,0 5,2 2,5 4,6 3,0 4,0 3,5 3,6 4,0 3,2 4,5 2,9 5,0 2,6 5,5 2,4 6,0 2,3 7

Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab Rukyat Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah disosialisasikan untuk difahami bersama. Untuk tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS yang baru. Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan "hilal" semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fikih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip Ukhuwah Islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini. 5. Penutup Energi ummat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan masalah hisab rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan sampai sekian saja. Masih banyak masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan dalam era globalisasi saat ini. Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat untuk mencari titik temu. Perlu reorientasi upaya ijtihadiyah kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "menuju titik temu bersama". Memang, ada rasa tenteram ketika kita mengamalkan hasil ijtihad yang dianggap paling meyakinkan. Namun, meninggalkan "kebenaran relatif ijtihadiyah" kita sendiri untuk mengambil hasil ijtihad lain demi menjaga ukhuwah bukanlah tindakan berdosa. Sebab Islam mengajarkan tidak ada dosa bagi kesalahan ijtihadiyah. Tema Munas "Membangun Kesalehan Sosial Melalui Kehidupan Beragama yang Reflektif" sangat relevan dengan upaya mencari titik temu ini. Sebagai organisasi pembaharu, bukanlah hal yang tabu bagi Muhammadiyah untuk melakukan redefinisi "hilal" yang bisa menjadi pelopor upaya mencari titik temu hisab rukyat di Indonesia. Tawaran definisi "hilal" berdasarkan kajian LAPAN sebagai lembaga penelitian antariksa adalah usulan murni ilmiah dengan mempertimbangkan batasan syariat. Ini adalah tawaran bagi semua ormas Islam di Indonesia untuk sama-sama maju menujuk titik temu. Setidaknya sebagai titik awal untuk melakukan redefinisi tentang hilal yang mempertemukan semua metode hisab dan rukyat yang seringkali berbeda-beda keputusannya. 8