IMPLIKASI PENGATURAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.69/PUU-XIII/2015

dokumen-dokumen yang mirip
The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

ABSTRAK. Kata Kunci : Hukum Agraria, Hak Milik Atas Tanah, Perjanjian Nominee, WNA ABSTRACT

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

16 No. 1 VOL. 2 JANUARI 2017: 16-34

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA DALAM AKTA PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS BAGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA ISLAM

KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 69/PUU-XII/2015

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 69/PUU-XIII/2015

PERJANJIAN PRANIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN MELALUI PERMOHONAN PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SURAKARTA YANG DILAKUKAN SETELAH PERKAWINAN (Studi Kasus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

SUAMI DAN ISTERI SEBAGAI PENDIRI C.V. P.T.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang undang No.

THE JUDICIAL REVIEW PROPERTY RIGHTS CITIZENS WHO MARRY FOREIGNERS IN INDONESIA BASED ON LAW NUMBER 5 OF 1960 ON THE BASIC REGULATION OF AGRARIAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,


Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-xii/2015 (Persoalan Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)*

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

PENGUASAAN TANAH OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) DI WILAYAH INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960

BERSAMA PERCA INDONESIA DUKUNG IKE FARIDA DI MAHKAMAH KONSTITUSI (a Judicial Review for Mix Marriage Couple)

BAB I PENDAHULUAN. mengenai nasabah serta dana yang disimpannya dari pihak-pihak yang dapat

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Perkawinan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU XIII/2015.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 64/PUU-X/2012

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PANDANGAN HUKUM NASIONAL DAN BUDAYA MASYARAKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

PERLUKAH PERJANJIAN PRANIKAH?

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

BAB II LATAR BELAKANG DILAKUKANNYA PERJANJIAN KAWIN SEBELUM NIKAH. ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I P E N D A H U L U AN

Lex Administratum, Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BENTUK PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING AKIBAT PERCAMPURAN HARTA DALAM PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

A.Latar Belakang Masalah

KAJIAN YURIDIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

Psl. 119 BW jo. Psl. 124 BW

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

IMPLIKASI PENGATURAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.69/PUU-XIII/2015 Fegha Fannissa Dyananto E-mail: Feghafannissa@gmail.com@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pranoto E-mail: maspran7@gmail.com@gmail.com Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Article Information Keywords: Shared property; Mixed marriage; Agreement After mating Kata Kunci: Harta Kekayaan Bersama; Perkawinan campuran; perjanjian setelah kawin. Abstract This article aims to assess the implications of the arrangement of property distribution along with the verdict of the Constitutional Court No. 69/PUU/XIII/2015. This article is included in the type of legal research, which is prescriptive and applied. The source of legal materials used are primary legal materials and secondary legal materials, by way of library/document studies, technical analysis of legal materials using silogism and interpretation methods. The results showed that the positive implications whereby the different nationalities who would be married would be likely to make a marriage treaty, to govern their property as desired by both parties. So this decision does not harm them, which in this is entitled to possess land with property rights, and the existence of legal certainty for mixed marriage actors. The negative implications of the post MK decree No. 69/PUU-XIII/2015 because it has not been socialized optimally, it is not uncommon for notary to make marriage agreements after marriage, both between CITIZEN- FOREIGNER and the spouse of WNI-WNI, because it can cause harm to third parties. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengkaji implikasi pengaturan pembagian harta bersama dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XIII/2015. Artikel ini termasuk ke dalam jenis adalah penelitian hukum bersifat preskriptif dan terapan. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan cara studi pustaka/dokumen, teknik analisis bahan hukum menggunakan metode silogisme dan interpretasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Implikasi positif dimana orang yang berbeda kewarganegaraan yang akan melangsungkan perkawinan cenderung akan membuat perjanjian perkawinan, untuk mengatur harta kekayaan mereka sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak. Sehingga keputusan ini tidak merugikan mereka, yang dalam ini berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik, dan adanya kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran. Implikasi negatifnya pasca Putusan MK No. Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 227

69/PUU-XIII/2015 karena belum tersosialisasikan secara optimal, tidak jarang notaris menolak membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan, baik antara WNI-WNA maupun pasangan WNI-WNI, karena dapat berakibat merugikan bagi pihak ketiga. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan salah satu bentuk perikatan antara seorang pria dan wanita (Hilman Hadikusuma, 2007:6). Perikatan yang dimaksud tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikenal sebagai hukum perkawinan yang merupakan himpunan dari peraturan-peraturan yang mengatur serta memberi sanksi terhadap tingkah laku manusia di dalam perkawinan (Achman Ihsan, 1986:18). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974) telah diatur berbagai konsekuensi hukum, antara lain: menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung, baik tanggung jawab mereka terhadap anak, serta konsekuensi terhadap harta kekayaan bersama (gonogini). Perkawinan itu sendiri membawa akibat menimbulkan akibat hukum yang sah, demikian juga dengan perkawinan campuran akan menimbulkan akibat hukum yaitu hubungan hukum antara suami istri, akibat hukum terhadap harta perkawinan dan hubungan hukum antara orang tua dengan anak (Herni Widanarti, 2018:162). Berkembangnya globalisasi saat ini telah memperluas makna dari perkawinan, dengan suatu keadaan perkawinan antara dua individu lintas batas semacam itu dikenal dengan Perkawinan Campuran. Perkawinan dengan perbedaan kewarganegaraan merupakan hal yang sangat umum di kalangan masyarakat saat ini. Di Indonesia sendiri, perkawinan campuran di dominasi oleh perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) (Winda Pebrianti, 2012:2). Perjanjian perkawinan atau yang sering disebut dengan Prenuptial Agreement menurut Rebecca Glass Prenuptial agreements are the main types of the contracual agreements couples make in the context of marriage. yang artinya adalah jenis utama perjanjian kontrak antara kedua pasangan yang dibentuk untuk tujuan khusus dalam konteks pernikahan (Rebecca Glass. 2004: 218). Salah satu problematika yang timbul adalah berkaitan dengan terjadinya Harta Bersama sebagai akibat hukum yang timbul karena dilangsungkannya perkawinan tersebut (Adhitya Dimas Pratama, 2018:248). Hal lain yang sempat menimbulkan permasalahan dalam perkawinan campuran antara WNI dengan WNA, dimana keduanya tidak sempat membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan yang menyebabkan pasangan tersebut terbelit masalah kepemilikan tanah. Tanpa dilakukannya 228 Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta...

perjanjian perkawinan maka harta yang diperoleh setelah perkawinan akan menjadi harta bersama, namun dalam kasus kepemilikan tanah hanya WNI yang dapat diizinkan untuk memiliki tanah dengan status hak milik berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1960) (http:// kcaselawyer.com/seputar-perjanjian-perkawinan-dasar-hukum-fungsi-materiyang-diatur-dan-waktu-pembuatan/). Hal ini menyebabkan pasangan yang berkewarganegaraan WNI tidak dapat membeli tanah dengan status hak milik dan berjuang keras untuk dapat menyuarakan permasalahan yang banyak dilalui oleh pasangan perkawinan campuran lainnya. Penggolongan harta bawaan ini pun bisa berbeda dan diijinkan oleh Undang-Undang sepanjang ada kesepakatan bersama kedua belah pihak seperti Perjanjian Pernikahan atau Prenuptial Agreement. (Olivia Fitrah Rulvi Yandra, 2019:42). Melalui putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, sebagai solusi permasalahan terkait yang telah dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah merombak tatanan hukum perkawinan, yang sebelumnya hanya mengizinkan perjanjian perkawinan dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan (Prenuptial Agreement), dengan membolehkan juga pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan itu berlangsung (Postnuptial Agreement). Dalam artikel ini penulis akan membahas mengenai bagaimana implikasi pengaturan pembagian harta bersama dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XIII/2015. B. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus.sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder, dengan teknik analisis bahan hukum yang bersifat deduksi dengan metode silogisme. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:183). C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Harta bersama terjadi sejak saat dilangsungkan perkawinan antara suami dan istri, sejauh tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian perkawinan. Selama masa perkawinan, dalam Pasal 119 KUHPerdata menjelaskan bahwa harta bersama tidak dapat ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami istri. Lebih lanjut dicantumkan dalam Pasal 120, yang merupakan harta bersama meliputi: barang-barang bergerak, barangbarang tidak bergerak suami istri, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, dan barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali apabila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 229

Harta bersama diatur dalam bab VI Pasal 119-138 KUHPerdata yang terdiri dari 3 (tiga) bagian. Bagian pertama tentang Harta Bersama Menurut Undang- Undang (Pasal 119-123), Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama (Pasal 124-125) serta Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri Dari Padanya (pasal 126-138). Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon suami istri sebelum melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. Adapun perihal yang diatur dalam perjanjian perkawinan adalah mengenai adanya pemisahan atau persatuan harta kekayaan, hutang piutang maupun untung rugi antara suami dan istri sepanjang disepakati dan atas persetujuan bersama.(http://intisari.grid.id/read/0332876/kasus-perjanjian-kawinyang-tak-sah-ini-penting-untuk-disimak-pasangan-yang-akan-dan-sudahnikah?page=all diakses pada hari Senin tanggal 8 Oktober 2018 pukul 12.03 WIB). Latar belakang dibuatnya perjanjian perkawinan ini ialah untuk menyimpang dari ketentuan hukum perundang-undangan, yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat. Sebab lain yang menjadi latar belakang diadakannya perjanjian perkawinan ialah jika diantara pasangan calon suami istri terdapat perbedaan status sosial yang menyolok, atau memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau pemberi hadiah tidak ingin sesuatu yang dihadiakan kepada salah seorang suami istri berpindah tangan kepada pihak lain, atau masing-masing suami istri tunduk pada hukum berbeda seperti yang terjadi pada perkawinan campuran. Dengan diadakannya perjanjian perkawinan, maka terdapat kepastian hukum terhadap apa yang diperjanjikan mereka untuk melakukan suatu perbuatan hukum terhadap apa yang diperjanjikan. Ketentuan pembentukan perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai pembentukan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Pengaturan yang tertuang dalam Pasal 29 UU No 1 Tahun 1974 hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dapat dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkannya suatu perkawinan. Isi Perjanjian Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, menurut Abdul Kadir Muhammad dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Ditinjau berdasarkan aspek kepastian hukum, maka ketentuan perjanjian perkawinan, baik menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah mengatur secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dibuat maupun diubah setelah perkawinan berlangsung, hal tersebut untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan oleh pihak ketiga. Perjanjian kawin 230 Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta...

harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus dibuat dengan akta Notaril, jika tidak, maka perjanjian kawin itu batal dengan sendirinya (Pasal 147 ayat (1) KUHPerdata). Perjanjian kawin tersebut berlaku antara suami dan istri pada saat perkawinan dilangsungkan, suatu perjanjian kawin sudah tidak dapat diubah dengan cara apapun juga (Pasal 147 ayat (2) dan Pasal 149 KUHPerdata). Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono gini. 2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri. 3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami atau istri) 4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami atau istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka. Apabila disetujui bersama oleh mereka yang menjadi pihak dalam pembuatan perjanjian kawin, termasuk pula pihak yang memberikan bantuan dan harus dilakukan juga dengan akta notariil (Pasal 148 KUHPerdata). Sedangkan jika sudah dilangsungkannya perkawinan, maka perjanjian kawin tidak dapat diubah oleh kedua belah pihak, karena hal itu akan dapat merugikan pihak ketiga. Di samping itu juga untuk menjamin kepastian hukum tentang keutuhan harta kekayaan perkawinan yang tidak dapat diubah dengan mengubah perjanjian kawin. Dengan adanya ketentuan tersebut mengakibatkan persatuan harta antara suami dan istri terjadi secara otomatis. Jika tidak dibuat perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai perpisahan harta, tidak memungkinkan adanya pemisahan harta diantara keduanya setelah perkawinan tersebut dilaksanakan. Dengan sejalannya perkembangan praktek di dalam masyarakat dapat dijumpai perjanjian perkawinan yang dibentuk pada saat perkawinan itu berlangsung dengan alasan-alasan tertentu. Alasan yang umumnya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU No. 1 Tahun 1974 UU Perkawinan ada ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan dalam kasus pemohon Ike Farida, saat akan melangsungkan perkawinan ia tidak mengetahui adanya hal yang mengatur pemisahan harta yang ternyata sangat berdampak di masa depan untuk dirinya, terlebih karena ia menikah dengan seorang WNA, serta tidak terlintas di pikirannya bahwa kelak ia akan memutuskan dan mampu untuk membeli sebuah rusun untuk ia huni bersama keluarganya karena saat itu ia masih cukup muda dengan harta pribadi yang tidak banyak. Hal yang demikian pula dibenarkan oleh hokum dengan dasar bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus didahului dengan Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 231

mengajukan permohonan ke pengadilan yang berwenang agar mendapatkan penetapan dari hakim. Dalam petitumnya terhadap Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, Ny. Ike Farida memohon agar MKRI menafsirkan frasa harta bersama menjadi harta bersama kecuali harta benda berupa HM dan HGB yang dimiliki oleh WNI yang kawin dengan WNA. Apabila melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/ PUU-XIII/2015 yang dalam amarnya menyebutkan bahwa Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Sehingga jelas bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku mulai terhitung sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali apabila ditentukan lain dalam perjanjian yang bersangkutan tersebut. Terlepas dari ketidaksempurnaan petitum yang disusun oleh Ny. Ike Farida, konsep yang ditawarkan menarik untuk dibahas. Konstruksi berpikir dari konsep ini dilandaskan pada syarat untuk memiliki HM dan HGB (serta HGU). Hanya WNI yang bisa memilikinya. WNA tidak bisa memiliki HM dan HGB (serta HGU). Dengan demikian, meski perkawinan terjadi dan mengakibatkan adanya percampuran harta, maka HM dan HGB (serta HGU) tidak bisa turut tercampur ke dalam bundel harta bersama. Mengenai apa saja batasan dari isi perjanjian perkawinan tidak disebutkan secara mutlak pada Putusan No. 69/PUU-XIII/2015, itu berarti perjanjian perkawinan mengacu pada asas-asas perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asa kebebasan berkontrak, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hokum, asas keseimbangan, asas kepastian hokum, asas moral, asas kepatutan, dan asas kebiasaan yang mana perjanjian perkawinan dapat dikatakan sangat luas jangkauannya selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, kesusilaan dan dibuat atas kehendak dari kedua belah pihak suami istri tersebut. Sebagai contoh, apabila suami istri menghendaki perjanjian perkawinan dimana harta masing-masing dijadikan satu menjadi harta bersama, kemudian dari harta bersama tersebut digunakan sebagai modal usaha perusahaan milik keluarga dan keuntungan yang akan didapat nantinya dibagi sesuai perjanjian terlampir. Hal tersebut akan tetap sah menjadi suatu perjanjian kawin, sebab para pihak secara mutlak menghendaki adanya tujuan tersebut tanpa mengurangi esensi dari perjanjian di dalam perkawinan diantara keduanya. Contoh lain yang dapat diaplikasikan dalam perjanjian perkawinan yaitu pasangan suami istri membuat perjanjian pemisahan harta bersama, kemudian dari masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum secara pribadi atas segala bentuk harta yang mengatasnamakan masingmasing dan salah satu pihak itu mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga untuk membangun sebuah usaha dengan harta pribadinya itu, maka ia tidak memerlukan persetujuan dari pasangannya dan hal tersebut harus diketahui oleh pihak ketiga. Diatas adalah contoh dari bentuk perjanjian perkawinan yang memperlihatkan bahwa suatu perjanjian harus merefleksikan adanya kesepakatan antara pihak 232 Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta...

yang bersangkutan dengan tidak mengesampingkan pihak ketiga. Adapun yang perlu menjadi perhatian terkait pembuatan perjanjian perkawinan pemisahan harta yakni isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asalkan substansi perjanjian perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluasluasnya sesuai dengan asas hokum kebebasan berkontrak. Pada dasarnya dalam perkawinan suami-istri dapat mengatur harta benda mereka terpisah setelah masuk dalam perkawinan. Konsekuensinya adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama berkawinan berlangsung. Sedangkan untuk membiayai keperluan rumah tangga bisa menjadi beban suami sendiri atau ditanggung bersama antara kedua belah pihak. Pemisahan harta benda perkawinan juga dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung di mana harus didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak suami dan istri. Biasanya pemisahan harta benda ini dituangkan dalam suatu perjanjian kawin yang secaraa khusus dibuat untuk itu. Pihak dapat menyatakan bahwa diantara mereka tidak ada percampuran harta dan di samping secara tegas juga dapat dinyatakan bahwa mereka tidak menghendaki adanya persatuan untung rugi. Dengan adanya pemisahan harta sama sekali, maka harta masingmasing pihak (suami-istri) tetap menjadi pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan. Di samping itu, oleh karena setiap bentuk persatuan telah mereka kecualikan, maka hasil yang mereka (suami-istri) peroleh sepanjang perkawinan, baik berupa hasil usaha maupun hasil yang berasal dari harta pribadi, tetap menjadi milik pribadi masing-masing suami istri. Dampak dibuatnya suatu perjanjian perkawinan dapat berupa hubungan antara suami istri, masalah hubungan orang tua dengan anak dan masalah yang paling mencolok yaitu mengenai harta benda masingmasing pihak yang membuat perjanjian. Mengenai pengaturannya dapat dilihat dalam Undang- Undang Perkawinan Masalah-masalah itu masing-masing dalam Bab VI yaitu mengenai hak dan kewajiban suami istri, Bab IX mengenai kedudukan anak, Bab X mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak dan yang terakhir pada Bab VII mengenai harta benda dalam perkawinan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 jika salah satu pihak yang berasal dari Indonesia (WNI) tidak dapat memiliki hak atas tanah selama kurang dari satu tahun. Tapi sebaliknya jika dibuat suatu perjanjian perkawinan, maka aset bisa dimiliki oleh istri atau siapapun yang WNI-nya dan juga hak warisnya juga mengikuti hukum Indonesia. Suatu alasan yang sangat penting sehingga perlu diadakannya perjanjian pra nikah bagi para pihak yang akan menikah, ialah jika salah satu pihak (suami/istri) sebelumnya pernah menikah, maka perjanjian perkawinan ini sangatlah penting karena Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 233

jika tidak dibuat perjanjian ini, maka mempelai kedua tersebut akan memiliki/ memperoleh sebagian dari seluruh harta peninggalannya. Menyikapi akibat perjanjian perkawinan sebagaimana yang diuraikan di atas, dalam kaitan dengan lahirnya putusan MK Nomor 69/PUU/XIII/2015, khususnya terhadap penerapan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi memperluas makna pembuatan perjanjian perkawinan disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Dalam amarnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 29 ayat (1) UUP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Pasal 29 ayat (3) UUP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Sedangkan, Pasal 29 ayat (4) UUP inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Perjanjian perkawinan sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstistusi, yaitu pembuatan perjanjian perkawinan dapat dibuat selama ikatan perkawinan berlangsung oleh Notaris tanpa harus didahului dengan penetapan pengadilan yang berwenang. Fenomena yang terjadi di masyarakat dijumpai perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan berlangsung dengan alasan tertentu antara suami-istri tersebut. Sehingga akibat hukum pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah kawin sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu terjadinya perubahan terhadap status harta suami-istri dan mengikat kedua belah pihak serta terhadap pihak ketiga. Terbitnya Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015 perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, setelah perkawinan dilangsungkan dengan dibuktikan akta notaris sesuai Pasal 3 Ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015. Keputusan ini memberikan jaminan kesetaraan hak dalam hal ini hak untuk dapat memiliki tanah hak milik, dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 karena belum tersosialisasikan secara optimal. Serta, tidak jarang notaris menolak membuat perjanjian perkawinan baik antara WNI-WNA maupun pasangan WNI-WNI, karena dapat diindikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Mengingat luasnya cakupan atau substansi perjanjian perkawinan yang belum ada batasan dengan tegas, disarankan agar pemisahan harta yang terdapat dalam Pasal 3 Ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015 harus dijelaskan secara terperinci, serta Pemerintah dalam hal ini Kementrian 234 Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta...

Hukum dan HAM seharusnya dapat menindaklanjuti Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015 terkait pelaksanaan tugas notaris selaku pejabat umum yang membuat atau mengesahkan perjanjian perkawinan. Sejak putusan mahkamah konstitusi dan dicatat dalam berita negara maka terhadap perjanjian kawin tersebut dapat dibuat atau diajukan perjanjian kawin yang tidak hanya pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung tetapi selama perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin berdasarkan ayat (4), berkaitan dengan harta perkawinan dan juga perjanjian lainnya di luar harta perkawinan yang dapat diperjanjikan. Mengenai berlakunya perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian yang dibuat selama perkawinan berlakunya mulai perkawinan dilangsungkan atau dengan kata lain bahwa harta sebelum adanya perjanjian perkawinan juga ikut serta dalam perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung (dalam ikatan perkawinan). Meskipun demikian untuk memberikan perlindungan hukum terhadap salah satu pihak (suami/ istri) terhadap harta perkawinan yang ada sebelum perjanjian perkawinan dibuat, memberikan peluang untuk tidak diperjanjikan karena adanya frasa dalam putusan tersebut yang menyebutkan bahwa berlakunya perjanjian kawin berlaku sejak perkawinan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan tersebut. Pengecualian tersebutlah yang memberikan peluang atau perlindungan bahwa harta kekayaan atau yang lainnya yang ada sebelum perjanjian kawim dibuat tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan tersebut. Sehingga perjanjian perkawinan mulai berlakunya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Demikian juga dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing berkaitan dengan harta perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan setalah kawin terhadap status harta bersama inheren (berkaitan erat) dengan waktu mulai berlakunya perjanjian tersebut dan mengikat terhadap pihak ketiga. D. Simpulan Implikasi Pengaturan Pembagian Harta Bersama dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XIII/2015 terbagi menjadi dua yaitu implikasi positif dan implikasi negatif. Implikasi positifnya adalah terhadap orang yang berbeda kewarganegaraan yang akan melangsungkan perkawinan, cenderung akan membuat perjanjian perkawinan, untuk mengatur harta kekayaan mereka sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak. Sehingga keputusan ini tidak merugikan mereka, yang dalam ini berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik, dan adanya kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran. Implikasi negatifnya pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 karena belum Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 235

tersosialisasikan secara optimal, tidak jarang notaris menolak membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan, baik antara WNI-WNA maupun pasangan WNI-WNI, karena dapat berakibat merugikan bagi pihak ketiga. E. Saran Agar Notaris (sebagai pihak yang membantu pembuatan Perjanjian Perkawinan) untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi: 1. Meminta daftar inventaris (daftar barang-barang, bahan, fasilitas yang ada di seluruh bagian, termasuk gedung dan isinya), 2. Membuat pernyataan bahwa harta-harta (yang disebut dalam Perjanjian Perkawinan) belum atau tidak pernah ditransaksikan dengan cara maupun bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun. F. Daftar Pustaka Achman Ihsan. 1986. Hukum Perkawinan Bagi Mereka Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. Hilman Hadikusuma, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Jakarta: Mandar Maju. Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Seksi Perdata Barat, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Peter Mahmud Marzuki, 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Adhitya Dimas Pratama, Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Adanya Perjanjian Pisah Harta. Jurnal Panorama Hukum, Vol.3, No.2, Desember 2018. Herni Widanarti, Akibat Hukum Perkawinan Terhadap Harta Perkawinan (Penetapan Pengadilan Negeri Denpansar N0.536/Pdt.P/2015/PN.Dps), Dipenegoro Private Law Review, Vol.2, No.1, Maret 2018. Olivia Fitrah Rulvi Yandra, Analisis Hukum Tentang Perjanjian Kawin Dalam Perkawinan Campur yang di buat Setelah Menikah (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Nomor:379/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69-PUU/XIII/2015), Jurnal Lex Certa, Vol.5,No.1, 2019. Rebecca Glass, Trading Up: Postnptial Agreements, Fairness and Principled New Suitor for California. California Law Review, Volume 92 Issue 1 2004.. California: University of California Winda Pebrianti, Tinjauan Hukum atas Hak dan Status Kewarganegaraan Perempuan dalam Memperoleh Status Kewarganegaraan Indonesia karena Perkawinan Campur. Bengkoelen Justice,Vol 2 No. 2, 2012 236 Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta...

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XIII/2015 http://intisari.grid.id/read/0332876/kasus-perjanjian-kawin-yang-tak-sah-inipenting-untuk-disimak-pasangan-yang-akan-dan-sudah-nikah?page=all diakses pada hari Senin tanggal 8 Oktober 2018 pukul 12.03 WIB Privat Law Volume 9 Nomor 2 (Juli-Desember 2021) Implikasi Pengaturan Harta... 237