SKRIPSI PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT DISUSUN OLEH NAMA : RUDYANTO BP : 06940119



dokumen-dokumen yang mirip
BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

REGULASI MEKANISME PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

RechtsVinding Online

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW

Pengujian Peraturan Daerah

LD NO.2 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

HARMONISASI PERATURAN DAERAH DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA. (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan, dan Permasalahan) 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Negara Republik Indonesia. sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG

EVALUASI PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DI KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

PELAKSANAAN PENGAWASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) KOTA PADANG TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB SATU PENDAHULUAN

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

KEDUDUKAN HUKUM KEPALA DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PEMBUATAN PERATURAN DAERAH MUHAMMAD ARJUNA AWAL PUTRA / D

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PERDA OLEH MENTERI DALAM NEGERI

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013


BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

PELAKSANAAN TUGAS DEKONSENTRASI OLEH GUBERNUR KAJIAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH APBD DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW. Oleh : Mahmuddin Kobandaha 1

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

METODE PENELITIAN. cara melakukan penelitian hukum dengan teratur (sistematis). 39 Dengan

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.07/2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945.

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. implementasi dari pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

PELAKSANAAAN TUGAS DAN WEWENANG CAMAT DALAM MEMBINA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KECAMATAN IMOGIRI BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

11/PMK.07/2010 TATA CARA PENGENAAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN DI BIDANG PAJAK DAERAH DAN

Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam. menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

Transkripsi:

SKRIPSI PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT DISUSUN OLEH NAMA : RUDYANTO BP : 06940119 PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PROGRAM REGULER MANDIRI 2012

ABSTRAK PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT Nama : Rudyanto No Bp : 06940119 Program Kekhususan : Hukum Tata Negara, 76 Halaman Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan pengawasan terhadap Peraturan Daerah hanya ditekankan pada pengawasan represif saja, hal ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik. Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahn tersebut antara lain mengenai bagaimana pengawasan pembentukan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan permasalahan Hukum apa yang muncul berkaitan dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat dalam pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah. Untuk menjawab pertanyaan pada skripsi ini maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendikatan yuridis sosiologis. Dari hasil penelitian dan analisis penulis maka Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dapat dilakukan secara preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD, dengan cara represif, terhadap kebijakan berupa Perda dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD dan melihat secara Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah, melakukan Pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah dan Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat serta Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Ranperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR, yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota. Tujuannya adalah untuk memperoleh klarifikasi terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi sehingga dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Sedangkan permasalahan yang muncul adalah Pembentukan Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

DAFTAR ISI ABSTRAK. i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI.. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Perumusan Masalah 12 C. Tujuan Penelitian 12 D. Manfaat Penelitian. 13 E. Metode Penelitian.. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peraturan Perundang-Undangan.... 17 1. Landasan Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan......17 2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.20 B. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah.23 1. Kedudukan, Fungsi, Hierarki, Dan materi Muatan peraturan Daerah....23 2. Aspek Aspek Pembentukan Peraturan Daerah..... 29 C. Landasan Dan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah.. 32 1. Landasan Pembentukan Peraturan Daerah..... 32 2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Daerah..... 33 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat...... 36 B. Permasalahan Hukum apa yang muncul berkaitan dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat dalam pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah.... 65 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan.. 73 B. Saran. 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan penyelenggaraan antara Pemerintah Pusat dan daerah.hubungan penyelenggaraan pemerintahan itu harus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.Ketentuan konstitusional itu memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka Negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat). 1 Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa :.kita hanya membutuhkan Negara yang bersifat unitarisme dan wujud Negara kita tidak lain dan tidak bukan daripada bentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia tidak dapat dengan federalisme dan hanyalah dengan unitarisme. 2 Mengenai Negara Kesatuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1)Undang- Undang Dasar 1945 diikuti dengan sistem desentralisasi. Hal itu dapat dipahami dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (setelahamandemen Kedua) mengenai Pemerintahan Daerah, menyatakan sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) : Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas. 3 daerah-daerah provinsi dan 1 Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 5. 2 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959), hlm. 239. 3 Penggunaan istilah dibagi atas ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat (2) : Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sementara itu mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar1945, yang menyatakan : Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Mengenai hubungan di antara tingkat-tingkat dalam pemerintahan tersebut harus dibedakan antara: 4 1. Hubungan vertikal (pengawasan, kontrol, dsb) Mengenai pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap badanbadan yang lebih rendah. Untuk pengawasan ini dapat dikemukakan alasanalasan sebagai berikut : a. Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian konflik/perselisihan kepentingan, misalnya di antara kabupaten-kabupaten. b. Pengawasan kebijaksanaan : disesuaikannya kebijaksanaan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi. c. Pengawasan kualitas : kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan d. keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang lebih rendah. e. Alasan-alasan keuangan : peningkatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah. f. Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin Pemerintah Pusat dan Daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap perlu ditegaskankarena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkanundang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan antara daerah yang dipahami bersifat horizontal. Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 28. 4 Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 74-79.

diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga. Terhadap pengawasan dan kontrol tersebut ada beberapa bentuknya, yaitu : 1) Pengawasan represif 2) Pengawasan preventif 3) Pengawasan yang positif 4) Kewajiban untuk memberitahu 5) Konsultasi dan perundingan 6) Hak banding administrative 7) Dinas-dinas Pemerintah yang didekonsentrasi 8) Keuangan 9) Perencanaan 2. Hubungan horizontal (perjanjian kerjasama di antara para pejabat yang berada pada tingkat yang sama). Disamping hubungan secara vertikal ada pula hubungan secara horizontal, umumnya di antara kabupaten dengan kabupaten, propinsi dengan propinsi, atau propinsi dengan kabupaten.banyak tugas-tugas Pemerintah hanya dapat dilaksanakan secara memuaskan melalui jalan kerjasama.bagi suatu kerjasama di antara para instansi pemerintah diperoleh berbagai macam jalan.jalan yang pertama ialah dengan menandatangani perjanjian yang sifatnya hukum Perdata.Di samping itu di beberapa Negara ditemukan adanya kemungkinan kerjasama yang sifatnya hukum publik di antara para pejabat instansi atas dasar suatu undang-undang yang dibuat untuk hal tersebut. Terhadap hal ini ada tiga macam kerjasama : a. Fungsi yang dipusatkan b. Badan/Lembaga untuk bersama c. Badan hukum untuk bersama. Berdasarkan beberapa bentuk pengawasan dan kontrol yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah 5 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, juga menganut pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. 6 Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) hanya ditekankan pada pengawasan represif saja.ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.150 Perubahan ini menimbulkan permasalahanbaru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas 7 Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pelaksanaannya diatur oleh 5 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentangpenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahanatas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) 6 Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Op.Cit, hlm. 53. 7 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.

Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.dalam peraturan perundangundangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri diera otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom. Pakar Hukum Tata Negara, Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tapi juga oleh pemerintah, ada yang oleh Presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri. 8 Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie menyatakan, Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja. 9 Lebih 8 Berita diambil dari situs www.hukumonline.com (27 06 2006). Senada dengan Prof. SriSoemantri, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri menilai, terhadap Perda dapatdilakukan excecutive review dan judicial review; Sebenarnya ada dua lembaga (yang berwenang me-review). Pertama, (berdasarkan) Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada kewajibanmengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Departemen Dalam Negeri. Dalam duabulan, Departemen Dalam Negeri seharusnya me-review.kalau misalnya (Perda) tidak sesuaiperaturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian Pemda dan DPRD tidak puas,bisa challenge ke MA. Kemudian yang kedua (oleh) MA, melalui mekanisme judicial review, tambah Bivitri. 9 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 37-39

lanjut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi yang berwenang menguji Perda adalah Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.daerah memiliki.kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 10 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 11 Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 10 Ibid. 11 Ibid.

2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : Pasal 136 Ayat (1) : Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Ayat (2) : Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomidaerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal: 1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah. 3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah. 5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah. Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni: : 12 1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak 12 Untuk lebih jelas lihat dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1), yang menyatakan : Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan bahwa : Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Ketentuan Pasal 145 ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi problem tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat.untuk itu Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.Selain itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensikonsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah.

Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yakni: (1) hak menguji formil (formele toetsingsrecht); dan (2) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht). 13 Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945).Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo 20 ayat (2) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Perda dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999).Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang- undangan 13 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari (UpayaPenanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung), (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 127.

isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 14 Mengingat beratnya beban daerah dalam rangka memenuhi amanat Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka mensejahterakan masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional dan daerah maka setiap kebijakan publik yang dihasilkan selain untuk mengejawantahkan peraturan perundangan diatasnya juga lebih merupakan kebijakan dalam rangka mengatur rumah tangga daerah tersebut.dengan demikian materi Perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun yang bersifat delegasian, karena merupakan pengejawantahan peraturan perundangundangan diatasnya.meskipun demikian materi muatan Perda dapat juga memuat dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan. Dalam pendahuluan Prolegnas dikatakan bahwa Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional.hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engineering), instrument pengatur perilaku masyarakat (social control), jika hal tersebut kemudian dinegasikan kepada konteks Perda maka artinya daerah diberikan hak untuk membentuk Perda dan peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka tidaklah harus 14 Ibid.

diartikan bahwa daerah tersebut mengatur kewenangan tersebut secara bebas, dalam artian peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Sebab hal ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan- permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul PENGAWASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengawasan pembentukan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat? 2. Permasalahan Hukum apa yang muncul berkaitan dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat dalam pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses pengujian Peraturan Daerah oleh Lembaga Eksekutif dan Lembaga Yudikatif dan pengaturannya. 2. Untuk Mengetahui akibat hukum dari pengawasan dan Peraturan Daerah. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah (Pemerintah Daerah) dan legislatif daerah (DPRD) dalam pembuatan Peraturan Daerah. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah (executive daerah) maupun DPRD (legislative daerah) dalam hal kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam hal pembuatan Peraturan Daerah yang baik. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Untuk mendapatkan data guna menguraikan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru. 15 Sedangkan menurut Bagir Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada. 16 2. Sumber Data 15 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari : 17 a. Bahan Hukum Primer Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan- Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah. b. Bahan Hukum Sekunder Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah. c. Bahan Hukum Tersier Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Penelitian kepustakaan (library research) Yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumendokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. b. Penelitian lapangan (field research), 17 Ibid.

Penelitian ini dilakukan guna memperoleh data primer tentang pokokpokok pengaturan mengenai kedudukan hukum eksekutif daerah dan legislatif daerah dalam pembuatan Peraturan Daerah.Data ini diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Padang serta dengan Anggota DPRD Kota Padang. 4. Analisis Data Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data.teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh. Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan teratur maka penulis merasa perlu untuk memaparkan sistematika dari penulisan skripsi Bab I Berisikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan

Bab II Merupakan tinjauan pustaka yang berisikan tinjauan umum tentang Tinjauan Umum tentang Pemerintah Daerah, Azas-Azas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Susunan Kewenagan Pemerintahanan Daerah Berdasarka Undang-Undang No 32 Tahun 2004, Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pengertian Otonomi Daerah, Dasar Hukum Otonomi Daerah, Wewenang Otonomi Daerah, Tujuan Otonomi Daerah, Prinsip-Prinsip Good Governance, Desentralisasi, dan Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Bab III Pada Bab ini penulis akan membahas mengenai hasil penelitian Bagaimana pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda, Bagaimana proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda, Apa akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda?. Bab IV Berisikan Kesimpulan dari pembahasan permasalahan dari pembahasan serta saran