BAB I PENDAHULUAN. yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan daerah (selanjutnya diringkas perda) adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 UU No. 10/2004). Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Selanjutnya Pasal 12 UU No.10/2004 menggariskan materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka: 1). Penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; 2). Menampung kondisi khusus daerah; dan 3). Penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 1 Perda dapat mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang tidak diatur oleh pusat (UU No.22 Tahun 2009), Pasal 7). Di bidang tugas pembantuan, perda tidak mengatur substansi pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di bidang tugas pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan substansi urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat 2 Dilihat dari strukur hierarki, Perda bearada pada tingkatan paling bawah, sehingga secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya, dari segi pembuatannya, baik perda tingkat provinsi maupun perda tingkat kabupaten atau kota dapat dilihat setara dengan produk undang-undang karena sama-sama merupakan 1 Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, dalam http/ Diakses tanggal 17 Maret 2010, Pukul. 20:00. 2 Ni matul Huda, Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009 hlm.234. `

2 2 produk hukum dari lembaga legislative, namun dilihat dari segi isinya sudah seharusnya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah di bandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Dengan demikian undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari pada perda, baik itu perda provinsi, perda kabupaten ataupun perda kota, oleh karena itu sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. 3 Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa perda (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh sekedar berdasarkan peringkatan, melainkan juga pada lingkungan wewenangnya. 4 Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai desember 2006 terdapat Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah, Sedangkan data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 perda. Perda- 3 Ni,matul Huda, ibid hlm Ibid., hlm. 239

3 3 perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah 5 serta juga membebani masyarakat dan lingkungan 6, Dari temuan kamar dagang dan industri (Kadin) Indonesia, bahwa ada 1006 Perda di seluruh Industri Indonesia yang dianggap memberatkan dunia usaha. Atas temuan tersebut, Pemerintah (Presiden) akhirnya meminta Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk melihat dan memonitor pelaksanaan otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah 7, selain itu Perda bermasalah juga mendapat perhatian dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang dalam draf Letter of Intent (LoI) IV memberikan sorotan khusus terhadap berbagai perda yang dinilai bermasalah dan meminta pemerintah untuk mencabut perda-perda tersebut 8 Selanjutnya Depdagri melakukan tindak lanjut dengan melakukan kajian intensif terhadap perda yang di keluarkan oleh daerah, baik derah kabupaten maupun kota di Indonesia. Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesai konflik peraturan dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Sekarang ini, perda yang 5 KPPOD, sejumlah 31% bermasalah merusak investasi di daerah karena memberatkan perekonomian di daerah itu sendiri. Lihat Harian Seputar Indonesia, 31%Perda Rusak Iklim Investasi, 30 November Lihat; diakses tanggal 15 Maret Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah; Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, makalah dipresentasikan pada acara International Association of Study on Common Property, di Victoria all, Zimbabwe, Juni Ibid., hlm Ibid., hlm.228

4 4 dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Dalam UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenanagn ini dikenal dengan istilah Judicial review. Jika dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundangundangan maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dasar kewenangan Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari dasar konstitusional dalam Pasal 24A ayat (1) UUD , kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 10, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan 11, yaitu : karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil) atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil). 9 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang 10 Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 11 Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berbunyi: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

5 5 Model pengujian kedua dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Pengujian perda oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) pemerintahan daerah. Dalam prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah diuji oleh Departemen Dalam Negeri, ketetapan pembatalannya dilakukan dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut, maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya. Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU No.32 tahun Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu Perda, dikarenakan Pemerintah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan

6 6 pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau biasa juga disebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan kabupaten/kota, pengawasan preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU No 32 tahun Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya Pergub APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan preventif terhadap rancangan perda (pengawasan secara langsung) 12. Dalam konteks tersebut, di Kota Yogyakarta terdapat Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, sehingga Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Lihat; tanggal, 11 Mei 2010, Pukul 20:00.

7 7 Tahun 2008 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan, beberapa Pasal bermasalah tersebut yaitu: Pasal 10 mengenai masa berlaku pemberian izin, Pasal 8 ayat (3) huruf b mengenai Struktur besaran tarif retribusi untuk izin operasi angkutan barang, dan Pasal 8 ayat (5) huruf a mengenai izin dispensasi jalan. Berangkat dari berbagai alasan pembatalan Perda baik itu melalui pengawasan yang dilakukan oleh Depdagri maupun melalui uji materi oleh Mahkamah Agung, maka penulis tertarik untuk meneliti Perda yang dibatalkan di kota Yogyakarta, baik itu menyangkut alasan pembatalan maupun tindak lanjut dari pemerintah daerah setempat. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka persoalan mendasar yang berusaha dijawab dalam penilitian ini adalah: 1. Apakah alasan yang dipakai dalam pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut dinilai tepat atau tidak? 2. Apa tindak lanjut dari Pemkot Yogyakarta terhadap pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut?

8 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini diadakan adalah: 1. Untuk mengetahui apakah alasan yang dipakai dalam pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut tepat atau tidak. 2. Untuk mengetahui bagaimana tindak lanjut dari Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap pembatalan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan tersebut. Sedangkan kegunaan penilitian ini adalah sebagai karya akademik yang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pembatalan perda baik itu prosedur pembatalan perda, alasan yang dipakai, maupun lembaga yang berwenang dalam pembatalan perda di Indonesia, serta dapat juga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu Hukum, khususnya Hukum Tatanegara. D. Telaah Pustaka 1. Kedudukan Perda dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Dari segi pembuatanya, Perda dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif, baik itu perda tingkat provinsi maupun perda tingkat kabupaten ataupun kota. Dan dari segi isinya dapat kita lihat bahwa kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan ruang lingkup yang berlaku lebih luas. Dengan demikian, undang-undang lebih tinggi kedudukanya daripada perda provinsi maupun perda

9 9 kabupaten atau perda kota, oleh karena itu sesuai prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, konsekuensinya adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 2. Materi Muatan dan Pembentukan Perda Untuk memahami batasan kewenangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah. Ni matul Huda dalam buku dengan judul Hukum Pemerintahan Daerah, menjelaskan setelah Undang-Undang Nomor 22 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahhan yang menjadi kewenanganya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (pusat) 13. Dalam pasal 10 ayat (3) urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah : Politik luar negri, pertahanan, keamanan, yustisi, fisikal dan moneter nasional, dan agama. Dalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkannya kepada perangkat atau wakil pemerintah yang ada di daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah atau pemerintah desa, dalam pasal 11 ayat (1) UU No.23 tahun 2004 juga di jelaskan bahwa Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan. Dalam Pasal 12 ayat (1) dikatakan, bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, 13 Ni matul Huda, Hukum Pemerintahan daerah, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm.216.

10 10 serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, sedangkan dalam pasal 12 ayat (2) berbunyi urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Kemudian, dalam Pasal 13 ayat (1) di tegaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala profinsi yang meliputi: perencanaan dan pengendalian bangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota, pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota, penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupten/kota, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14 ayat (1) di katakan Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan

11 11 bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum dan pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya yang di amanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dari Pasal 13 dan pasal 14 UU No.32 tahun 2004 di atas kita dapat melihat ada seekitar 16 urusan pemerintahan yang menjadi materi muatan Peraturan Daerah baik tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, selebihnya yang menjadi urusan Pemerintah Daerah di sesuaikan dengan kondisi maupun potensi yang di miliki oleh tiap-tiap daerah. Selanjutnya, dalam UU No.32 tahun 2004 mengenai pembentukan perda, dapat di temukan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang leih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah Perda tidak boleh bertentangan engan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan Lihat pasal 136 ayat (1) UU No.32 tahun Lihat pasal 136 ayat (2) dan (3) 16 Lihat pasal 136 ayat (4) UU No.32 tahun Lihat pasal 137 UU No.32 tahun 2004, yang mnyangkut asas pembentukan Perda

12 12 5. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda. 6. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,00 (lima puluh juta) rupiah. 7. Peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan perda. 8. Perda berlaku setelah diundangkan dalam bentuk lembaran daerah. 9. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pelanggaran perda (PPNS). 10. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah Pengujian Peraturan Daerah a. Judicial Review Pengujian Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan yang ada dalam Pasal 24 a ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perunang-undangan, kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review, apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, maka Mahkamah Agung memiliki 18 Lihat pasal 136 ayat (5) UU No.32 tahun 2004

13 13 kewenangan menguji: 1). Peraturan Pemerintah; 2). Peraturan Presiden; dan 3). Peraturan Daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk melakukan judicial review terhadap tiga peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundangundangan yaitu Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung sendiri mebatalkan suatu peraturan perundang-undangan dengan alasan : 1). Karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Aspek materil); 2). Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil). b. Excecutive Review Model pengujian peraturan daerah yang ke dua dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, Pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review, lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah. Dalam rangka pengawasan terhadap daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2005, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, memberikan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan

14 14 Perwakilan Rakyat Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Dalam pembatalan suatu peraturan daerah Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Saelanjutnya dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah. Kemudian dalam pasal 145 ayat (3) ditentukan bahwa Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Selanjutnya dalam Pasal 145 ayat (4) ditentukan Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, 19 seperti menelusuri sumber-sumber atau literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan untuk dikaji dan ditelaah secara mendalam sebagai sumber data yang obyektif dan nyata sehingga dapat membantu 19 Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1985, hlm. 15

15 15 dalam pembahasan. Ini juga dikatakan sebagai penelitian hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagi kaidah-kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang cocok Sumber Data Dalam penelitian ini, digunakan sumber data sekunder berupa bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan dasar UUD 1945 dan perundang-undangan di bawahnya khususnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 maupun undangundang atau peraturan lain yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku, jurnal, artikel dan literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus. 3. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan Bahasan Hukum dalam penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) cara, yaitu: a. Studi pustaka adalah mengkaji buku - buku, makalah, jurnal, hasil penelitian hukum, dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Studi Dokumen adalah mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa Peraturan Perundang - Undangan dan lain - lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 20 Amiruddin dan Zainal Asikin Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Grafindo Persada Jakarta 2003 hlm. 118.

16 16 c. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung atau lisan kepada subjek penelitian guna memperoleh data yang diperlukan dan diharapkan. 4. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian dengan mengkaji permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam berbagai perundang-undangan, dan dari pustaka yang relevan dengan pokok bahasan. pendekatan yuridis-normatif yang dalam penelitian ini tidak sekedar menilik sisi aturan semata, melainkan lebih kepada makna di balik teks-teks yang tertulis itu. Karenanya, yuridis-normatif yang digunakan dalam penelitian ini sangat dekat dengan pendekatan filosofi aturan itu. 5. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analisys (analisis isi). Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka (bahan hukum) yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis tentang kewenangan pembatalan perda ditinjau dari undangundang maupun dari sumber lain yang berkaitan dengan pokok bahasan di atas. F. Sistematika Penulisan Dalam rangka penyusunan skripsi ini, secara sistematis penulis bagi ke dalam lima bab. Bab I. Pendahuluan Bab ini merupakan pendahuluan yang secara umum mendiskripsikan tentang latar

17 17 belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II. Tinjauan Umum tentang Peraturan Daerah di Indonesia a. Pengertian, asas-asas, dan landasan pembentukan Peraturan Daerah Subbab ini menjelaskan tentang pengertian, asas-asas maupun landasan yang di pakai dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah. b. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Subbab ini menjelaskan tentang kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. c. Materi muatan Perda dalam rangka melaksanakan Otonomi Daerah Subbab ini menjelaskan tentang Materi muatan Perda yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Bab III. Proses Pembentukan, Pengujian, dan pembatalan Peraturan Daerah. a. Proses Pembentukan Peraturan Daerah menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Subab ini memuat prosedur maupun tata cara pembentukan suatu Perda menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan, terkait hal-hal apa saja yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembatalan suatu perda. b. Pengujian Perda oleh Mahkamah Agung (Jidicial Review) Subbab ini menjelaskan mengenai uji materi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap Perda bermasalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan

18 18 oleh Peraturan Perundang-undangan c. Pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat (Executive Review) Subbab ini menjelaskan tentang pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Bab IV. Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Perda Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan di Kota Yogyakarta a. Deskripsi pembatalan Perda Nomor 6 tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan di Kota Yogyakarta Subab ini berisi deskripsi mengenai Perda yang akan diteliti b. Analisis Yuridis mengenai alasan yang dipakai dalam pembatalan perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan Subbab ini mencoba menganalisa mengenai hal-hal tertentu yang dipakai sebagai alasan dalam pembatalan Perda tersebut. c. Tindak lanjut Pemerintah Kota Yogyakarta perihal pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Perizinan Angkutan Subab ini membahas bagaimana Tindak lanjut dari Pemerintah Kota Yogyakarta setelah Perda tersebut dibatalkan. Bab V. Penutup Yaitu, berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi.

Pengujian Peraturan Daerah

Pengujian Peraturan Daerah Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at

Muchamad Ali Safa at Muchamad Ali Safa at DASAR HUKUM Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 2006 SERI E R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN E-GOVERNMENT Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Disini keterangan tentang pemerintah daerah diuraikan pada beberapa

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH OTONOMI DAERAH NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Geografi Politik Sri Hayati Ahmad Yani PEMERINTAH DAERAH Pasal 2 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK Ketentuan dalam Konstitusi, yakni UUD Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1) mengatur bahwa Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pengujian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung belum

Lebih terperinci

Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif 1. Yance Arizona

Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif 1. Yance Arizona Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif 1 Yance Arizona I. Pengantar Peraturan daerah (selanjutnya diringkas perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan

Lebih terperinci

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pembagian Urusan Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan A. Latar Belakang an daerah yang diselenggarakan menurut amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pemerintahan daerah

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2009

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2009 GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa penyusunan

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW 77 BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW Pemerintah Pusat memiliki kewenangan pengawasan terhadap Pemerintah daerah. Pengawasan tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 65 HLM, LD No. ABSTRAK : - bahwa peraturan daerah merupakan

Lebih terperinci

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas Oleh : FERY WIJAYA

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012 GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa penyusunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

EVALUASI PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DI KOTA JAMBI

EVALUASI PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DI KOTA JAMBI Volume 11, Nomor 1, Hal. 67-76 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2009 EVALUASI PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DI KOTA JAMBI Ayu Desiana dan Meri Yarni Fakultas Hukum, Universitas Jambi Kampus Pinang

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

NOTULA KEGIATAN IMPLEMENTASI PERANGKATPEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NOTULA KEGIATAN IMPLEMENTASI PERANGKATPEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NOTULA KEGIATAN IMPLEMENTASI PERANGKATPEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Hari/Tanggal : Rabu- Kamis, 27 28 Mei 2009 Tempat : Hotel Lilianto, Kota Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat Peserta :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat 1

I. PENDAHULUAN.  Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat 1 MEKANISME PENCABUTAN / PEMBATALAN PERATURAN DAERAH, PERATURAN KEPALA DAERAH, DAN KEPUTUSAN KEPALA DAERAH YANG BERMASALAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA I. PENDAHULUAN http://koran.bisnis.com/read/20160404/251/534142/daya-saing-perda-bermasalah

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE 2009-2014 TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT Diajukan untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2004 SERI D NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2004 SERI D NOMOR 6 No. 8, 2004 LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2004 SERI D NOMOR 6 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENGATURAN KENDARAAN BERMOTOR BUKAN BARU DARI

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010 Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan Nomor, tanggal 11/PMK.07/2010 25 Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah 137 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah Keberadaan produk

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

RETRIBUSI JASA USAHA 2011 PERDA PROV NO.1,LD.2011/NO.1 SETDA PROV KALIMANTAN BARAT : 21 HLM PERATURAN DAERAH PROV KALIMANTAN BARAT TENTANG RETRIBUSI

RETRIBUSI JASA USAHA 2011 PERDA PROV NO.1,LD.2011/NO.1 SETDA PROV KALIMANTAN BARAT : 21 HLM PERATURAN DAERAH PROV KALIMANTAN BARAT TENTANG RETRIBUSI RETRIBUSI JASA USAHA PERDA PROV NO.1,LD./NO.1 SETDA PROV KALIMANTAN BARAT : 21 HLM PERATURAN DAERAH PROV KALIMANTAN BARAT TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA ABSTRAK : Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI 1 BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAb BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa produk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 No. 9, 2008-1 - LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PERDA OLEH MENTERI DALAM NEGERI

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PERDA OLEH MENTERI DALAM NEGERI ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PERDA OLEH MENTERI DALAM NEGERI Novira Maharani Sukma Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Tembalang, Semarang Email: noviramaharani@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 3 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 3 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 3 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 5 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II JEPARA NOMOR 14 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa produk hukum

Lebih terperinci

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi bergulir di Indonesia, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa Retribusi Daerah merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH Kewenangan merupakan kekuasaan dan kemampuan melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang

Lebih terperinci