Suatu Ketika di Semanggirapi Ruang sempit berdinding triplek. Sebuah kamar kos milik seorang warga desa dengan rumah sederhana, belum permanen. Seorang lelaki duduk di atas dipan kecil di dalam kamar itu. Ia bernama kaisar. Sebuah telepon genggam ada di tangan kanannya. Didengarkannya dengan seksama suara dari dalam ponsel itu. Kau benar-benar tak ingin pulang? suara seorang wanita dari ponsel. Lelaki muda yang menggenggam ponsel itu tak menjawab. Ini hal yang berat baginya. Memilih satu dari dua hal. Tadinya, lelaki tersebut sudah membuat keputusan. Ada suara helaan napas berat terdengar dari dalam ponsel. Pikirkan baik-baik lagi, Kaisar. Ibu harap kau memilih pulang dan melanjutkan kehidupanmu di sini, Terdengar nada sambungan putus. Percakapan pun berakhir. Lelaki muda bangkit dari tempat tidur. Ia sudah punya agenda bertemu dengan anakanak desa pagi itu. Dia mengambil tumpukan buku dari atas meja dekat dipan. Pagi itu ada agenda mengajar anak-anak desa. Setelah menghela napas sejenak untuk menenangkan pikiran, ia pun segera berangkat menuju gubuk tua seperti biasanya. Mas Kaisar datang! Mas Kaisar, Mas Kaisar! Yes...! Mas Kaisar bawa sesuatu buat kita! Seperti biasa, kedatangan Kaisar sudah dinanti oleh kerumunan anak di desa itu. Setidaknya ada lebih dari lima belas anak yang menunggunya. Mereka menyambut dengan berbagai reaksi. Ada yang menyunggingkan senyum, melambaikan tangan, ataupun tertawa bahagia. Ah, ini pemandangan yang dia suka. Lelaki muda tersebut menyuruh mereka masuk ke dalam gubuk tua, duduk di lantai yang beralas tikar jerami. Tak perlu diulang dua kali, anak-anak itu dengan gesit melaksanakan perintah Kaisar.
Ruangan tak berpintu yang hanya dialasi tikar jerami dan sedikit berdebu itu merupakan tempat berkumpulnya Kaisar dan anak-anak desa itu setiap hari. Gubuk yang tak terlalu luas ini terbuat dari tumpukan jerami dan telah lama berdiri. Awalnya, gubuk itu tidak terurus. Namun semenjak kedatangan Kaisar, gubuk itu selalu dibersihkan dan didatangi banyak orang. Halo, anak-anak! Hari ini, Mas Kaisar bawakan sesuatu untuk kalian, kata Kaisar sambil menunjukkan setumpuk buku yang dibawanya. Ada yang tahu, apa yang akan kita kerjakan hari ini? sapa Kaisar. Anak-anak itu saling berbisik, menerka-nerka tentang apa yang akan Kaisar lakukan. Ada yang diam-diam menunjuk tumpukan buku yang dibawa Kaisar, ada yang menaikturunkan bahu, ada juga yang menggelengkan kepala menyerah untuk menebak. Kaisar berkeliling diantara barisan duduk anak-anak itu, membagikan buku-buku. Masing-masing mendapatkan satu buku. Anak yang sudah mendapatkan bagiannya nampak mulai asyik membuka lembar demi lembar buku tersebut, sedangkan yang lain menunggu bagian mereka dibagikan. Baiklah, semua sudah mendapatkan bagian, bukan? tanya Kaisar memastikan. Sudah! sorak anak-anak tersebut. Seorang anak perempuan mengacungkan jari. Dia merupakan anak dengan perawakan tubuh yang paling tinggi diantara teman-temannya, Mas Kaisar dapat buku bergambar ini darimana? Mas Kaisar nitip ke teman-teman relawan kemarin waktu mereka pulang. Mas Kaisar minta tolong mereka buat kirim lewat pos, jawab Kaisar. Seorang anak lain menyahut, Kalau gitu, kita bisa nitip yang lain juga dong! Bisa kan, Mas Kaisar? Seketika ruangan kecil tersebut menjadi ramai, membicarakan tentang barang apa yang mereka inginkan. Kaisar terkekeh, Kamu bisa saja. Baiklah, nanti kita diskusikan perihal itu. Sekarang mari kita mulai belajar, timpal Kaisar. Anak-anak itu kembali fokus, menghentikan pembicaraan tentang barang titipan.
Begitulah kegiatan Kaisar akhir-akhir ini, bertemu dengan anak-anak desa dan mengajari mereka banyak hal. Pertemuan Kaisar dan anak-anak bermula ketika Kaisar cobacoba mendaftar menjadi relawan. Niatnya menjadi relawan hanya untuk mengisi waktu luang setelah lulus sekolah, sembari menunggu masuk kuliah. Kaisar mendapatkan bagian tanggung jawab di desa terpencil yang masih kental dengan kebudayaan. Jangankan televisi, kipas angin elektronik saja hampir tidak ada yang punya. Berhasil mengirim pesan dan menghubungi seseorang melalui telepon atau ponsel pun bisa dibilang suatu keberuntungan karena sinyal yang sangat tidak stabil. Desa itu bernama Desa Semanggirapi. Sebenarnya Kaisar dan relawan-relawan lain ditugaskan hanya seminggu di desa itu, namun sudah satu bulan lamanya Kaisar tidak pulang. Dia ingin tinggal lebih lama dan memutuskan untuk pulang sendirian belakangan. Baiklah anak-anak, di tangan kalian sekarang sudah ada buku cerita bergambar. Judul cerita setiap anak berbeda-beda. Baca dan pahami cerita dalam buku. Nanti masing-masing anak menceritakan kembali isi bukunya. Paham? titah Kaisar. Paham, Mas Kaisar! seru anak-anak tersebut. Jika ada yang butuh bantuan atau kesulitan, silahkan datang ke Mas Kaisar ya... Nanti Mas Kaisar bantu, lanjut Kaisar. Suasana hening. Anak-anak fokus membaca dalam hati. Kaisar menyapu pandangannya, menatap wajah-wajah lugu itu satu per satu. Memori saat pertama kali ia bertemu dengan anak-anak itu seolah diputar kembali di kepala Kaisar. Anak-anak tersebut menyambut dengan sangat antusias. Mereka membantu membawakan barang-barang para relawan, membawakaan makanan hasil masakan warga, serta menemani berkeliling desa. Anak-anak itu sangat baik dan mengerti budi pekerti. Masyarakat di desa tersebut berkata bahwa sedari kecil anak-anak diajarkan sopan santun dan tatakrama. Namun sayang, mereka belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak ada lembaga pendidikan yang dekat di desa itu. Mereka harus pergi ke kota jika ingin bersekolah. Tentu hal itu sangat repot dan butuh biaya. Pedih hati Kaisar saat itu ketika tahu bahwa anak-anak itu tidak sekolah.
Mas Kaisar, mau tanya! seru salah satu anak memecahkan lamunannya. Kaisar mengangguk mempersilahkan anak itu melanjutkan ucapannya. Dila dapat buku yang bercerita tentang seorang anak yang punya cita-cita menjadi astronot. Mas Kaisar cita-citanya mau jadi apa? tanya anak tersebut. Kaisar terdiam, menciptakan hening di antara mereka. Sekelebat bayangan ketika masamasa SMA muncul di ingatannya. Kaisar yang giat belajar, tak pernah bolos sekolah, selalu mengerjakan tugas, serta mengikuti banyak lomba. Semua itu dia lakukan tak lain untuk mencapai impiannya. Kaisar sudah mempersiapkan semua sejak lama. Dia benar-benar ingin meraih impiannya. Kaisar rela begadang tiap malam untuk menyelesaikan buku yang dibacanya. Ia pun rela bersusah payah mengerjakan tugas sekolah hingga sering tertidur di meja belajar dengan buku-buku yang masih terbuka. Namun semua berubah ketika Kaisar menginjakkan kaki di desa itu. Melihat mata anakanak yang selalu berbinar ketika menatapnya membuat Kaisar luluh. Kaisar selalu merasakan semangat tinggi anak-anak tersebut ketika mereka mencoba memahami hal-hal yang baru dipelajari. Hal itu yang membuat Kaisar ingin lebih lama tinggal. Ia ingin terus menemani mereka, mengajari banyak hal. Tak rela rasanya mematahkan harapan mereka. Mas Kaisar waktu kecil pengen jadi dokter. Kalau Dila cita-citanya mau jadi apa? jawab Kaisar sembari kembali bertanya. Dila pengen jadi guru, biar bisa mengajar seperti Mas Kaisar, jawab Dila riang. Wah, mulia sekali cita-cita Dila, puji Kaisar. Ia tak menyangka bahwa ada seseorang yang ingin menjadi seperti dirinya. Kalau yang lain pengen jadi apa? tanya Kaisar kepada anak-anak yang lain. Insinyur! Polisi! Pilot! Pelukis!
Seketika ruangan menjadi ramai. Mereka saling bersautan menjawab pertanyaan Kaisar. Kaisar menyunggingkan senyum lebar. Kini Kaisar mengerti dan membuat keputusan bulat yang akan merubah hidupnya. *** Malam itu, keberuntungan ada di pihak Kaisar. Sinyal datang tepat setelah dia selesai membersihkan kamarnya. Niatnya untuk menelepon Ibu pun terealisasikan. Ibu, ini Kaisar. Maaf mengganggu waktu Ibu beristirahat, ucap Kaisar membuka percakapan. Tidak mengganggu, Kaisar. Bicaralah! Kaisar menghela napas panjang, bersiap untuk mengatakan keinginannya. Kaisar tidak ingin kuliah. Bu. Kaisar ingin menetap di sini, Ibu tercekat. Kenapa nak? Kau cerdas, Ibu yakin kau bisa menghadapi masa kuliah dan lulus dengan cepat, ujar Ibu pelan. Apa kau rela meninggalkan impianmu sedari kecil? Kau yakin bisa merelakan citacitamu hanya karena ingin menetap di tempat terpencil itu? Kau tidak ingat betapa kerasnya dirimu belajar sampai mimisan? Kau tidak ingat? lanjut Ibu bertanya sembari sedikit terisak. Apa kau mengkhawatirkan biaya? Takut Ibu tidak mampu membayar uang perkuliahan? Tenang saja, Kaisar. Ibu sudah siap uang sebanyak apapun kau membutuhkan. Ibu mampu Nak, cercah Ibu kembali. Terdengar suara tangisan dari dalam telepon. Kaisar menjawab pelan, Tidak, Ibu. Kaisar yakin dan tahu bahwa Ibu mampu. Tapi Kaisar ingin menetap di sini. Anak-anak itu lebih membutuhkan Kaisar, Kaisar tahu, Ibu tidak dapat langsung menerima niat baiknya. Ibu butuh waktu untuk memahami dan mengerti. Maafkan Kaisar, Ibu. Izinkan Kaisar tinggal dan mengajar di sini. Izinkan Kaisar mengabdikan diri. Tidak perlu mengkhawatirkan Kaisar. Kaisar akan kembali suatu hari nanti. Restui Kaisar, Ibu
Telepon itu berakhir sepihak. Ibu mematikannya. Kaisar tahu ini hal yang berat bagi Ibu dan dirinya. Mungkin beberapa hari lagi, Kaisar akan menghubungi Ibu kembali. *** Enam tahun telah berlalu. Kaisar duduk di sudut ruangan sembari menyeruput kopi yang telah ia pesan. Ruangan tersebut dipenuhi sekawanan anak muda yang tengah asyik berbincang. Sayup-sayup terdengar alunan musik lagu slow masa kini. Pagi itu, ia telah membuat janji dengan seseorang untuk bertemu di café. Hei, Sobat! sapa seorang lelaki dari kejauhan sembari melambaikan tangan. Kaisar membalas lambaian tangan tersebut. Orang yang ditunggunya telah tiba. Lelaki itu berjalan menuju kasir untuk memesan sesuatu, kemudian menghampiri dan duduk di depan Kaisar. Sudah lama tak berjumpa, kau semakin tampan saja! Bagaimana kabarmu? sapa lelaki itu. Kaisar tertawa renyah, Kabarku baik, Burhan. Bagaimana denganmu? jawab Kaisar. Burhan, sosok lelaki itu merupakan teman SMA Kaisar dan juga salah satu relawan di Desa Semanggirapi. Kau tahu sendirilah, aku selalu baik-baik saja. Hei, kita terakhir bertemu saat menjadi relawan, bukan? Lama sekali! Saat itu kau tak ikut pulang denganku dan yang lainnya, ujar Burhan. Kaisar membalas ucapan Burhan dengan terkekeh. Ya, saat itu aku sangat bebal dan tak ingin pulang, balas Kaisar. Mereka berbicara banyak layaknya sahabat lama. Waktu berjalan cepat memang. Enam tahun lalu Kaisar yang gamang akhirnya memutuskan untuk meneruskan pendidikannya. Beberapa hari setelah menelepon Ibu, dia memutuskan untuk pulang. Kaisar kuliah di salah satu universitas ternama di Indonesia, dan memilih jurusan kependidikan. Kaisar pulang bukan karena putus asa akan niatnya mengabdi di desa, namun dirinya memiliki rencana baru. Ya, dia harus menempuh jalan pintar. Ia pulang ke kota dengan membawa janji dalam hatinya.
Kaisar berhasil lulus S1 tepat waktu, yaitu 4 tahun. Kaisar mendapatkan penghargaan mahasiswa terbaik saat wisuda. Dia pun mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di universitas ternama dunia, Universitas Harvard. Di sana, Kaisar berkenalan dengan orang-orang hebat. Mereka saling berbagi ilmu, pengalaman, dan memperkenalkan budaya. Kaisar menceritakan tentang banyaknya kebudayaan Indonesia kepada teman-temannya dengan bangga. Indonesia yang kaya akan keberagaman tradisi, bahasa dan budaya. Dan lagi-lagi, Kaisar lulus dengan tepat waktu. Ia juga tetap mempertahankan predikat mahasiswa terbaik miliknya. Burhan, sejujurnya aku ingin kembali ke desa itu. Ada sesuatu yang ingin kulakukan di sana, ujar Kaisar mencoba membuka percakapan lebih serius. Burhan tak serta merta menjawab. Tapi dari tatapan matanya mengisyaratkan agar Kaisar melanjutkan topik pembicaraan. Sejak dulu, aku ingin mendirikan sekolah di desa itu. Membantu anak-anak di sana untuk mendapatkan pendidikkan yang layak, lanjut Kaisar. Burhan manggut-manggut. Lalu menarik napas dalam. Apa kau yakin, Kaisar? Mendirikan sekolah bukan hal yang mudah. Terlebih masalah dana, apa kau sudah menyiapkannya? tanya Burhan. Aku sangat yakin, Burhan. Aku memikirkan dan menyiapkan hal ini sejak lama. Aku sudah mengumpulkan dana sejak pertama duduk di bangku kuliah dan masih berlanjut sampai sekarang, jawab Kaisar. Apa kau butuh bantuan? tanya Burhan lagi. Kaisar mengangguk sembari menjawab, Aku butuh beberapa orang lagi. Ya sebagai penyandang dana sebagai pendamping Baik, aku mengajukan diri. Aku akan dukung kamu, Sobat. Sebenarnya, aku sendiri ingin juga kembali ke sana. Oh ya, Aku masih memiliki kontak teman-teman relawan. ujar Burhan dengan mata berbinar, seolah menawarkan suatu harapan. Wow keren. Semoga mereka bisa diandalkan. sahut Kaisar berbesar harap.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Kaisar kembali ke Desa Semanggirapi. Kaisar berangkat sendiri, dan nanti akan disusul oleh teman-temannya. Setelah enam tahun dirinya pergi, kini datang kembali. Warga desa bersorak-sorai menyambut kedatangannya. Meskipun sudah bertahun-tahun, kebanyakan warga masih mengenal Kaisar dan memperlakukannya dengan baik. Lelaki itu berhasil menepati janjinya. Karena tekadnya yang kuat, keinginannya tercapai. Kaisar berhasil meyakinkan teman-teman relawannya dan mengajak mereka bekerja sama untuk meraih impiannya. Kaisar berhasil mendirikan lembaga pendidikan di desa itu. Sesekali, Kaisar juga mengundang teman kuliahnya saat di Universitas Harvard untuk menjadi tamu istimewa. Kaisar menjadi salah satu pendiri sekolah termuda di Indonesia. Sekolah yang menerima berbagai siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa memungut biaya. Semua perjuangannya tidak sia-sia. Sekolah itu diberi nama Sekolah Semanggirapi Jaya. Harapan Kaisar, suatu saat Sekolah Semanggirapi Jaya bisa menjadi sekolah yang maju, menyiapkan generasi muda Indonesia yang berkualitas dan bisa diandalkan. ***