Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan 1)



dokumen-dokumen yang mirip
Bayi tabung menurut pandangan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan

Febriani Rinta (I ) Surrogate mother (Ibu titipan)

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya, Saudi Arabia : 1990

Pendidikan Agama Katolik

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS STATUS HAK KEPERDATAAN ANAK HASIL FERTILISASI IN VITRO PASCA KEMATIAN SUAMI SETELAH PUTUSAN MK NO.

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SURROGATE MOTHER. A. Teknologi Reproduksi Buatan pada Manusia

BAB III FERTILISASI IN VITRO. yang telah berkembang di dunia kedokteran. Kata inseminasi

Bioteknologi adalah teknik-teknik yang menggunakan organisme hidup atau substansi dari organisme-organisme tersebut untuk membuat atau mengubah

Istilah kode berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

ISSUE ETIK DAN MORAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM

MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perkawinan (untuk selanjutnya dalam skripsi ini disebut

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

Konsep dasar proses kloning manusia ini dapat dilihat pada Gambar 1. Seorang wanita mendonorkan sel telurnya untuk digunakan dalam proses kloning.

BAB I PENDAHULUAN. tangga, karena tujuan sebuah perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah

BAB IV MORAL AWAL HIDUP MANUSIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

Dr. Refli., MSc Jurusan Biologi FST UNDANA ALASAN MELAKUKAN

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM

2 Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak-hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif


BAB 1 PENDAHULUAN. 1.2Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui fungsi stem cell Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan stem cell pada tubuh manusia

Standardisasi Kurikulum PERFITRI. Training and Education

BAB I PENDAHULUAN. Infertilitas merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia khususnya di Afrika dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Bidan telah mengembangkan kode etik profesi sebagai

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017. ASPEK HUKUM TERHADAP BAYI TABUNG DAN SEWA RAHIM DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 1 Oleh: David Lahia 2

ISSUE ETIK DAN MORAL DALAM PRAKTEK KEBIDANAN. BY. IRMA NURIANTI, SKM, M.Kes

KEPPRES 76/1993, PENGESAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Anatomi/organ reproduksi wanita

Semarang, undip.ac.id Pengetahuan tentang sel punca sudah lama dikenal di

Fertilisasi in vitro (Bayi tabung): Dilema kemajuan yang tak kunjung usai

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. rekayasa genetika beberapa tahun terakhir. Teknologi teknologi dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan. suami-istri yang telah menikah selama satu tahun atau

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi dan keluarga berencana yang merupakan sisi masingmasing

RELEVANSI Skm gatra

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN HAK UNTUK MEWARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

: Tiga Asas Luhur dalam Kehidupan Manusia Terdiri dari 2 kegiatan belajar. 1. Asas Keutuhan Watak dan Asas Kesusilaan 2. Asas Keadilan.

KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Semen beku Bagian 1: Sapi

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI ETIK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN NASIONAL

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

ETIKA PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PEDOMAN PENGORGANISASIAN KOMITE ETIK RUMAH SAKIT DAN MAJELIS KEHORMATAN ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA PERSI - MAKERSI

PERFITRI dan Merck Konsisten Lanjutkan Edukasi Infertilitas dan Bayi Tabung

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No tentang Kode Etik Pegawai Badan Keamanan Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembara

MUKADIMAH PERHIMPUNAN AHLI BEDAH ONKOLOGI INDONESIA ( PERABOI ) Bahwa sesungguhnya penyakit tumor/kanker adalah suatu penyakit yang dapat disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berbagai komplikasi yang dialami oleh ibu hamil mungkin saja terjadi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

BAB V A. KESIMPULAN. Praktik kloning selama ini selalu dikhawatirkan akan memberikan efek yang

BAB IV PENUTUP. pembahasan tentang mengkritisi implementasi Ensiklik Evangelium Vitae

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI. NOMOR 112 /M/Kp/X/2009.

SARANA 1) Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang berlaku; dan 2) Rapat-rapat pimpinan Universitas, Program Pascasarjana, dan Program Studi.

KODE ETIK DOSEN, TENAGA KEPENDIDIKAN & MAHASISWA UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

BUKU KODE ETIK DOSEN

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

KODE ETIK PEGAWAI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI

BAB I PENDAHULUAN. sebagian masyarakat menyatakan bahwa mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK BIOLOGI MOLEKULER

Fertilisasi In Vitro. Hanya 7 Hari. Memahami

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Perkembangan Bioetika Nasional

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, MEI 2015

standar profesi medis

Transkripsi:

Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan 1) F.A. Moeloek Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta Pendahuluan Obstetri dan Ginekologi banyak berhubungan dengan masalah-masalah kelahiran, reproduksi, penuaan ( aging ), dan kematian; yang kesemuanya itu penuh dengan dilemma etik 2, moral 3, dan hukum 4. Etik, moral dan hukum adalah the guardians, pengawal bagi kemanusiaan. Etik, moral, dan hukum, pada dasarnya mempunyai tugas dan kewenangan untuk memanusiakan manusia, untuk memperadab manusia. Manusia yang beradab adalah mereka yang berada dalam kebebasan berfikir, manusia yang berada dalam kebebasan untuk saling mencintai, saling menghormati, manusia yang memiliki keakhlakan, kemartabatan, manusia yang tunduk pada hukum keberadaban, manusia yang beragama dalam keberadaban. Benturan etik, benturan moral, dalam bentuk dilema, biasanya terjadi apabila ada benturan peradaban, ada benturan nilai, ada benturan norma dalam pengertiannya, dan tidak jarang ada benturan keyakinan pada individu masing-masing atau sekelompok orang. Peristilahan awam menyebutnya sebagai benturan budaya. Budaya dalam ikhwal kesisteman, dengan subsubsistemnya ialah sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem kesenian, sistem bahasa, dan sistem religi. Kekuatan-kekuatan yang dimilik di dalam kesisteman tersebut, luas dan dalamnya, akan mewarnai budaya dari individu atau sekelompok orang tertentu, yaitu masyarakat. Benturan etik dan moral, atau dilema biasanya akan terjadi apabila ada kesenjangan, gap diantara pemahaman dari tingkatan pada sistem atau masing-masing subsistem yang berintegrasi tersebut. Hukum dibuat atas dasar, atas asas budaya, atas peradaban individu, atau sekelompok orang, atau sekelompok masyarakat tertentu tersebut. Dengan demikian hukum adalah budaya, hukum adalah peradaban manusia. Pada hakekatnya dilema, sebagai benturan etik dan moral di dalam Obstetri dan Ginekologi cukup luas, berkembang mulai dari advokasi bahwa kesehatan adalah hak dan kebutuhan dasar manusia, sampai ke isu tentang pemanfaatan genome manusia di dalam kehidupan, seolah kelak manusia tidak akan pernah mati; di dalam keunggulan otaknya dan khayalnya yang tidak terbatas. Ditengahnya terdapat isu tentang kesehatan reproduksi sebagai bagian dari hak manusia, hak asasinya. 1 Dipresentasikan pada Kuliah Umum Temu Ilmiah I Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Bandung, 4-6 Oktober 2002. 2 Etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika merupakan bagian dari ilmu Filsafat. Kode Etik adalah aturan tata susila, sikap dan akhlak; Kode Etik Kedokteran adalah aturan tata susila, sikap akhlak di dalam pekerjaan kedokteran, profesi kedokteran. 3 Moral adalah (ajaran tentang) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban, dsb). Akhlak adalah budi pekerti, watak, tabiat. Pendidikan akhlak: pendidikan budi pekerti. 4 Hukum disusun oleh Badan Pemerintah; Etik disusun oleh kesepakatan anggotanya. Sanksi hukum adalah tuntutan, sanksi etik adalah tuntunan. Lihat: M Jusuf Hanafiah &Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kedokteran, Ed 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999. 1

Hak asasi di dalam kesehatan reproduksi merupakan bagian dari asas kemanusiaan (humanisme). Yang senantiasa berkembang dinamis pada nilai, norma, keyakinan, dan pengertiannya. Kedinamisan ini tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan, dari cara pandang dan cara fikir yang senantiasa lebih dinamis, lebih maju; dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang terus berubah, dan terus berkembang. Yang tidak jarang pula dipengaruhi oleh pola dan sistem ekonomi, perdagangan dengan sifat-sifat komersialnya yang tidak hanya terbatas pada persoalan lokal spesifik, tetapi juga meluas ke dalam dimensi regional dan global. Seperti halnya tentang masalah pemberian sulih hormon, yang sedang hangat, yang menjadi pembicaraan kontroversial, setelah terbitnya Stanford Report, pada tanggal 10 Juli, 2002 yang lalu 5. Yang kesemuanya itu sulit dibebaskan dari ikhwal dan pengaruh yang saya sebut terakhir di atas. Itulah sebabnya etika dan moral di dalam profesi (kedokteran) tidak jarang mendapat kritikan tajam dari para filosof, dengan sudut pandang mereka yang berbeda pula. Yang menganggap bahwa para dokter (profesi) sesungguhnya keliru memandang diri mereka sebagai pencinta umat manusia. Seperti yang diucapkan oleh Benard Show bahwa: profesi (termasuk kedokteran) sesungguhnya mempunyai etika yang non-ideologis (.berarti mempunyai nilai-nilai lain, nilai ekonomi, bisnis, sosial, yang terselubung). Lebih keras lagi Bernard Show mengatakan bahwa: semua profesi merupakan persekongkolan melawan kaum awam. Kaum profesi berdiri sebagai tertuduh karena dianggap lebih menginginkan status dan kekayaan. Tak diragukan lagi, kata Daryl Koehn, bahwa dewasa ini banyak orang setuju dengan penilaian dari Bernard Show itu 6. Suatu pernyataan yang dilontarkan oleh para ahli filsafat dari kaliber dunia bagi kita semua!. Apa yang sesungguhnya dan apa yang sebaiknya, antara kearifan dan kebenaran senantiasa menjadi dilema di dalam etik dan moral dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda pula. Sekali lagi bahwa, kesemuanya ini tidak lepas dari nilai, norma, pandangan, dan keyakinan masyarakat yang makin dinamis, termasuk pada pandangan etika dan hukum pada teknik reproduksi buatan, khususnya pada manusia. Hak Reproduksi Teknik Reproduksi Buatan ialah bagian dari pengobatan masalah infertilitas. Talcott Persons 7, seorang ahli ilmu sosial dari Universitas Harvard, yang dikenal dengan teori sistem ( the Sick Role ) mengatakan bahwa, sesungguhnya sakit adalah defect dari suatu kesisteman. Infertilitas, dengan demikian, adalah defect dari suatu kesisteman. Apabila infertilitas adalah defect dari suatu kesisteman, kesisteman reproduksi; maka infertilitas adalah sebuah penyakit, di dalam konsep the sick role dari Talcott Parson. Adalah hak manusia untuk bebas dari penyakit, atau kesakitan; adalah hak manusia untuk hidup sehat, adalah tanggung jawab kemanusiaan untuk membebaskan seseorang atau kelompok orang 5 Lihat: Hormone replacement therapy study abruptly halted, Stanford Report, July 10, 2002 6 Lihat: Daryl Koehn, The Ground of Professional Ethics, London: Routledge, 1994. 7 Talcott Parsons dengan konsep sistem ini membuat teori tentang adanya keterkaitan, interaksi dan atau interrelasi antara sistem organisma, sistem kepribadian, sistem sosial, dan sistem budaya; yang disebutnya action theory (teori aksi). Dengan menggunakan teori aksi ini, ia dengan jelas memperlihatkan keterkaitan antara manusia, sistem yang ada pada tubuh manusia, dan sistem yang ada di luar tubuh manusia, termasuk kepribadian yang terdapat pada manusia itu sendiri, atau sekelompok manusia (masyarakat), dan budaya. Dengan menggunakan teori ini, ia lebih mudah menjelaskan apa yang sesungguhnya disebut sakit (sick role). Dengan mempelajari sistem-sistem yang ada dan keterkaitan di antara sistem-sistem tersebut, maka konsep sakit dalam arti fisik dan atau di dalam kehidupan bermasyarakat lebih mudah untuk dipahami. 2

dari peyakit atau kesakitan. Apabila infertilitas adalah sebuah manifestasi dari sakit, maka adalah hak mereka untuk mendapatkan kesehatan (reproduksi)nya; hak mereka untuk bebas dari kesakitan. Dengan lain perkataan, mendapatkan keturunan, dan beranak adalah hak bagi manusia. Ikhwal ini adalah bagian dari hak reproduksi. Yang kemudian berkembang tidak hanya terbatas pada hak untuk mendapatkan keturunan saja, tetapi juga hak untuk tidak memperoleh keturunan, hak untuk tidak mau hamil, dan tidak mau menjadi hamil, hak untuk dapat menentukan jumlah anak yang diinginkan, yang kesemuanya itu merupakan hak manusia, hak individu, hak untuk mengambil keputusan, otonomi pada diri masing-masing individu, sebagai hak asasi manusia, untuk dihormati. Seperti Keluarga Berencana. Komisi Etik dari berbagai negara memberi pandangan dan pegangan, terhadap hak reproduksi dan etika dalam ranah reproduksi manusia, dengan memperhatikan beberapa asas yang perlu dipahami, antara lain 8,9 : 1. Niat untuk berbuat baik (beneficence) 2. Bukan untuk kejahatan (non-maleficence) 3. Menghargai kebebasan individu untuk mengatasi takdir (autonomy) 4. Tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku (justus). Tidak dapat disangkal bahwa hak dan etika repoduksi tersebut, perlu mendapat kajian terus menerus dengan kedinamisan masyarakat dalam norma, nilai dan keyakinannya yang semakin kompleks pula sifatnya. Batasan dan Pengertian yang berhubungan dengan Teknik Reproduksi Buatan Teknik Reproduksi Buatan, dalam hal ini tidak dibedakan dengan Teknik Reproduksi Manusia. Batasan dan pengertian sementara teknik reproduksi buatan adalah penanganan terhadap gamet (ovum, sperma), atau embrio (konsepsi) sebagai upaya untuk mendapatkan kehamilan di luar cara alamiah, tidak termasuk tindakan kloning ( cloning ) 10, atau duplikasi manusia. Sesungguhnya batasan sementara ini sempit, apabila diperhatikan bahwa semakin banyak dan luasnya ikhwal yang berhubungan dengan teknik reproduksi buatan dan inovasi penelitian yang berhubungan dengan ikhwal tersebut pada saat ini dan di masa datang. Beberapa teknologi reproduksi buatan yang berkembang saat ini, dengan inovasinya yang berkembang pula di masa datang, yang akan memperluas cakrawala dan kesempatan pada kajiankajian etik, moral, dan hukum, adalah beberapa ikhwal tersebut di bawah ini 11,12 : 8 Lihat: Beauchamp TL and Childress J, Principles of Biomedical Ethics, 3 rd Edit, Oxford University Press, Oxford, New York, USA, 1986 9 Lihat pula: Beauchamp TL, The Four Principles Approach, didalam: Principles of Health of Care Ethics (Gillon, Edit), John Wiley &Sons, Chichester, UK, 1994 10 Lihat: Subiyanto, Muchsin Jaffar, Yuslam EF, Etika dalam Teknologi Reproduksi Manusia, Simposium Mencegah Konflik Etik, Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XIII POGI, Malang, 28 Juni-3 Juli 2002. 11 Lihat di dalam: The Future of Gynaecology and Obstetrics, Eds: Eng-Soon Teoh and S Shan Ratnam, the Parthenon Publishing Group, 1991 12 Lihat: Andre van Streirteghem, Preimplantation Genetic Diagnosis: Scope and Outcome, 11 th World Congress on In Vitro Fertilization and Human Reproductive Genetics, Postgraduate Course No 4, Sydney, Australia, 9-14 May, 1999 3

4 1. Fertilisasi In Vitro dan Pemindahan Embrio (IVF & ET), yaitu prosedur pembuahan ovum dan sperma di laboratorium yang kemudian dilanjutkan dengan pemindahan embrio ke dalam uterus. 2. Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT), yaitu prosedur memindahkan ovum yang telah diaspirasi dari ovarium bersama dengan sejumlah sperma langsung ke dalam saluran tuba Fallopii. 3. Zygote Intrafallopian Transfer (ZIPT), yaitu prosedur pemindahan zygote sebagai hasil dari IVF ke dalam saluran tuba Fallopii. 4. Cryopreservation, yaitu teknik simpan beku ovum, sperma atau embrio, serta pencairannya kembali untuk digunakan pada waktunya. 5. Intra Cytoplasmic Sperm Injection, yaitu penyuntikan 1 sperma yang berasal dari eyakulat ke dalam ooplasma. Apabila sperma tersebut berasal dari epididimis disebut MESA (microsurgucal epidymal sperm aspiration); atau disebut TESE (testicular sperm extraction), apabila sperma tersebut berasal dari testis. Beberapa peristilahan lain dan prosedur yang semakin sering digunakan di dalam pekerjaan Teknologi Reproduksi Buatan, seperti; Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) yaitu, upaya diagnosis dini penyakit genetik tertentu sebelum dilakukan transfer embrio ke dalam uterus. Biasanya dilakukan biopsi pada polar body atau blastomere untuk dianalisis dengan cara fluorescent in situ hybridization (FISH), atau dengan teknik polymerase chain reaction (PCR). Dengan demikian tranfer embrio hanya dilakukan pada embrio normal saja. Sex Selection, yaitu upaya dan prosedur pemilihan jenis kelamin tertentu dalam rangkaian teknologi reproduksi buatan. Ada beberapa prosedur antara lain: Pemisahan spermatozoa X dan Y sebelum prosedur inseminasi buatan atau IVF Pemilihan jenis kelamin pada saat Pre-implantation Genetic Diagnosis (PGD) Diagnosis Genetika Prenatal diikuti dengan selective abortion pada jenis kelamin tertentu. Penelitian-penelitian di dalam Teknik Reproduksi Buatan, yang bertujuan untuk meningkatan keberhasilan teknik itu sendiri, atau meneliti kelainan-kelainan genetik, dan khromosom; atau meneliti faktor-faktor penyebab keguguran, serta pengembangan teknik kontrasepsi di masa depan, menghasilkan peristilahan baru pula, antara lain: Sel Tunas (Stem Cells), penelitian ini bertujuan untuk melakukan duplikasi (cloning) dari sel-sel embrio (blastocyst), atau sel-sel germinal (fetus muda), dan dapat juga yang berasal dari sel-sel orang dewasa muda. Tujuan utamanya adalah untuk pengobatan sel dikemudian hari. Sebab itu penelitian atau proses ini disebut juga sebagai therapeutic cloning. Human Cloning, usaha untuk menduplikasi manusia; proses yang dilakukan sejauh ini adalah memindahkan inti sel somatik donor (yang mengandung DNA dan komponen genetik lengkapnya) ke sel ovum yang telah diambil seluruh inti selnya, atau embryo splitting untuk menghasilkan manusia. Assisted Hatching, suatu usaha untuk meningkatkan proses implantasi embrio di endometrium, dengan membuka zona pelucida dengan micromanipulator. Follicular Maturation, suatu proses pematangan oosit in vitro, atau disebut juga sebagai pertumbuhan oosit in vitro. Penelitian lain yang tetap merupakan impian, penelitian spektakuler, para pakar reproduksi kedokteran antara lain: transplantasi uterus, transplantasi ovarium,

transplansi tuba, transplantasi endometrium; rekayasa genetik, termasuk di dalam mapping genone, yang kesemuanya itu saling menunjang dengan penelitan dasar lainnya yang sedang dikerjakan saat ini, seperti penelitian stem cells, disamping inovasi lain di dalam mewujudkan hak individu di dalam reproduksinya. Kesemua prosedur di atas, kesemua penelitian diatas mempunyai dampak luas pada etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Etika dan hukum di satu sisi berjalan menurut deret hitung, sebaliknya ilmu dan teknologinya di sisi lain berjalan menurut deret ukur. Gap, kesenjangan diantaranya merupakan dilemma, benturan etik dan hukum yang akan terjadi terus menerus. Manusia pada hakekatnya mencari manfaat yang dalam dari kesemuanya ini, namun tidak jarang terjebak pada hakekat lain, hakekat non-idiologis, seperti yang diduga oleh Bernard Show dan Daryl Koehn. Etik dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan di beberapa negara tertentu Inggris Inggris merupakan negara pertama di dunia yang mempunyai peraturan mengenai teknologi reproduksi buatan. Pada tahun 1982, dibentuk suatu komisi yang disebut: Committee of Enquiry into Human Fertilisation and Embriology, yang dipimpin pertama kali oleh Dame Mary Warnock. Tujuan dibentuknya komisi ini adalah: untuk memberi pandangan, asupan, dan pertimbangan kebijaksanaan kepada pemerintah tentang aspek-aspek sosial, etika dan hukum yang berhubungan dengan berbagai persoalan mengenai perkembangan baru dalam fertilisasi manusia dan embriologi 13. Warnock Report yang sangat terkenal itu, disampaikan pada tahun 1984. Pada dasarnya laporan tersebut menekankan bahwa perlunya pengaturan yang jelas pada tiap teknik reproduksi manusia, dan hal-hal lain yang berkembang dari teknologi tersebut. Selanjutnya pada tahun 1990, dibentuk suatu badan independen yang disebut Human Fertilisation and Embriology Authority (HFEA), yang mempunyai wewenang sebagai penasihat (advisory) dan pelaksana (executive). Penasihat, dalam hal memberikan petunjuk pelaksanaan yang baik dalam hal teknologi reproduksi manusia, serta dapat pula memberikan rekomendasi kepada pemerintah pada masalah-masalah yang timbul dari akibatnya. Pelaksana, dalam hal pemberian perizinan kepada mereka yang akan melakukan pelayanan, penelitian di dalam kegiatan ini; serta melakukan pengawasan yang teratur pada pusat-pusat pelayanan dari kegiatan ini. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh HFEA adalah melarang: 1. Penelitian dan penyimpanan terhadap embrio manusia berumur lebih dari 14 hari. 2. Menempatkan gamet atau embrio manusia di binatang atau sebaliknya. 3. Menyimpan atau penggunaan embrio untuk tujuan lain, selain untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan yang sudah diatur oleh peraturan lain. 4. Melakukan cloning untuk tujuan reproduksi pada manusia. Prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh HFEA ini sebagian digunakan oleh Panitia Adhoc Khusus yang dibuat oleh Departemen Kesehatan untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci, yang berhubungan dengan prosedur dan teknik reproduksi buatan yang diperkenankan dan yang tidak diperkenankan, dan syarat lain; yang kemudian dituangkan di dalam: Pedoman Pelayanan Bayi 13 Lihat: Brinsden PR, Regulation of Assisted Reproduction Technology: The UK Experience, A Text Book of In Vitro Fertilisation and Assisted Reproduction, Parthenon Publishing Group, 2 nd Edit, 1999. 5

Tabung di Rumah Sakit, yang dibuat oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Departemen Kesehatan RI. The International Islamic Center for Population Studies and Research Lokakarya yang dibuat oleh The International Islamic Center for Population Studies and Research di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, pada bulan November 2000, membuat beberapa pernyataan 14 antara lain: 1. Fertilisasi in-vitro diperbolehkan, kecuali menggunakan sperma, ovum, atau embrio yang berasal dari donor. 2. Pre-implantation genetic diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk menghindari penyakit keturunan, dan penyakit tertentu, kecuali untuk memilih jenis kelamin tertentu. 3. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel (follical maturation), pematangan oosit invitro (in vitro maturation of oocytes), dan pertumbuhan oosit in-vitro (in-vitro growth of oocytes) diperbolehkan. 4. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal, belum mempunyai keputusan yang tetap. 5. IVF pada wanita pasca menopause, dilarang; karena mempunyai resiko yang tinggi pada kesehatan ibu dan bayinya 6. Transplantasi uterus masih di dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitan pada binatang. 7. Penggunaan sel tunas (stem cells) untuk tujuan pengobatan (therapeutic cloning) masih didalam perdebatan, diminta untuk dapat disetujui. 8. Reproductive Cloning, atau duplikasi manusia dilarang, tidak diperbolehkan. Hasil lokakarya ini tampaknya tidak berbeda jauh dari kebijakan yang disampaikan oleh Human Fertilasation and Embryo Authority (HFEA) di Inggris. FIGO 15 Beberpa ketentuan etik tentang Teknik Reproduksi Buatan yang dibuat oleh FIGO, antara lain: 1. Preconceptional Sex Selection untuk maksud diskriminasi seks tidak dibenarkan. Namun untuk menghindari penyakit tertentu, seperti sex-linked genetic disorders, penelitiannya dapat dilanjutkan. 2. Reproductive Cloning, atau duplikasi manusia dilarang. 3. Therapeutic Cloning dapat disetujui. 4. Penelitian pada embrio manusia, sampai dengan 14 hari pasca fertilisasi (pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku: Dapat diterima apabila tujuannya bermanfaat untuk kesehatan manusia. Harus mendapat izin khusus dari pemilik pre-embrio tersebut. 14 Lihat: Serour GI, Dickens BM, Ethical and Legal Issues in Reproductive Health, Assisted Reproduction Developments in the Islamic World, International Journal Obs Gynec 2001, p187-193 15 Lihat: Recommendations on Ethical Issues in Obstetrics and Gynecology by the FIGO Committee for Ethical Aspects of Human Reproduction and Women s Health, August, 2000 6

Harus disahkan oleh sebuah komisi khusus atau badan tertentu yang mengatur untuk hal-hal tersebut. Tidak boleh ditransfer ke dalam uterus, kecuali apabila penelitian tersebut untuk mendapatkan out-come kehamilan yang baik. Tidak untuk tujuan komersial. 5. Tidak etis untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: Melakukan penelitian, seperti cloning setelah periode pre-embrio (lebih dari 14 hari pasca fertilisasi). Mendapatkan hybrid dengan fertilsasi inter-spesies. Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain. Manipulasi genome pre-embrio, kecuali untuk tujuan pengobatan suatu penyakit. Etik dan Hukum Reproduksi Buatan di Indonesia Di Indonesia hukum dan perundangan yang mengatur tentang teknik reproduksi buatan di atur di dalam: 1. Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16, yang menyebutkan antara lain: 1). Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami-isteri mendapatkan keturunan. 2). Upaya kehamilan di luar cara alami sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang sah dengan ketentuan: a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-isteri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. c. Pada sarana kesehatan tertentu. 3). Ketentuan mengenai persyaratan penyelengaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/ Menkes/ Per/ II/1999 tentang Penyelengaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang: Ketentuan Umum, Perizinan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut di atas, dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Departemen Kesehatan RI 16 yang menyatakan bahwa: 1) Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami-isteri yang bersangkutan. 2) Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan. 3) Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan: a) rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir. b) pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal, atau 16 Lihat: Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, 2000 7

c) isteri berumur lebih dari 35 tahun. 4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun. 5) Dilarang melakukan jual beli embrio, ova dan spermatozoa. 6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan dengan sangat jelas. 7) Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi. 8) Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/ simpan beku). 9) Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan embrio, ova dan atau spermatozoa manusia tanpa izin khusus dari siapa sel telur atau spermatozoa itu diperoleh. 10) Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila fertilisasi trans-spesies itu diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi trans-spesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel. Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit di dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia 17. Namun di dalam addendum 1, di dalam buku tersebut di atas, tentang penjelasan khusus untuk beberapa pasal dari revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002, dijelaskan tentang klonasi/cloning, sebagai adopsi dari hasil Keputusan Muktamar XXIII IDI 1997, tentang Klonasi (Cloning), yang pada hakekatnya: menolak dilakukan klonasi pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, dstnya; menghimbau para ilmuwan khususnya kedokteran, agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi pada: 1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui al: pembuatan zat anti atau antigen monoclonal, yang dapat digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnostik maupun aspek pengobatan; 2. pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri. Dilema Etik dan Hukum, serta Sikap Profesi dalam Teknik Reproduksi Buatan Konsekuensi dari adanya gap atau kesenjangan, seperti yang saya sampaikan di atas sebelumnya tadi, akan memperdalam dilemma, sebagai benturan etik dan hukum pada proses reproduksi buatan yang akan semakin kompleks pula. Sekali lagi kompleksitas ini disebabkan semakin dinamisnya pengertian dan makna dari pergeseran nilai, norma, dan keyakinan, yang tumbuh terus di masyarakat, masyarakat ilmiah, dan masyarakat awam. Semakin majemuknya konsep berfikir dan cara pandang dari masing-masing tingkat masyarakat tersebut. Di satu pihak ilmu dan penelitian teknologinya sulit untuk dibendung, di pihak lain perangkat norma, nilai, dan keyakinan dibuat atas keputusan masyarakat sebagai the user, sebagai pengguna dari kemajuan ilmu dan teknologi itu sendiri. Gap, atau kesenjangan inilah yang saya kira perlu mendapat perhatian, sehingga diperlukan kajian dan pendekatan yang terus menerus diantara para pakar dalam bentuk dan sifatnya yang multi, inter, lintas, dan cross disiplin ilmu. Ilmu Kedokteran, Ilmu Kesehatan Reproduksi, Ilmu Reproduksi Manusia, tidak mungkin dapat berdiri sendiri saat ini, tidak mungkin dapat berjalan sendiri saat ini, di dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapinya. 17 Lihat: Buku Kode Etik Kedoketarn Indonesia, yang merupakan hasil keputusan Pengurus Besat Ikatan Dokter Indonesia No.221/PB/A.4?2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia, 19 April, 2002. 8

Dari uraian saya di atas, dengan minimnya kajian etika dan hukum tentang kesehatan reproduksi dan reproduksi manusia di Indonesia saat ini, kiranya merupakan hal yang tidak dapat ditawar, suatu conditio sine quanon, akan keberadaan Pusat Kajian Etika dan Hukum Kedokteran dan Kesehatan di dalam wadah organisasi kedokteran kita. Kajian tentang Etika dan Hukum Kesehatan Reproduksi dan Reproduksi Manusia, eksplisit berada didalamnya. Minimal organisasi profesi obstetri dan ginekologi dapat memulai keberadaannya ini; atau lebih awal lagi, kelompok seminat yang diwakili oleh Sdr2 saat ini dapat memulainya hari ini. Kita hanya dapat membenahi masalah-masalah kekinian dengan dengan mind-set hari ini pula, dengan paradigma kekinian pula; bukan dengan mind-set kemarin, atau paradigma lama. Inilah yang dapat saya sampaikan pada kuliah umum Temu Ilmiah I, Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia pada pagi hari ini. Saya harapkan bahwa pertemuan ini merupakan tonggak awal dari bangunan baru, paradigma baru, mind-set baru, dalam membangun cara fikir kita, sebagai the guardians, sebagai para pengawal kesehatan reproduksi di Tanah Air kita, yang mempunyai kebudayaan majemuk itu. Sebagai penghapus dari hipotesis atau sangkaan Bernard Show dan Daryl Koehn terhadap profesi kita. Minimal untuk kelompok kita yang mengadakan temu ilmiah pada hari ini. Inilah sikap kita, sebagai the guardians on human reproduction. Sebagai penjaga dan pengawal harkat dan martabat manusia!!. Sebagai penutup saya sampaikan ilustrasi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, mungkin 10 tahun lagi, 50 tahun lagi, atau 1 abad lagi: Nantinya telah dibuka mall genetics sebagai bentuk perseroan (bisnis), minimal dalam bentuk kooperasi kedokteran (badan usaha), untuk merangkai kesempurnaan genetik, sebagai ekspresi genetik pesanan bagi bayi yang diidamkan oleh seorang gadis, atau seorang pemuda, sebagai single parent, sebagai ekspresi kasih sayang manusia di abad itu. Apa sikap kita?. 9