OPTIMALISASI PENGAWASAN DANA DESA Adi Gunawan Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Adig1920@gmail.com ABSTRAK Sebagai salah satu program NAWACITA yang dicanangkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu membangun Indonesia dari kawasan pinggir Dana Desa diharapkan mampu menjadikan desa subyek dalam pelaksanaan pembangunan wilayah desa, membangun perekonomian desa atau bahkan kedepan sumber daya manusia yang hidup di desa. Pembangunan desa dimaksudkan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat desa dalam menghadapi segala bentuk perkembangan zaman di masa yang akan datang. Jumlah dana desa bersumber dari APBN yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat setiap tahun jumlahnya semakin meningkat secara signifikan. Oleh karena itu menuntut tanggungjawab pengelolaan yang lebih besar pula. Pemerintahan pusat ataupun pemerintah desa diharapkan dapat meningkatkan pendayagunaan dana yang dialokasikan, sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan kecurangan-kecurangan dalam penggunaan dana desa.sebagai salah satu upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas pengelolaan dana desa adalah dengan meningkatkan pengawasan penggunaan Dana Desa. Pengawasan dana desa yang digunakan oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan berlapis. Pemerintah melibatkan BPD, Masyarakat, Pemerintah Daerah, camat, kementrian keuangan, kementrian dalam negeri, kementrian desa, BPKP, BPK, Kejaksaan dan bahkan Kepolisian, walaupun dengan kedudukan dan porsi pengawasan yang bebeda-beda. Walaupun pengawasan dana desa sudah melibatkan banyak pihak, kecurangan dan tindak pidana dengan menggunakan dana desa masih banyak terjadi, dan pengawasan tersebut terkesan tidak efektif, Oleh karena itu penulis akan membahas secara normative bagaimana pengawasan-pengawasan tersebut dilaksanakan. Kemudian mengkaji dengan menggunakan teori-teori dan asas-asas ilmu hukum, dengan harapan dapat memperbaiki kelemahankelemahan yang terjadi pada sistem pengawasan Dana Desa tersebut. Kata kunci: Optimalisasi, dana desa, APBN PENDAHULUAN Tantangan perkembangan zaman kedepan semakin nyata, bahwa masyarakat dan negara sekalipun akan dihadapkan pada era globalisasi, modern dan industri. Jika masyarakat dan negara sebagai aktor utama pemegang kebijakan tidak mempersiapkan dan membekali diri dengan kompetensi yang mumpuni jelas kita akan kalah dan tertinggal di negeri sendiri. Sudah nampak jelas dampak dengan ditandatangani dan diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) beberapa waktu lalu, kalangan pekerja lokal banyak tersingkir oleh pekerja dari China dan Korea, mereka hanya bisa berdemo untuk membatasi kuota pekerja asing. Sejak diluncurkan Tahun 2015 mulai bergulirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga tahun dana desa masih menyimpan banyak pertanyaan dan permasalahan yang perlu di jelaskan serta di selesaikan oleh pemerintah pada masa yang akan datang. Dana Desa merupakan program utama pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan tujuan utamanya adalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan meningkatkan swadaya desa. Program yang awalnya sangat diragukan ini dalam kenyataan program ini terus berjalan hingga saat ini, program dana desa merupakan program yang pertama kali dijalankan dan digalakkan sejak pemerintahan ini berdiri, dan yang paling mengejutkan adalah 173
ini merupakan program yang pertama kali ada di Asia bahkan di dunia. Sehingga banyak negara-negara lain khususnya negara ekonomi lemah dan berkembang belajar mencontoh program dana desa untuk diaplikasikan di negaranya dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan perekonomian desa. Bertambahnya dana desa yang akan dialokasikan oleh pemerintah pasti akan menambah daftar penyalahgunaan dana desa atau menambah besaran dana yang tidak terserap oleh desa. Seperti halnya yang telah terjadi pada masa lampau mulai kepala daerah, pegawai kejaksaan, dan mayoritas kepala desa sendiri masuk dalam daftar operasi tangkap tangan oleh KPK. Dengan semakin bertambahnya dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat hendaknya pemerintah pusat semakin meningkatkan segala upaya untuk memperbaiki mekanisme dana desa, dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh di setiap sektor mulai dari tingkat atas hingga kebawah, dari segi administrasi, normatif, maupun segi aplikatifnya. Korupsi dana desa memang sudah tidak diragukan lagi, jika kita lihat dari segi ilmu budaya Soerjono Soekanto menyebut dengan shame-culture yaitu cara berfikir (instant) jika seseorang berbuat salah tapi tidak ketahuan dan tidak kehilangan muka, maka dia tak akan menyesal dan tak akan merasa malu, bahkan pada masa sekarang ini budaya negatif tersebut sudah semakin memprihatinkan, tidak ada lagi rasa malu dan penyesalan walaupun sudah tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan Esmi Warassih menyebutnya dengan mental menerabas. Mental yang tidak taat aturan, selalu menguntungkan diri sendiri tanpa memperhatinkan orang lain. Bahkan pendapat yang lebih keras lagi diberikan oleh Satjipto Raharjo dengan mengutip pendapat Gunnar Myrdal mengatakan semua negara berkembang, sekalipun dengan kadar yang berlainan adalah negara-negara yang lembek. Lembek dapat kita artikan dengan suatu kondisi yang tidak punya daya, atau dapat kita artikan lembek disini merupakan kondisi mental negatif, seperti mentalitas yang negatif, ketidakdisiplinan yang meluas, pelanggaran hukum yang tinggi dan penegakan hukum yang lemah, korupsi pada seluruh lapisan masyarakat, kehidupan yang serba instant, aturan yang terburu-buru, ketidakteraturan terjadi pada tingkat pegawai Negara dan kondisi buruk lain. Diana Halim dengan mengutip pendapat Lord Acton yang cukup terkenal (Power tend to curropt) mengatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi dalam berbagai macam bentuk, korupsi, tindakan sewenang-wenang (detournement de pouvoir atau ultra vires), atau perbuatan administrasi negara yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) dan perbuatan lain yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Oleh karena itu Sudargo Gautama menambahkan bahwa berbagai macam cara pengawasan dilakukan agar pemerintah (aparatur negara) tetap berjalan menurut jalur negara hukum dalam arti tetap berpegang pada unsur-unsur pokok dari negara hukum yakni berpegang pada asas legalitas. Diana Halim menyimpulkan arti dan fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dari optik HAN adalah mencegah segala bentuk penyimpangan tugas pemerintah dari apa yang telah digariskan (Preventif) dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represi). Pengawasan dari optik HAN adalah terletak pada Hukum Administrasi Negara sendiri, sebagai landasan kerja atau pedoman bagi administrasi negara dalam melakukan tugasnya menyelenggarakan pemerintahan. Dengan kata lain banyaknya kasus korupsi dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan oleh aparatur negara terletak pada lemahnya sistem pengawasan atau pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adrian Sutedi menambahkan bahwa pengawasan pada dasarnya 174
diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Pengawasan juga dapat mendekteksi sejauh mana kebijakan pimpinan yang dijalankan dan sampai sejauh mana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Pada dasarnya penyalahgunaan dana desa disebabkan oleh dua hal yaitu oleh pengawasan dan mental dari aparatur para penyelenggara dana desa, dan sebab lain adalah lemahnya penegakan hukum atau pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dianggap oleh mayoritas kalangan tidak sesuai dengan uang yang dikorupsi. Artinya ketiga titik lemah dalam penyelenggaraan dana desa tersebut berada pada tiga bagian yang berbeda, bagian Administrasi Negara, Etika dan Moral, serta Kehakiman. Serta harus diselesaikan dengan bidang disiplin ilmu yang berbeda pula, Yang perlu diperhatikan paling utama untuk dibenahi adalah bidang pengawasan, sebab ini merupakan bidang administrasi negara. Mental yang buruk sekalipun jika mendapat pengawalan yang ketat maka peluang korupsi akan tertutup. Maraknya kasus penyalahgunaan dana desa disinyalir dari lemahnya sistem pengawasan yang dibuat oleh pemerintah, walaupun subyek berlapis tetapi sistem yang digunakan tidak tepat maka sasaran yang akan dituju tidak akan tepat. Banyaknya subyek pengawasan yang di tetapkan oleh pemerintah harus diimbangi dengan sistem yang tepat maka pengawasan akan efektif. Ketidakefektifan bidang pengawasan disebabkan oleh beberapa macam : 1. Subyeknya yang tidak kompeten 2. Rule yang tidak mengarah pada obyek 3. Obyeknya yang tidak seimbang dengan subyek 4. Sistem yang digunakan. Uraian diatas dapat dijadikan sebagai indikator awal bahwa banyaknya penyalahgunaan dana desa terletak pada lemahnya pengawasan. Dengan lemahnya pengawasan membuka peluang untuk melakukan tindakan koruptif para pelaksana dana desa atau bahkan tindakan koruptif dari anggota pengawas sendiri. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas titik-titik lemah dalam sisitem pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah, sejak awal digulirkan program dana desa hingga sekarang. Serta memberikan solusi-solusi sebagai bahan referensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk perbaikan dan lebih menyempurnakan sistem pengawasan dana desa pada masa yang akan dating. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif, sebab penelitian ini mengkaji bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Yaitu dengan mengkaji bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan atau hukum positif. Jika dilihat dari sifat penelitian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data sekunder berupa peraturan perundangundangan dan bahan hukum sekunder berupa literatur/ buku-buku yang sesuai dengan obyek penelitian, ditelusuri, dikelompokkan dan ditentukan. Bahan Hukum Primer yang telah diperoleh dan ditentukan kemudian dikaji dan dianalisis isi dan strukturnya secara deskriptif dengan menggunakan Bahan Hukum Sekunder. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengawasan Dana Desa Oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dana Desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan 175
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. (PP. No 43 tahun 2014 tentang Peraturan pelaksanaan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 Ayat 8). Mengingat besarnya jumlah dana desa yang ditransfer oleh pemerintah pusat pada Keuangan Desa dan pentingnya dana tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, pemerintah menyiapkan regulasi untuk penggunaan dan pengawasan dana tersebut. Pengawasan dana desa oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 55 menyebutkan fungsi BPD yaitu: 1) Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Pasal 55 Diatas mengatur kewenangan BPD dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana lembaga legislatif. Sebagai pelaksanaan peraturan tersebut ps. 116 PP 43 Tahun 2014 yang mengatur keterlibatan BPD dalam hal perencanaan pembangunan desa. Partisipasi BPD dalam pembangunan desa mencakup tiga fungsi BPD yaitu sebagai: Membahas dan menyetujui rancangan peraturan desa, penyalur aspirasi warga dan sebagai pengawas kinerja kepala desa. Berkaitan dengan pengawasan dana desa, peran BPD sangat strategis sebagai ujung tombak pengawal dana desa. Berdasarkan pasal 55 diatas BPD harus ikut serta dan terlibat langsung dalam hal perencanaan kegiatan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. Sehingga BPD dapat mengetahui secara langsung bagaimana rencana kegiatan disusun dan mengetahui langsung bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Jika kita telaah lebih jauh lagi peran dan kedudukan BPD dalam mengawal dana desa, BPD menjalankan dua model pengawasan secara langsung yaitu pengawasan aktif dan pengawasan pasif. Adrian Sutedi mengutip pendapat Sumosudirjo membagi bentuk pengawasan menjadi dua yaitu pengawasan pasif dan aktif: Pengawasan aktif atau pengawasan dekat yaitu pengawasan yang dilakukan ditempat kegiatan tersebut dilakukan, sedangkan pengawasan pasif disebut juga dengan pengawasan jauh, yaitu melakukan pengawasan melalui penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran. pasal 48 c PP 43 tahun 2014, dimana kepala desa wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerja kepala desa pada akhir tahun kepada BPD, yang dapat dijadikan sebagai pedoman pengawasan dan bahan evaluasi. Selain itu pengawasan yang dilaksanakan oleh BPD juga merupakan pengawasan organisasi dimana sistem pengawasan yang menilai kinerja keseluruhan dari suatu kegiatan dalam organisasi. Standar pengukuran yang lazim digunakan bagi pengawasan jenis ini adalah pengukuran efektivitas. BPD menggunakan data perencanaan yang telah ditetapkan bersama kepala desa, dengan menilai tingkat pencapaian kegiatan. Pengawasan ini sangat efektif jika digunakan pada pelaksanaan kegiatan di lapangan, seperti halnya pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana. Pengawasan yang diamanatkan pada BPD berbeda dengan pengawasan yang diberikan pada badan/lembaga pengawasan yang lain, yang hanya melaksanakan pengawasan pasif atau bisa dikatakan hanya bersifat pemantauan atau pemeriksaan melalui dokumen, sedangkan pengawasan aktif dilaksanakan ketika dibutuhkan. 176
Disamping kedudukan BPD yang strategis dalam pengawalan dana desa karena terlibat langsung dengan kegiatan. BPD juga mempunyai banyak kelemahan dalam menghasilkan pengawasan yang obyektif dan efektif hal itu disebabkan oleh beberapa hal: 1) Kualitas individu: jarang sekali ditemukan anggota BPD yang berkualitas, memahami tugas dan kewajibannya, Baik dalam hal administratif maupun dalam hal aplikatif. 2) Faktor pemilihan anggota BPD yang sarat dengan unsur politik kepentingan kalangan tertentu. Pasal 72 ayat 2 PP 43 tahun 2014. Dimana keanggotaan BPD dipilih secara demokratis baik pemilihan langsung atau musyawarah dengan panitia yang dibentuk oleh kepala desa dan ditetapkan oleh Keputusan Kepala Desa. 3) Adanya tekanan atau intimidasi bahkan tindak kekerasan terhadap anggota yang aktif dan kritis dalam melaksanakan pengawasan. 4) Kurangnya perlindungan yang diberikan oleh aparat penegak hukum terhadap anggota BPD yang berani melaporkan penyalahgunaan dana desa. Pengawasan Dana Desa Oleh Camat Dana desa yang banyak menuntut tanggungjawab yang besar pula, oleh karena itu pengawasan dana desa juga dilakukan oleh camat. Walaupun dana desa yang dikelola kepala desa tidak bertanggungjawab kepada camat. Tapi pemerintah pusat memberikan tugas khusus kepada camat untuk ikut andil dalam memberikan pengawasan pengelolaan dana desa. Pasal 154 ayat 1 dan 2 PP 43 Tahun 2014 mengatur bagaimana tugas camat dalam membina dan mengawasi desa. Pengawasan yang ditugaskan kepada camat berdasarkan PP 43 tahun 2014 tersebut hanya bersifat fasilitator atau bisa dikatakan pendampingan. Dengan tujuan pengelolaan keuangan desa berjalan sesuai dengan yang ditentukan sebelumnya. Pengawasan oleh camat hanya bersifat administratif atau pengawasan dokumen atau pengawasan pasif. Melihat kedudukan dan posisi camat dalam struktur pemerintahan daerah, pada dasarnya camat dapat melaksanakan tugas penilaian dan pengawasan sekaligus memberikan evaluasi kinerja kepala desa. Pengawasan Oleh Masyarakat Pemerintah mengajak dan menghimbau pada masyarakat untuk berperan aktif mengawal penggunaan dana desa untuk kepentingan masyarakat sendiri. Pengawasan oleh masyarakat diharapkan lebih efektif karena tidak terikat dengan institusi apapun, bisa lebih mandiri, obyektif dan biaya murah. Disamping itu masyarakat dapat langsung terlibat secara sukarela dengan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan, keterlibatan langsung masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan desa memberikan dampak positif, selain itu dapat mengurangi dan mempersempit ruang penyalahgunaan dana desa. Pengawasan oleh masyarakat diatur dalam ps. 82 UU No. 6 tahun 2014 Tentang Desa: 1) Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa. 2) Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa. 3) Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. 177
4) Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. 5) Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa. Peran serta masyarakat desa dalam pelaksanaan pengawasan dana desa sangat strategis, dimana masyarakat desa dilibatkan langsung dalam setiap proses penyelenggaraan pembangunan desa. Pengawasan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa merupakan Pengawasan Preventif : pengawasan preventif bersifat struktural dan spesifik karena sebelumnya telah ditetapkan keputusan mana saja yang harus di sampaikan pada pemerintah yang lebih tinggi untuk memperoleh pengesahan. Pengawasan preventif dapat dibedakan menjadi dua macam : Pertama, pertimbangan atau pengawasan dijalankan sebelum tingkatan yang lebih rendah mengambil atau menetapkan suatu keputusan. Pengawasan preventif disebut voortoezicht. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang ditujukan untuk mencegah dan mempersempit penyalahgunaan keuangan/dana yang tidak sesuai dengan tujuan, disamping itu pengawasan preventif berfungsi untuk mencapai tujuan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Berdasarkan ps. 82 UU No. 6 tahun 2014 dapat disimpulkan hak masyarakat desa dalam pengelolaan keuangan desa yaitu: 1) Mendapat informasi rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. 2) Mengawasi pelaksanaan pembangunan desa 3) Melaporkan keluhan dan kecurangan. 4) Terlibat dalam musyawarah pembangunan desa. Walaupun pemerintah sudah melindungi secara legal dengan undang-undang dan memberikan perlindungan bagi siapa saja warga masyarakat yang melaksanakan pengawasan dengan baik. Tidak dapat kita pungkiri dalam melaksanakan hak tersebut masyarakat masih ragu, gamang dan masih dihantui dengan rasa takut. Ketakutan dan kegamangan akan intimidasi yang datang dari para pendukung Kepala Desa jika masyarakat melaporkan kecurangan. Selain itu masyarakat lebih berdiam diri walaupun mengetahui terdapat kecurangan dalam pelaksanaan pembangunan desa, sikap acuh masyarakat bukan tanpa alasan. Mereka memilih diam dan tidak cari masalah dengan orangl lain yang tinggal berdampingan satu kampung. Selain itu inefisiensi pengawasan oleh masyarakat juga disebabkan oleh belum terbangunnya budaya kritis dan budaya pengawasan oleh masyarakat. Mayoritas anggota masyarakat lebih memilih beraktifitas dengan kesibukan dan pekerjaan sendiri dari pada memikirkan pekerjaan orang lain. Masyarakat cenderung membiarkan selama hal itu tidak merugikan diri mereka sendiri atau tidak mengganggu anggota keuarga. Belum adanya jaminan yang pasti terhadap keamanan, perlindungan dan kerahasiaan identitas pelapor, menjadi penyebab utama keengganan masyarakat untuk melaporkan kecurangan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Kehidupan masyarakat yang masih tradisional, dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, serta perekonomian yang tidak stabil membuat dukungan terhadap seorang tokoh tertentu semakin kuat walaupun dalam hal yang negatif, Hal ini sangat mempengaruhi obyektifitas pengawasan. 178
Pengawasan oleh Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Bupati dapat dikatakan sebagai penjaga utama dalam memastikan pengelolaan dana desa terlaksana dengan baik. Sebab Kepala desa bertanggungjawab langsung kepada Bupati. dalam Pasal 26 a. UU No. 6 Tahun 2014 Kepala Desa wajib: Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota. Dan diperkuat dengan Ps. 103 PP. 43 tahun 2014 Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap semester tahun berjalan. Dan diperkuat dengan Ps. 24 ayat 1 PP No. 8 Tahun 2016. Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa kepada bupati/walikota. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di desa dengan persetujuan BPD diberikan kepada Bupati/walikota dapat dijadikan sebagai bahan pengawasan dan evaluasi, guna menentukan kebijakan yang akan datang. Dari laporan tersebut tentunya dapat diketahui tingkat keberhasilan Kepala desa dan kinerja dari BPD dalam satu kali tahun anggaran. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Bupati disebut dengan pengawasan pasif. Dimana seorang pengawas hanya menilai melalui dokumen-dokumen kerja atau transaksi-transaksi setelah kegiatan terlaksana. Juga bisa disebut dengan Kontrol Aposteriori sebab pengawasan tersebut dilakukan sesudah terjadinya tindakan/putusan/ketetapan pemerintah atau sesudah terjadi perbuatan pemerintah. Dengan kata lain, arti pengawasan disini dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan tindakan yang keliru. Pengawasan oleh Bupati diatur dalam ps. 112 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Tugas pengawasan yang diberikan oleh UU kepada Bupati tidak harus dilaksanakan sendiri, melainkan dapat dilimpahkan pada dinas yang ada dibawah naungan Bupati (Ps. 112 ayat 2. UU No. 6 tahun 2014). Sehingga secara teknis pengawasan pengelolaan dana desa dilaksanakan oleh Inspektorat Kabupaten dan bertanggungjawab kepada Bupati. Dalam melaksanakan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Inspektorat, KEMENDAGRI mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 700 / 281 / A.I / IJ Tertanggal 22 Desember 2016 sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengawasan dana desa. Kesimpulan Surat Edaran tersebut sebagai berikut: 1) Pengawasan bertujuan untuk tindakan pencegahan/preventif 2) Inspektorat juga menampung aspirasi/keluhan warga 3) Pengawasan oleh inspektorat hanya bersifat pengawasan pasif. 4) Metode yang digunakan adalah metode uji petik sampling. Kelebihan-kelebihan pengawasan oleh inspektorat: 1) Berbentuk lembaga/dinas (Pengawasan fungsional) yang berkompeten dibidang pengawasan dan penilaian khususnya dokumen kinerja. 2) Lebih ditakuti oleh pelaksana pembangunan tingkat desa. 3) Lebih obyektif, sebab sulit untuk diintervensi dan dipengaruhi oleh pelaksana pembangunan. 4) Hasil pengawasan merupakan dokumen resmi yang legal. 179
Kelemahan-kelemahan: 1) Jumlah personil yang kurang memadai jika dibanding dengan jumlah obyek yang harus diawasi. Jumlah pengawas menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengawasan, dengan jumlah pengawas yang proporsional akan memaksimalkan pengawasan. 2) Minimnya pengawasan langsung/aktif oleh personil inspektorat. 3) Metode pengawasan uji petik sampling. Sebab dengan metode ini hanya memberikan gambaran secara keseluruhan. Tanpa harus memeriksa dan meneliti secara komprehensif, sehingga dipastikan ada bagian-bagian tertentu yang tidak terbaca oleh pengawas. Dengan metode ini pengawasan jadi lebih singkat dan sederhana, tapi akurasi/ketepatan pengawasan menjadi tidak tercapai. Pengawasan dengan metode petik sampling hanya dapat dilakukan pada pengawasan formil, dan tidak dapat digunakan pada pengawasan yang bersifat materiil, atau pengawasan bersifat kuantitatif dan tidak tepat jika digunakan pada pengawasan kualitatif. Pengawasan Dana Desa Oleh BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan lembaga yang dibentuk khusus oleh presiden sebagai implementasi teori pengawasan Fungsional, yang bertanggungjawab hasil pengawasan kepada presiden. Dasar hukum pengawasan Dana Desa yang dilaksanakan oleh BPKP berdasarkan Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 dengan tujuan utama Memastikan seluruh Ketentuan dan Kebijakan dalam implementasi UU Desa khususnya keuangan dan pembangunan desa dapat dilaksanakan dengan baik untuk seluruh Tingkatan Pemerintah serta Pemerintah desa dapat melaksanakan siklus pengelolaan keuangan desa secara akuntabel mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Melihat tujuan utama dari peran pengawasan oleh BPKP terhadap dana desa, BPKP berkedudukan sebagai lembaga pengawas internal. Sehingga dalam menjalankan peran pengawasan BPKP sebagai pengawas yang memastikan lembaga pengawas internal yang berada dibawanya sudah bekerja menjalankan pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu pengawalan Keuangan Desa yang dilakukan oleh BPKP sendiri bertujuan untuk memastikan seluruh ketentuan dan kebijakan dalam mengimplementasikan UU Desa khususnya keuangan desa dapat dilaksanakan dengan baik untuk seluruh tingkatan pemerintahan baik tingkat Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa sesuai dengan perannya masing-masing. Khusus untuk tingkat desa, pemerintah desa dapat melaksanakan siklus pengelolaan keuangan desa dengan baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik maka pengawalan desa akan mencapai tujuan yang diharapkan yaitu Good Village Governance dengan indikator, diantaranya sebagai berikut: a. Tata kelola keuangan desa yang baik b. Perencanaan Desa yang partisipatif, terintegrasi dan selaras dengan perencanaan daerah dan nasional c. Berkurangnya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang mengakibatkan permasalahan hukum; 180
d. Mutu pelayanan kepada masyarakat meningkat Pengawasan Oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara di amanatkan oleh UUD 1945 Ps. 23 ayat 5 yang bertugas memeriksa Keuangan Negara, termasuk didalamnya dana desa. Mengingat besarnya dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan ke desa sejak tahun 2015 tersebut diperlukan sebuah lembaga pengawas keuangan diluar (Pengawas Eksternal) pemerintah (eksekutif) yang khusus memberikan perhatian terhadap pengelolaan dan pengawasan dana tersebut, dengan tujuan memaksimalkan penggunaan dana desa untuk kepentingan rakyat desa. Menyikapi kebutuhan tersebut maka Mendagri Tjahyo Kumolo mengajukan permohonan pada BPK agar diadakan audit terhadap dana desa. Sebab selama ini BPK tidak turun langsung melaksanakan pengawasan dana desa, pemeriksaan oleh BPK terhadap dana desa hanya dilaksanakan pada laporan pertanggungjawaban APBN yang telah disusun oleh pemerintah. Mengingat jumlah desa di Indonesia mencapai 74.000 sedangkan BPK berkedudukan di Provinsi, pengawasan yang dilaksanakan oleh BPK menggunakan audit sampling, tidak menyeluruh setiap desa. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebelumnya pemeriksaan hanya dilakukan terhadap daerah yang berpotensi tinggi terhadap penyelewengan dana, seperti Sumatera Utara, Madura dan Papua. Jika dilihat dari kedudukan dan peran BPK dalam pengelolaan keuangan dana desa maka dapat diketahui bahwa BPK berperan sebagai pemeriksa keuangan, bukan sebagai pengawas. Dalam hal pemeriksaan, BPK menggunakan laporan keuangan yang telah dibuat oleh Kepala Desa sebagai pedoman pemeriksaan dan disesuaikan dengan standar pelaporan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dengan kata lain Pemeriksaan oleh BPK hanya bersifat formil atau pengawasan pasif dan bukan pengawasan aktif. Pengawasan pasif lebih mengutamakan kelengkapan dan kesesuaian dengan standar pelaporan yang telah ditetapkan dan data lapangan diperlukan jika ada indikasi penyimpangan dana. Pengawasan Oleh Kepolisian dan Kejaksaan Keikutsertaan Kepolisian dan Kejaksaan dalam proses administrasi pemerintahan khususnya dalam hal keuangan pada dasarnya merupakan hal yang baru, karena pada dasarnya kedua lembaga tersebut bukan administrator tapi penegakan hukum. Peran kedua lembaga negara tersebut dalam pengawasan dana desa dianggap penting untuk melaksanakan tindakan Preventif dan bahkan represif penindakan jika ada penyalahgunaan dana desa. Melihat kedudukan dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan dalam ketatanegaraan Indonesia, sangat strategis jika dijadikan sebagai aparatur Negara bidang pengawasan keuangan, khususnya dana desa. Dengan hadirnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam pengawasan Dana Desa tentunya akan mempengaruhi Aparatur Desa untuk lebih berhatihati dalam mengelola dana desa. Berdasarkan kajian keilmuan hukum administrasi peran kepolisian dan kejaksaan ini dapat dikategorikan sebagai lembaga pengawas eksternal, yaitu lembaga/badan pengawas yang dilaksanakan oleh lembaga diluar pemerintah, yang tugasnya bersifat temporal, independen dan berdasarkan kesepakatan antara lembaga yang berkepentingan dengan kedua lembaga tersebut. Pengawasan yang dilaksanakan oleh kedua lembaga tersebut khususnya kepolisian dikategorikan sebagai pengawasan aktif, atau pengawasan dekat 181
dimana seorang pengawas turun langsung ke lokasi pengawasan, dengan menggunakan data dan melihat fakta. Sehingga seorang pengawas dapat memastikan secara langsung kesesuaian perencanaan yang telah dibuat dengan pelaksanaan rencana tersebut. Mengingat kedekatan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam penegakan hukum maka dapat dipastikan penindakan terhadap penyalahgunaan dana akan lebih efektif. PENUTUP Bertambahnya jumlah pengawasan Dana Desa bukan berarti pengawasan lebih efektif dan efisien, tapi perlu kita perhatikan bagaimana peran dan kinerja setiap lembaga pengawas tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan yaitu: (1) Berdasarkan fungsi dan kedudukannya pengawasan yang dilaksanakan oleh BPD merupakan pengawasan yang paling efektif karena BPD merupakan badan yang paling dekat dekan pengelolaan dana desa dan diberikan wewenang khusus oleh UU selain itu BPD menjalankan pengawasan aktif dan pengawasan pasif, tapi BPD banyak kelemahannya yang harus diperbaiki pada masa yang akan datang seperti pada pembentukan Anggota dengan unsure politik desa, kualitas Individu/person dan perlindungan, (2) Tehnik yang digunakan dalam pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah ujik petik sampling. Dengan teknik tersebut kemungkinan besar banyak data yang tidak terbaca oleh aparatur pengawas internal pemerintah, (3) Kurangnya kemudahan dan perlindungan terhadap masyarakat dalam hal pengawasan dan pelaporan, (4) Pengawasan yang dilaksanakan Oleh BPKP dan BPK hanya pengawasan pasif, dan pengawasan aktif dilakukan jika ada indikasi pelanggaaran, (5) Pengawasan oleh Kepolisian dan Kejaksaan merupakan pengawasan pembantu yang digunakan sebagai pencegahan dan sekaligus penindakan jika ditemukan pelanggaran dalam pengelolaan dana desa. DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, 2012, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika : Jakarta Afifuddin, 2010, Pengantar Administrasi Pembangunan, Bandung, Alfabeta Basuki, 2008, Pengelolaan Keuangan Daerah,Yogyakarta:Kreasi Wacana Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan Bandung Bagir Manan, 2000, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga Legislatif, eksekutif dan yudikatif, Makalah Pada forum Orientasi dan Tatap Muka Tingkat Nasional Kasgoro, Cipanas-Cianjur Diana Halim, 2004, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama Joseph L. Lassie, 1990, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Erlangga Ni matul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Adtya Bakti Subarsono AG, 2013, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka pelajar Soerjono Soekanto, 2002, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo Persada 182
Sudargo Gautama, 1973, Pengantar Tentang negara Hukum, Alumni:Bandung William Dunn, 1994, Publik Policy Analysis, New Jersy Zainuddin Ali, 2016, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Sinar Grafika Tempo, Kamis 16 Agustus Media Indonesia 08 Agustus 2017 183