STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+ TIM SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA

Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

INISIATIF PEMBANGUNAN RENDAH EMISI DI PROVINSI PAPUA

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

BABVI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

STRATEGI IMPLEMENTASI RAD-GRK

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

WG-Tenure. Laporan Evaluasi dan Pendalaman Hasil Assesment Land Tenure KPHP Seruyan Unit XXI Kalimantan Tengah Seruyan Februari 2014

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pertemuan Koordinasi GCF Bali, Juni 2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

SRAP- REDD+ Papua Barat sebagai pendukung utama mi:gasi pengurangan emisi karbon Nasional Sampai Tahun 2020

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

Pembangunan Kehutanan

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 Perencanaan Kinerja

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

Transkripsi:

STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+ TIM SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) PAPUA DALAM IMPLEMENTASI REDD+ TIM SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

DISCLAIMER UNTUK KESELURUHAN SRAP (FINAL 15 Mei 2013) DISCLAIMER Dokumen ini sepenuhnya milik dan karya para pihak yang penyusunannya dimotori oleh tim penulis di Provinsi Papua. Isi dan operasionalisasi dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab provinsi yang bersangkutan dan tidak mencerminkan opini atau posisi Satuan Tugas Nasional (Satgas) REDD+. Dalam proses, Satgas REDD+ melalui Tim Kerja Implementasi Strategi dan Program (TKISP), berperan sebagai fasilitator dengan mendorong proses penyusunan yang memenuhi prinsip partisipasi yang inklusif dan memoderasi substansi untuk memastikan bahwa dokumen memiliki kaitan yang erat sebagai jabaran Strategi Nasional REDD+ kedalam konteks, situasi, kondisi dan dinamika pembangunan provinsi yang bersangkutan. 2 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

Kata Pengantar Gubernur Papua Provinsi Papua dengan luas 317.063 km 2 memiliki kekayaan sumber daya hayati yang sangat besar, dengan luas kawasan lebih kurang 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012). Luas hutan di Provinsi Papua tersebut memiliki keanekaragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang tinggi. Data statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukan bahwa pada periode 2003 2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/tahun) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/tahun). Sampai sekarang belum dapat dieleminir bahwa faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan ini disebabkan oleh alih fungsi hutan atau perambahan hutan secara ilegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan global). Menurut Goddar Institut for space Studies NASA (Badan Antariksa USA) panas rata-rata bumi telah 0,8% sejak tahun 1880 menurut IPCC ll dari 12 tahun terakhir merupakan tahun terpanas sejak tahun 1850 (National Geographic News, 28 Oktober 2010). Dengan naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi seperti ini akan beresiko pada kepunahan tumbuhan dan hewan, yang selanjutnya akan berdampak pada kelangsungan hidup umat manusia. Pemerintah Indonesia melalui UU No. 6 Tahun 1994 telah ikut meratifikasi konvesi perubahan iklim. Dengan dermikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut yang meliputi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan pencapaian tujuan konvensi tersebut. Dalam Pertemuan-pertemuan Antar Negara (Conference Of Parties) selanjutnya antara lain dalam COP 13 di Bali tahun 2007, disepakati bahwa negara-negara maju berkewajiban membantu pendanaan bagi negara-negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kacanya. Karena pentingnya upaya-upaya mitigasi GRK ini, maka dalam pertemuan COP 15 di Kopenhagen, Pemerintah Indonesia membuat komitmen untuk mengurangi tingkat Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia pada tahun 2020, sebesar 26% dengan sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% dengan bantuan pendanaan dari luar negeri. Komitmen ini melahirkan upaya-upaya Pemerintah Indonesia di Pusat maupun di Daerah yang didukung dengan lahirnya Peraturan Pemerintah RI No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca, yang kemudian mendorong dibuatnya Rencana Aksi Daerah untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK) serta Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP REDD+). Salah satu upaya yang sangat signikan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca adalah dengan manajemen pemanfaatan hutan dan lahan yang mencegah terjadinya degradasi dan deforestasi hutan, sekaligus menambah penyerapan CO2 dengan penanaman pohon. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 3

Sejalan dengan hal tersebut Gubernur Provinsi Papua melalui Visi, Misi Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera menterjemahkannya dengan mencanangkan Papua Menanam Untuk Paru-Paru Dunia pada tanggal 5 Juni 2013 dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup sedunia tahun 2013. Untuk memastikan upaya-upaya tersebut, maka disusunlah suatu buku Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam implementasi REDD+ di Papua, yang diharapkan menjadi bagian penting dari RTRW Provinsi Papua. Buku ini merupakan bentuk kongkrit komitmen Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat di Papua untuk disumbangkan kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sebagai bagian integral dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional REDD+. Apresiasi yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam menyelesaikan buku ini. Buku ini masih perlu disempurnakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang, semoga bermanfaat bagi para pembaca. 4 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

RINGKASAN EKSEKUTIF Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006-2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat dieliminir secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Provinsi Papua sebagai bagian dari Provinsi-Provinsi berhutan di Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam mengawal isu pengurangan emisi ini. Selama beberapa tahun terakhir melalui satuan tugas pembangunan ekonomi rendah karbon. Ide pembentukan pembangunan ekonomi rendah karbon ini kedepan diharapkan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan cerdas dan bijaksana bagi para pengambil kebijakan di Papua dalam mengawal dan menjalankan roda pembangunan ekonomi rendah karbon. Instrumeninstrumen kebijakan dan kelembagaan di tingkat daerah memang perlu dipersiapkan sejak dini untuk meramu dan mewujudkan pemikiran-pemikiran ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ (SRAP-REDD+) ini diharapkan menjadi sebuah langkah maju dalam rangka mempersiapkan pembangunan Papua yang bermanfaat dan berkelanjutan baik Ekonomi, Sosial maupun Ekologi. Strategi dan rencana aksi daerah ini dalam proses penyusunannya mengandung prinsip dinamis dan fleksibel, mencerminkan bahwa (a) berbagai hal mengenai bentuk dan mekanisme tata kelola REDD+ global di tingkat internasional masih memunculkan ketidakpastian; (b) di tingkat nasional, strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun, bentuk struktur dan tupoksi belum terumuskan dengan jelas; (c) Data dan informasi yang dibutuhkan untuk penyusunan perencanaan yang mantap belum memadai dan tersebar diberbagai sektor di Provinsi Papua. Dokumen Strategi Nasional REDD+ mengamanatkan bahwa setiap rencana dan strategi di tingkat daerah yang disusun diharapkan menjadi landasan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di daerah serta mencapai target-target penurunan emisi nasional. Secara khusus Rencana dan Strategi Aksi Provinsi REDD + Provinsi Papua dapat memberikan jaminan bahwa kegiatan mitigasi mampu mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan serta memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi GRK nasional. Rumusan Visi SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah: Tata Kelola hutan dan lahan mendukung pembangunan berkelanjutan yang adil dan merata di Provinsi Papua tahun 2020, yang dijabarkan dalam misi berikut: (1) Memastikan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan hutan dan lahan kearah yang lebih baik, (2) Memantapkan Fungsi Lembaga Pengelolaan Hutan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 5

yang efektif dan efisien, (3) Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Hutan dan lahan yang rendah karbon, (4) Mengoptimalkan penegakan hukum dan kelembagaan sektor hutan dan lahan, (5) Memastikan peran masyarakat adat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan hutan dan lahan. Maksud disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Provinsi Papua adalah sebagai acuan resmi pemerintah, masyarakat dan stakeholder dalam implementasi skema REDD+ untuk penentuan prioritas program dan aksi mitigasi pembangunan rendah karbon. Tujuan umum dokumen SRAP REDD+ Provinsi Papua adalah mengurangi degradasi dan deforestasi akibat penggunaan hutan dan lahan. Isu-isu strategis terkait deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi Papua yang menjadi perhatian dan landasan berfikir dalam penyusunan SRAP-REDD+ adalah: (1) Prosedur Alih Fungsi Kawasan (pemukiman, perkebunan, pinjam pakai kawasan, dan kebutuhan kawasan strategis daerah merupakan fenomena perluasan Areal Penggunaan Lain (APL), (2) Percepatan penyelesaian RTRW Kabupaten/Kota sebagai dokumen legal perencanaan pembangunan daerah berbasis lahan, (3) Illegal Logging dan perambahan hutan masih terjadi, (4) Hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan/lahan belum terjamin secara legal formal, (5) Berbagai sektor pembangunan cenderung memarjinalkan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan lahan, (6) Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antar sektor baik provinsi, kabupaten/kota dan nasional belum optimal, (7) Wewenang dan tanggung jawab perijinan, rekomendasi perijinan masih tumpang tindih antara SKPD daerah dan antar kementerian, (8) Konservasi Keanekaragaman Hayati belum dikelola secara optimal. Sedangkan isu-isu yang terkait dengan kebijakan adalah: (1) Tidak konsistennya ketentuan dan peraturan di bidang Kehutanan dari level kebijakan sampai pada level pelaksanaannya, termasuk inkonsistensi antara kebijakan pusat dan daerah, (2) Belum selesainya pelaksanaan tata batas luar dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Papua, (3) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH; KPHK, KPHL dan KPHP) sebagai unit manajemen di tingkat tapak belum seluruhnya terbangun, (4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi sering menimbulkan konflik sosial, (5) Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta pengamanan kawasan konservasi belum menunjukkan keberhasilan yang siginifikan, terbukti dengan adanya kasus pencurian kayu dan berkurangnya kawasan hutan, (6) Belum maksimalnya pelibatan secara penuh masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam kegiatan/program kehutanan, terutama untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi, (7) Pemberian akses dan distribusi manfaat dari pengelolaan dari SDA yang melimpah belum menghasilkan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat Provinsi Papua, (8) Terbatasnya ketersediaan Sumber Daya teknis kehutanan, sarana prasarana dan dana, (9) Tumpang tindih kewenangan (mengacu pada UU No 41 dan UU Otonomi khusus nomor 21 tahun 2001), (10) Evoria masyarakat untuk melakukan pemekaran kabupaten dan kota terus meningkat. Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur (measurabel), dilaporkan (Reportable), dan diverifikasi (Verifiable). Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan biaya (cost effective) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, yaitu: (1) Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use); (2) Kombinasi metode inventarisasi penginderaan jauh (remote-sensing inventory) & didasarkan pengamatan lapangan (groundbased inventory); (3) Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools); dan (4) Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses oleh publik. 6 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

Rencana aksi mitigasi Provinsi Papua dalam implementasi REDD+ terbagi dalam 2 kelompok aksi yaitu: (a) peningkatan serapan karbon hutan, mencakup aksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL); Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR); Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm); Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI); dan Pelaksanaan Restorasi Ekosistem Hutan (REH); dan (b) Stabilisasi simpanan karbon hutan, mencakup aksi: Pencegahan perambahan hutan dalam KSA dan HL; Pengurangan konversi hutan menjadi APL; Penurunan luas areal RKT IUPHHK; Implementasi Reduced Impact Logging (RIL)/PHPL dan SVLK; dan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat Adat (PHL-BMA) Strategi Hasil dan perhitungan Rencana Aksi berdasarkan Provinsi (SRAP) Skenario Papua aksi mitigasi dalam Implementasi penurunan emisi REDD+ dan peningkatan serapan karbon hutan dan lahan untuk REDD+ Provinsi Papua jika dibandingkan dengan Reference Emission Level (REL) seperti dideskripsikan dalam tabel gambar berikut. Kontribusi Penurunan Emisi No Aksi Mitigasi Skenario Pesimis Kontribusi Penurunan Skenario Emisi Optimis No Aksi Mitigasi ton CO2-Eq Skenario Pesimis % ton CO2-Eq Skenario Optimis % I Stabilisasi Simpanan ton CO2-Eq Karbon Hutan % ton CO2-Eq % I 1 Pencegahan Perambahan Hutan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan 36,502,447 4.341 182,512,237 21.706 1 Pencegahan Perambahan Hutan 36,502,447 4.341 182,512,237 21.706 2 Implementasi RIL 28,573,438 3.398 142,867,188 16.991 2 Implementasi RIL 28,573,438 3.398 142,867,188 16.991 3 Pengurangan Konversi Hutan 20,889,432 2.484 104,447,161 12.422 3 Pengurangan Konversi Hutan 20,889,432 2.484 104,447,161 12.422 4 Penurunan luas areal RKT IUPHHK 17,143,951 2.039 85,719,757 10.195 4 Penurunan luas areal RKT IUPHHK 17,143,951 2.039 85,719,757 10.195 5 PHBMA 617,520 0.073 3,087,600 0.367 5 PHBMA 617,520 0.073 3,087,600 0.367 Sub Total I 103,726,788 12.336 518,633,943 61.681 Sub Total I 103,726,788 12.336 518,633,943 61.681 II II Peningkatan Serapan Karbon Hutan Peningkatan Serapan Karbon Hutan 1 1 Pembangunan HTI Pembangunan HTI 2,581,568 2,581,568 0.307 0.307 12,907,840 12,907,840 1.535 1.535 2 2 Rehabilitasi Rehabilitasi Hutan Hutan dan dan Lahan Lahan 1,290,432 1,290,432 0.153 0.153 6,452,160 6,452,160 0.767 0.767 3 3 Pelaksanaan HKm HKm 1,137,503 0.135 0.135 5,687,517 0.676 0.676 4 4 Restorasi Ekosistem Ekosistem Hutan Hutan 863,960 0.103 4,319,800 0.514 5 5 Hutan Tanaman Rakyat Rakyat 860,523 0.102 4,302,613 0.512 Sub Total II II 6,733,986 0.801 33,669,930 4.004 JUMLAH 110,460,774.00 13.137 552,303,873.00 65.686 1: HISTORICAL 2: FORWARD LOOKING 3: Skenario Pesimis 4: Skenario Optimis 1: 2: 3: 4: 900000000 2 3 1: 2: 3: 4: 450000000 1 2 3 1 1 2 3 4 4 4 1: 2: 3: 4: Page 1 4 3 2 1 0 2006.00 2009.50 2013.00 2016.50 2020.00 Years 6:50 PM Wed, Apr 24, 2013 Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua di atas, Strategi target dan penurunan Rencana Aksi emisi Provinsi sampai (SRAP) pada Papua tahun dalam Implementasi 2020 mencapai REDD+ 13,137% 7

Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+ Provinsi Papua di atas, target penurunan emisi sampai pada tahun 2020 mencapai 13,137% pada skenario pesimis dan 65,686% pada skenario optimis dengan asumsi bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen penuh seluruh stakeholders, terimplementasi secara konsisten sesuai skenario dan kondisi pemungkin dapat dikendalikan dan diintegrasikan dengan baik. 8 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

KATA PENGANTAR Atas berkat karya dan karsa Tuhan Yang Maha Kuasa, karsa yang dianugerahkan kepada kita semua sehingga dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua mampu diselesaikan sesuai dengan target waktu dan substansi yang disyaratkan. Pujian dan syukur yang patut kita naikan kepada Sang Pencipta kita. Dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua disusun secara partisipatif melibatkan berbagai Stakeholders di tingkat Provinsi dan kebupaten serta diasistensi oleh Tim SRANAS REDD+ sebagai Tim Pengarah. Proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dan hasil dari setiap tahapan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen tahap selanjutnya. Dengan proses demikian diharapkan substansi dokumen bersifat dinamis dan fleksibel. Sifat dinamis dan fleksibilitas dokumen demikian dimungkinkan karena : (1) Bentuk, tata kelola, dan mekanisme REDD+ di tingkat Internasional belum dapat dipastikan; (2) strategi dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun dan struktur kelembagaan serta tugas pokok dan fungsinya belum jelas; dan (3) data dan informasi yang digunakan dalam menyusun dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua masih terbatas, sehingga memerlukan klarifikasi Stakeholders. Berbagai kendala yang dihadapi dalam proses penyusunan dokumen ini bukan berarti bahwa substansi dari dokumen ini belum dapat digunakan sebagai arah dan pedoman dalam mengimplementasikan berbagai strategi aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan serapan karbon hutan dan lahan di Provinsi ini. Strategi aksi mitigasi dan skenario mitigasi yang direncanakan telah dapat diimplementasikan dalam bentuk pilot project disetiap tapak prioritas terpilih. Untuk itu, dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini digunakan sebagai ramburambu untuk memantapkan implementasi berbagai strategi aksi mitigasi sektor kehutanan dan lahan, sehingga pada saatnya nanti dapat diperoleh strategi aksi mitigasi yang mantap dengan kelembagaan tatakelola, MRV dan skema pendanaan REDD+ yang lebih sesuai dengan kebutuhan Lokal, Regional, Nasional, dan Internasional. Substansi Dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat terdiri atas (1) Pendahuluan, (2) Gambaran Umum Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua Barat, (3) Visi-Misi, Isu dan Strategi Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua, (4) Landasan Spesifik SRAP-REDD+ Provinsi Papua, (5) Pendekatan Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring (MRV), (6) Reference Emission Level (REL) dan Aksi Mitigasi Provinsi Papua, (7) Penutup. Tersusunnya dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak, baik dari Lembaga Pemerintah, Lembaga non Pemerintah, Akademisi dan Masyarakat Adat. Atas segala kontribusi waktu, tenaga, pikiran dan pendanaan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, kami sampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 9

Akhirnya kami sangat menyadari masih banyak kekurangan substansi dan sesuai dengan sifat kedinamisan dan fleksibilitas dari dokumen ini, maka saran, kritik serta ide kreatif dari semua pihak demi penyempurnaan masih sangat dibutuhkan. Semoga dokumen ini dapat bermanfaat dalam mendukung seluruh program pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi Papua. Jayapura, April 2013 Penyusun 10 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

Daftar Isi Kata Pengantar Gubernur Papua... 3 RINGKASAN EKSEKUTIF... 5 KATA PENGANTAR (Penulis)... 9 DAFTAR ISI... 11 DAFTAR TABEL... 13 DAFTAR GAMBAR... 14 BAB I. PENDAHULUAN... 17 1.1.Latar Belakang... 17 1.2.Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK... 18 1.3.Dasar Hukum... 19 1.4.Sistematika Penulisan... 20 1.5.Metodologi Pengumpulan data... 21 1.6.Proses Penyusunan Dokumen... 21 BAB II. KONDISI UMUM DAN PERMASALAHAN KEHUTANAN DI PROVINSI PAPUA... 23 2.1. Kondisi Kawasan Hutan Provinsi Papua... 23 2.2. Deforestasi dan Degradasi Hutan di Provinsi Papua... 26 2.3. Kondisi Demografi dan Dampaknya Terhadap Hutan Papua... 32 2.4. Permasalahan Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan di Papua... 38 BAB III. VISI, MISI, ISU DAN STRATEGI IMPLEMENTASI REDD+ DI PROVINSI PAPUA... 41 3.1. Visi dan Misi... 41 3.2. Maksud dan Tujuan... 41 3.3. Isu dan Strategi REDD+... 42 BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA... 45 4.1. Landasan Pikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua... 45 4.2. Identifikasi Akar Masalah dan Isu Utama... 46 4.3. Prioritas Implementasi SRAP REDD+ Provinsi Papua... 47 4.4. Kesiapan Provinsi Papua dalam Implementasi REDD+... 48 BAB V. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING... 51 BAB VI. REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DAN AKSI MITIGASI PROVINSI PAPUA... 61 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua... 61 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 11

6.2. Rencana Aksi Mitigasi di Provinsi Papua... 67 6.3. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)... 96 BAB VII. PENUTUP... 101 DAFTAR PUSTAKA... 102 DAFTAR SINGKATAN... 103 TERMINOLOGI... 104 12 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

Daftar Gambar & Tabel Daftar Tabel Tabel 2.1. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Provinsi Papua... 24 Tabel 2.2. Sebaran luas lahan kritis menurut fungsi kawasan hutan dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua... 27 Tabel 2.3. Sebaran luas lahan kritis menurut kabupaten/kota dan tingkat kekritisan di Provinsi Papua... 28 Tabel 2.4. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua... 29 Tabel 2.5. Kawasan konservasi di Provinsi Papua yang mengalami deforestasi dan degradasi selama periode tahun 2006-2011... 29 Tabel 2.6. Luas deforestasi, degradasi dan perubahan tutupan lahan lain di Provinsi Papua sebagai sumber emisi pada setiap fungsi kawasan... 32 Tabel 2.7. Jumlah penduduk asli papua dan non papua di Provinsi Papua berdasarkan kabupaten/kota pada Tahun 2010... 34 Tabel 2.8. Sebaran kampung berdasarkan kawasan hutan dan tipe hutan... 35 Tabel 2.9. Luas areal pemukiman transmigrasi yang telah dimanfaatkan dan sisa areal yang belum dimanfaatkan... 37 Tabel 5.1. Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC Guideline... 54 Tabel 5.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor kehutanan menurut IPCC Guideline 2006.... 56 Tabel 5.3. Total Stok Karbon (Above Ground Biomass) Provinsi Papua periode 2006-2021... 57 Tabel 5.4. Tujuan, output, outcome dan indikator REDD+ pada unit pengelolaan hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012)... 58 Tabel 6.1. Perbandingan Net emisi Provinsi Papua periode tahun 2006-2021 berdasarkan tipe kawasan hutan... 62 Tabel 6.2. Net emisi (ton CO2-Eq) di Provinsi Papua berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi... 63 Tabel 6.3. Persentase (%) Net emisi (ton CO2-Eq) berdasarkan kawasan hutan dan sumber emisi terhadap Net emisi total di Provinsi Papua... 64 Tabel 6.4. Rata-rata perubahan tutupan lahan tiap tahun di Provinsi Papua selama periode tahun 2006-2011... 65 Tabel 6.5. Ranking 10 besar penyebab deforestasi di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011... 65 Tabel 6.6. Ranking 10 besar penyebab degradasi hutan di Provinsi Papua pada periode tahun 2006-2011... 66 Tabel 6.7. Peningkatan pengurangan emisi gas CO2 berdasarkan kelompok aksi mitigasi di Provinsi Papua... 68 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 13

Tabel 6.8. Kontribusi aksi mitigasi terhadap penurunan net emisi kumulatif Provinsi Papua... 69 Tabel 6.9. Aktor dan perannya dalam kegiatan RHL... 70 Tabel 6.10. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Provinsi Papua... 71 Tabel 6.11. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTR... 72 Tabel 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua... 73 Tabel 6.13. Aktor dan perannya dalam pembangunan HKm... 75 Tabel 6.14. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua... 76 Tabel 6.15. Aktor dan perannya dalam pembangunan HTI... 76 Tabel 6.16. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua... 77 Tabel 6.17. Aktor dan perannya dalam kegiatan REH... 78 Tabel 6.18. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua... 79 Tabel 6.19. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai penurunan emisi gas CO2, semua aktor yang berperan dalam pencegahan... 81 Tabel 6.20. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pengurangan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemegang IUPHHK di Provinsi Papua... 84 Tabel 6.21. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua... 86 Tabel 6.22.Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua... 87 Tabel 6.23. Aktor dan perannya dalam PHBMA (Hutan Desa)... 88 Tabel 6.24. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif (ton CO2-eq) pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua... 89 Tabel 6.25. Matriks rencana aksi Provinsi Papua dalam rangka implementasi REDD+... 90 Daftar Gambar Gambar 1.1. Tahapan proses penyusunan dokumen SRAP-REDD+ di Provinsi Papua... 22 Gambar 2.1. Peta usulan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua... 26 Gambar 2.2. Kondisi lahan kritis menurut tingkat kekritisan di Provinsi Papua, 2010... 27 Gambar 2.3. Kegiatan Penebangan liar dan bentuk kerusakan hutan yang terjadi di Cagar Alam Biak Utara pada ruas jalan Biak-Sorendiweri, (Foto oleh :Alfred Antoh, Desember 2011)... 30 Gambar 2.4. Kerusakan Hutan Akibat Penabangan/Pembukaan Lahan di Taman Nasional Wasur (Foto : Alfred Antoh, Oktober 2012)... 30 14 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

Gambar 2.5. Pembangunan Jalan dan Jembatan di Sarmi (Foto :Alfred Antoh, Oktober 2012)... 31 Gambar 2.6. Distribusi Penduduk Papua berdasarkan tingkat kepadatan (BPS Prov Papua, 2010)... 33 Gambar 2.7. Tingkat Kepadatan penduduk Provinsi Papua (BPS Papua, 2010)... 33 Gambar 2.8. Laju Pertumbuhan Penduduk Papua tahun 2000-2010 (BPS Papua, 2010)... 34 Gambar 2.9. Peta sebaran kampung menurut kawasan hutan dan perairan di Provinsi Papua (RTRW Provinsi Papua, 2012)... 36 Gambar 2.10. Potret pemicu deforestasi dan degradasi hutan di Papua: Aktivitas HPH, Pembangunan sarana fisik pemerintahan bangungan kantor dan pembangunan jalan untuk menghubungkan kampung-kampung di kabupaten pemekaran, Mamberamo Raya... 39 Gambar 5.1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011)... 52 Gambar 5.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistem MRV untuk penerapan REDD+... 53 Gambar 6.1. Reference Emission Level (REL) Provinsi Papua... 61 Gambar 6.2. Kontribusi aksi mitigasi Provinsi Papua tehadap penurunan emisi... 68 Gambar 6.3. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Papua... 71 Gambar 6.4. Perbandingan penurunan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Papua... 73 Gambar 6.5. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Papua... 75 Gambar 6.6. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Papua... 77 Gambar 6.7. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Restorasi Ekosistem Hutan (REH) di Provinsi Papua... 79 Gambar 6.8. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan perambahan hutan di Provinsi Papua... 81 Gambar 6.9. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHK di Provinsi Papua... 83 Gambar 6.10. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi implementasi Reduced Impact logging (RIL) di Provinsi Papua... 84 Gambar 6.11. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi pencegahan konversi hutan di Provinsi Papua... 87 Gambar 6.12. Perbandingan penurunan Net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat (PHBMA) di Provinsi Papua... 89 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 15

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua tahun 2012 menunjukkan bahwa pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi hutan seluas 68.695 ha (17.174 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 594.661 ha (148.665 ha/thn). Sedangkan pada periode 2006-2009 terjadi deforestasi hutan seluas 728.416 ha (182.104 ha/thn) dan degradasi hutan seluas 645.684 ha (161.421 ha/ thn). Sekalipun proses deforestasi dan degradasi hutan di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun, namun faktor penyebab utama deforestasi hutan belum dapat diidentifikasi secara pasti apakah disebabkan oleh alih fungsi hutan atau oleh perambahan hutan secara illegal. Deforestasi dan degradasi hutan secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak lanjut terhadap perubahan iklim (pemanasan) global yang saat ini lagi hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Pemanasan global terjadi sebagai akibat peningkatan suhu bumi yang mencapai 0.6º C dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global ini menjadi pemicu perubahan iklim dunia yang ekstrim, sehingga berdampak lanjut terhadap perubahan menyeluruh terhadap ekosistem dunia. Faktor utama yang menyebabkan pemanasan global adalah peningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan N2O. Ketiga faktor GRK tersebut menyebabkan emisi CO2 di atmosfir meningkat dua kali lipat dari 1400 juta ton/ tahun menjadi 2900 ton/tahun (Betha L. et al., 2001). Meningkatnya emisi CO2 di atmosfir menyebabkan terbentuknya lapisan kedap panas, sehingga suhu permukaan bumi meningkat tajam kembali dan tidak dapat dibaurkan ke atmosfer. Peran hutan hutan sebagai pengendali iklim mikro dan sekaligus sebagai penyangga kehidupan belum memperoleh perhatian yang memadai dari aspek finansial baik di dalam mekanisme penganggaran yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam sistem pasar terhadap produk dan jasa hutan. Berdasarkan Refence Emission Level (REL) untuk kategori Provinsi, Provinsi Papua bersama dengan Provinsi Kalimantan Tengah diprediksi memiliki stok (cadangan) karbon lebih dari 1.000 Mega Ton hingga tahun 2020. Pada sisi lain, kedua provinsi ini juga diduga memiliki tingkat emisi carbon yang cukup besar jika laju degradasi dan deforestasi hutan tidak mampu dikendalikan sampai pada tingkat minimum (Budiarto, 2009). Konsep REDD (Reduced Emission From Deforestation and Degradation) dimulai ketika konsep Clean Development Mechanism (CDM) diluncurkan sebagai salah satu produk Protokol dinilai belum mampu menjawab tantangan negara-negara berkembang atas kepemilikan hutan tropis terbesar di dunia. Kemudian dimunculkan konsep REDD pada pertemuan COP (Conference of Parties) 13 di Bali yang dinilai lebih lebih aplikatif. REDD adalah proposal reduksi emisi gas rumah kaca melalui upaya mencegahan terhadap deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Ide dasarnya sederhana; hutan adalah sarana paling efektif menyerap emisi GRK dengan cara mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi. Negara-negara maju terikat kewajiban Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 17

menurunkan emisinya dengan cara membantu pendanaan bagi Negara berkembang yang mampu mengurangi laju deforetasi dan degradasi hutan. Oleh sebab itu Pemerintah melalui President RI berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan menggunakan pendanaan pemerintah dan 41% dengan bantuan dana Internasional. Penurunan emisi tersebut lebih dititikberatkan pada perubahan tutupan lahan yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Selain itu dilakukan upaya peningkatan kemampuan hutan untuk menyerap CO2 di atmosfer melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Komitmen ini melahirkan usulan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik ditingkat pusat maupun di tingkat Provinsi. Lahirnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca mendorong lahirnya Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK yang dibentuk di Provinsi. Selanjutnya, Satuan Tugas Nasional REDD+ dan UKP4 melakukan konsolidasi membangun komitmen bahwa 11 provinsi prioritas perlu menyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ untuk mengurangi emisi yang diakibatkan oleh Deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di wilayah provinsi. 1.2. Posisi SRAP REDD+ dalam RAN GRK Deforestasi terjadi sebagai akibat penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak terkendali. Dilakukan dengan cara menebang, membakar, atau mengalihkan fungsi hutan menjadi bukan hutan (seperti lahan pertanian, perkebunan, peternakan, permukiman, dan pertambangan). Degradasi hutan merupakan penurunan kualitas dan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Degradasi ditandai dengan menurunnya kualitas hutan sehingga tidak sesuai lagi dengan fungsi peruntukannya. Akibat langsung deforestasi dan degradasi hutan adalah hilangnya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam hutan, berupa punahnya satwa maupun tanaman yang berkhasiat yang dibutuhkan oleh manusia. Deforestasi dan degradasi hutan juga dapat menghilangkan nilai jasa hutan seperti pengatur tata air, pencegah bahaya banjir dan erosi, pengaturan iklim mikro, penyedia udara bersih serta penyerapan carbon. Dampak kumulatif terburuk dari kerusakan hutan adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrim. Dampak ini telah dirasakan saat ini dimana cuaca berubah secara ekstrim dan perubahan cuaca ini telah mengakibatkan perubahan musim yang tidak teratur. Cuaca dan musim yang tidak teratur ini akan berdampak terhadap perkembangan populasi hama tanaman pertanian yang tidak terkendali yang disertai dengan perubahan sifat resistensi yang tinggi terhadap upaya pemberatasan hama secara kimiawi. Meningkatnya intensitas kegiatan manusia setelah era pra-industri telah mempercepat laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca (GRK) utama yang menyumbang sekitar 77% dari total emisi gas rumah kaca di dunia. Sisanya berasal dari gas metan (14%) dan nitrogen oksida (8%), sebagian kecil (1%) berasal dari gas-gas yang mengandung floor (SF6, PFCS, DAN HFCS). Sejak awal revolusi industri, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat sekitar 35 %. Sumber emisi utama ialah berasal dari pembakaran bahan bakar fosil kemudian penggunaan lahan, alih guna lahan dan hutan (Land Use, Land Use and Change Forestry, LULUCF) yaitu masing-masing sebesar 67% dan 33%. Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian secara sistematis oleh semua pihak terutama oleh instansi teknis terkait sektor hutan, lahan gambut dan pertanian, maka laju peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer akan berlangsung dengan cepat dengan konsentrasi yang tinggi. Tingginya konsentrasi GRK di atmosfir akan menghambat 18 Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+

rambahan panas yang bersumber dari permukaan bumi (biosfer). Akibatnya suhu permukaan bumi meningkat dan akhirnya mengganggu iklim secara global, dan inilah yang dikenal dengan efek rumah kaca (pemanasan global). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) adalah sebuah pilihan pembangunan ekonomi yang strategis bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan komitmen Pemerintah RI untuk melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan mentransisikan perekonomian Indonesia menjadi ekonomi rendah karbon atau ekonomi hijau. Program REDD+ adalah bagian dari upaya pengurangan emisi GRK dari sektor LULUCF yang mencakup keseluruhan akitifitas pembangunan ekonomi berbasis lahan. Sektor ini menyumbang sekitar 75 % dari total emisi GRK Indonesia. Disamping biaya penurunan emisi dari sektor ini relatif murah dibanding sektor-sektor lain. Pada sisi lain, Indonesia memiliki urgensi untuk menurunkan emisi dari LULUCF, karena Indonesia adalah Negara berkembang yang pembangunan ekonominya berbasiskan sumberdaya alam dalam arti luas. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergeseran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai dirasakan. REDD+ merupakan sebuah pilihan strategi pembangunan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia, terutama provinsi Papua, memiliki potensi hutan yang relative masih baik sebagai modal dasar untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon. Emisi dari LULUCF Indonesia bersumber pada deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Karena itu SRAP REDD+ diletakkan pada upaya pembenahan tata kelola sektor kehutanan dan lahan gambut dengan tujuan utama mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Sebagai negara berkembang dengan tutupan hutan tropis seluas 136,8 juta Ha (RKTN, 2010), Indonesia tidak hanya dapat memperoleh manfaat finansial dari skema REDD+ tetapi juga dapat menggunakan kesempatan ini untuk membenahi tata ruang dan tata kelola hutan dan lahan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pemerintah sebagai pemangku kawasan yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan tata kelola, penyusunan regulasi dan memiliki sumberdaya untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan yang lain mempersiapkan dan menciptakan prakondisi yang memadai agar program-program dapat diimplementasikan secara efektif. 1.3. Dasar Hukum Landasan hukum dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ di Provinsi Papua sebagai berikut: 1. Landasan konstitusional Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang sudah diamandemen; 2. Landasan Operasional, terdiri dari : a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); b. Undang undang 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan c. Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus Nomor 21 Tahun tentang Pemberlakuan Daerah khusus Provinsi Papua; Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua dalam Implementasi REDD+ 19