Kerangka acuan kerja Urban Farming sebagai Solusi Kehidupan Hijau Perkotaan 1. Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Dunia, tidak terkecuali Indonesia tengah menghadapai dua masalah yang sangat fundamental dan cenderung kritis terkait dengan keberlanjutan lingkungan manusia, yakni kelangkaan pangan dan krisis air. Pertama, permasalahan besar namun tak nampak adalah permasalah keberlanjutan dan ketahanan pangan nasional dan dunia. Secara implisit, permalahan keberlanjutan pangan nampak tidak terlihat dan cenderung masih dalam kondisi stabil dan aman. Namun apabila dikaji dan ditelaah lebih mendalam, Indonesia tengah berada di ujung jurang kelangkaan pangan nasional. Kelangkaan pangan ini dapat dilihat dari perbandingan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekstensifikasi lahan pangan. Penduduk Indonesia tahun 2035 diperkirakan 440 juta jiwa, atau sekitar 1,3 1,5 % pertambahan penduduk per tahun. Tingkat produktivitas lahan sawah mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan, jika tidak diimbangi dengan teknologi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah setiap tahun sekitar 40.000 ha. Kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor semakin ketat, dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dahsyat selama 20 tahun terakhir berdasarkan RTRW Kab/ Kota seluas 3,09 juta Ha dari 7,8 juta Ha lahan sawah (BPS, 2010). Secara terperinci, luas dan rencana alih fungsi lahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pulau Tabel 1. Luas Sawah dan Rencana Alih Fungsi Menurut RTRWKK (BPN, 2010) Luas Sawah NonIrigasi Irigasi Dirubah (RTRW) Ha % Ha Ha % Ha % Sumatera 2.036.690 23,9 414.780 1.621.910 22,2 710.230 43,8 Jawa Bali 3.933.370 44,2 542.120 3.391.250 44,4 1.669.600 49,2 Kalimantan 1.253.130 14,1 375.200 877.930 12,0 58.360 6,7 Sulawesi 982.410 11,0 124.270 858.140 11,7 414.290 48,3 NT & Maluku 566.100 6,4 67.050 499.050 6,9 180.060 36,1 4
Papua 131.520 1,5 65.060 66.460 0,9 66.460 100,0 Total 8.903.220 100,0 1.588.480 7.314.740 82,2 3.099.000 42,4 Sumber: Kementerian Pertanian, 2013 Tingkat konversi lahan ini sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan, berdasarkan Kementan (2012), pola konversi lahan sebanyak 58,7% berubah menjadi lahan permukiman. Konversi lahan pertanian ini merupakan konsekuensi logis dari bertumbuhnya jumlah penduduk dari tahun ketahun. Sama halnya dengan kondisi konversi lahan di kota bogor yang berada pada level rata-rata 2,4 % (Dinas Pertanian Kota Bogor, 2012). Tingginya permintaan terhadap lahan untuk keperluan permukiman juga telah menjadi salah satu alasan tingginya konversi lahan. Rentang 1992 2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 ha, dan periode 2002 2006 melonjak jadi 145.000 ha per tahun. Rentang 2007 2010, di Jawa saja laju konversi rata-rata 200.000 ha per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1 juta ha,tapi kini hanya tinggal 3,5 juta ha. Lahan pertanian terancam punah.tanpa usaha mencegah (moratorium) konversi lahan, terutama di Jawa, ketahanan pangan bakal mengalami rongrongan serius. Apabila diprediksi, dengan laju konversi lahan di atas tanpa kebijakan moratorium alih fungsi lahan pertanian, maka 25 tahun ke depan Pulau Jawa akan kehilangan lahan pertaniannya. Secara ilustratif, dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 1. Laju Konversi Lahan Pertanian di Pulau Jawa Tanpa Kebijakan Moratorium Alih Fungsi Lahan Pertanian Sumber: Kementerian Pertanian, 2014 5
Selama ini sekitar 56 60% produksi padi kita masih bertumpu pada sawahsawah yang subur di Jawa.Dengan dukungan irigasi teknis,sawah di Jawa memiliki produktivitas yang tinggi (51,87 kuintal/ha) ketimbang sawah di luar Jawa (39,43 kuintal/ha), sehingga menghasilkan surplus beras.selama ini, pencetakan sawah baru yang dilakukan pemerintah rata-rata hanya 37.000 45.000 ha/tahun. Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras tidak akan terjadi. Rawan pangan menjadi ancaman di masa yang akan datang. Pada konteks lokal lainnya, tingginya populasi area Urban termasuk wilayah Jakarta dan kota satelitnya (Jabodetabekpunjur) memberikan permasalahan baru dalam hal pasokan makanan. Tingginya biaya transportasi, emisi karbondioksida yang tinggi akibat perjalanan yang jauh telah menyebabkan kerugian, baik dari sudut pandang perspektif ekonomi maupun lingkungan hidup. Selain itu, tata letak metropolis dan pertimbangan planologi yang melibatkan konsep green building dan green environment menjadi permasalahan tersendiri di area urban. Tingkat polusi udara yang tinggi mengakibatkan kualitas kesehatan dan sanitasi secara keseluruhan ikut memburuk. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI 2011, tercatat bahwa 2/3 penduduk Jakarta rentan terkena penyakit respiratory dan penyakit turunannya termasuk stroke (Kemenkes, 2010) Untuk menghadapi problem ini, dibutuhkan perspektif baru mengenai cara kita dalam menghasilkan makanan yang selama ini menganut sistem horizontal landscape yang menutupi permukaan bumi. Teknologi saat ini telah memungkinkan kita untuk mendirikan bangunan tinggi secara vertikal. Dalam rangka efisiensi lahan dan jarak, konsep bertani di gedung pencakar langit adalah gagasan futuristik yang akan menjadi penyambung peradaban manusia di masa yang akan datang. Fenomena konversi lahan menjadi permukiman ini beririsan langsung dengan permasalahan kedua, yakni krisis air. Krisis air ini disebabkan oleh menurunnya ruang terbuka hijau tempan resapan air hujan. Permasalahan air saat ini adalah saat musim hujan turun air limpasan akan berlimpah dan menyebabkan banjir karena rendahnya daya serap air pada tanah. Pada sisi lainnya, saat kemarau panjang air akan semakin kering dan langka. Menurunkan daya serap air pada tanah ini tidak lain disebabkan oleh minimnya ruang terbuka hijau dan desain perumahan padat yang tidak memberikan celah kepada air untuk bisa terserap ke dalam tanah. 6
Menurut data Bank Dunia pada tahun 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta penduduk atau sekitar 47 persen yang memiliki akses air terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi. Berarti selebihnya 53 pesen penduduk Indonesia (lebih dari separuh) belum mendapatkanair bersih. Padahal data juga menunjukkan bahwa 6 persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air Asia terdapat di Indonesia. Ironis memang negara yang kaya air ternyata masih belum dapat dinikmati kekayaan tersebut oleh mayoritas penduduk. Uraian ini air hanya dilihat dari satu aspek yaitu untuk kebutuhan rumah tangga, padahal air telah menjadi sangat dominan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Disamping kebutuhan rumah tangga air juga berfungsi sebagai variabel penting tentang keberhasilan pangan atau pertanian dan air juga berpotensi sebagai penyedia energi. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi pada 2015 jumlah penduduk Indonesia melonjak menjadi 247,5 juta jiwa. Jumlah tersebut mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air meningkat menjadi 9.391miliar meter kubik atau naik 47 persen dari tahun 2000. Padahal ketersediaan air cenderung menurun setiap tahunnya. Di Pulau Jawa, misalnya, ketersediaan air hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun, jauh di bawah standar kecukupan yaitu 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Jika hal ini tidak ditanggulangi, dipastikan Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada 2020. (Ruzardi,2007) Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan sebuah solusi yang bisa menjawab dua permasalahan sekaligus, yakni terkait keberlanjutan ketahanan pangan dan ketersediaan air. Solusi tersebut adalah dengan mengaplikasikan urban farming dan hanging garden pada kawasan perkotaan padat. Manfaat dari konsep ini adalah: (1) suplai bahan makanan untuk area urban akan berkelanjutan dan tidak seasonal; (2) menurunkan kemungkinan kegagalan panen yang diakibatkan oleh bencana alam seperti banjir dan kekeringan; (3) menyeimbangkan ekosistem dengan cara mereduksi jumlah lahan yang harus dibuka secara horizontal untuk bercocok tanam; (4) Mereduksi emisi CO2 yang akan menjadi polutan transportasi bahan makanan yang harus menempuh jarak yang jauh dari lokasi pertanian hingga wilayah urban; (5) mereduksi ongkos produksi bahan makanan; (6) menerapkan konsep green building yang masih sangat jarang di kawasan urban; (7) menyelamatkan keberlanjutan dan ketersediaan air di kawasan urban; dan (8) menambah ruang terbuka hijau pada kawasan urban. 7
Adapun beberapa jenis tanaman yang dapat ditanam dengan konsep urban farming dan hanging garden ini sangat banyak, biasanya dari jenis tanaman sayuran, bumbu, hias, ataupun tanaman obat. Tanaman sayuran, bumbu, dan obat lebih bermanfaat untuk dibudidayakan karena dapat dikonsumsi oleh rumah tangga. Model budidaya secara vertikultur bisa berupa: model gantung, tempel, tegak, di atas atap rumah dan rak. Pada sisi lainnya, untuk menyeimbangkan daya tampung dan daya serap air tanah, akan ditambahkan program sumur resapan dan lubang biopori pada tiap rumah. Oleh karena itu, Petani Muda Indonesia, akan melaksanakan program pemanfaatan lahan pada permukiman padat untuk mendukung ketahaan pangan nasional dan kelestarian lingkungan yang asri, bersih dan sehat dengan urban farming dan hanging garden di kawasan metropolitan. 1.2.Tujuan 1. Menciptakan lingkungan permukiman padat perkotaan yang padat penduduk menjadi lebih asri, sehat dan bersih. 2. Mengaplikasikan konsep urban farming dan hanging garden pada lingkungan permukiman padat perkotaan. 3. Memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan dari penerapan urban farming dan hanging garden kepada masyarakat permukiman padat perkotaan terpilih. 1.3.Rumusan Masalah 1. Terdapat ruang di rumah atau pun jalan penghubung perumahan yang masih bisa digunakan 2. Terdapat lahan tidur antar jalan gang perumahan yang tidak dimanfaatkan 3. Urban farming yang belum diaplikasikan di permukiman padat perkotaan yang padat penduduk 1.4.Hasil yang Diharapkan 1. Terdapat 30 rumah pada RT terpilih di Perumahan Kelurahan Tajur, Kecamatan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor yang mengaplikasikan urban farming (baik pot gantung, vertical farming, dengan media paralon, dan media lainnya). 2. Tercapainya Efisiensi Pemanfaatan RTH perumahan dan permukiman padat dan manfaat ekonomi secara optimal sebagai lahan urban farming. 8
Melalui konsep sky farming building yaitu sebuah konsep yang menggabungkan antara gedung vertikal dan ruang untuk bercocok tanam sehingga dapat mengatasi krisis pangan serta mensiasati minimnya lahan di daerah perkotaan sehingga pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan (Supartoyo dan Kasmiati, 2013). Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna (Pearce 1992), dengan formulasi sebagai berikut : NET = NGL + NGTL + NP + NK Keterangan: o Nilai Guna Langsung (NGL): nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari sumberdaya pekarangan. o Nilai Guna Tak Langsung (NGTL) : nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya dan dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. o Nilai Pilihan (NP) : mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. o Nilai Keberadaan (NK) : nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDA berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat. Melalui kajian dengan ahli maka akan diklasifikasikan setiap manfaat yang ada menjadi kategori nilai tertentu. Hal demikian untuk mempermudah perhitungan NET dari suatu pekarangan yang dikelola. 3. Terdapat kontribusi kesehatan dari tanaman obat pekarangan yang ditanam. Hasil kajian vegetasi tanaman agroekosistem pekarangan, telah tercatat 132 jenis tanaman obat dari 54 famili tanaman pekarangan yang lazim dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati 23 golongan penyakit. Berdasarkan analisis perubahan vegetasi pekarangan selama periode 10 tahun (2003-2013), (Iskandar dan Suryana, 2014). 4. Ada kontribusi ketahanan pangan dan pemenuhan gizi dari tanaman pekarangan. Terdapat beberapa tanaman, ternak dan ikan yang dapat dipelihara di pekarangan dan menghasilkan makanan yang dibutuhkan keluarga. Seperti 9
umbi-umbian sebagai sumber vitamin, sedangkan ternak dan ikan sebagai sumber protein dan lemak. Pekarangan juga bisa dijadikan sebagai lumbung pangan, dimana hasil dari usaha pekarangan dapat diambil sewaktu-waktu dan tidak ada musim pacekliknya. 5. Ada kontribusi kelestarian sistem hidrologi dan pengendali banjir ibukota. Dengan adanya lubang resapan biopori, diharapkan mampu meningkatkan daya serap tanah terhadap air limpasan, sehingga bisa menurunkan resiko terjadinya krisis air dan banjir. 10