Dr.dr. Susy Purnawati, MKK Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes.

dokumen-dokumen yang mirip
EFEK PEMBERIAN SENAM LANSIA TERHADAP PERUBAHAN LINGKAR PINGGANG LANSIA DESA JEGU TABANAN

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR TRIGLISERIDA PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

ABSTRAK GAMBARAN RERATA KADAR KOLESTEROL HDL PADA PRIA DEWASA MUDA OBES DAN NON OBES

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA DEWASA MUDA OBESITAS DI STIKES INDONESIA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di

Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan bagian dari sindroma metabolik. Kondisi ini dapat menjadi faktor

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. 2 Hal ini diperkuat oleh hasil

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA ANTARA LAKI-LAKI DEWASA MUDA OBESITAS DAN NON OBESITAS

ABSTRAK HUBUNGAN OBESITAS YANG DINILAI BERDASARKAN BMI DAN WHR DENGAN KADAR KOLESTEROL TOTAL PADA PRIA DEWASA

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DI PUSKESMAS JAGASATRU CIREBON

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma metabolik adalah sekumpulan gejala akibat resistensi insulin

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

ABSTRAK PENGARUH DAN HUBUNGAN ANTARA BMI (BODY MASS INDEX) DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DAN KADAR GLUKOSA DARAH 2 JAM POST PRANDIAL

BAB I PENDAHULUAN. 30% dan angka kejadiannya lebih tinggi pada negara berkembang. 1 Menurut. diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.

Testosteron Deficiency Syndrome ( TDS ) & Metabolic Syndrome ( METS )

BAB I PENDAHULUAN. dalam darah dengan bantuan lipoprotein juga merupakan hasil konvert kelebihan

PENGARUH KURANG TIDUR TERHADAP PENINGKATAN RISIKO OBESITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sentral, dislipidemia, dan hipertensi (Alberti et al., 2006; Kassi et al., 2011).

THE RELATION OF OBESITY WITH LDL AND HDL LEVEL AT PRECLINIC STUDENT OF MEDICAL FACULTY LAMPUNG UNIVERSITY 2013

BAB I PENDAHULUAN. ini, penyakit ini banyak berhubungan dengan penyakit-penyakit kronis di dunia

THE CORRELATION BETWEEN OBESITY AND PREDIABETES AMONG THE STUDENT OF LAMPUNG UNIVERSITY 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga

DAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian...

KORELASI HBA1C DENGAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DM TIPE 2 DI RSUP H. ADAM MALIK PADA TAHUN Oleh: PAHYOKI WARDANA

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang terus mengalami perubahan, terutama di bidang

Hubungan Antara Shift Kerja dengan Imt, Tekanan Darah dan Kadar Glukosa Darah

A.A Sagung Ika Nuriska 1, Made Ratna Saraswati 2

ABSTRAK PERBANDINGAN NILAI LOW-DENSITY LIPOPROTEIN CHOLESTEROL

GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PETUGAS AVIATION SECURITY BANDARA JUWATA TARAKAN DENGAN INDEKS MASSA TUBUH kg/m 2

Susy Purnawati. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar

ABSTRAK GAMBARAN USIA, JENIS KELAMIN, LINGKAR PERUT DAN BERAT BADAN PADA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RS IMMANUEL. Aming Tohardi, dr.

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 4 NOVEMBER 2015 ISSN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

ABSTRAK PENGARUH KURANG TIDUR TERHADAP PENINGKATAN RISIKO OBESITAS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perbedaan Tingkat Stres Kerja Operator SPBU ditinjau dari Shift Kerja ((Studi Di SPBU Kabupaten Ciamis Tahun 2014)

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA PADA PEDAGANG PASAR KLEWER PASCA KEBAKARAN SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

ABSTRAK FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP DERAJAT HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JUNI-AGUSTUS 2011

KATA PENGANTAR. Denpasar, 27 Desember Penulis

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia

Analisis Hubungan Kadar Kolesterol Total dan Ukuran Lingkar Perut dengan Kejadian Hipertensi pada Pegawai UIN Alauddin Makassar Tahun 2014

GAMBARAN OBESITAS SENTRAL PADA MAHASISWA LAKI-LAKI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

ABSTRAK GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH DAN FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA WANITA MENOPAUSE

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang muncul ketika tubuh tidak mampu memproduksi cukup

BAB I PENDAHULUAN. Sindroma metabolik merupakan kumpulan kelainan metabolik komplek

SINDROMA METABOLIK PADA LANSIA. Hendra Kurniawan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jember

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara mengingat beban biaya serta morbiditas dan mortalitas yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SKRIPSI HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP DAYA TAHAN KARDIOVASKULAR PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

ABSTRAK PENGARUH SARAPAN YANG TIDAK TERATUR, FAKTOR GENETIK TERHADAP RISIKO OBESITAS DAN BMI (BODY MASS INDEX) YANG ABNORMAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN OBESITAS SENTRAL DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PASIEN LAKI-LAKI. Oleh : THARMANTHIRAN THIRUCHELVAM

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta.

INTERVENSI SLOW STROKE BACK MASSAGE

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

KAJIAN TINGKAT KECENDERUNGAN PRIA DENGAN TESTOSTERON DEFICIENSI SYNDROM TERHADAP RISIKO MENDERITA METABOLIC SYNDROM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang cukup tinggi terutama di negara-negara maju dan di daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROGRAM STUDI S1 GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

CIRI-CIRI KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN OBESITAS DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUP DR KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Kata kunci: diabetes melitus, diabetic kidney disease, end stage renal disease

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN ANTARA UKURAN LINGKAR PINGGANG DENGAN KADAR GULA DARAH POSTPRANDIAL PADA ANGGOTA KEPOLISIAN RESOR KARANGANYAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Departemen kesehatan RI menyatakan bahwa setiap tahunnya lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Pembimbing II : dr. Rita Tjokropranoto, M.Sc.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit degeneratif

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH, LINGKAR PERGELANGAN TANGAN, DAN TEKANAN DARAH PADA REMAJA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada

PENGARUH STATUS GIZI DAN FREKUENSI SENAM DIABETES TERHADAP PROFIL LIPID PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 TESIS

Pengaruh Pemberian Edukasi Gaya Hidup terhadap Peningkatan Pengetahuan Karyawan Obesitas di Universitas X

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan kekurangan gizi telah menurun, tetapi sebaliknya penyakit degeneratif

SINDROM METABOLIK [ ARTIKEL REVIEW ] Sandra Rini Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

BAB I PENDAHULUAN. sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya. Tekanan darah. penyakit gangguan hemodinamik dalam sistem kardiovaskuler

HEMAKANEN NAIR A/L VASU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

ABSTRAK. PENGARUH AIR KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) TERHADAP TEKANAN DARAH NORMAL PADA PRIA DEWASA

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGGI HAK SEPATU DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH MIOGENIK PADA PRAMUNIAGA DI LIPPO MALL BADUNG BALI

Transkripsi:

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA TERHADAP METABOLIK SINDROM PADA KARYAWAN RESTORAN DI DESA PELIATAN KECAMATAN UBUD Dr.dr. Susy Purnawati, MKK Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 1

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA TERHADAP METABOLIK SINDROM PADA KARYAWAN RESTORAN DI DESA PELIATAN KECAMATAN UBUD 1 Susy Purnawati, 2 Putu Astawa 1 Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran 2 Anggota Ikatan Ilmu Faal Indonesia, Fakulatas Kedokteran Universitas Udayana; Dosen Pengajar Program Studi Magister Pascasarjana Universitas Udayana. Abstract. Job stress can be assosciated to several diseases, such as gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis and other conditions are termed as "Diseases of Adaptation". Similarly, the metabolic syndrome among workers can be also triggered by job stress or chronic stress. The workers of a busy restaurant in a tourist area are at risk of job stress which results in dysfunction of the body's adaptation system. This cross-sectional analytic study conducted in September to December 2014. The participants were restaurant employees in the village of Peliatan Ubud, Bali Province, which aims to determine the relationship between job stresses with metabolic syndrome among workers. From the six restaurants including the category of busy restaurants were selected two restaurants randomly. Of the 50 subjects that are designated as sample, there are two incomplete in filling questionnaires and the three subjects do not come when the data retrieval. We assessed job stress variable by job strain index (JSI), as measured using a questionnaire Brief Job Stress Questionnaire (BJSQ). While metabolic syndrome is determined based on abnormality at least 3 of the following 5 criteria, such as: central obesity (if the waist circumference of more than 90 cm in men and 80 cm in women, hypertension is blood pressure is over 130/85 mmhg or under treatment with anti-hypertensive drugs, triglyceride levels over 150 mg / dl, HDL cholesterol <40 mg / dl in men or <50 mg / dl in women, and glucose intolerance that is the fasting plasma glucose level of 100 mg / dl. The results of this study we found that: of the 45 study subjects, 32 (71%) men and 13 (29%) women with a mean age of 37 ± 10.96 y.o. Thirteen subjects (24%) experiencing job stress (JSI> 1). The prevalence of metabolic syndrome in a restaurant in the village Peliatan employees obtained 42% (male, 68%; women, 32%). Chi-square test results showed that no significant relationship between job stress and the metabolic syndrome, in which the value of p = 0.314 (p> 0.05). It can be concluded that in this study found no significant association between job stress and the metabolic syndrome in a restaurant employee in the District Peliatan village of Ubud. Keywords: metabolic syndrome, job stress, employee restaurants Abstrak. Stres kerja dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit, seperti: gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis dan kondisikondisi lainnya yang diistilahkan sebagai Diseases of Adaptation. Demikian juga halnya dengan metabolic sindrom pada pekerja yang dapat dipicu oleh stres kronis. Pekerja-pekerja restoran di daerah wisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi berisiko mengalami stres kerja yang berakibat terjadinya disfungsi sistem adaptasi tubuh. Telah dilakukan penelitian cross sectional analitik pada bulan September sampai Desember 2

tahun 2014 karyawan restoran di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara stres kerja dengan sindrom metabolik pada pekerja tersebut. Dari enam restoran yang termasuk kategori ramai pengunjung dipilih secara random sebanyak dua restoran. Dari 50 subjek yang ditetapkan sebagai sampel, terdapat dua kuesioner yang tidak lengkap terisi dan tiga orang subjek penelitian tidak datang saat pengambilan data. Stres kerja dinilai berdasarkan job strain index (JSI), yang diukur menggunakan kuesioner Brief Job Stress Questioner (BJSQ). Sedangkan metabolik sindrom ditentukan berdasarkan ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut, yaitu: obesitas sentral yaitu lingkar pinggang 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah 130/ 85 mmhg atau sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi, kadar trigliserida 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa plasma puasa 100 mg/dl. Hasil penelitian mendapatkan bahwa: dari 45 subjek penelitian, 32 (71 %) pria dan 13 (29 %) wanita dengan rerata usia 37 ± 10,96 tahun. Tiga belas subjek (24%) mengalami job stress (JSI > 1). Prevalensi sindrom metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan didapatkan 42% (laki-laki, 68%; wanita, 32%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolik, di mana nilai p = 0,314 (p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan Kecamatan Ubud. Kata kunci: sindrom metabolik, stres kerja, karyawan restoran 1. PENDAHULUAN Bali sebagai daerah tujuan wisata mengundang meluasnya industri restoran atau rumah makan. Kemajuan dalam perkembangan pemberian pelayanan jasa menuntut diadakannya perubahan-perubahan dalam kecepatan dan metode pelayanan. Tuntutan tugas dalam memberikan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen yang tidak diimbangi dengan kapasitas kerja yang memadai berisiko terhadap timbulnya gangguan stres akibat kerja atau job stress (Dean and Robert, 2000). Stres secara umum, ataupun stress kerja dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit, seperti: gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis kondisi-kondisi lainnya yang diistilahkan sebagai Diseases of Adaptation. (Folkow, 2014). Demikian juga halnya dengan metabolik sindrom yang dapat dipicu akibat respon stress kronis terhadap pasokan energy tubuh yang tidak sesuai dengan kebutuhan normal. Metabolik sindrom adalah kumpulan kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Kumpulan 3

gejalanya terdiri atas obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol High-Density Lipoprotein yang rendah), hipertensi, dan glukosa plasma yang abnormal. Glukosa yang abnormal terjadi akibat resistensi insulin. Pekerja-pekerja restoran di daerah wisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi berisiko mengalami stres kerja yang berakibat terjadinya disfungsi system adaptasi tubuh. Selain terhadap aspek mental, manifestasi lainnya berakibat gangguan metabolisme sebagai respon dari stimulasi terhadap SAM (simpato-adreno-medulary)-axis dan HPA (hipothalamo-pituitari-adrenal)-axis yang mengarah kepada kondisi patologis. Proses kerja di industri penyaji makanan atau restoran menuntut kerja fisik yang disertai pemenuhan target waktu penyelesaian pesanan pelanggan dengan cepat. Hal ini memberi tendensi munculnya job stress. Tuntutan kinerja dengan penampilan kerja yang sangat prima baik dalam kondisi fisik dan mental sangat dibutuhkan bagi karyawan restoran. Pekerja yang mengalami job stress dapat mengalami ketidak stabilan emosi yang berakibat kepada perilaku makan berlebihan dan semakin memperbesar risiko untuk terjadinya metabolik sindrom. Saat ini metabolik syndrom telah sangat diyakini sebagai faktor risiko timbulnya penyakit jantung koroner dan cerebrovascular accident atau yang lebih umum dikenal sebagai penyakit stroke. Faktor umur juga berperan dalam kejadian metabolik syndrom. Karyawan dengan kategori umur 45 tahun ke atas memiliki hambatan-hambatan dalam aktivitas fisik sehingga lebih banyak memilih sikap kerja yang sedentary dan berakibat kepada risiko metabolik syndrom. Selain fator umur, indeks masa tubuh kategori over weight dan obesitas (terutama obesitas sentral) juga dihubungkan dengan risiko metabolik syndrom. Penelitian ini dilakukan untuk dapat mengidentifikasi stres kerja pada karyawan restoran serta menganalisis hubungannya dengan metabolik syndrom. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam upaya pencegahan metabolik syndrom di masa mendatang. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Peliatan Kecamatan Ubud pada bulan September sampai Desember tahun 2014, menggunakan rancangan cross sectional, dengan sampel penelitian adalah pekerja restoran di Desa Peliatan Ubud sebanyak 50 orang, yang ditentukan secara random sederhana. Dari enam restoran yang termasuk kategori ramai 4

pengunjung dipilih secara random sebanyak dua restoran yang kemudian menjadi tempat di mana subjek penelitian diambil. Data stres kerja yang dinilai dari job strain index diukur memakai kuesioner BJSQ (Brief Job Stress Questionnaire). Stres kerja didefinisikan sebagai kondisi distres yang terjadi akibat ketidaksesuaian antara job demand (tuntutan tugas) dan job control (kemampuan mengantisipasi tugas). Dinilai berdasarkan job strain index (JSI), yang diukur berdasarkan skor job demand (7 pernyataan) dan job control (3 pernyataan) dalam kuesioner Brief Job Stress Questioner (BJSQ) dengan 4 skala Likert. JSI ditentukan dengan rumus skor job demand dibagi job control. Dikatakan mengalami stres kerja jika JSI > 1. Sedangkan metabolik sindrom didefinisikan sebgai sekumpulan gejala penyakit. Kriteria sindroma metabolik yang digunakan adalah berdasarkan statement bersama dari IDF, NHLBI, WHF, IAS, dan AHA, yaitu bila ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut: obesitas sentral yaitu lingkar pinggang 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah 130/ 85 mmhg atau sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi, kadar trigliserida 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa plasma puasa 100 mg/dl (Folkow, 2014). Semua subjek diambil contoh darah plasma untuk pemeriksaan profil lipid lengkap dan gula darah setelah berpuasa selama 12 jam sebelumnya. Pemeriksaan lingkar pinggang, diukur dengan posisi subjek berdiri tegak tanpa alas kaki dengan jarak kedua kaki 25-30 cm. Pengukuran dilakukan melingkar secara horizontal dari titik tengah antara puncak krista iliaka dan tepi bawah kosta terakhir pada garis aksilaris medium (Adam et al, 2011). Lingkar pinggang dinyatakan abnormal bila > 90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita. III. HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini sebanyak 50 karyawan yang terpilih sebagai sample dalam penelitian. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat dua kuesioner yang tidak lengkap terisi dan tiga orang subjek penelitian tidak datang saat pengambilan data atas alasan ijin tidak masuk kerja (dengan alasan pulang kampung untuk upacara adat). Sehingga dalam 5

penelitian ini terdapat 45 data subjek penelitian yang dianalisis. Hasil penelitian dipaparkan dalam uraian berikut. 3.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian terdiri dari 32 (71 %) pria dan 13 (29 %) wanita dengan rerata usia 37 ± 10,96 tahun. Lingkungan kerja berupa mikroklimat di dapur restoran memiliki temperature basah 30 o C dan temperature kering 27 o C. Karyawan restoran melakukan pekerjaan menyiapkan hidangan-hidangan bagi para tamu-tamu disesuaikan dengan pesanan yang masuk ke bagian penerimaan pesanan. Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian (n= 45) Variabel Minimum Maksimum Rerata Simpang Baku Umur (tahun) 19 57 37 10,96 IMT (Kg/m 2 ) 16 34 22,7 4,78 Job strain index (JSI) 0,52 1,41 0,90 0,20 Lingkar perut (cm) 64.0 116.0 81.87 14.30 Triglyserida (g/dl) 50.0 365.0 124.20 73.66 Gula darah puasa (g/dl) 80.0 156.0 96.29 13.93 Kolesterol total (g/dl) 116.0 246.0 171.62 30.71 Kolesterol LDL (g/dl) 61.0 169.0 112.60 26.44 Kolesterol HDL (g/dl) 26.0 73.0 41.89 8.94 Tekanan darah sistolik (mmhg) 100 150 117 12,9 Tekanan darah diastolik (mmhg) 60 100 80 10,3 Tabel 2. Prevalensi metabolik syndrome pada karyawan restoran di Desa peliatan berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Total Variabel Laki-laki Wanita Metabolic syndrome tidak 19 7 26 ya 13 6 19 6

Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa prevalensi sindroma metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan didapatkan 42% (laki-laki, 68%; wanita, 32%). Tabel 3. Tabulasi silang prevalensi stress kerja pada karyawan restoran di Desa Peliatan berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Total Laki-laki Wanita Job stress tidak 24 8 32 ya 8 5 13 Tiga belas subjek (24%) terdiri dari 8 orang laki-laki dan 5 orang wanita mengalami job stress (JSI > 1), sesuai dengan Tabel 3. 3.2 Hubungan antara stres kerja dan metabolik syndrome Table 4. Hasil analisis statistik hubungan antara stres kerja dan sindrom metabolik dengan chi square test (n = 45) Metabolic Syndrome Tidak Ya Nilai p Stres Kerja Tidak 20 12 0,314 Ya 6 7 Berdasarkan table 2 di atas, dalam penelitian ini hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolic pada karyawan restoran di Desa Peliatan. Hasil uji chi square mendapatkan nilai p = 0,314 atau nilai p > 0,05. IV. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stress kerja dan sindrom metabolik (nilai p = 0,314 atau nilai p > 0,05). Hal ini berbeda dengan studi meta analisis oleh Bergmann et al yang menemukan dari sebagian studi yang dianalisis tentang hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut (Bergmann et al, 2014). Hal yang kontra lainnya bahwa sampai saat ini belum sinkronnya temuan beberapa penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara stres kerja dan sindrom metabolic 7

(Heraclides et al, 2011). Penjelasan lainnya adalah juga karena Meskipun dalam teori general mal-adaptation respon stres fisik maupun psikologis secara simultan dapat mendrive mekanisme lanjutannya dalam HPA-axis dan SAM-axis (Guyton and Hall, 2006), akan tetapi terdapat variasi individual respon stres psikologis terhadap mekanisme lapar dan kenyang di hypothalamus yang berakibat sebagian orang yang mengalami stress kerja yang berpengaruh terhadap kecemasan dan pola makan yang tidak terkontrol yang berdampak kepada risiko munculnya metabolic syndrome. Jumlah sampel yang kecil dapat menjadi penyebab tidak terjawabnya hipotesis alternatif dalam penelitian ini. Berbeda halnya dengan penelitian Giang et al, (2014), yang meneliti perbedaan skor stres kerja pada 2687 pekerja di Shanghai yang mengalami metabolik syndrome dan yang tidak (Giang et al, 2014). Dalam penelitian tersebut ditemukan perbedaan yang signifikan. Demikian juga halnya dengan Chandola et al (2006) dalam penelitian prospective cohort study melihat hubungan antara stress di tempat kerja terhadap metabolic syndrome terhadap 10.308 orang pegawai sipil di London, yang di-follow up selama rata-rata 14 tahun menemukan hubungan respon dosis antara paparan stress kerja setelah 14 tahun terhadap risiko sindrom metabolik. Pekerja yang mengalami stress kronis dan memiliki tiga atau lebih jenis paparan memiliki risiko lebih dari dua kali lipatnya mengalami syndrome metabolic dibandingkan pekerja yang tidak mengalami stress kerja. Studi tersebut menyimpulkan bahwa stres di tempat kerja merupakan faktor risiko yang sangat penting terhadap metabolic syndrome. Fakta lainnya menemukan bahwa metabolic syndrome erat hubungannya dengan inaktivitas fisik, riwayat minum alkohol dan gangguan fungsi hati oleh penyebab lain yang tidak targali dalam penelitian ini. Aktivitas fisik dengan melakukan exercise misalnya terbukti sangat efektif dalam mencegah hipertensi dan potensinya 10 kali lipat disbanding diit rendah garam. Exercise dapat menghilangkan perasaan depresi dan kecemasan dan memberi perasaan kesejahteraan psikologis (Rosch, 2014). Menurut Jim Henry, secara teori, hipertensi primer yang ditemukan pada kebanyakan kasus-kasus hipertensi di masyarakat, erat hubungannya atau seringnya diinisiasi oleh respon neurohormonal terhadap stres psikososial (Giang, 2014; Rosch, 2014). Predisposisi polygenetic berinteraksi dengan factor lingkungan masih dipercaya sebagai penyebab hipertensi primer. Hipertensi juga merupakan salah satu gejala selain gabungan gejala 8

dislipidemia dalam menentukan metabolic syndrome. Mekanisme terjadinya hipertensi related stress dapat dijelaskan bahwa stimulasi sympatho-adrenomedullary berakibat aktivasi produksi renin yang dimediasi oleh ß1-receptor-mediated. Yang pada akhirnya menstimulasi the renin-angiotensin-aldosterone axis. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis hubungan antara stres kerja terhadap hipertensi. Dan hanya 7 orang responden dalam penelitian ini dengan tekanan darah sistolik di atas 120 mmhg. Menurut teori Jim Henry, abdominal obesity, insulin resistance, lipid disturbances dan manifestasi lain dari metabolik syndrome adalah akibat stress-related yang meningkatkan sekresi hormon glucocorticoid, dan dalam axis yang lain stress psikososial juga meningkatkna sekresi catecholamines. Resistensi insulin yang juga merupakan bagian dari gejala metabolik syndrome juga sering menyertai gejala hipertensi primer. Aktivasi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis berakibat peningkatan cortisol dan hormone-hormon lainnya yang mengakibatkan insulin resistance dan juga penumpukan (deposit) visceral fat. Penelitian tentang kondisi stress kerja yang dihubungkan dengan metabolic syndrome belum pernah dilakukan di Indonesia. Akan tetapi mengacu pada studi-studi yang telah dilakukan di Negara lain dapat sebagai predictor bahwa hubungan antara variable tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian yang dilakukan di Makassar oleh Adam dkk (2011) misalnya sudah menggali tentang prevalensi metabolic syndrome di masyarakat, hanya saja tidak mengikutkan variable status pekerjaan sebagai satu factor risiko 38. Penelitian Adam dkk tersebut dilakukan terhadap pengunjung Poliklinik Penyakit Dalam / Klinik Diabetes, Obesitas, dan Lipid sebuah Rumah Sakit Swasta dan klinik pribadi di Makassar yang datang untuk pemeriksaan kesehatan rutin sebanyak 1219 orang selama periode Oktober 2002 sampai dengan Desember 2004. Adam dkk menemukan prevalensi metabolic syndrome pada subjek penelitiannya pada wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu masing-masing 47,1% dan 19,6%. Studistudi tentang metabolic syndrome lainnya di Indonesia juga masih terbatas pada pasienpasien yang datang ke klinik-klinik maupun rumah sakit ketika mengalami suatu keluhan suatu gejala fisik. Untuk mengetahui gambaran yang lebih mendekati kondisi yang sebenarnya di masyarakat, tentunya sangat dibutuhkan studi-studi untuk mencari prevalensi metabolic syndrome pada pekerja di berbagai bidang pekerjaan yang 9

dihubungkan dengan stres kerja. Pertimbangan untuk pembuktian stress kerja menggunakan biomarker tentunya akan memberikan data kondisi stress kerja yang menjadi risiko sindrom metabolik yang lebih valid untuk subjek penelitian orang Indonesia. Kelemahan Penelitian 1. Penilaian stress kerja menggunakan kuesioner yang bersifat subjektif. Subjek dalam penelitian ini sebagaimana juga halnya gambaran masyarakat Indonesia (masyarakat timur), tidak mengekspresikan dengan sebenar-benarnya (secara terus terang) apa yang sebenarnya dirasakan. Ada keengganan menyampaikan kondisi yang sebenarnya karena pengaruh budaya setempat dan adat ketimuran. Sehingga kemungkinan rendahnya skor job strain indeks dikarenakan oleh kondisi tersebut. 2. Terdapatnya chance of confounding variable yang tidak digali dalam penelitian ini yaitu inaktivitas fisik, riwayat minum alcohol dan gangguan fungsi hati oleh penyebab lain yang berhubungan dengan sindrom metabolik. 3. Jumlah sampel yang kecil dikarenakan keterbatasan waktu dan dana penelitian. V. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Tiga belas karyawan (24%) mengalami job stress (JSI > 1) dan prevalensi sindroma metabolik didapatkan 42% (lakilaki, 68%; wanita, 32%); (2) Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan metabolik sindrome pada pekerja restoran di Desa Peliatan, Ubud. Dapat disarankan, bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hubungan antara stres kerja dan sindrom metabolik menggunakan marker biologi untuk mengukur kondisi stres kerja pada karyawan. Sehingga data mengenai stres kerja yang dipakai untuk melakukan analisis hubungan antar variabel tersebut bersifat objektif. Misalnya dengan melakukan pengukuran kadar hormon kortisol saliva pagi hari. Serta dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar. 10

DAFTAR PUSTAKA Adam JM, Herman Adriansjah H, Fabiola MSA. (2011). Sindroma metabolik di klinik, hasil penelitian di Makassar. Available from: http://dokternetworkangk97/2011/02/sindroma-metabolik-di-klinik-hasil.html. Access 1/12/2014 Alyssa BS. (2009). Metabolic syndrome and workplace outcomes. (Disertation). Doctor of Philosophy (Kinesiology) in the University of Michigan. Anne S. (2003). Working time. Its impact on safety and health. International Labour Office and Occupational Safety & Health Research Institute Korea Occupational Safety & Health Agency. Bergmann, N., Gyntelberg F and Faber J. (2014). The appraisal of chronic stress and the development of the metabolic syndrome: a systematic review of prospective cohort studies. Endocr Connect 2014 vol. 3 no. 2. Chandola T, Brunner E and Marmot M. (2006). Chronic stress at work and the metabolic syndrome: prospective study. BMJ, 332(7540): 521 525. Dean BB. and Robert AK. (2000). Stress. Occupational Health. Lippincott Williams Wilkins: Philadelphia. p. 419-36. Debra KD, Donald IT, Michael JC. (1996). The Human factors aspects of shift work. Occupational ergonomic. Marcel Dekker, INC. p. 403-16. Evolahti A, Hultcrantz M and Collins A. (2006). Women s work stress and cortisol levels: a longitudinal study of the association between the psychosocial work environment and serum cortisol. Journal of Psychosomatic Research, 61: 645 652 11

Folkow B. (2014). Stress, Hypertension and the Metabolic Syndrome http://www.stress.org/stress-hypertension-and-the-metabolic-syndrome Giang Z, Li X, Yunsheng M, Persuitte G, Jinsong W, Miaozhao M, Liwu J and Li J. (2014). Relationship between job stress and metabolic syndrome in occupational population. J Am Coll Cardiol;64(16_S). Guyton and Hall. (2006). Adrenocortical hormones. In Textbook of Medical Physiology. 7 th ed. Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc. Heraclides AM, Chandola T, Witte DR & Brunner EJ. (2011). Work stress, obesity and the risk of type 2 diabetes: gender-specific bidirectional effect in the Whitehall II study. Obesity 20 (428) 33 Inoue A, Kawakami N, Tsuno K, Tomioka K and Nakanishi Y. (2012). Organizational Justice and Psychological Distress Among Permanent and Non-permanent Employees in Japan: A Prospective Cohort Study. Int J Behav Med. Karasek R. (1992). Stress prevention through work reorganization: A Summary of 19 international case studies. Condition of Work Digest; 11, 2. Kawaguchi Y, Toyomasu K, Yoshida N, Baba K, Uemoto M, Minota S. (2007). Measuring job stress among hospital nurses: an attempt to identify biological markers. Fukuoka Acta Med; 98 (2): 48 55. Kroemer KHE. (2009). Workload and stress. In Fitting the Human, Introduction to Ergonomics. USA: Taylor & Francis. p. 235 245. Lauralee S. (2001). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal: 235. 12

Lee H, Hyunmi, Miller A, Chang GP and Kim SJ. 2012. Acculturative stress, workrelated psychosocial factors and depression in Korea-Chinese migrant workers in Korea. J Occup Health; 54: 206-14. Lin QH, Jiang CQ and Lam TH. (2013). The relationship between occupational stress, burnout, and turnover intention among managerial staff from Sino-Japanese joint venture in Guangzhou, China. J Occup Health; 55: 458-467. Montgomery B. (2008). CBT (Cognitive Behavior Therapy). International workshop on clinical skill for CBT. Denpasar. April 22-24 th Munandar AS. (2001). Stres dalam Pekerjaan. Psikologi Industri & organisasi. UIP. Rachmad S, Andi W, Sidartawan S, Tommy H. (2004). Estimating BMI and waist circumference cut-offs for obesity in Indonesia and health impact (ISSO Epidemiological Study). Proceeding 3 rd National Obesity Symposium (NOS III). p. 1-12. Rolf H and Walter R. (1998). Fatigue and recovery. Encyclopedia of Occupational Health and Safety Fourth Edition. Geneva: ILO. p. 29.39 Rosch PJ. (2014). Stress, Hypertension and the Metabolic Syndrome. Available from: http://www.stress.org/stress-hypertension-and-the-metabolic-syndrome. Access 1/12/2014 Sastroasmoro S dan Ismael S. (2005). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. Shimazu A, Kawakami N, Irimajiri H, Sakamoto M and Amano S. (2005). Effects of web-based psycho-education on self-efficacy, problem solving behavior, stress responses and job satisfaction among workers: A controlled clinical trial. J Occup Health; 47, 405-413. 13

Shimazu A, Kubota K, Bakker AB, Demerouti E, Shimada K, and Kawakami N. (2013). Work-to-family conflict and family-to-work conflict among Japanese dual-earner couples with preschool children: A spillover-crossover perspective. J Occup Health. Accepted for Publication: April 17. Shimomitsu. (2000). The brief job stress questionnaire (BJSQ) for self-stress monitoring. In Kawakami, N. 2010. Assessment of job stress, lecture material. October. Tokyo University. Japan. Siegrist J. (1996). Adverse health effects of high-effort/low-reward conditions. J Occup Health Psych; 1: 24-41 Smith JC. (2002). Stress Management, A Comprehensive Handbook of Techniques and Strategies. New York: Springer Publishing Company, Inc. Sonnentag S and Fritz C. (2006). Endocrinological processes associated with job stress: catecholamine and cortisol responses to acute and chronic stressors. Employee Health, Coping and Methodologies Research in Occupational Stress and Wellbeing. Elsevier Ltd., 5: 1-59 Stephen P. (1991). Shiftwork. Ergonomics, Work and health. p. 165-73. Steven Sauter and Gwendolyn Puryear Keita. Work Stress and Health 99: Available from: http://www.cdc.gov/niosh/stress99.html. Akses tanggal 27/09/14. Sun W, Fu J, Chang Y and Wang L. (2012). Epidemiological study on risk factors for anxiety disorder among Chinese doctors. J. Occup Health; 34: 1-8. Susy-Purnawati. (2010). CBO stress management program on vigilance, stress index and cortisol among A Bank X employees in Bali. Journal Spirits; 1(2) Mei: 133-148. 14

Susy-Purnawati. (2012). Pekerja stres dan solusinya. Koran mingguan Tokoh. No.670/Tahun ke XII, November 20-26 th. Susy-Purnawati. (2014). Program manajemen stres kerja di perusahaan: sebuah petunjuk untuk menerapkannya. Buletin Psikologi; 22(1) Juni: 36-44 Winfried, Peter R. (1998). Psychological Aspects. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety Fourth Edition. ILO: Geneva. p 94.2 94.13. 15