JURNAL STDI Volume 8 No. 15 Januari 2015 Nita Trismaya Program Studi Desain Produk (Konsentrasi Desain Busana) Sekolah Tinggi Desain InterStudi Jl. Kapten Tendean No. 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan e-mail: nitatris@yahoo.com ABSTRAK Dalam ranah mode, fetis merupakan bentuk pemujaan terhadap obyek yang dijadikan komoditi, menyasar konsumen yang sebagian besar adalah wanita.pencitraan bentuk tubuh ideal wanita berkaitan erat dengan fetis seksual dan fetis komoditi, selain memang telah menyatu dalam dunia mode.nilai guna sebuah benda dapat berubah menjadi nilai tanda dimana konsumen memandangnya lebih sebagai simbol dan gengsi, bukan kebutuhan.perancang mode dan produsen menjadi bagian penting dalam terjadinya pemujaan bentuk tubuh ideal wanita, dimana pencitraan terjadi demi menunjang keuntungan dan kesuksesan komoditasnya. Kata kunci: pemujaan, komoditi, mode, nilai tanda ABSTRACT In the fashion realm, fetish is a form of worship to an object that is used for commodities, targeting to the consumers who are mostly women. The image of female ideal body shape is closely related to sexual fetish and commodity fetish, besides it has been integrated into the fashion world. The value of an object can change into the value where consumers view it more as symbol and prestige, and no longer view it as necessity. Fashion designers and manufacturers became an important part of the worship of female ideal body shape, where the imaging occurs in order to support the benefit and the success of the commodities. Keywords: worship, commodity, fashion, value 666
PENDAHULUAN Fetisisme adalah faham, keyakinan, kepercayaan bahwa terdapat daya pesona pada sesuatu yang berkaitan dengan pemujaan. Fetis digunakan dalam tiga bidang pembahasan yaitu: 1. Fetisisme antropologi Biasanya dikaitkan dengan fenomena pemujaan sesuatu dalam masyarakat primitif dimana sesuatu itu punya kekuatan magis. Fetis ini memang pertama kali muncul dalam masyarakat primitive, namun dalam kenyataannya masih ada yang dipelihara dan digunakan masyarakat modern yang notabene identik dengan pemikiran rasional, seperti keris yang dipercayai memiliki kekuatan penolak bala, penggunaan kain batik untuk pengantin dengan keyakinan bahwa kain tersebut akan membawa keharmonisan dan kelanggengan perkawinan. Fetis ini dikaitkan pula dengan kepercayaan agama seperti ziarah kuburan para wali, upacara persembahan untuk leluhur dan sebagainya. 2. Fetisisme seksual Fenomena pemujaan dan kepercayaan pada sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas, dan terdapat kecenderungan penyimpangan dari maknanya, yaitu menyangkut penyimpangan seksual, pemujaan berlebihan pada bagian tubuh manusia, dihubungkan juga dengan pengaruh masa kecil yang berdampak pada kelakuan seksual setelah dewasa. Teori ini menurut Sut Jhally merupakan bagian dari teori Sexual Perversion, termasuk transvestism, transsexuality, sadism dan lain-lain, juga dihubungkan dengan pemutarbalikkan dari perkembangan abnormal dari insting seksual manusia (Jhelly, 1990: 58). Umumnya menghinggapi kaum pria sebagai subyek, sedangkan wanita menjadi obyek dengan memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya atau pria yang menyukai/mengoleksi pakaian dalam wanita dan benda-benda yang berbentuk alat vital wanita. 3. Fetisisme komoditi Sebuah bentuk pemujaan pada obyek yang dijadikan komoditi (diproduksi dan diperjualbelikan), adanya daya pesona pada obyek tersebut adanya kecenderungan penyembunyian nilai benda yang sebenarnya, penyelewengan dan membangun pencitraan yang pada akhirnya bermuara pada fetis. Permasalahan ini memfokuskan pada hubungan antara manusia dengan benda, berhubungan dengan relasi sosial. The fetishism of commodities consists in the first place of emptying them of meaning, of hiding the real social relations objectified in make it possible for the imaginary/symbolic social relations to be injected into the construction of meaning at a secondary level. Productions empties. Advertising fills. The real is hidden by the imaginary (Jhelly, 1990: 50). Dalam dunia periklanan, fetisisme kebanyakan digunakan pada sebuah produk yang dicitrakan sedemikian rupa sehingga menjadi simbol dan tidak sekedar bernilai guna tapi juga 667
JURNAL STDI Volume 8 No. 15 Januari 2015 membawa konotasi yaitu fetis. Sebagai contoh, sehelai baju dapat berubah dari nilai guna menjadi fetis komoditi setelah mempunyai merk tertentu yang diiklankan oleh produsennya sebagai simbol dari prestise, sehingga masyarakat membeli baju itu karena merek, bukan dari nilai gunanya. Terdapat daya pesona pada merek tersebut. Merek menjadi sarana komoditi penting yang dapat menjamin kelarisan sebuah produk. Dalam sejarah manusia, mitos dan citra tentang kecantikan fisik wanita berbeda-beda karena menyangkut perkembangan dan latar belakang nilai serta pandangan hidup masyarakatnya. Di Indonesia, dilihat dari relief candi dan patung, maka bentuk ideal dari kecantikan seorang wanita adalah yang bertubuh subur/gemuk dikaitkan dengan mitos reproduksi kesuburan. Masyarakat Jawa kuno memiliki ideal tertentu dalam melihat kecantikan dan kesempurnaan wanita, seperti disebutkan dalam serat Centini yang menggambarkan kecantikan seseorang bernama Wara Surendra ekspresi wajahnya wingit berwibawa, kuning bersih, menarik hati, pendiam, tenang lagi santun, cerdas, teliti, hati-hati, susila, bercahaya sinarnya memancar menyilaukan. Anak rambutnya lebat berjerumbai, rambut hitam mengkilat, kehijauan, leher jenjang, dada bidang, tampak agak terang bercahaya, ibarat putik kelapa dipingit. Bahunya wijang serba teratur, lengan seperti busur gading, tingkah lakunya menyenangkan, membangkitkan birahi (Tilaar, 1999: 46). Konsep kecantikan sejak zaman dahulu juga sudah memperhatikan penampilan dalam berbusana seperti yang disebutkan dalam Serat Sandi Wanita Perempuan hendaknya mengerti caranya mengatur kebersihan rumah, berdandan dan berkasih-kasihan dengan suami (Tilaar, 1999: 38). Kebaya sebagai pakaian nasional Indonesia mewakili konsep citra ideal tubuh wanita dengan digunakannya stagen atau korset untuk membentuk pinggang ramping, perut rata badan tegak, tidak jauh berbeda dengan fungsi korset pada pakaian wanita Barat yang bertujuan membentuk pinggang yang kecil. Fetisisme seksual terlihat dari daya pesona korset, yaitu kepercayaan dan pemujaan pada pinggang ramping. Hal tersebut mengakibatkan banyak wanita menjadi korban kesehatan seperti susah bernapas dan tidak leluasa bergerak bahkan, dapat mengakibatkan Ketidak normalan / ketidak seimbangan bentuk proporsi tubuh. Rancangan pakaian dalam tidak lagi sekedar menutupi bagian vital perempuan tapi menjadi alat kamuflase untuk mencapai bentuk tubuh yang ideal. Fetis berpotensi menjadikan wanita sebagai korban mode. Fetis membuat wanita melakukan apa saja demi pencapaian tubuh yang dicitrakan sebagai ideal. Inilah yang menarik dari permasalahan fetis. Mengapa terjadi 668
pemujaan yang berlebihan? Apakah perancang mode berperan dalam mendiktekan mode yang berlaku dalam masyarakat? Peran Mode Dan Media Massa Dalam Fetisisme Pada era modern dimana komunikasi berperan penting, media massa menjadi sarana promosi iklan, penyebar berita, dan memberikan pencitraan pada sebuah materi dalam masyarakat komoditas. Lalu bagaimana dan sejauh mana peran media massa dalam memberi citra tubuh ideal tubuh wanita masa kini? Tidak dapat dipungkiri bahwa peran media massa sangat besar. Makin maraknya majalah wanita yang menyodorkan artikel kecantikan, perawatan tubuh, trend mode mutakhir, cover majalah dengan mengusung model atau artis cantik. Juga saluran televisi menayangkan acara-acara yang disukai wanita seperti sinetron, film dan drama seri yang hampir seluruhnya menyeragamkan kriteria kecantikan ideal wanita, cantik, langsing, muda dan sehat. Ditambah dengan menjamurnya pusat kebugaran tubuh, pusat perawatan kulit dan kecantikan, obat pelangsing tubuh, vitamin untuk kecantikan dan kesehatan. Semuanya menggambarkan seakan-akan wanita dengan tubuh bagus dan wajah cantiklah yang dapat diterima dalam pergaulan, selain menjadi menjadi dasar utama rasa percaya diri. Wanita dan Mode adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebuah pertalian yang sudah sangat tua umurnya, karena mode merupakan aktualisasi diri dari seorang wanita, sarana komunikasi diri dalam membahasakan siapa dan bagaimana dirinya. Menurut Pauline W. Thomas (2001-2002) fashion merupakan tanda yang menunjukkan suatu lapisan sosial tertentu, status, profesi dan kebutuhan tertentu serta merupakan bahasa, simbol dari individu dan kelompok. 5Dalam fashion ada siklus mode sebagai seperangkat nilai yang mengatur bagaimana individu mengekspresikan serta mengapresiasikan dirinya (Fokus, 2001: 9). Mode pakaian merupakan komoditi. Produsen membuat pencitraan untuk menunjang kesuksesan dari komoditasnya, sedangkan perancang mode merupakan bagian dari jaringan sistem kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan jaringan produsen yang punya kekuatan. Mode memfasilitasi keinginan wanita untuk terlihat sekaligus menjadi cantik, gaya dan menarik. Cakupan mode tidak sekedar lingkup berbusana tapi juga hal-hal yang berhubungan dengan penampilan yaitu tata rambut, tata rias wajah, sepatu, tas, topi, sarung tangan, perhiasan bahkan jam tangan, kaca mata dan minyak wangi. Mode mendikte secara keseluruhan gaya wanita dalam berbusana di seluruh dunia, menyebabkan banyak wanita seringkali tidak menyadari busana yang sesuai atau tidak dengan tubuh mereka. Maka mode telah menjadi komoditi raksasa (fetis komoditi) 669
JURNAL STDI Volume 8 No. 15 Januari 2015 dengan daya pesona yang sangat kuat, menawarkan nilai yang abstrak seperti status dan prestise, membuat para wanita tunduk dan tersihir demi penampilan yang menarik, serta sanggup membelanjakan uang berapapun besarnya. Mode seolah dikendalikan sebuah kekuatan besar yang mencengkeram konsumennya. Menurut Baudrillard, fetishisme yang sesungguhnya berlaku pada obyek tanda atau obyek sebagai tanda, disebabkan obyek telah diputuskan dari substansi nilai gunanya dan menjadi obyek yang nilainya sepenuhnya nilai tanda. Status obyek ini sebagai komoditi dimampatkan menjadi sekedar pertanda dari diferensiasi (Pilian,1999: 44). Jadi mode sebagai fetis komoditi berlaku sepenuhnya sebagai obyek yang bernilai tanda, tidak lagi sekedar nilai gunanya sebagai kebutuhan sekunder. Fetis Komoditi Dan Fetis Seksual Dikaitkan Dengan Pemaknaan Dalam Dunia Mode Sebagai fetis komoditi, mode memiliki pemaknaan yang keliru (false meaning) yang erat kaitannya dengan kamuflase. Sebagai contoh, demi mendapatkan bentuk payudara yang kencang dibuatlah rancangan bra dengan pemakaian kawat penyangga dan busa agar membentuk payudara sedemikian rupa. Atau untuk menyembunyikan bentuk tubuh yang kurang ideal dipakailah baju yang longgar. Dikaitkan dengan fetis seksual, ada keyakinan bahwa memakai baju dengan bahan yang tipis menerawang atau ketat akan menimbulkan rangsangan seksual sekaligus sebagai daya tarik sensual wanita. Mode dalam lingkup cara berbusana menjadi media untuk tujuan dari fetis seksual, dilihat dari banyaknya rancangan busana yang selalu memperlihatkan keindahan tubuh wanita baik secara vulgar maupun dengan selubung tujuan seni. Mode bahkan menjadi komoditas penting yang menunjang industri pornografi seperti pemunculan para model majalah Playboy dengan swimsuit yang sangat sensual, atau rancangan busana yang menutupi hampir seluruh tubuh tapi nyaris terbuka pada bagian dada. Busana wanita menjadi hiasan tubuh yang memperlihatkan sensualitas pemakainya, kadangkadang nyaris seperti tanpa berpakaian. Mengapa mode dan fetis seksual berhubungan erat?ini dikarenakan mode bermuara pada cara berpakaian, sementara pakaian merupakan komoditi tertua dalam masyarakat yang dipakai dengan berbagai tujuan sekaligus kebutuhan sandang yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Fetis seksual yang berhubungan dengan tubuh wanita telah dijadikan komoditi sama halnya seperti mode itu sendiri. Tubuh menjadi komoditi yang sama pentingnya dengan mode, karena dalam masyarakat modern kapitalis yang mengagungkan nilai material, tubuh menjadi bagian dari gaya hidup dan dikonsumsi seiring semakin maraknya perhatian pada usaha merawat, memperindah dan menyehatkan tubuh. Idi Subandy Ibrahim mengatakan bahwa pentas konsumsi massa yang kini berpusat pada budaya materi, kecenderungan memfokuskan diri pada tubuh sebagai komoditas (dandan, fitness, 670
kepribadian, mode, prostitusi dan sebagainya) bahkan bisa memperlihatkan kecenderungan komodifikasi diri yang semakin bersifat ekstrim (Ibrahim, 1998: 370). Mode sebagai fetis komoditi telah menyatu dengan fetisisme tubuh (seksual); mode menjadi obyek /benda yang diproduksi dan diperjualbelikan sekaligus dipuja. Dengan mode, seorang perancang mengkomunikasikan dirinya. Sebuah rancangan busana mengandung pemujaan bentuk tubuh maupun membahasakan keinginan dan hasrat kebebasan seksual baik dari perancang juga pemakai (konsumen). Karya Mary Quant dengan rok mininya membawakan pesan kebebasan seksual seorang wanita, Am I the only woman who has ever wants to go to bed with a man in the afternoon? Any law-abiding female, it used to be thought, wait until darks. Well there are lots of girls who don t want to wait. Mini clothing are symbolic of them (Armando, 1998: 160). Rok mini menjadi simbol seks, menjadi fetis seksual yang memperlihatkan bentuk kaki yang indah dimana bagian tubuh ini termasuk yang dipuja pria sekaligus sebagai tanda ungkapan hasrat seksual si pemakai. Rok mini juga merupakan fenomena revolusi pemikiran kebebasan wanita dalam segala hal dikaitkan dengan relasi sosial. Para perancang mode termasuk dalam kategori pencipta ilusi keindahan dengan selalu menampilkan model-model yang cantik, tinggi, ramping dan belia. Mereka memakai public figure sebagai sarana promosi, seolah ditekankan pada masyarakat kalau memakai produk tersebut maka akan tampil menarik seperti mereka sekaligus sebagai trend setter bagi para pemujanya. Britney Spears pada era awal tahun 2000 dengan busananya yang memperlihatkan bagian pusar dengan gaya celana hipster telah memunculkan trend dimana hipster merupakan siklus mode yang berputar kembali dari tahun 60-an, seperti yang pernah dipopulerkan Cher yang mendapat julukan pusar terindah di dunia. Spears dan Cher menjadi trade mark, ciri khas. Penampilan Jennifer Lopez dan Rihanna yang sangat sensual didukung dengan rancangan busananya yang menampakkan lekuk tubuh. Dengan demikian, fetis seksual dan komoditi dalam masyarakat kapitalis bermuara dari kecenderungan untuk mengidolakan seseorang secara berlebihan dimana apapun yang dipakai dan dilakukan sang idola selalu diikuti masyarakat sebagai bagian dari trend terkini. Pagelaran mode umumnya memakai model dengan bentuk tubuh nyaris seragam. Fenomena tersebut mendunia tidak saja di Barat tapi juga di Indonesia. Salah satunya dikarenakan kiblat mode dunia masih berpusat pada Barat, walaupun sejak tahun 1990-an ada kecenderungan kekaburan dari kiblat mode yang saling mempengaruhi sehubungan dengan makin kuatnya arus globalisasi melanda seluruh dunia, seperti adanya kecenderungan dunia Barat berpaling ke dunia Timur, kejenuhan pada modernisme, dan kembali dalam konsep back to nature. Tidak adanya perancang mode yang memakai model yang di luar kriteria seperti gemuk, tidak tinggi 671
JURNAL STDI Volume 8 No. 15 Januari 2015 atau mungil, seolah secara serempak mengatakan bahwa mode hanya untuk dikonsumsi wanita yang bertubuh ideal. Umumnya mereka beralasan bahwa dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi, maka pakaian yang diperagakan akan bagus dan nyaman jatuhnya. Tapi ada beberapa kasus sebagai pengecualian seperti yang pernah penulis alami saat bekerja di butik milik perancang mode Prayudi, yaitu konsep awal rancangan busana adalah berdasar pada ukuran model standar, dan setelah rancangan tersebut dilempar ke pasar maka terdapat penyesuaian pada ukuran yaitu standar ukuran wanita usia 40 ke atas yang umumnya bertubuh subur dinamakan pesanan khusus. Butik Prayudi terkenal dengan konsep awal kebaya modern di tahun 70-an, diminati konsumen wanita setengah baya karena adanya rancangan khusus tersebut. Kemudian muncul beberapa produsen yang membuat dan membuka butik khusus bagi konsumen wanita bertubuh subur.tidak ketinggalan para perancang dunia seperti Christian Dior apabila hendak melempar desainnya ke pasar Asia, maka ada perombakan ukuran khusus dengan penyesuaian tubuh wanita Asia. Mitos tubuh ini sebenarnya telah diajarkan di sekolah-sekolah mode, terlihat dari sketsa-sketsa mode yang menggambarkan kriteria tersebut, sehingga menjadi kelaziman bagi perancang mode dalam mengejawantahkan karyanya tidak jauh berbeda dengan standar tubuh tersebut. Penulis melihat ada perbedaan kriteria bentuk tubuh pada dunia model, peragawati, dan artis/public figure, yaitu peragawati/model yang melenggang diatas catwalk cenderung bertubuh sangat kurus. Kemudian foto model yang bergaya di depan kamera sebagai model sebuah produk, cover majalah dan semacamnya, bentuk fisiknya ramping berisi. Sementara pada artis yang berkecimpung di dunia film, musik atau dunia pertunjukan lainnya mempunyai fisik yang lebih beragam tanpa mengesampingkan keindahan tubuh. Meski semuanya berpusat pada citra tubuh yang indah. Dengan demikian, melalui mode maka para wanita dapat memuaskan keinginannya untuk terlihat cantik, menarik dan diterima dalam pergaulan masyarakat. Meskipun di sisi lain terdapat potensi terjadinya penyimpangan yaitu secara seksual dan komoditi, menjadikannya fetis dan bernilai tanda, tidak lagi bernilai guna. 672
DAFTAR PUSTAKA: Jhally, Sut, 1990, The Code of Advertisements, The Fetishism of Commodity, Routhledge Ibrahim, Idi S & Suranto, Hanif, 1998, Wanita dan Media, Remaja Rosdakarya, Bandung Psikomedia, 2001, Membincang Mode, Psikologi UGM, Yogyakarta Thomas, Pauline W, 2001-2002, What is Fashion, Fashion-Era.Com Piliang, Yasraf A, 1999, Hiper-realitas Kebudayaan, LKIS, Yogyakarta Piliang, Yasraf A, 2002, Kuliah Desain dan Kebudayaan, Magister, ITB Tilaar, Martha,1999, Kecantikan Perempuan Timur, Indonesiatera, Magelang Encyclopedia Article, Fetishism Theory Senft, Theresa M, Theories of Fetish, www.echonyc.com, 1998 673