Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur serta Pendorong Terkait

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Outline Presentasi. PRB dan API dalam Draft Sasaran Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015 dan HFA II. Proses Penyusunan SDGs. Proses Penyusunan SDGs

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

HUKUM PIDANA TRANSNASIONAL. Transnasional Internasional Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum.

INSTRUMEN INTERNASIONAL DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

Catatan Pengarahan FLEGT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

SILABI KEJAHATAN LINTAS NEGARA

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

Kota, Negara Tanggal, 2013

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia

Transnational Organized Crime

ARAH KEBIJAKAN KELAUTAN PASCA PEMILU 2009 DAN WOC

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

Proses dan Negosiasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 (SDGs)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

APA ITU IORA? Indian Ocean Rim Association (IORA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115 TAHUN 2015 TENTANG SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN PENANGKAPAN IKAN SECARA ILEGAL (ILLEGAL FISHING)

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami

Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Commissioned by BLUE PAPER Ringkasan bagi pengambil keputusan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur serta Pendorong Terkait Penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU) mengancam keberlanjutan perikanan global di wilayah hukum nasional dan laut lepas. 1 Negara-negara berkembang memiliki risiko yang besar dari penangkapan ikan ilegal, dengan total tangkapan yang diperkirakan di Afrika Barat menjadi 40 persen lebih tinggi dari tangkapan yang dilaporkan. Tingkat eksploitasi semacam itu sangat menghambat pengelolaan ekosistem laut yang berkelanjutan. 2 Penangkapan ikan IUU tersebar luas, 3 dan kerugian global tahunan senilai US$10 miliar hingga $23,5 miliar, mewakili 11 hingga 26 juta ton ikan. 4 Kerugian yang secara substansial meningkat ketika dampak di seluruh rantai nilai ikan dipertimbangkan. 5 Banyak aktivitas penangkapan ikan IUU saat ini berlangsung pada skala yang teratur dan terorganisir di berbagai yurisdiksi. 6 Selain itu, contoh terburuk penangkapan ikan IUU sering dihubungkan dengan kejahatan transnasional termasuk pelanggaran hak asasi manusia, tenaga kerja terikat, pengelakan pajak, pembajakan, dan narkoba, senjata, dan perdagangan manusia. 7 Kejahatan ini merupakan kerugian bersih bagi ekonomi negara dan akan mengakibatkan hilangnya peluang ekonomi, lingkungan dan sosial, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan dapat mengurangi ketahanan pangan. 8 Penangkapan ikan IUU merupakan faktor utama dalam beberapa masalah penting selain perikanan berkelanjutan; dampaknya bukan sekadar penurunan pada ikan yang melimpah, karena hal ini meluas lebih jauh ke dalam masalah yang lebih luas. Ketahanan ekonomi, ketahanan pangan, pengurangan kesehatan (nutrisi), dan peraturan iklim (dari biomasa ikan) semuanya menjadi perhatian. Upaya di masa depan untuk meningkatkan atau memperluas produksi makanan dari laut untuk memberi makan populasi yang terus berkembang akan menjadi kurang jelas tanpa tindakan tegas lintas badan, pemerintah, dan batas-batas internasional. Kebutuhan untuk mengamankan sumber daya yang berkurang dapat menyebabkan konflik. Keamanan dan tata kelola domain maritim merupakan kunci strategi jangka panjang untuk memastikan produksi dan sumber daya yang berkelanjutan. oceanpanel.org

Kebutuhan untuk memerangi penangkapan ikan IUU semakin diakui oleh lembaga tingkat tinggi. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerapkan resolusi pada perikanan berkelanjutan yang mengacu pada kebutuhan untuk menangani penangkapan ikan IUU dan pentingnya kebijakan yang sudah tersedia untuk memberantasnya. Selain itu, Sasaran Pengembangan Berkesinambungan (SDG) PBB mendesak, dengan SDG 14.4 dengan cepat mendekati batas waktu 2020 namun tampaknya tidak mungkin diterapkan tepat waktu. Demikian pula, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), yang telah kekurangan komitmen sebelumnya, telah menetapkan target yang jelas untuk tahun 2020 terkait dengan panen berkelanjutan di antara banyak sasaran CBD. G7 (Charlevoix Blueprint 2018) dan G20 (Deklarasi Osaka Leaders tahun 2019) mengenali bahwa penangkapan ikan IUU merupakan masalah serius yang harus ditangani. Pada 2019, 21 anggota Asia-Pacific Economic Cooperation menerapkan peta strategi untuk memerangi penangkapan ikan IUU. Namun demikian, meskipun ada banyak pernyataan dan laporan resmi serta beberapa traksi positif, masalah ini tetap menjadi ancaman besar bagi perikanan, makanan dan keamanan sosial, dan ekosistem laut yang sehat. Makalah ini, untuk mendukung Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan, 9 mengenali masalah dan tren dalam penangkapan ikan IUU. Hal ini menyoroti cara-cara di mana hal ini berkontribusi pada penangkapan ikan yang berlebihan dan aspek-aspek dampaknya di area pesisir, di Zona Ekonomi, dan di laut lepas di area yang melampaui yurisdiksi nasional. Makalah ini mengidentifikasi pendorong utama penangkapan ikan IUU dan menyarankan pendekatan, selain yang sedang dilakukan, diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Pendorong utama penangkapan ikan IUU meliputi faktor-faktor berikut: Tata kelola lemah di tingkat nasional, regional, dan internasional menciptakan patchwork regulatori yang memungkinkan penangkapan ikan IUU berkembang. Insentif ekonomi mendorong penangkapan ikan IUU dan aktivitas terlarang lainnya seperti tenaga kerja terikat. Singkatnya, penangkapan ikan IUU merupakan aktivitas berisiko tinggi dengan keuntungan tinggi. Hambatan penegakan menahan diri dari kurangnya sumber daya dan kesulitan logistik dari pemantauan, pengendalian, dan pengawasan yang efektif atas wilayah laut yang luas merusak upaya untuk menghentikan penangkapan ikan IUU. Makalah ini mengidentifikasi tiga peluang tinggi dan tegas untuk tindakan, yang bersamasama menawarkan respons yang kuat namun dapat dicapai terhadap ancaman global penangkapan ikan IUU sambil memastikan kesehatan laut, keanekaragaman hayati dan ekonomi laut yang berkelanjutan. Tindakan ini melengkapi kebijakan yang ada dan secara langsung menargetkan pendorong utama penangkapan ikan IUU. Tindakan transformasional ini dapat disampaikan oleh pemerintah, bisnis, industri, sektor swasta, ilmuwan, dan masyarakat sipil. Peluang tingkat tinggi untuk tindakan meliputi kemungkinan berikut: 1. Mengadopsi transparansi global dalam perikanan. Kemajuan teknologi dalam metode pelacakan baik untuk melacak pergerakan kapal nelayan dan untuk melacak penangkapan ikan melalui rantai nilai menawarkan harapan baru untuk manajemen perikanan. Hal ini, dipadukan dengan pemahaman publik yang lebih baik tentang kapal mana yang diberi wewenang untuk pengiriman atau ikan, dan di mana, akan mendorong kepatuhan yang lebih baik.

2. Melakukan pengawasan yang lebih ketat di pelabuhan. Semua negara bagian pelabuhan harus mengesahkan dan menerapkan Perjanjian Pengukuran Negara Pelabuhan Organisasi Makanan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PSMA) untuk menghentikan ikan IUU yang masuk ke pasar. PSMA mewajibkan para pihak untuk menempatkan kontrol yang lebih ketat pada kapal berbendera asing yang berusaha menggunakan pelabuhan mereka untuk mendeteksi dan mencegah perdagangan produk IUU. 3. Meningkatkan kolaborasi. Karena penangkapan ikan IUU tidak menghormati batas-batas politik, kolaborasi regional antar negara sangatlah penting. Kolaborasi antara departemen pemerintah dan pemerintah, serta di antara bisnis dan lembaga keuangan, lembaga ilmiah, dan sektor sipil akan menghasilkan solusi baru, memaksimalkan dampak, dan menurunkan biaya. Selain peluang tindakan tingkat tinggi, makalah ini menyajikan serangkaian tindakan terperinci yang dapat diambil oleh berbagai pelaku. Jika memungkinkan, kolaborasi di antara berbagai pelaku didorong untuk memaksimalkan efek dan rasionalisasi biaya. Di bawah peluang untuk pelaku tertentu, makalah ini menawarkan saran-saran berikut, antara lain (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Peluang untuk pelaku tertentu UNTUK PEMERINTAH: 1. Menangani ketidaksesuaian peraturan organisasi manajemen perikanan regional melalui forum/mekanisme internasional, seperti Majelis Umum PBB. 2. Negara bendera harus memberikan kontrol yang memadai terhadap daftar kapal, termasuk memastikan bahwa manajemen daftar berada dalam status bendera (dan tidak dipegang oleh perusahaan swasta eksternal). 3. Negara bagian pesisir harus memastikan bahwa peraturan tenaga kerja cukup untuk memfasilitasi identifikasi dan penyelidikan tenaga kerja paksa, penyalahgunaan tenaga kerja, dan kasus perdagangan manusia yang terdeteksi di kapal penangkap ikan. Peraturan juga harus cukup untuk memungkinkan penuntutan dan hukuman yang sah terhadap pelaku kejahatan ini. Perjanjian Cape Town dan Pekerjaan Organisasi Buruh Internasional dalam Konvensi Perikanan harus diratifikasi dan diadopsi. 4. Negara bagian pelabuhan harus mengesahkan dan menerapkan PSMA. 5. Negara-negara pasar harus mengadopsi peraturan yang serupa dengan peraturan penangkapan ikan IUU Uni Eropa. UNTUK SEKTOR SWASTA: 1. Membuat transparansi perikanan dan kondisi keterlacakan kontrak. 2. Memastikan keakuratan informasi kepemilikan untuk menghindari penggunaan perusahaan bayangan. 3. Be aware not to deal with flag states that fall short of their duties under the UN Convention on the Law of the Sea. 4. Berhati-hatilah untuk tidak berurusan dengan negara-negara bendera yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut. 5. Memberikan jaminan kepada konsumen tentang keterlacakan dan kualitas produk ikan (misalnya memberikan informasi tersebut pada kemasan). UNTUK ILMU PENGETAHUAN: 1. Memberikan penilaian terbaik untuk stok ikan secara global. 2. Memberikan informasi tentang perubahan perilaku ikan/pola migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim. 3. Teknologi terdepan untuk alat memancing berkelanjutan. 4. Meningkatkan kesadaran tentang keberlanjutan perikanan untuk mendidik konsumen guna memilih produk ikan dengan jaminan keterlacakan. Makalah ini menjelaskan bahwa solusi harus bersifat spesifik. Sering kali, solusi yang baik untuk satu area mungkin tidak relevan bagi yang lain. Makalah ini mendorong semua pembaca untuk mempertimbangkan berbagai tindakan potensial yang, baik yang dilakukan secara lokal, nasional, regional, maupun internasional, akan berdampak pada nelayan IUU.

The High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy Established in September 2018, the High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP) is a unique initiative of 14 serving heads of government committed to catalysing bold, pragmatic solutions for ocean health and wealth that support the Sustainable Development Goals (SDGs) and build a better future for people and the planet. The Panel consists of the heads of government from Australia, Canada, Chile, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaica, Japan, Kenya, Mexico, Namibia, Norway, Palau, and Portugal, and is supported by an Expert Group, Advisory Network, and Secretariat that assist with analytical work, communications and stakeholder engagement. The Secretariat is based at World Resources Institute. The report that this brief summarises was prepared in support of the work of the HLP. The arguments, findings, and recommendations made in the report represent the views of the authors only. The Blue Paper is an independent input to the HLP process and does not represent the thinking of the HLP, Sherpas or Secretariat. For more information, including the full report, visit www.oceanpanel.org Endnotes 1 SEAFDEC (Southeast Asian Fisheries Development Center). 2015. Asian Guidelines for Preventing the Entry of Fish and Fishery Products from IUU Fishing Activities into the Supply Chain. Myanmar: SEAFDEC. 2 Agnew, D.J., J. Pearce, G. Pramod, T. Peatman, R. Watson, J.R. Beddington, and T.J. Pitcher. 2009. Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. PLoS ONE 4 (2): e4570. 3 Sumaila, U.R., J. Alder, and H. Keith. 2006. Global Scope and Economics of Illegal Fishing. Marine Policy 30 (6): 696 703. 4 Agnew, D.J., J. Pearce, G. Pramod, T. Peatman, R. Watson, J.R. Beddington, and T.J. Pitcher. 2009. Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. PLoS ONE 4 (2): e4570. 5 Konar, M., E. Grey, L. Thuringer, and U.R. Sumaila. 2019. The Scale of Illicit Trade in Pacific Ocean Marine Resources. Working Paper. Washington, DC: World Resources Institute. 6 Haenlein, C. 2017. Below the Surface: How Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Threatens Our Security. RUSI Occasional Paper, July. https://rusi.org/sites/default/files/201707_rusi_below_the_surface_haenlein.pdf. 7 Sumaila, U.R., and M. Bawumia. 2014. Fisheries, Ecosystem Justice and Piracy: A Case Study of Somalia. Fisheries Research 157: 154 63; Telesetsky, A. 2014. Laundering Fish in the Global Undercurrents: Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and Transnational Organized Crime. Ecology Law Quarterly 41 (4): 939 97. 8 FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2000. Expert Consultation on Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Sydney: FAO; Sumaila, U.R. 2018. Illicit Trade in the Marine Resources of West Africa. Ghanaian Journal of Economics 6 (1): 108 16. 9 Widjaja, S., T. Long, H. Wirajuda, et al. 2019. Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and Associated Drivers. Washington, DC: World Resources Institute.