COVER BOY

dokumen-dokumen yang mirip
Dalam sehari, dia menghancurkan semua harapanku. Dalam sehari, dia membuatku menangis. Dalam sehari, dia menjadi mimpi terburukku

Keindahan Seni Pendatang Baru

Suasana pagi ini, diwarnai dengan jeritan histeris Utit gara gara dikunciin di kamar mandi. Mami melonjak kaget dari tempat tidurnya.

Ingatan lo ternyata payah ya. Ini gue Rio. Inget nggak? Rio... Rio yang mana ya? Ok deh, gue maklum kalo lo lupa. Ini gue Rio, senior lo di Univ

GURU. Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Ayo silahkan perkenalkan diri.

'hufft, aku cape selalu disakitin sama cowo yang aku sayang.' kata icha sambil menghela nafas. tanpa dia sadari air matanya menetes.

Pahat Hati Andi Tenri Ayumayasari

Selesai mandi, istri keluar kamar mandi. Tubuhnya ditutupi handuk. Sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk, istri berjalan menuju meja rias.

Bab 1 Sindrom Mahasiswa

Semalam Aldi kurang tidur. Hujan deras ditambah. Rahasia Gudang Tua

Gambar tersebut adalah sebuah hati, ditengah-tengahnya terdapat sebuah gedung dan disamping kiri gambar tersebut ada angka satu besar sekali.

Sahabat Terbaik. Semoga lekas sembuh ya, Femii, Aldi memberi salam ramah. Kemarin di kelas sepi nggak ada kamu.

Setelah bunyi bel pulang berbunyi, anak SMA 70 Jakarta berhamburan keluar kelas (ya iyalah, namanya juga bel pulang). Marsha dan Gina langsung keluar

Persahabatan Itu Berharga. Oleh : Harrys Pratama Teguh Sabtu, 24 Juli :36

Aduh 15 menit lagi masuk nih, gimana donk? Jalanan macet segala lagi, kenapa sih setiap hari jalanan macet kaya gini? Kayanya hari ini bakalan jadi

Belajar Memahami Drama

ONE. Nggak, gue gak mau ikut. Sergah Tamara. Kenapa? Siapa tau lo disana nemuin jodoh. Iya bener, gue gak mau tau alasan lo

SAHABAT PERTAMA. Hari Senin pagi, Lisha masih mandi. Padahal seharusnya ia sudah berangkat sekolah.

S a t u DI PAKUAN EXPRESS

PAGI itu Tahir dengan terburu-buru menuju

Kata-kata Belajar di Rumah ini kadang enggak sesuai apa yang gue kerjain di rumah selain tidur-makan-tidur-makan. Fase yang baik untuk gemuk.

We see, we observe, we investigate, we conclude, we solve

Sejatinya, semua manusia terlahir untuk dua hal, mendapatkan berita terbaik dan terburuk. Berita ini adalah sebuah misteri, ketika mereka terus

Dengan senyum aku menyapanya. Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.

Part 1 : Aku Menghajar Nenek-Nenek Dengan Cangkul

BAB 1. Duluan ajaa..nanti aku nyusul jawab Panji dengan suara lantangnya

Mungkin mereka tidak akan menemuiku, ujarku dalam hati.

It s a long story Part I

Pada suatu hari saat aku duduk di bangku sudut sekolah, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.

[Fanfic] Sebuah gambar aneh menarik perhatianmu. Gambar itu jelek, tapi memiliki sesuatu yang membuatmu penasaran. Cast : Kalian yang membaca~

PIPIN, KAKEK, DAN KERETA API. El Johan Kristama

Aduh! Sakit tau.. kata Al sambil memegang kaki setelah di injak Dias dengan raut wajah jengkel.

TILL DEATH DO US PART

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

Marwan. Ditulis oleh Peter Purwanegara Rabu, 01 Juni :25

Aku memeluk Ayah dan Ibu bergantian. Aroma keringat menusuk hidungku. Keringat yang selama ini menghiasi perjuangan mereka membesarkanku. Tanpa sadar

Bimo, Ra, Kenapa lagi sama calon lakimu itu duhai Syaqilaku sayang? godaku. Ojo ngenyeklah. Hahaha. Iya, iya. Bimo kenapa? Tadi aku nggak sengaja

Puzzle-Puzzle Fiksi. Inilah beberapa kisah kehidupan yang diharapkan. menginspirasi pembaca

Sepanjang jalan tiada henti bercerita dan tertawa, aku menghitung bintang-bintang dan tak terasa sudah sampai di tempat mie ayam rica-ricanya Pasti

Alergi Gelembung. Girl and the Magic Tree 1

YANG TERHILANG Oleh: Yung Darius

Menurut sekolah, saya sudah lulus. Menurut Tuhan, belon. :p Justru di saat-saat China, Tuhan mendidik saya dengan berbagai macam hal.

erkenalkan, namaku Chanira. Aku lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang. Kampus yang luar biasa. Empat tahun jadi bagian dari

mati cepet-cepet. Aku sih pengin ngerasain jadi kakekkakek. Nah kalo gitu, nanti pas aku jadi kakek berarti kamu yang jadi neneknya dong? Kan namanya

Aku sedang sibuk. Les-les untuk persiapan Ujian Akhir Nasional-ku sangat menyita perhatian.

"Maafin gue Na, hari ini gue banyak melakukan kesalahan sendiri" Tutur Towi yang mengimbangi langkah Leana.

Hai Cindy selamat ya sudah jadi anak SMU Suara yang sudah tak asing lagi baginya.

REVAAAAA., suara itu terdengar begitu menakutkan pagi ini. Ya, itu suara Bang Ryo. Setiap pagi teriakan ini selalu terdengar di seluruh penjuru

Sarah mengemas barangnya dengan cemberut. Entah yang keberapa. kalinya Dia harus pindah. Dari Jakarta ke Jogja lalu ke Makassar dan kali ini dia

vioooooo, udah jam 6 lewat, kamu mau sekolah apa gak sih jerit mama dari dapur ketika mendapati sarapan yang disiapkannya masih rapi di meja makan.

Hujan deras lagi-lagi mengguyur di luar sana. Aku

I. Arga ( tentang Dia dan Dia )

DOBABI. mereka. Dan keesokan harinya.. ******* Ji Tak: Ya Tuhan hari ini ulang tahun aku aku berdoa semoga aku bisa cepet dapet

BAB I SOSOK MISTERIUS. Vanessa Putri, Vanessa Putri? Bu Ria memanggil nama itu lagi.

This is the beginning of everything

Anjing dan Bayangannya. Pemerah Susu dan Embernya

JUDUL :JAKA NGIYUB. SFX : suara angin (live) dan selanjutnya musik karawitan yang mengiringi tari bidadari yang turun ke bumi

Cinta itu bukan tentang diri sendiri tapi tentang dia, yang kau sayangi Cinta itu bukan cinta sebelum kau berani mengungkapkannya

orang tuanya itu selesai. Tak jarang ia akan berlari ke kamarnya di tingkat atas gedung itu atau ke taman pribadi keluarganya di tingkat paling atas.

Sayang berhenti menangis, masuk ke rumah. Tapi...tapi kenapa mama pergi, Pa? Masuk Sayang suatu saat nanti pasti kamu akan tahu kenapa mama harus

Karya Asli YW. Tukar Pikiran

Namun Landung tidak membalas lambaian itu dan pura-pura melanjutkan pekerjaannya.

SATU ada yang tertinggal

Arif Rahman

CHAPTER 1. There s nothing left to say but good bye Air Supply

Maaf, Ki. Kamu salah paham selama ini. Kiama benar-benar tidak paham kalimat yang diucapkan Rifan. Bagaimana mungkin dia salah paham, jika perhatian

AKHIR PENANTIAN. Naswa harus merelakan hobi yang sangat dia sukai karena dia baru sembuh dari sakitnya akibat kecelakaan bulan lalu.

Kata siapa mukjizat sudah berhenti?? Kata siapa Paskah cuman sekedar ritual agamawi semata?

"BOLA DAN CINTA" TRI ISTANTO S1TI-07

(karna bersepeda keliling komplek sampe 127 kali dari yang pagi pun menjadi sore)

Naskah Manajemen Complain dan Customer Care

LAMPIRAN II VERBATIM DAN FIELD NOTE RESPONDEN IC

Andai Dia Tahu.

ANTARA DENDAM DAN CINTA. Oleh: Sri Rahmadani Siregar


SATU. Plak Srek.. Srek

Kanuna Facebook on September 07, 2011 Prolog

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Dillatiffa. Unfortunate

Untuk sebuah kehidupan singkat penuh ilusi serta latihan SGV, Ayesha Nadya Muna & Bintang jatuhku -Dimas Arif Firlando

Perjodohan... Hari ini adalah hari paling bersejarah dalam hidupku.

PERANCANGAN FILM KARTUN

23 April 2013 Introduction

Sang Pangeran. Kinanti 1

Bab 1. Kehilangan mimpi

Arti Sahabat. Karena merasa iri hati, Alexa dan Tifa yang tak mempunyai banyak teman datang untuk mengacaukan suasana.

BROADCASTING TV MIDTERMS

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7

anak membaca? nak-anak

sebenarnya saya terlambat karena saya terlambat bangun, maafin saya Pak, saya sudah berbohong dan terlambat. Pak Guru memukul meja, sambil berkata,

DESSA FITRI MASINTA DEWI

Suzy melangkahkan kaki memasuki lift gedung tempatnya bekerja. Beberapa orang wanita yang tidak ia kenal akrab mengikutinya dari belakang.

Ibu, Ibu tenang yah. Sella nanti akan cari di mana Andrie berada, yang penting Ibu sabar dan gak usah kawatir yah Bu..! Iya de, Ibu mohon de.

PROLOG. Semua orang memiliki kisah dramanya masingmasing, yang tidak akan pernah sama dengan kisah hidup orang lainnya.

Bab 1 : Lerodia, Desa Penambang Pharite

Fiction. John! Waktunya untuk bangun!

Tante, please... Saya benar-benar membutuhkan bantuan. Pemuda itu tampak memohon. Tapi... Ini menyangkut hidup mati seseorang, tante!

Pengalamanku dalam Angkot

Karina Sacharissa. Warna Dari pelangi. Penerbit Chaliccabook

Pertama Kali Aku Mengenalnya

Transkripsi:

COVER BOY 1. Cover Boy SABAN Utit, sodara sepupu Olga yang masih tujuh taun itu nginep, suasana di rumah Olga kayak di Teluk. Tiap ari selalu ada kejadian yang bikin Mami sebel. Abis biar senjang usia Olga sama tu sodara sepupu amat jauh, tapi anak dua itu berantem melulu. Gak ada yang mo kalah. Terang aja Mami berang sama Olga. Umur toku, kelakuan masih kayak anak balita. Bukannya ngalah. Suasana pagi ini, diwarnai dengan jeritan histeris Utit gara-gara dikunciin di kamar mandi. Mami melonjak kaget dari tempat tidurnya. "Olga! Buka pintunya!" teriak Mami. "Biar. Kemaren Olga juga dikunciin. Gantian. Biar dia ngerasa betapa gak enak dikunci di dalam kamar mandi. "Dia kan masih kecil. Lagian kemaren Utit gak sengaja mengunci pintu kamar mandi. " "Ini Olga juga gak sengaja kok!" ujar Olga cuek melenggang ke sekolah sambil membawa. kunci kamar mandi. Akibatnya tu Mami kudu ngedobrak pintu. Mami emang gak adil juga. Terlalu sayang ama Utit. Sedang Olga dasarnya emang kurang begitu suka ama anak kecil. Apalagi yang bandelnya kayak si Utit itu. Suka. ngegerata i kamar. dan iseng ngeguntingin rok mini Olga di lemari pakaian. Pernah juga pas pulang sekolah Olga nemu boneka kesayangannya yang ia beri nama "Olzzya" udah terkapar tak berdaya di dekat selokan belakang rumah. Atau boneka tikus yang Olga kasih nama "Tiki" serta "Buli-buli". kelinci nyangkut di atas genteng. Olga jelas marah-marah.

Dan kalo marahnya uda nyampe ke ubun-ubun,. Olga biasanya suka tega ngiket si Utit di tiang jemuran seharian. Mami so pasti histeris banget. Mami emang gak biasa ngeliat kesadisan macam gitu. Liat ikan asin digoreng aja Mami sesenggrukan. "Ihik..., kenapa sesama makhluk hidup saling menyakiti. Ikan itu kan belon tentu bersalah. Kenapa digoreng?" Dan sejak itu Mami seharian gak pernah pergi. Gak Olga, gak Utit. Dua-duanya kalo udah angot sama-sama saling tega. Utit juga pernah diem-diem ngasih obat merah di belakang rok Olga waktu Olga mo berangkat sekolah. Dan Olga baru ngeh waktu pas di depan gerbang sekolah setiap cowok memandang aneh ke arahnya sambil cekikikan. Olga langsung tersadar. "Utiiiiit, tunggu tanggal mainnya, eh tunggu pembalasan gue!" rutuk Olga waktu itu sembari menutupi belakang roknya pake tas sekolah. Pernah juga pas Olga pulang sekolah, di ruang tamu tau-tau kedapetan tiga kardus gede yang isinya pigura kecil berisi fotofoto, satu tas rotan, satu termos panas, bertumpuk-tumpuk buku, satu radio dua band dua tas cuek, kaset, kalender NKOTB, dan aksesori lainnya. Tau-tau semua itu yang ngepak si Utit, dan siap dibawa ke Bandung. Ke rumah Utit. Olga jelas panik dan marahmarah. "Utit! Kamu ini apa-apaan sih? Kenapa semuanya dikardusin begitu?" "Kata mami situ semua barang-barang ini udah gak kepake, kok." "Apa? Gak kepake? Muke lo ijo! Ayo balikin ke tempatnya!" "Enak aja. Saya kan capek-capek udah masukin ke situ. Gak mau!" "Siapa yang nyuruh masukin ke situ?" "Gak ada yang nyuruh. Mau Utit sendiri." "Ayo balikin gak?"

"Gak mau." "Sialan ni anak!" Dan terjadilah huru-hara lagi di dalam rumah itu. Sebab Utit yang diuber-uber dengan cueknya melompat ke meja makan, ke bupet, ke meja kerja Papi, ke rak piring, dan terakhir ke... dalam sumur! Tempat terakhir yang disebutin ini tentu bukan karena Utit ikhlas menjebloskan diri, tapi karena Olga berhasil menangkapnya, dan langsung menjebloskan anak itu ke sumur. Gak dalem sih, tapi lumayan seram. Sedang untuk hari ini kejadian yang ada gak beda-beda amat sama hari-hari sebelumnya. Di mana dua tokoh bengal itu terus bersinggungan. Peristiwa besar terjadi menjelang sore. Utit kembali dapetan menangis histeris di kamar Olga. Olga yang buru-buru hendak melarikan diri ke luar, dicegat Mami di pintu. "Olga! Apa lagi yang kamu lakukan terhadap si Utit?" "Gak apa-apa." "Gak apa-apa kok nangis, gitu?" "Ah, dianya aja yang cengeng. Baru dikelitikin pake silet aja nangis..." "Ha?" *** Saat situasi benar-benar kritis karena Mami pingsan di tempat dan tangis Utit makin nyaring, tiba-tiba terdengar deringan telepon. Dari Wina. "Hei, jadi gak nonton finalnya Cover Boy MODE?" tanya Wina dari seberang. "Jadi, jadi...," sahut Olga. Olga jelas mau. Ini kesempatan emas untuk keluar dari neraka rumah, dan ngelupain kenakalan si setan kecil itu

"Tapi...," sambung Olga, "anterin gue ke redaksi MODE dulu, ya? Gue belon beli karcisnya. " "Boleh deh Nanti gue jemput." "Jangan lama-lama. Gue udah gak sabar pengen cabut dari neraka ini!" "Neraka?" Olga keburu ngebanting telepon. Dan Olga yang sebel berada di rumah, langsung berkemas-kemas dengan tas gedenya. Ia ada niat mo ngungsi ke rumah Wina. Nginep barang beberapa hari, sampai Utit pulang ke Bandung. Sementara Mami yang pingsan, pelan-pelan bangun lantaran keberisikan tangis Utit yang diduga melebihi tujuh oktaf! Mami kemudian menggotong Utit ke luar kamar. Dan Olga langsung mengunci kamarnya rapat-rapat. Mami sempet ngeliat Olga bawa tas gede sambil bergegas mengikat tali sepatunya di meja makan. "Mau kabur ke mana kamu, Ol?". Olga bukannya ngejawab, malah mendendangkan lagu nostalgia, "Jangan ditanya ke mana aku pergi..." Mami jelas sebel. Tapi juga gak berdaya melarang anaknya yang keras kepala. Untungnya Olga, biar dikit-dikit, udah punya penghasilan sendiri. Di saat ngambek, kalo ngabur gak perlu ngejatuhin harga diri untuk minta uang saku. Cuek aja. Tit! Tiit! Tiiit! Olga girang banget mendengar klakson mobil yang udah gak asing baginya. Wina dateng ngejemput. Segera saja Olga melesat ke luar sambil menggotong tasnya. Gak lupa membawa serta Olzzya, boneka kesayangannya. Sepanjang jalan, Olga masih banyak melamun. Kesel mikirin kenakalan sodara sepupunya. Wina yang gak pernah ke MODE

jadi ngomel-ngomel terns sepanjang jalan. Abisan Olga-nya kayak males-malesan nunjukin jalan. Kalo ngasih perintah belok kiri atau belok kanan juga suka mendadak. "Kiri, kiri, eh, kanan, ding!" ujar Olga. "Duh, lo gimana sih, Ol. Yang bener, dong. Belok kiri apa kanan, nih?" "Kalo gitu lurus aja, deh." "Hah?", Untungnya Wina termasuk cewek penyabar. Tapi waktu mobilmobil yang ada di belakangnya mulai sirik, lantaran Wina gak sempet ngasih sen kalo mau bel ok, ia keki juga akhirnya. "Lo kalo ngasih tau jalan, jangan mendadak, dong. Gue jadi repot!" "Iya... iya. Sori. Lain kali gue bikin proposalnya dulu, lalu diajukan ke elo. Kalo setuju, baru kita belok," ujar Olga cuek. Wina melirik sebel lewat matanya. Bagusnya pas sampe MODE, belon tutup. "Cari apa, Dik?" tanya seorang mbak yang duduk di balik kauskaus keren-keren dan beken. Kantor MODE kebetulan emang jadi satu ama toko kaus! "Anu, cari tiket." "Tiket? Wah, saya ndak liat, tuh. Atau Adik carl-cari ke sebelah aja, dulu. Kali-kali aja tiket masih ada di situ." Olga sama Wina bengong. Tapi selintas kemudian dua cewek manis itu nyelonong masuk. Di belakang MODE Shop itu memang ada mbak-mbak manis yang mengurusi tamu. "Misi, Mbak..." "Ada yang bisa saya bantu?" ujarnya manis.

"Tiket acara Cover Boy masih ada?" "Wah, tinggal dua biji, tuh." "Kebetulan. Kita memang butuh dua karcis. " "Tapi yang ini kelasnya agak lain." "Maksudnya VIP?" "Bukan. Kalo yang VIP dan kelas biasa udah abis Yang dua ini lebih dari VIP. Kalo VIP kan duduknya pas di depan panggung. Nah, yang ini di kolong panggung. Jadi bisa ngecengin cover boy lebih dekat lagi. Gimana, mau?" "Ya, bolehlah..." Olga dan Wina pasrah "Hihihi, enggak ding. Bercanda, kok. Duduknya boleh bebas kok." *** Jreng! Saat yang ditunggu pun tiba. Pukul lima sore, Pasaraya Theatre udah kayak ditumpahin cowok-cewek keren seluruh Jakarta yang penampilannya pada menor-menor. Olga dan Wina dengan dandanan ala pemain lenong nampak berdesakan dengan pengunjung lain di tangga naik. Untung mereka berhasil menyusup dengan mulus. Artinya, bedak yang setebal satu senti gak ikut-ikutan rontok akibat desak-desakan. Hihihi... Olga menghela napas lega, selega lapangan golf. Wina menyeka keringet yang membasahi idung. Keduanya lalu mencari bangku di barisan paling depan. Sengaja biar bisa puas melototin para coboy yang kece-kece. Acara sendiri emang berlangsung seru. Sebentar-sebentar anak dua itu enjerit-jerit histeris kalo ada momen yang seru. Apalagi pas Imaniar melenggak dengan gaya keren, Olga sama Wina sampe ikut-ikutan goyang ala Paula Abdul dengan kompak. Gak sadar kalo penon ton di belakangnya udah sirik ngeliat tingkah mereka.

Tapi Olga cuek. Tetap asyik menikmati acara demi acara. Sampe akhirnya giliran wajah para finalis satu per satu ditayangkan lewat slide, anak-anak cewek mulai kalap. Tak terkecuali Olga dan Wina. Jerit sana, jerit sini. Sepak sana, sepak sini. Dan kebetulan sikut Olga nyasar ke jidat orang yang duduk di belakang saking lincahnya. "Sori ya, Mas. Sengaja," kata Olga basa-basi. Tentu orang itu gak mau terima, dan berusaha membalas Olga dengan jitakan. Untung Olga berhasil berkelit dengan mulus. "Udah deh, Mas Terima aja kekalahan situ!" kata Olga lagi. Orang itu akhirnya diem, walo masih dongkol. Sedang Olga dan Wina kembali larut dalam suasana meriah. Sampai akhirnya tampang ke-14 finalis selesai ditayangkan. Olga dan Wina sebetulnya udah masang taruhan, siapa pilihannya yang menang. Taruhannya gak tanggung-tanggung: yang kalah berendam di got! Makanya masing-masing tegang banget nungguin pengumuman pemenang Co-Boy '90. Siapa yang mau berendam di got? Di penghujung acara, pembawa acara membacakan nama-nama pemenang. Sampai akhirnya nomor undian 12 keluar sebagai juara pertama. Gedung serasa meledak oleh tepuk tangan dan teriakan pengunjung. Olga dan Wina terpekik secara berbarengan. "Gue menang!" jerit Olga keras dan spontan. "Gue menang!" pekik Wina gak kalah kerasnya. Keduanya kaget. Lalu saling bertatapan dengan pandangan bego. Lho? Bukannya gue yang menang?" tanya mereka bareng sambil melongo. Gak lama kemudian terjadilah keributan di antara dua makhluk Tuhan yang ajaib itu. Ternyata mereka sama-sama merasa keluar sebagai pemenang.

"Lho, nomor 12 kan pilihan gue. Lo kan megang yang nomor 14, Win!!!" jerit Olga, kesel. "Enak aja. Lo kali yang pikun. Gue dari dulu juga pegang 12, lo yang pegang 14!" bantah Wina. "Gue gak pernah salah. Lo jangan curang dong, Win. Gue inget banget, waktu itu lo pegang 14!" Dan masing-masing gak ada yang mo kalah. Emang susah ngebuktiinnya, karena, mereka masing-masing gak nyatet nomor pilihannya. Belon lagi sebelumnya mereka emang udah beberapa kali ganti pilihan. Pertama mereka ada yang milih 7, trus ganti 2, trus ganti 8. Jadi sulit dicari keabsahannya. Buntut-buntutnya karena saling gak mau ngalah, mereka gak tegoran waktu dalam perjalanan pulang. Sekalinya ngomong nadanya keras banget. "Sori aja deh, Win. Gue kan gak bisa berteman sama orang yang udah tau salah tapi tetap ngotot," kata Olga ketus. Wina mendelik sengit. "Apa lo bilang? Elo sendiri yang tukang ngotot. Udah tau salah!" "Ah, udah. Gue gak mau ladenin lo lagi!" pekik Olga. Sampe di rumah Wina juga, Olga masih ngambek. Wina cuek aja. Sementara Olga di kamar, Wina asyik nonton RCTI di tipi. Olga ngerasa gak enak. Sebel banget. Diem-diem dia kabur pulang lewat jendela. Tas gede dan Olzzya tersayangnya tak lupa ia bawa pulang. Itulah akibat kalo berteman terlalu akrab, suka malah gampang musuhan. *** Pukul sepuluh malem, Olga baru nyampe rumah. Celingukan sebentar di pagar depan. Olga lalu memanjat pagar, dan mindikmindik di pekarangan..gelap. Dengan susah payah Olga akhirnya sampe di pintu belakang. Dengan hati-hati ia merayap menuju

kamarnya melewati ruang tengah. Di ruang itu Mami dan Utit lagi asyik nonton tipi, membelakangi Olga. Pas hampir nyampe ke pintu kamar, tiba-tiba Mami berpantun keras, "Til-til-lang, kecapi pentil. Si centil pulang, bawa tai upil!" Olga kaget setengah mati. Sedang Utit melongok dari balik sofa sambil tertawa terpingkal-pingkal. Olga bangkit dengan kesal, lalu buru-buru membuka kunci kamarnya. "Makan bubur berlauk tulang, Jangan ngabur kalo mau pulang!" ledek maminya lagi. Utit makin keras tawanya. Olga membanting pintu. Brak! Lalu dikunci rapat-rapat. Mami dan Utit ber-toast. *** Selama beberapa hari ini terpaksa Olga cuma bisa ngeram di kamar. Padahal suasana rumah sumpek banget. Keakraban Mami dan Utit makin bikin Olga keki. Tapi mau keluar juga ngapain. Wina udah gak mau nemenin pake bo'ilnya lagi. Ini pertama kali dalam hidupnya Olga merasa kesepian. Gak punya teman, gak punya mami. Apalagi Papi lagi tugas ke luar kota. Olga menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Mau nangis aja rasanya. Gak punya teman ternyata gak enak banget. Olga jadi inget Wina. Ternyata Olga butuh temen main. Butuh Wina. Memang kadang kalo udah ilang, kita barn bisa ngerasa berharga punya sesuatu. Olga jadi sadar, dan ngerasa malu sendiri. Kenapa ia harus musuhan sama Wina hanya gara-gara co-boy. Padahal coboy-nya sendiri cuek-cuek aja, tuh. Nyante aja. Gak ngerasa kalo lagi diributin sama Olga dan Wina. Olga ngerasa jadi orang paling bego. Kenapa gitu, ya? Orang kadang suka ribut sendiri soal orang lain, sementara orang yang diributin itu malah gak tau apa-apa. Saking fanatiknya sama idola, kita malah sering berbuat gak logis: memusuhi temen sendiri.

Olga bangkit dari tempat tidurnya. Mengucek-ucek mata sebentar yang dihiasi setitik air. Olga emang sempat menangis. Menangisi kebegoannya. Menangis kenapa ia harus musuhan sama Wina. Olga membuka pintu kamar: Lalu pelan-pelan berjalan ke ruang tengah. Dilihatnya Utit lagi asyik main Barbie sama Mami. Akrab banget. Mami emang udah lama pengen punya anak kecil, tapi kata dokter Mami terlalu uzur buat melahirkan lagi. Olga aja lahir pake bedah caesar segala. Itulah makanya Mami sayang banget sama Utit. Sampai di sudut ruang tengah, Olga mengangkat telepon. Menghela napas sebentar, lalu memutar nomor rumah Wina. Ada nada sambung. Lalu suara Wina menyahut di ujung sana "Halo?" "Ini Olga, Win:' "Oh." Suara Wina terdengar lega. "Maapin gue ya, Win? Waktu itu kayaknya kita keterlaluan." "Samaan, Ol. Gue juga mo minta maaf. Sepi banget gak ada elo." "Gue juga gitu." Wina ketawa. "Kapan kita main lagi, Win?" "Sekarang juga boleh." "Lo jemput gue, ya?" "Okai. Stand by aja di tempat. Ntar gue culik. Gak ada persoalan lagi, kan?" "Enggak dong. Lucu juga ya kita. Marah hanya karena orang lain." "Iya. "

"Padahal persoalan sepele aja," ujar Olga lagi, "hanya gara-gara lo milih 14, terus gue milih 12..." "Eh, bukannya salah, tuh? Elo yang 14, gue yang 12." "Apa? Gue yang 12, elo 14. Kok pikun amat sih elo, Win?" "Enak aja lo ngomong! Ingat-ingat yang betul dong, Ol. Jelas-jelas lo milih 14. Gue sih gak pernah lupa, Ol. Gue bukannya takut berendem di got. Apa sih susahnya cuma berendem doang. Tapi kalo kenyataannya gue yang menang, lo mau bilang apa?" Wina mulai ngotot. "Gak bisa. Gue 12, lo yang 14!" jerit Olga. "Gue yang 12!" "Gue!" "Gue!" "Gue, jelek lo!" "Lo yang jelek!" Brak! Keduanya lalu membanting gagang telepon secara berbarengan. Mami dan Utit terlonjak kaget! Lalu ber-toast lagi. 2. Penganten Kumat SEJAK musuhan sama Wina, Olga jadi giat banget nongkrong di Radio Ga Ga. Tapi kali ini Olga kaget banget waktu semua orang di sana pada ngeledekin. Ada undangan buat Olga. Ledekan dimulai ketika dengan sengaja Mbak Vera menggopoh-gopohkan dirinya memberitau Olga kalo ada undangan di mejanya. Jelas Olga surprise melihat undangan itu. Sebenarnya bukan hanya Olga yang kaget, tapi seisi radio juga pada tersentak. Lantaran undangan itu dari Somad. Dan nama Somad udah lama banget gak kedengaran. Ya, walo cuma suratnya aja yang nongol, tapi itu sudah merupakan kejutan.

Ceritanya gini, adeknya Somad yang cewek kawin. Perayaannya di rumah Somad, dan Olga diundang. Olga jelas kaget, karena udah lama Somad gak datang mengganggu. Anak-anak Radio Ga Ga jadi pada ngegodain lagi, "Udah, lo dateng aja. Siapa tau lo juga langsung dilamar! Hahaha." Olga jelas sebel, dan so pasti ampe tujuh turunan juga dia gak mau dateng. Ia emang alergi banget ama Somad. Anehnya kok Somad nekat ngirim undangan ke Olga. Lagian malem Minggu ntar Olga udah janjian mau jalan-jalan sama Sandra sekalian nonton film mitnait. Jadi udah jelas Olga gak bisa dateng ke pesta perkawinan adeknya Somad. Meskipun gak ada acara, kayaknya mustahil kalo Olga sampai mau menuhi undangan itu. Apalagi di rumah keadaan sudah kembali tenteram, setelah si Utit pulang ke Bandung. Tapi di rumah, menjelang hari dilangsungkan perayaan kawinan adeknya Somad telepon Olga sering banget berdering. Ya, dari siapa lagi kalo bukan dari Somad. Hampir tiap saat Somad neleponin Olga. Nanyain kesediaannya dateng ke acara kawinan itu. Jelas Olga jadi ngerasa diteror. Mana tiap kata-kata yang terlontar itu-itu melulu, lagi! "Halo, bisakah aye bicare empat mate lewat telepon ame Olga? Aye Somad bin Indun!" Somad terus-menerus nelepon ke rumah Olga. Dan Mami yang udah dipesen sama Olga supaya bilang Olga gak ada di rumah, jadi kerepotan sendiri. "Oh, Olga-nya lagi ngumpet, eh, lagi nggak ada, tuh," bohong Mami., "Ke mane ye, Bu?" Somad penasaran. "Kalo gitu, ntar aye telepon lagi, deh. Masih banyak kok persediaan gocapan aye."

Somad menutup telepon. "Huh, aye, aye..., kayak lagu disko, selalu pake 'aye'!" Mami mengumpat. Olga ngikik di balik dingklik. Abis bayangin aja, ampir tiap satu jam sekali tu anak nelepon. Si Mami jelas belingsatan mondar-mandir melulu dari kamar ke ruang tengah, dari dapur ke ruang tengah, dari halaman belakang ke ruang tengah. "Duh, Olga-nya gak ada, tuh, Nak Komad. Tante gak tau dia ada di mana. Sungguh. " "Name aye Somad, Ibu. Tapi nggak kenape, kok. Aye masih setie. Kebetulan telepon umum di sini udah aye carter seharian. " Mami ampir gak tahan ngeladenin telepon Somad. Tapi Mami kepaksa ngangkat tu telepon, lantaran dia itu sebetulnya lagi nungguin telepon penting dari rekannya. Jelas ini bikin Mami kesel. Jadi setiap kali abis lari terbirit-birit dan ternyata Somad lagi yang nelepon, ia jadi mangkel. "Uuuh, dia lagi, dia lagi! Nggak abis-abis apa gocapannya?" Sementara sekarang Olga lagi enak-enakan tidur di kamar sambil baca-baca komik. Sedang Somad sendiri masih terus berupaya. Dan agaknya kini ia mulai tau kalo Mami sudah jenuh. Makanya sesekali ia engaku Romy, Ryan, Ongky, Alex, Zulkifli, Rinaldi, Oyong, Ikbal, Patulo, Idir, Andri, Sigit, Kimung, Axl Rose, Sudiyanto, atau Jaja! Begonya Somad sebelon berbo' ong selalu ngaku, "Halo, ini Somad yang pake name Zulkifli. Ape Olga ade?" Sore harinya Olga teringat pada Sandra yang udah janjian mau cabut nonton. Buru-buru ia nelepon Sandra. Tapi ternyata tu anak malah pergi. "Pergi? Pulangnya jam berapa, Tante?" tanya Olga. "Gak tau, tuh. Mungkin juga gak pulang.

Soalnya tadi dijemput Farah, sodara sepupunya yang baru ngungsi dari Irak. Mungkin malah nginep di Bogor, di rumahnya. Abis Farah kan teman main Sandra semasa kecilnya dulu. Ada pesen, Ol?" "Oh, enggak, deh, Tante." Olga menutup telepon dengan sedikit sebel. Sial, tu anak kenapa ngebatalin janji gak nelepon-nelepon dulu, sih. Olga mangkel. Olga jadi bener-bener gak punya acara malam ini. la bakal kesepian di malam Minggu ini. Sial. Bener-bener sial. Olga mengutuk-ngutuk dalam ati. Sambi! nangkring di kursi belakang rumah ngeliatin burung-burung senja yang beterbangan, dia terbengong-bengong. Kriiing! Telepon berdering. Mami segera cabut lagi ke ruang tengah, menyambar gagang telepon. Dan ternyata... "Tomat lagi! Tomat lagi." "Somad, Ibu. Aye Somad." "Iya, Somad-samid, kan?" "Itu sih komat-kamit. Ini Somad bin Indun... " "Udah tau! Kan udah dibilangan berkali-kali, Olga-nya..." Olga yang nguping dari teras belakang jadi teringat. Dan buruburu nyamperin si Mami. "Eh, sini, Mi. Olga terima." "Lho, katanya kamu gak ada?" Mami heran. "Mami udah bilang gak ada, nih!" Olga cuek merebut gagang telepon. "Kamu ini gimana, sih?" protes Mami sambil menjerit. "Mami kan malu jadi ketauan bo' ong!"

"Bilang aja baru pulang." Somad sesungguhnya mendengar pertengkaran sengit itu dari seberang sana. Tapi cuek aja. "Halo," sapa Olga lembut.. "Eh, ini Olga, ye? Ya amplop, ke mane aje, kok baru pulang? Aye udah dari tadi subuh neleponin Olga, tapi kata mami situ gak ada di rumah." "Iya, gue emang baru balik. Hm, ada apa, ya?" "Gini, Ol. Situ jadi kagak dateng ke rumah aye? Kan situ udah nerima undangannye. " Olga mikir barang sedetik. "Boleh, deh." "Asoooi...! Kalo emang bener situ mo dateng, biar deh, Abang jemput. Olga tunggu aje di rume. Jangan ke mane-mane lagi. Tunggu Abang, ye?" *** Gak lama, tepatnya pas selepas magrib, udah kedengaran deru motor yang suaranya mirip-mirip mesin penggiiing tebu. Berisik! Ya, Somad datang ngejemput Olga. Dandanannya norak banget. Pake jaket jins bersulam "Bang Jalil" di bagian belakangnya. Ciri khas jaket penggemar dangdut. Celananya korduroi warna ijo yang bagian bawahnya terbuka selebar mulut baskom. Di lehernya melilit slayer warna kembangkembang. Belon sepatu jengkinya yang item mengkilap dengan hak setinggi tiang jemuran! Wah, pokoknya penampilan Somad oke banget, deh, di matanya sendiri. Di mata orang lain? Hohoho, out of date! Somad mengklakson. Pep, pep, pep! Lagaknya bak koboi turun kuda. Somad juga mengikat motornya tanpa mematikan mesin, di pager besi rumah Olga. Sambil melangkah pasti, ia memencet bel. Belon lagi pintu terbuka,

ikatan motor lepas. Walhasil tu motor melesat sendirian. Somad terperangah. Kaget. Tanpa ba, bi, bu, langsung mengejar motornya yang ngelayap sendiri. Sementara Olga dan maminya yang sudah muncul di situ, terheran-heran ngeliat somad ngubernguber motor. Ah, untung ketangkep! "Malem, Ibu. Aye Somad bin Indun mau jemput calon sukaan aye, Olga," sapa somad setelah kembali mengikat kuat-kuat motor bututnya itu. Keringetnya membasahi slayer kembang-kembang. Olga semula risi banget. Tapi gak enak atii ngeliat pengorbanan Somad itu. Akhirnya dengan dandanan seadanya ia membonceng di belakang Somad. "Kok nggak pegangan pinggang aye, Ol?" tegur Somad demi ngeliat Olga yang cuma pegangan pinggir jok saja. "Gak pa-pa, pegangan di sini juga sama aja, kan? Sama-sama gak enak dipegang " Sementara Marni waswas banget. Apa iya motor ini masih bisa jalan? Abis tu motor sama banget sama pemiliknya. Sama-sama kuno! "Ati-ati ya di jalan." "Beres, Ibu," tukas Somad. "Kalo lampu merah setop. Kalo gak ada lampu merah, cari yang ada lampu merahnya. " Olga bengong dengar wejangan maminya. Si Mami emang udah gak tau apa yang mesti dipesenin. Abisan Mami waswas banget. "Ati-ati, Ol. Baca bismillah...," pesen Mami lagi. Olga mengangguk lemah. Somad masih kerepotan dalam menstarter motornya. Gak nyala. Barangkali businya basah. Somad turun, sementara Olga ada di boncengan. Cuek saja ia memeriksa busi tanpa memasang sandaran motornya Walhasil

Olga dengan kedua kakinya meregang terpaksa menjaga tu motor biar gak rubuh. Mami cuma bisa geleng-geleng kepala! Busi oke. Somad menstarter lagi. Dan terdengarlah deru mesin penggiling tebu! Motor meninggalkan asap yang mengepul tepat di idung Mami. Mami terbatuk-batuk. Tapi masih sempat ia berpesan, "Ati-ati, jangan sampe ketiduran, Ol...! Uhuk! Uhuk!" Pas nyampe di kampung Somad, ternyata sambutannya meriah banget. Kampung somad letaknya emang rada ke pinggir. Di sini biasanya banyak orang Betawi asli yang merasa tersingkir akibat pembangunan kotanya untungnya mereka gak pernah teriakteriak nuntut keadilan. Gak pernah. Mereka nyante aje! Orang-orang di situ satu sama lain masih akrab banget. Gotongroyong masih kuat. Seperti saat ini, banyak orang berkumpul di rumah Somad untuk bergotong-royong ngabisin penganan di situ! Dan orang-orang di sit1i juga pada tau kalo sekarang Somad lagi ngejemput calon sukaannya. Makanya selain ingin datang ke perayaan perkawinan adeknya Somad, mereka juga pengen bertemu ama calon sukaannya Somad yang konon kabarnya kuece itu!. Dan bener saja. Ketika deru mesin penggiling tebu itu mulai terdengar, semua mata menuju ke arah datangnya motor. Mereka pun berdecak hebat setelah motor itu benar-benar berhenti tepat di depan mereka. Olga jelas gak enak ati. Sementara decak itu kian keras saja. Tua-muda, besar-kecil, jelek-cakep, kaya-miskin, terkesima liat kecakepan Olga Decak mereka membahana ke seluruh isi kampung. Emak Somad yang selama ini cuma tau lantaran cerita anaknya doang, saat itu bener-bener takjub! Sampe nampan yang ia bawa jatuh, hingga kue-kue jatuh berserakan. Ia menghampiri Olga, meraih tangannya dan mencium jemarinya. Salam hormat yang tulus dari calon mertoku!

"Jadi ini yang sering ente ceritain ke Emak, Mad? Emak mah setuju aje kalo itu emang pilihan lo, Mad. Ayo, deh, Neng, kita masup!" Para tetangga masih terus berdecak. Serasa musik alami yang mengiringi langkah-langkah kaki Olga. Sakral banget jadinya. Sementara alunan irama dangdut masih terus menyenandung. Beberapa sodara Somad menyambut Olga dengan keramahtamahan yang sama pula. Seakan menyambut keluarga yang baru pulang dari naik haji! "Cakep banget, Mad, sukaan lo! Bintang pelem, ya?" timpal salah seorang sodara. "Iya, Mad. Lo jago banget milih gaeoan," sembur sodara satunya lagi. "Ati-ati jangan ampe lecet, Mad!" tukas sodaranya yang lain. "ly e udeh, deh, Mad. Lo iket aje. Lo tandain kek barang segram dua gram! Olga bener-bener risi, dan heran Iuar biasa. Ia gak nyangka bakal dapat sambutan semeriah begini.. Seselesai Olga menyalami penganten, la digiring ke meja makan. Di sana banyak suguhan khas kampung situ...mulai dari getuk, peyek, rengginang, wajik, onde-onde, apem, sampe ke kue lapis!. Sambil ngemil, keluarga Somad gak abis-abisnya ngomongin kebahenolan Olga! Somad yang ngerasa seperti pangeran menang perang itu, duduk di samping Olga dengan senyum bangga. Isi hatinya penuh dengan sejuta bayangan. Ia ngebayangin kalo dia yang duduk di kursi penganten sana berdampingan dengan Olga. Somad berniat bikin acara yang semeriah mungkin. Lenong semalem suntuk, tari cokek a mpe pagi, jaipongan, layar tancep, semua disajikan bersamaan. Tunggu tanggal mainnya, OI, batin Somad tersenyum.

*** Pulang dan kondangan, Olga langsung setel tampang kusut. Abis kesel sama sodara-sodara Somad yang super norak itu. Sementara Somad yang punya perasaan badak, malah keliatan hepi banget. Gak tau kalo Olga lagi uring-uringan. "Kayaknya enyak aye girang banget pas tadi ketemu situ, Ol," omong Somad.. Olga gak bereaksi. "Kalo gitu, tandanya hubungan kita bakal lancar, Ol. Soalnya biasanya enyak aye suka pilih-pilih!" tukas Somad lagi. Olga mulai empet. Apalagi saat itu cara Somad nyetir motor kayak orang baru belajar. Sruduk sana, sruduk sini. Gak peduli lubang dan kerikil, semua disikat terus. Akibatnya Olga jadi terlonjak-lonjak di jok belakang, dan terpaksa memeluk pinggang Somad erat-erat. "Hei, pelan-pelan, kek!" jerit Olga saking gak tahannya. Somad kaget. "Ape?" ia bertanya bego. "Pelan-pelan bawa motornya. Masak gak denger, sih?" teriak Olga lebih keras lagi. "Oh, kekencengan, ya?" "Iya. Kok nanya terus?" jawab Olga sambil mencubit pinggang Somad. Somad kegelian. Lalu mengendurkan kopling gasnya. Tapi walo motor telah berjalan santai, tampang Olga tetap aja ditekuk. "Ini kan ude pelan. Kok Olga masih cemberut sih?" tanya Somad sambil ngintip dari kaca spion. Olga mendelik. "Gimana gak cemberut, kan lagi kesel. Kalo gak kesel juga gak cemberut!" jawab Olga ketus.

"Nah, kalo gitu jangan kesel, dong!" saran Somad walo hatinya kecut. "Gak bisa, dong, orang lagi cemberut disuruh jangan kesel. Gue - kesel ini karena gue lagi cemberut, tau!" Somad menggaruk-garuk rambutnya. Kebingungan. "Aduh, Olga kalo mare suke bikin bingung, sih! Aye jadi serbe sale," kata Somad sambil mendesah. "Salah sendiri kenapa serba salah. Coba serba betul, kan jadi gak serba salah!" komentar Olga. Somad gelagapan. Lalu gak berani omong lagi. Takut tambah ruwet. Untung gak lama kemudian rumah Olga samar-samar mulai nampak. "Udah, turunin di sini aja!" pinta Olga tiba-tiba. "Kok?" "Turunin gue di sini." "Wah, pan Somad harus mulangin Olga ke orangtue situ. Apa kate nyak-babe Olga nanti? Somad berusaha. menahan. Tapi Olga udah keburu loncat. Dan lari menuju pekarangan rumah. Tinggal Somad yang terpaksa menjerit-jerit. "Olga! Olga! Tunggu!" teriak Somad. Tapi Olga udah ngilang. *** Esok Minggunya, Olga bangun pagi-pagi sekali ngalahin ayam tetangga yang masih terkantuk-kantuk. Olga ngulet sebentar di tempat tidur, lalu bergegas keluar. Di beranda Olga menemui Mami dan Papi lagi pada asyik baca koran Minggu. Papi di halaman kiri, dan Mami di halaman kanan.

"Tumben, rukun," celetuk Olga sambil mencomot pisang goreng di depan Mami, dan menghirup susu coklat yang masih mengepul. Olga lalu ikutan ngegabung. "Geser dikit dong Pi!" pinta Olga yang ambil posisi di samping Papi. Mami keliatan serius, seolah gak peduli dengan kedatangan Olga. Tapi suka tiba-tiba nyeletuk. Ini emang kebiasaan Mami. Sok cuek tapi pengen ngomong banyak. Dan kalo diladeni susah berhentinya. "Gimana semalem kencannya dengan si Format, Ol? Seru, gak?" tanya Mami tanpa melepas matanya dari koran yang ia baca. "Wah, kaco, Mi. Sodara-sodaranya Somad, bukan Format, ternyata pada norak-norak. Olga jadi tengsin berat!" jawab Olga dengan pandangan mata tetap ke koran. "Kayaknya kamu cocok sama si Donat itu, Ol. Udah, jadiin aja." Olga kaget mendengar saran Mami. "Apaan, sih? Norak. Olga kan cuma iseng aja jalan sama si Somad itu, bukan Donat. Pengen tau gimana tu pesta, daripada bengong di rumah. Kayak gak ada cowok lain yang lebih kece," tangkis Olga. "Iya, tapi yang jelas-jelas mau sama kamu kan cuma si Kumat. Yang lain mana? Paling-paling si Kuncup. Eh, siapa namanya? Ucup, ya? Menurut Mami, asih kalah-jantan sama si Kumat," Mami tetap bersikeras. Olga diem aja. Kesel. "Kamu gak usah marah. Nyatanya yang bener-bener suka sama kamu kan si Sunat!" Mami ngomong lagi. "Ah, udah, deh, Mi. Kok jadi ngomongin Somad melulu, sih!" kata Olga keras-keras.

"Somad? Somad yang mana?" Mami kaget sambil menoleh ke Olga. Papi di tengah masih respek ke koran. "Lho, dari tadi bukannya Mami lagi ngomongin Somad?" "Ngomongin Somad? Siapa tuh Somad? Ngaco. Kenal aja enggak!" kata Mami keki., Olga keheranan. Papi jadi tertawa terpingkal-pingkal. Geli ngeliat tingkah laku Mami yang rada pikun. Olga akhirnya paham kalo penyakit pikun Mami lagi kumat. Pantes tadi Mami salah terus nyebut nama Somad. *** Sampe siang gak ada kejadian istimewa kalo gak sekonyongkonyong dari ujung jalan muncul suara gaduh. Suara petasan renceng yang meledak-ledak, dan anak-anak yang berlarian menghambur, membuat uleran sepanjang lima meter. Mami yang lagi nyeduh teh celup di teras, sempat kaget. "Siapa yang siang-siang gini masang petasan renceng, Mi?" tanya Papi yang kepalanya menyembul dari jendela depan. "Tau, Pi. Padahal Lebaran masih lama, ya?" jawab Mami. Mami dan Papi lalu menghambur ke depan pagar. Melongok ke ujung jalan. "Wah, iring-iringan apa tuh, Pi? Kok mereka pada bawa kue?" "Bawa kue?" "Iya, Pi," Mami menjawab semangat. "Berarti mereka pada mau ngelamar, dong?" "Ngelamar apa?" "Ngelamar anak gadis orang. Orang Betawi kan kalo mau ngelamar suka gitu."

"Tapi anak siapa yang mau dilamar, ya?" "Mana aku tau lah," jawab Papi sambil surut ke dalam. Mami mengikuti. Keduanya lalu duduk di beranda. Sementara dari ujung jalan, iring-iringan terus bergerak maju. Suara petasan masih berbunyi meriah, ditingkahi suara anak-anak yang berteriak-teriak kegirangan. Suasana di sekitar situ emang mencolok sekali. Orang-orang yang beriringan pakaiannya rapirapi. Lengkap dengan peci. Masing-masing membawa senampan kue. Ada yang membawa kue geplak, kue wajik, kue talam, kue lapis, dan buah-buahan sebangsanya salak, jeruk, dan jambu. Orang yang berada di barisan depan, malah membawa roti gede berbentuk buaya. Namanya roti buaya. Roti khas buat ngelamar anak orang. "Yang mana, nih, rumahnya?" tanya sebuah suara. "Terus, Be. Itu tuh, yang ada pu'un jambu klutuknye!" jawab suara lain. "Emangnya udah pasti tu anak mao ame elo?" "Kagak usah ragu lagi. Ibarat ayam, tengkoknye ude aye pegang. Buruan deh, Babe, nanye melulu, sih! Ntar keburu keduluan orang. " Iring-iringan itu pun terus- berarak maju. Dan berhenti tepat di halaman pintu rumah Olga. "Wah, ada apa, nih, Pi? Kok mereka pada brenti di situ?" Mami yang lagi memegang cangkir terlonjak kaget. Papi gak kalah kagetnya. "Iya, ya. Ada apa, ya? Apa mereka gak salah alamat?" Belum lagi bingung Papi dan Mami ilang, salah seorang dari iringiringan itu langsung memberi salam pada Papi dan Mami. "Assalamualaikum! Apa betul ini rumahnye Neng Olga?"

"Walaikum salam. Betul, tuh. Tapi ada apa nih rame-rame?" jawab Papi sambil bertanya. "Apa di situ orangtuenye Neng Olga? Kite nih pada mo ngelamar," tanya si pemberi salam sambil ngejawab. "Ngelamar siapa?" Papi dag-dig-dug. "Ngelamar Neng Olga. Ini Somad anak aye, katenye die ude lame sukaan ame Neng Olga. Semalem juge Olga ude dibawa ke rume. Kite yang tuetue kayaknye ude cocok, tuh. Abis tu anak boto be' eng, sih. Nah, semalem Somad nangis sesenggrukan minte dilamarin. Die ngancem mo bunuh diri segale. Daripade urusan same polisi susye, akhimye kite yang tue-tue ambil keputusan mending dilulusin aje permintaannye. Lagian umur Somad juge ude bangkotan banget. Nah, gimane ni, lamaran kite diterime kagak?" si pemberi salam, yang ternyata bokapnya Somad, ngocol panjang-lebar. Papi bengong. Mami melongo. Lalu keduanya jatuh lemes Olga yang saat itu lagi tidur siang ngimpi giginya copot satu. 3. Hadiah Natal PAGI itu hari tampak basah. Hujan turun deras, bagai air terjun ditumpahkan dari langit. Olga mengintip dari jendela kamarnya dengan muka bersungut. Kesal. Hari itu, tepat hari Natal 25 Desember. Dan Olga punya rencana mau datang ke studio. Ada rasa kangen, setelah menjelang Natal ini Olga disibukkan ujian semester di sekolah. Hingga ia sempat cuti. lama. Sampai tiga minggu penuh. Selama itu dia membendung rasa kangen, untuk mencoba konsentrasi ke pelajaran sekolah. Ya, Olga tentu gak mau ngecewain Mami dengan nilai-nilai yang bikin Mami shock.

"Kenapa sih kamu harus ke Radio Ga Ga pada hari Natal begini?" tegur Mami ketika melihat anaknya gelisah basah sambil ngintip ke luar jendela. "Kangen, Mi." "Apa studio kamu itu gak tutup hari-hari besar begini?". "Justru itu, Mi. Olga tau, anak-anak pasti pada gak ada. Pada libur. Dan acara yang disiarin di radio hari ini paling juga rekaman yang kemaren-kemaren... "Trus, ngapain, dong kamu ke sana? "Olga kangen aja. Kangen sama studionya.". "Kamu ini suka aneh-aneh aja. Gak beda sama papimu!" Mami menggerutu sambil memasukkan baju-baju hasil setrikaan ke lemari pakaian. "Mami pernah mikir, gak, bahwa bahkan pada hari Natal, hari Lebaran, dan hari-hari besar lainnya, radio itu gak pernah brenti siaran. Nah, supaya gak brenti siaran, harus ada operator yang nungguin. Yang ngontrol, dan muterin kaset-kaset rekaman. Kasian kan, Mi. Mereka-mereka itu kesepian banget. Sementara orang lain hura-hura, mereka bengong aja di studio nungguin alat-alat siar. Padahal, Mi, gaji mereka kan gak seberapa. Tapi mereka kerja gak pernah libur. Malah sebaliknya, dituntut untuk menyajikan acara yang spesial...". "Siapa suruh?" komentar Mami cuek. "Siapa suruh? Itu kan, tuntutan profesi. Mami sendiri marahmarah kalo pas taun baru acara di tipi gak spesial!" Olga ngotot. "Ya, ya," maminya ngalah, "trus, ceritanya kamu mau ke studio nemenin orang yang bertugas itu?" "Ya, Olga mo siaran. Biar bukan tugas Olga, mumpung Olga gak ngerayain Natal, apa salahnya ngehibur orang-orang yang Natalan.

Sekalian kirim-kirim selamat buat temen-temen. Lumayan kan, gak perlu beli prangko dan kartu Natal." "Pengiritan seperti itu juga mencerminkan kamu mirip papimu! Sama-sama pelit." Olga mendelik sewot. Ih, kayak situ gak pelit aja! gerundelnya dalam ati. Tapi Olga tetap pada rencananya. Kemarin sore pun Olga udah nyempetin beli berapa kaset pop Natal Tommy Page, Air Supply, dan New Kids on the Block. Tentunya Olga gak pengen ngerepotin petugas diskotek radio nyediain lagu-lagu yang ia butuhkan. Mami mengantar Olga sampai pintu depan. Hujan masih lebat. Olga memakai mantel ujan "Sadhe" bikinan Prancis yang baru ia beli seharga tiga puluh lima ribu. Modelnya keren kayak jas panjang. Lalu memakai payung besar. "Kamu bener-bener mau siaran nih?" tanya Mami. "Mami kenapa, sih?" Olga agak sebel. "Soalnya, liburan begini Papi kerjanya tidur melulu. Mami gak ada temen buat sparring-partner. " Olga ngikik "Jangan lupa dengerin Radio Ga Ga, ya? Ntar Olga kirim-kirim lagu buat Mami." "Ya, Mami gak pernah lupa. Radio Fa Fa, kan?" Olga berjalan lambat-lambat menerjang hujan. Setiap toko yang ia lalui, nampak memasang pohon pinus mungil yang diberi kelapkelip lampu. Beberapa orang dewasa nampak masih ada yang keluar-masuk toko dengan wajah cerah, sambil membawa berapa bungkusan dan berjalan bergegas. Suasana pagi yang sepi itu nampak semarak dengan kerlap-kedip lampu.

Hujan makin deras. Di tengah langkahnya yang berat, Olga membuka-buka majalah MODE yang sempat ia bawa. Sesekali, sambil melihat-lihat ke depan, ia membaca rubrik "Bintang". Tentu yang dibaca adalah ramalan bintangnya: Virgo. Olga gak pernah percaya ramalan begituan. Tapi untuk iseng, bolehlah. "Jiwamu emang petualang, Nona Virgo," begitu tertulis dalam majalah, "tapi jangan lantas bertualang di dalam bis kota hanya untuk menghindari tagihan ongkos dari kondektur, dong!", Hihihi, Olga tertawa dalam hati. "Isi liburan akhir tahun ini dengan kegiatan yang bermanfaat, misalnya ngebetulin genteng rumah, atau nyuciin mobil papimu yang udah setaon gak pernah dimandiin, serta hilangkan kebiasaanmu menyimpan kaus kaki bekas keujanan yang basah di balik bantal Mami. Bau, tau!" Olga manggut-manggut. "Dan sekarang waktunya kamu mikirin apa yang telah kamu lakukan selama setahun kemaren. Jangan lupa, kamu juga bakal kecipratan rejeki dari seorang yang sama sekali gak kamu kenal..." Ceprot! Baru saja Olga menamatkan kalimat itu, tiba-tiba sebuah mobil lewat dengan kecepatan tinggi dan menyipratkan genangan air ke mukanya. Olga terpekik kaget! "Hei! Pelan-pelan!" jerit Olga sambil memaki-maki. Lalu kepada MODE, "Trims atas rezekinya." Olga menutup majalahnya. Dan melangkah dengan cepat-cepat. Kini genangan air nampak di mana-mana. Dan banjir semata kaki menutupi trotoar tempat Olga berjalan.

Baru beberapa langkah, Olga merasa kesal. Dan kembali penasaran pengen menamatkan ramalan bintangnya. Ia pun membuka majalahnya yang agak basah, lalu kembali tekun membaca, "Akan ada surprise yang tak terduga-duga di depan matamu. Mungkin itu bisa kamu terima sebagai hadiah Natal dan Tahun Baru yang sangat mengesanka..." Byur! "Up..., ap..., t-toloooong! Blp! Blp!" Tiba-tiba tubuh Olga lenyap ditelan gorong-gorong menganga di depa nya, yang gak keliatan karena ketutup banjir. Beberapa orang yang lalu-lalang di situ terkejut setengah mati melihat ada tangan menggapai-gapai. Lalu pada ribut menolong, mengeluarkan Olga dari gorong-gorong itu. Hampir sekujur tubuh Olga basah kuyup karena tenggelam.. Gigi Olga gemeletuk kedinginan. Majalah dan kaset-kasetnya hanyut di selokan. Olga duduk di depan kios toko, yang terlindung hujan sambil dikelilingi beberapa pria dewasa. Rasanya tengsin banget! "Aduh, petugas taman kota! Sudah berkali-kali dikritik agar menutup liang kala hujan, masih juga teledor!" ujar seorang bapak setengah baya mengutuk, dan menaruh iba demi melihat keadaan Olga yang basah kuyup. "Kamu kedinginan?" ujar seorang bapak. Pertanyaan yang gak perlu dijawab! rutuk Olga dalam hati. Lalu beberapa pegawai toko terburu-buru menyiapkan coklat hangat untuk Olga. Olga langsung meneguk, dan mengucapkan terima kasih. "Kasian, Natal-Natal begini kok tertimpa bencana," komentar orang yang lainnya. "Perlu diantar pulang? Rumahnya di mana?"

Olga menggeleng. "Makasih, saya mau ke studio radio. Itu udah deket. Tanggung. Biar nanti ganti bajunya di situ aja." Yang terlintas dalam benak Olga saat itu, memang pergi secepatcepatnya darii situ. Ia gak tahan "Perlu ditemani?" "Enggak. Makasih." Dan dengan perasaan mokal berat Olga pamit. "Mungkin nasihat ini usang, Nak, tapi masih perlu dicamkan," ujar seorang bapak yang sudah agak memutih rambutnya, ketika Olga hendak beranjak. "Jangan biasakan membaca kala berjalan kaki." Olga cuma tersenyum kecut. Lalu berlalu dengan hati mengutukngutuk. Ia berharap di studio ada Mbak Vera atau siapa aja yang bisa meminjamkan baju. Rasanya gatel banget abis kecebur got. Sampai di depan pintu studio suasana lengang. Olga mengetuk. Tak ada jawaban. Aduh, ketiban sial lagi! Bisa mati kedinginan, nih! Olga pun menguakkan pintu yang tak terkunci, dan mengintip ke dalam. Gelap. Suasana sepi. Seperti gak ada siapa-siapa. Ah, tapi gak mungkin. Lantas, siapa yang menyiarkan siaran di radio? Dengan rasa penasaran, Olga pun melangkah masuk. Tetes-tetes air membasahi lantai yang bersih. Olga melepaskan mantelnya yang terasa berat. Lalu. Toeeet! T oeeeet!!!! Lengkingan suara terompet mendadak terdengar dari segala arah, bikin ia melompat saking kagetnya. Asamalakata! Jantungnya serasa copot. Tiba-tiba... byar! lampu menyala terang. Dan muncullah wajahwajah para penyiar dari tempat persembunyiannya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha..."

"Halo, Olga! Selamat Natal dan Tahun Baru!" ujar mereka serempak. "Eh, lo gak Natalan, ya? Taon Baru aja, deh!" Olga masih belum sadar betul ketika satu per satu melompat dari tempat persembunyian, dan menyalaminya. Mbak Vera, Bernardus Hari, Ucup, Sebastian, Sandra, Mas Ray, Bowo, Rudi, dan penyiarpenyiar lainy a. "Lho, abis ngapain, Ol? Kok penampilan lo basah kuyup begini?" ujar Ucup kaget. "Iya, mo bikin trend baru, ya?" timpal Sandra. "Kayak tikus kejebur got!" ungkap Bowo. "Emang abis kejebur got!" gerutu Olga seba1. "Kejebur got?" Mbak Vera melongo. "Ya, hadiah Natal yang mengesankan, seperti yang dijanjikan dalam majalah!" umpat Olga lagi. Anak-anak pada gak ngerti. "Udah, deh, jangan pada bengong begitu. Gue kedinginan, tau! Pinjemin salin, dong!" ujar Olga lagi. "Wah, lo asyikan kayak gitu, Ol. Seksi!!' timpal Ucup.. Olga mendelik sewot. "Seksi pale lo! Gue bisa masuk angin tau!" jerit Olga. Kesel dia, bukannya ditolongin, malah jadi bahan tontonan. Mbak Vera buru-buru menyelamatkan Olga ke ruang kerjanya. "Kebetulan, Mbak Vera menyimpan berapa kemeja, jins, dan underwear di lemari. Moga-moga pas.". Olga pun membawa salin itu, dan mandi di kamar mandi studio. "Kok pada ada di sini, Mbak?" tanya Olga seusai mandi. "Kita emang mo ngerayain Natal dan Taon Baru sama-sama di sini. Soalnya mulai besok kita semua pada cao sibuk liburan

sampe Taon Baru nanti. Trus tadi di bis si Bowo katanya ngeliat kamu jalan di trotoar menuju kemari. Udah deh, sekalian kita bikin kejutan buat kamu!" "Kok gak bilang-bilang kalo mo pada ngumpul di sini?" "Ide mendadak aja. Mbak. kira kamu masih stres abis ujian semester." Mereka pun ngumpul di ruang tengah yang kini baru nampak semarak. Ada pohon Natal menghias di sudut ruang, dengan lampu kelap-kelip dan tulisan "Selamat Natal dan Tahun Baru". Kebetulan Bernardus Hari, Ucup, Sebastian, dan beberapa karyawan Radio Ga Ga memang merayakan Natal. Dan untuk menghormati mereka, anak-anak pada ngumpul. Bikin pesta kecilkecilan, sambil tuker-tukeran kado Olga berdiri di pojok, dengan rambut basah yang disisir ke belakang dan kemeja biru pinjeman. "Suasana di sini kita siarin langsung ke pendengar radio. Jadi yang mau ngucapin selamat buat temen-temen di rumah, bisa langsung aja." Acara pun berlangsung meriah. Nyanyi sama-sama, muterin lagulagu pop Natal, dan kirim-kirim ucapan selamat. Sesekali diselingi suara terompet Taon Baru yang ditiup secara tak berperikemanusiaan oleh Ucup, yang gemar bikin kaget orang lain. Olga udah ngelupain "Hadiah Natal"-nya, dan kembali ceria. Dan dia gak begitu merhatiin kalo di sudut, nampak Sebastian yang murung. Malah di sela-sela acara, Bernardus Hari, pemimpin acara hari itu, mendatangi Olga yang asyik ngocol biar suaranya paling kedengeran di radio. "Yak, laporan pandangan mata, Sodara-sodara! Saat ini Ucup dengan noraknya dapet ucapan sun... dut dari rekan-rekannya. Horeeee!" jerit Olga di depan mikrofon.

"Sst, Olga!" "En den, kini Ucup menari-nari ala orang gokil yang di Unyil sambil membawa kue dan bernyanyi,, Anakku di mana..., anakku di mana...'" Suasana di radio tambah meriah oleh gelak tawa. "Sst, Olga!" "Apaan, sih?" Olga ngerasa terusik dengan towelan tangan Hari. "Gue punya berita bagus dan berita jelek buat lo. Mana dulu yang mau lo pilih?" ujar Bemardus Hari. Olga diem. Mikir. "Berita bagus!" "Berita bagus? Gini, sebetulnya kita mo bikin sandiwara singkat tentang Natalan yang mau kita bawain sama-sama di sini, dan lo disuruh bikin naskahnya. Mau?" "Mau!" kata Olga semangat. "Eh-tapi gue kan gak biasa bikin naskah tentang Natal?" "Gue emang gak pengen cerita yang klasik kayak yang ada di buku-buku. Bukan tentang sinterklas atau Petrus yang menjaga pintu surga. Ceritanya bebas aja. Tentang apa aja. Yang penting itu terjadi pas hari Natal. Oke?" "Oke. Trus berita yang buruk buat gue apa?" "Berita buruknya," Hari tersenyum, "naskah itu harus jadi hari ini juga. Soalnya pas jam satu nanti siang bakal kita udarakan!" Olga terkejut. "Gila, lo!" Olga pun sama anak-anak diamankan di, sebuah ruang kedap suara untuk konsentrasi bikin cerita. Olga berontak-berontak gak mau. Tapi dengan kejamnya dia dikunciin dari luar. "Jangan lupa, Ol. Hari ini lo bisa ngedapetin THR Natal, jadi yang semangat, ya, bikinnya!" teriak Sandra yang bagian ngebagi-bagiin honor.

Olga memaki-maki. Lalu duduk dengan sebel di depan komputer yang tersedia di pojok. *** Satu jam kemudian, terdengar gedoran dahsyat dari ruang kedap suara. "Eh, itu Olga ngamuk lagi!" ujar Bowo. "Keabisan oksigen kali tu anak!" samber Ucup.. "Ah, barangkali ceritanya udah kelar!" kata Hari. "Kok cepet amat?" Pintu dibuka. Muncul wajah Olga yang kusut. "Gue udah kelar!" ujar Olga sebel. "sini pada kumpul. Berhubung mendadak, gue cuma bikin point-point-nya aja. Ntar kalian improv." Semua kumpul. Tak terkecuali Mas Ray dan Mbak Vera. "Cerita ini dibagi dalam tiga babak. Hei, Ucup! Dengerin gak lo!" bentak Olga galak. Ucup yang lagi asyik ngejilatin kue di jari-jemarinya terkejut. "I-iya, Ol!" "Great." Olga lalu duduk di atas meja. Anak-anak di depannya. Hehehe, kapan lagi ya, Ol, bisa nge-bos begini. "Ucup harus intens ngedengerin. Soalnya peran utamanya Ucup sama Sandra. Jadi sepasang kekasih!" Ucup memekik girang, Sandra sebel setengah mati. "Lokasinya di studio radio sini," Olga melanjutkan. "Dalam babak pertama, ceritanya sepasang kekasih itu, Ucup dan Sandra, lagi ribut berantem. Mereka mo putus. Padahal udah menjelang Natal.

Sandra memaki-maki Ucup setengah mati, gara-gara ketauan serong sama bebek. Hihihi... Trus Ucup bilang begini, 'Kalo lo mo putus, nih gue kembaliin cincin emas berlian dari lo!' Ceritanya, waktu masih mesra dulu Sandra emang sempat ngebeliin Ucup cincin berlian. Tapi trus Sandra tahan gengsi. Dia balik ngomel ke Ucup, 'He, gue gak butuh gini-ginian. Kalo kata gue putus, ya putus. Gak usah lo kembaliin segala semua barang-barang gue! Emang lo pikir gue putus, karena ini? Dan Sandra pun ngelempar cincin emas berlian itu ke atas, dan jatuh di selokan. Lalu mereka bubar jalan. 'Babak kedua, tengah malam, ternyata Sandra gelisah mikirin cincin berliannya yang tadi dibuang. Sayang banget, katanya. Ia gak bisa tidur di malam Natal. Lalu tengah malam, tanpa setau orang lain, dengan mengendap-endap, Sandra kembali ke studio. Nyariin cincin berliannya yang tadi dibuang di selokan. Ati-ati banget, takut ketauan tem n- emen penyiar lainnya. Tapi di tempat kejadian pembuangan cincin emas berlia itu, Sandra malah ketemu Ucup yang juga punya niat sama. Keduanya tengsin berat, lalu bergegas pulang. Hihihi... "Babak ketiga, pas keesokan paginya, seorang anak yatim, bisa diperankan secara pas oleh Bowo (ya, dia gak perlu penghayatan lagi, karena kenyataannya emang begitu!) nampak berjalan kaki dengan lesu. Dia lagi sedih dan abis nangis selama tiga jam berturut-turut. Sebab dia gak bisa beli hadiah Natal buat ibunya yang buruh miskin. Sedang di rumahnya tak ada sebatang pohon Natal pun, apalagi kue dan roti-roti. Adik-adiknya yang dua biji itu juga gak punya baju bagus barang sehelai pun. Ia menunduk. Dan pada saat itu, matanya tertumbuk pada benda kemilauan di selokan. Buru-buru ia pungut, dan ternyata cincin berlian yang Sandra buang. Anak itu pun terpekik kaget, dan mengucapkan puji Tuhan. Akhirnya putusnya Ucup dan Sandra membawa berkah untuk orang lain di hari Natal itu. Gimana, bagus kan ceritanya?" Anak-anak setuju. Terutama yang gak dapet peran. Mereka langsung menyuruh Ucup, Sandra, dan Bowo berlatih keras!

*** Sore hari saat acara sandiwara mendadak itu selesai ditayangkan dengan gemilang Olga dipanggil Sandra untuk nerima THR Natal. Saat itu Olga baru menyadari kalo Sebastian dari tadi nampak murung. "Lo belum tau tentang dia, ya?" Sandra yang sok tau berkomentar. Olga memang belum tau, sebab Sebastian termasuk anak baru di radio Dia bekas DJ. "Ortunya dulu kaya banget. Tapi trus jatuh miskin. Jatuh seperti burung jatuh dari sarangnya. Semua barang-barang di rumahnya abis. Mobil yang tadinya empat biji, tipi, kulkas, pokoknya semua. Hartanya tinggal rumahnya doang di Pondok Indah. Itu juga udah digadein ke bank. Makanya, Sebastian harus banting tulang kerja sekarang ini. Soalnya dia sayang amat sama adik ceweknya yang manis. Dan karena dia termasuk baru di sini, dia belum dapet THR kayak kamu. Dia sedih, karena gak bisa beliin hadiah Natal buat adiknya itu." Olga menandatangani kuitansinya dengan cepat. Ya, ia ingat Sebastian. Yang dulu termasuk salah satu fans Olga, dan pernah nganterin Olga nyari diktat sekolah ke Proyek Senen pas bulan puasa. Saat itu Sebastian masih kaya. Masih bawa Peugeot 405. Olga menoleh ke anak-anak yang mulai pada pulang. Ada yang saling teriak: "Selamat Natal", ada yang ketawa-tawa. Semua berwajah ceria. Maklum, mo pada liburan. Olga langsung menyusul Sebastian yang jalan menyendiri. "Halo, Bas." "Eh, Olga. Halo," Sebastian menjawab lesu. "Naik apa pulangnya, Bas?" "Ee..., n-naik bis," Bas menjawab kikuk. "Bareng, ya? Gue mo jalan-jalan."

Bas mengangguk. Lalu mereka berdua berdiri mematung di halte. "Bas, lo masih inget, nggak, waktu dulu pas puasa lo nganterin gue nyari diktat di Senen?" ujar Olga memecah kesunyian.. "Ya waktu itu gue belum jadi penyiar. Masih jadi fans lo." Olga tersenyum.. "Nah, sekarang gue yang mau nganterin lo." Bas memandang Olga heran. "Ke mana? Gue gak mau ke manamana, kok." "Lo kan harus beliin hadiah Natal buat adik lo!" Bas menggelengkan kepalanya. "Nggak, Ol. Gue..." "Ah, ayolah. Ini gue dapet duit dari radio. Gue rasa lo lebih memerlukan, ketimbang gue." Olga menyodorkan amplop yang baru diterimanya dari Sandra. Bas kaget. "Ah, Olga! Gue gak bisa nerima ini..." "Kenapa enggak, Bas? Ini hadiah Natal dari gue buat lo. Gue ikhlas." "T-tapi, Ol..." "Apa gue gak boleh ngasih hadiah Natal sama lo, Bas?" Bas berdiri dengan sikap bingung. Dia sama sekali gak nyangka. "Sori, Bas, gue gak bermaksud apa-apa. Gue tulus." Olga menggenggam tangan Bas, sambil memindahkan amplop itu. Bas nampak terharu. Matanya basah. "T -tapi kenapa, Ol?" "Bas, gue hanya pernah kagum sama lo. Waktu lo nganterin ke Senen seharian panas-panas itu, lo sama sekali gak makan dan minum. Lo ngehormatin gue yang puasa. Apa sekarang gue gak boleh bales hormat sama lo?"