BAB I PENDAHULUAN.

dokumen-dokumen yang mirip
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB 3 METODE PENELITIAN

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB I PENDAHULUAN. operasi/pembedahan (misalnya takut sakit waktu operasi, takut terjadi

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan Data GLOBOCAN, International Agency

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

TERAPI OKSIGEN. Oleh : Tim ICU-RSWS. 04/14/16 juliana/icu course/2009 1

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang maupun negara maju (WHO, 2008). Infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

A. Pengertian Oksigen B. Sifat Oksigen C. Tujuan Oksigenasi D. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006).

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. kecil) atau appendiktomi. Appendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui adanya makanan (Ship, 1996). mengalami gangguan penghidu (Doty et al, 2006). Di Austria, Switzerland

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi sering disebut sebagai penyakit silent killer karena pada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konka nasalis merupakan salah satu struktur terpenting yang berperan dalam sistem fisiologi hidung seperti pada proses penyaringan, pemanasan dan humidifikasi udara yang terinspirasi. 1 Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. 1,2 Faktor eksogen yang berpengaruh yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi. 3 Mukosa konka yang sering terpapar oleh stimulus eksogen dan endogen akan menyebabkan kondisi patologis yaitu hipertropi dan atropi. Istilah hipertropi konka pertama kali diperkenalkan pada tahun 1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung pada konka dan disebabkan karena bertambahnya ukuran sel mukosa konka. 4 Konka yang paling sering mengalami hipertropi adalah konka inferior. Alasannya karena konka inferior memiliki ukuran yang lebih besar bila dibandingkan dengan struktur konka lainnya. 5 Hipertropi konka inferior dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan adanya gejala lokal seperti sumbatan hidung kronik, sakit kepala, sekret banyak dan kental, gangguan tidur, serta gangguan penghidu, sehingga dapat menurunkan produktivitas dalam bekerja dan beraktivitas sehari-hari. 1,6,7 Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke 25 dari 50 penyakit yang sering ditemukan atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan. 8 Menurut suatu penelitian di Eropa, diketahui bahwa 20% dari penderita sumbatan hidung kronik disebabkan oleh hipertropi konka. 9 Di Klinik THT RSUD Tugurejo Semarang pada bulan 1

Januari-Desember 2015, proporsi penderita hipertropi konka inferior sebesar 5,9% atau sekitar 166 penderita rawat jalan. 10 Terapi yang dapat diberikan pada penderita hipertrofi konka inferior adalah terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung dengan pemberian medikamentosa namun apabila terapi ini mengalami kegagalan maka dapat dilakukan terapi operatif berupa reduksi konka radiofrekuensi. 4,11 Reduksi konka radiofrekuensi merupakan salah satu dari tindakan turboplasti yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan mukosa konka. 12 Keunggulan dari terapi operatif ini adalah tidak menyayat mukosa, panas yang dihasilkan berkisar antara 60-90 C serta dapat dilakukan dalam anastesi lokal. Efektivitas dari terapi operatif ini dapat dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan radiologis dan didapatkan bahwa angka keberhasilan dalam mengurangi volume hipertropi konka pasca operasi sebesar 8,7% dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan 25% dengan pemeriksaan (CT-scan). 13 Kualitas hidup ( Quality of Life, QoL) merupakan suatu konsep yang memuat karakteristik fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. 14 Penilaian QoL ini dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial dan emosional dari seseorang. Kini penilaian QoL dianggap penting dalam uji klinik untuk mengetahui efektivitas terapi dari penyakit kronik seperti hipertropi konka inferior. 15 Penelitian mengenai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi belum banyak dilakukan. Hal ini mengingat bahwa belum ada kuesioner yang spesifik untuk menilai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior. Pada penelitian ini akan dilakukan penilaian kualitas hidup secara subjektif dengan menggunakan parameter kuesioner sinonasal outcome test-22 (SNOT-22). 16 Hal ini dikarenakan SNOT-22 tersebut merupakan kuesioner yang responsif dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup dari pasien pasca operasi sinus dan hidung. 17,18 2

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan pada penelitian ini adalah bagaimakah perbedaan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbedaan kualitas hidup antara penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui presentasi penderita hipertropi konka inferior di RSUD Tugurejo Semarang. b. Menganalisis kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. c. Menganalisis kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. d. Membuktikan perbedaan kualitas hidup penderita antara hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi kepada pembaca mengenai perbedaan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dan dapat dijadikan sebagai landasan teori bagi penelitian lain yang mengangkat tema serupa. 3

b. Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan mengenai pentingnya evaluasi penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi melalui penilaian kualitas hidup secara subjektif. c. Menambah pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai efektivitas dan manfaat tindakan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi dalam meningkatkan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior. E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Daftar Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil 1. Willard CH et al, 2007 19 Radiofrequency turbinate reduction: A NOSE evaluation Intervensi Terdapat peningkatan yang signifikan untuk NOSE setelah 6 bulan setelah BRITR (p=0,001) dan BRITR dengan septoplasty kelompok (p=0,023). Tidak ada perbedaan statistik yang berarti pasca operasi antara kedua kelompok perlakuan (p=0,304) dan tidak menunjukkan efek klinis yang besar. 2. Satish, HS and Sreedhar, KT, 2013 17 Septoplasty outcomes using SNOT-22 questionna ire study Cohort prosp ective 60 pasien (86% dari jumlah pasien) yang memiliki gejala ringan sampai sedang (dengan skor SNOT-22 <40 poin) dan juga pasien berusia < 30 tahun menunjukkan banyak perbaikan pasca operasi septoplasti. 3. Poirrier AL et al, 2013 18 Is the sino-nasal outcome test-22 a suitable evaluation for septorhino plasty Cohort prosp ective SNOT-22 merupakan parameter kuesioner yang responsif dalam menilai kualitas hidup pasca operasi septorhinoplasty.hasil penilaian dengan SNOT-22 telah dikonfirmasi dengan penilaian dengan instrumen VAS 4

5