PERMASALAHAN/DAMPAK KEBIJAKAN DAU DINAMIS Sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia menyebabkan adanya desentralisasi atau pemberian kewenangan ke daerah-daerah termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal (keuangan) dimana daerah membutuhkan sumber-sumber pendapatan baru dan perimbangan keuangan untuk menjalankan fungsi yang ada (money follows function). Untuk membantu mendanai kebutuhan tersebut, pemerintah pusat melaksanaan transfer belanja dari pusat ke daerah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dari ketiga dana tersebut, sejak tahun 2010-2018 proporsi alokasi DAU merupakan yang terbesar dibanding dengan dana lainnya dimana hampir 60 persen transfer ke daerah di dominasi oleh DAU. DAU bertujuan secara umum untuk memperkecil ketimpangan vertikal dan horizontal serta bersifat block grant, sehingga dalam penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. A. Sekilas tentang DAU DAU diterapkan pertama kali sejak tahun 2001. Dari tahun 2010 sampai tahun 2017 realisasi DAU selalu mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 10,09 persen. Pertumbuhan tertinggi DAU terjadi di tahun 2012 yang disebabkan adanya peningkatan kapasitas fiskal yang signifikan. Gambar 1. Realisasi DAU Tahun 2010-2017 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan, Diolah 1
Secara proporsi, besaran DAU untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota masing-masing sebesar 10 persen dan 90 persen. Namun, mulai tahun 2017 porsi DAU provinsi meningkat menjadi 14,1 persen dan DAU kabupaten/kota turun menjadi 85,9 persen. Hal ini disesuaikan dengan adanya kebijakan pengalihan kewenangan urusan pemerintahan kabupaten/kota ke provinsi. Dalam pengalokasiannya, DAU menggunakan formula yang meliputi unsur Alokasi Dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF) yang merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan Kapasitas Fiskal (KpF) sesuai dengan fungsinya sebagai instrumen pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. AD dihitung atas dasar persentase jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (PNSD), yang mencakup gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil, serta mempertimbangkan penggajian dan pengangkatan calon PNSD. Sementara CF dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Dalam menentukan besaran Kebutuhan Fiskal dan Kapasitas Fiskal didasarkan atas beberapa variabel yang digunakan. Gambar 2. Formula Perhitungan DAU Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (DJPK) Besaran DAU ditetapkan minimal berdasarkan persentase tertentu dari PDN (Penerimaan Dalam Negeri) Netto. Dalam perkembangannya, kebijakan dan persentase DAU terhadap PDN Netto mengalami perubahan mengikuti dinamika kemampuan keuangan negara maupun kebutuhan fiskal daerah secara keseluruhan. Terkait dengan hal tersebut, rumusan formula perhitungan DAU dalam perkembangannya pun mengalami beberapa kali penyesuaian sebagaimana tercantum pada tabel berikut ini. Tabel 1. Perkembangan Formula DAU Periode Perkembangan Formula 2001-2003 Formula perhitungan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari PDN Netto sesuai Pasal 7 UU No.25 tahun 1999. PDN Netto 2
merupakan jumlah penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi dengan dana bagi hasil dan DAK yang bersumber dari dana reboisasi. DAU dihitung dengan formula kesenjangan fiskal, yaitu memperhitungkan antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. dengan Kebijakan hold harmless, dengan kebijakan hold harmless maka daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya seperti diberi semacam insentif untuk menutupi penurunan DAU-nya, sementara daerah-daerah yang mengalami peningkatan DAU memperoleh disinsentif karena kenaikan DAU-nya harus dikurangi untuk menutupi penurunan DAU pada daerah lain. 2004-2005 Formula perhitungan DAU ditetapkan sebesar 25,5 persen dari PDN Netto. 2006 Formula perhitungan DAU dalam APBN didasarkan kepada UU No.33 tahun 2004, yaitu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN Netto yang ditetapkan dalam APBN. Komponen kapasitas fiskal disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masingmasing daerah. 2007 PDN Netto yang digunakan dalam formulasi DAU merupakan hasil pengurangan antara pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked dan anggaran yang sifatnya in-out. 2008 Kebijakan hold harmless dihapuskan dan diberlakukan kebijakan non hold harmless. Dengan demikian, maka dimungkinkan suatu daerah menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya karena kapasitas fiskal yang meningkat signifikan. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antar daerah sehingga dapat memperkecil ketimpangan fiskal antar daerah. Perhitungan alokasi DAU berdasarkan formula mulai dilaksanakan secara penuh. Dengan demikian, maka perhitungan DAU akan menghasilkan alternatif alokasi sebesar nol, lebih kecil, sama dengan, dan lebih besar dari DAU tahun sebelumnya. 2009-2018 PDN Netto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, listrik, pupuk, pangan, benih yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu 3
sebagai faktor pengurang dalam rangka antisipasi dampak kenaikan harga minyak, penciptaan stabilisasi APBN dan APBD, dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun. Sumber: Nota Keuangan, Kementerian Keuangan, Diolah Di sisi lain, dalam perkembangannya, Dana Perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum selalu memegang proporsi yang paling besar dalam pendapatan daerah. Proporsi Dana Perimbangan dalam postur pendapatan daerah dari tahun 2010-2017 selalu diatas 50 persen dengan rata-rata 61,32 persen. Sementara rata-rata proporsi DAU dalam pendapatan daerah selama tahun 2010-2017 sebesar 41 persen (gambar 3). B. Kontribusi DAU dalam Struktur APBD Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah Kabupaten/Kota tahun 2006 2016, DAU merupakan komponen terbesar dalam membentuk struktur pendapatan daerah pemerintah Kabupaten/kota dengan kontribusi rata-rata mencapai 54 persen. Kondisi yang berbeda terlihat di pemerintah Provinsi. Rata-rata kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah pemerintah Provinsi hanya sebesar 16,8 persen, sementara rata-rata kontribusi PAD mencapai 48,3 persen. Gambar 3. Realisasi Penerimaan Daerah Kab/Kota, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp) Sumber: BPS, data diolah Gambar 4. Realisasi Penerimaan Daerah Provinsi, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp) 4
Bagi pemerintah Kabupaten/kota, DAU menjadi penopang atau tumpuan utama bagi daerah dalam membiayai pos-pos belanjanya. Keuangan daerah menjadi sangat tergantung dari alokasi DAU yang diberikan pemerintah pusat (Tasri, 2018). Hal ini dapat menjadi permasalahan manakala daerah memiliki program atau kegiatan yang memang diperlukan namun alokasi DAU yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih karena pengalokasian DAU yang menerapkan pola dinamis, sehingga besaran alokasi DAU yang akan diterima oleh daerah tidak dapat dipastikan karena bergantung pada perkembangan PDN Netto dan kondisi keuangan pemerintah pusat. Apalagi jika ternyata realisasi PDN Netto di bawah angka target sebagaimana kondisi di tahun-tahun sebelumnya. Sehingga daerah perlu didorong agar dapat lebih meningkatkan kemandirian keuangannya dalam pemenuhan kebutuhan belanjanya sehingga proses pembangunan daerah tidak terjebak pada dinamika keuangan pemerintah pusat. Di samping itu, daerah juga dihadapkan pada ketidakpastian akan sumber pendapatan lainnya baik PAD maupun Dana Transfer ke Daerah yang lainnya (DBH dan DAK) yang berbasis pada kinerja. Hal ini mengakibatkan program/kegiatan daerah yang telah dilaksanakan ataupun yang sudah dilelang berpotensi tertunda atau diperbaiki. Karakteristik DAU merupakan block grant sehingga penggunaannya diserahkan kepada daerah. Namun pemda perlu mengantisipasi kemungkinan tidak tercapainya pendapatan yang bersumber dari DAU. C. Perkembangan Kebijakan DAU Dalam 3 tahun terakhir, mulai tahun 2017, pemerintah melakukan kebijakan terkait dengan Dana Transfer Umum (DAU dan DBH). Gambar 5. Kebijakan DAU tahun 2017-2019 5
2019 2017 2018 1. Konversi DAU non Tunai Pola pelaksanaan anggaran yang seringkali menumpuk di akhir tahun dan masih besarnya simpanan pemerintah daerah di perbankan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi kualitas pelayanan publik. Hal tersebut dapat berpotensi pada perlambatan kegiatan ekonomi di daerah sehingga menghambat tercapainya kesejahteraan sosial. Untuk mengurangi simpanan yang besar pad akas pemerintah daerah maka mulai tahun 2017 pemerintah mulai melaksanakan kebijakan konversi penyaluran DAU/DBH dalam bentuk non tunai bagi daerah yang memiliki posisi kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah yang tidak wajar. Secara umum pelaksanaan kebijakan konversi penyaluran DAU dalam bentuk non tunai dilakukan kepada daera-daerah yang memiliki posisi kas pada periode tertentu yang melebihi kebutuhan perkiraan operasi belanja dan belanja modal tiga bulan ke depan. Kebijakan konversi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan volume APBD, alokasi DBH, dana atau DAU serta faktor lainnya yang terkait dengan kemampuan keuangan di masing-masing daerah. Bagi daerah-daerah dengan kondisi tersebut maka penyaluran DAU dikonversikan dalam bentuk Surat BErharga Negara (SBN). Kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah agar pemerintah daerah dapat lebih optimal dalam memanfaatkan anggaran dalam rangka percepatan pembangunan daerah. 2. Kewajiban Alokasi minimal 25% DAU dan DBH untuk belanja infrastruktur Dana Transfer Umum yang terdiri atas Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum bersifat block grant, yang penggunaannya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan prioritas dan 6
kebutuhan daerah. Pada tahun 2017 terdapat perubahan kebijakan terhadap penggunaan Dana Transfer Umum, yang bertujuan agar penggunaan Dana Transfer Umum tersebut lebih terarah. Perubahan kebijakan tersebut adalah dengan mengarahkan penggunaan Dana Transfer Umum sekurang-kurangnya 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah. 3. Alokasi DAU Tambahan dalam APBN tahun 2019 Dalam DAU tahun 2019, terdapat komponen DAU tambahan yang dialokasikan untuk dukungan pendanaan kelurahan sebesar Rp3.000,0 miliar. DAU tambahan ini diperuntukkan bagi sekitar 8.212 kelurahan di seluruh kabupaten/kota, yang pengalokasiannya berdasarkan kinerja pelayanan dasar publik. DAU tambahan tersebut berasal dari pengurangan alokasi pada Dana Desa. Dengan adanya dukungan pendanaan kelurahan dari APBN melalui DAU dan juga dari sumber pendapatan APBD lainnya, maka akan memberikan dampak positif bagi percepatan penanganan permasalahan pembangunan di perkotaan pada umumnya, dan di kelurahan pada khususnya, melalui pembangunan sarana dan prasarana dasar dan penguatan pemberdayaan masyarakat kelurahan. 4. Pagu DAU tidak bersifat Final (Dinamis) Pagu DAU nasional dalam APBN 2017 dan 2018 tidak bersifat final (dinamis), atau dapat berubah sesuai perubahan PDN neto dalam APBN perubahan tahun berjalan. Dengan demikian, maka pagu DAU dapat berubah sesuai dengan dinamika penerimaan pendapatan negara. Pendapatan negara tergantung dari penerimaan perpajakan, maupun dari asumsi lainnya seperti harga minyak dan kurs. Harga minyak yang bergerak dan kurs yang bergerak akan mempengaruhi penerimaan perpajakan yang tidak selalu sama dengan yang ditargetkan. Besaran PDN itu akan lebih kecil atau tidak selalu sama dengan yang ditetapkan di Undang-Undang APBN. DAU yang ditransfer secara berkalan ke daerah akan bergantung dari berbagai asumsi dan realisasi dari penerimaan perpajakannya. Apabila terjadi potensi kekurangan penerimaan negara, DAU yang dibagikan ke daerah bisa dilakukan pemotongan. Hal ini akan berimplikasi terhadap besaran alokasi DAU pada APBN-Perubahan dan APBD-Perubahan, yaitu: Apabila PDN Neto naik, maka pagu DAU nasional akan naik dan alokasi perdaerah akan bertambah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengidentifikasi program/kegiatan yang urgent dan menjadi prioritas daerah untuk dapat di danai dari kenaikan DAU, sepanjang dapat diselesaikan dalam sisa akhir tahun anggaran. Jika tidak ada program/kegiatan yang bersifat urgent dan prioritas daerah, maka tambahan DAU dapat digunakan untuk membentuk Dana Cadangan atau Dana Darurat. 7
Sebaliknya, apabila PDN Neto turun, maka pagu DAU nasional akan turun dan alokasi per daerah akan berkurang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi dan efisiensi program/kegiatan yang tidak urgent, bukan prioritas dan tidak produktif (misal: biaya perjalanan dinas, rapat dinas, konsinyering, honorarium); membuka ruang fleksibilitas kontrak proyek dengan klausul yang relatif fleksibel serta memperkuat perencanaan kas (cash flow management). Perubahan PDN netto dapat terjadi karena adanya perubahan pada asumsi dasar ekonomi makro diantaranya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah (kurs), harga ICP serta lifting minyak. Dampak dari perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap penerimaan negara dapat digambarkan sebagai berikut. Perubahan pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi penerimaan perpajakan, terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, cukai, pajak lainnya, dan bea masuk. Selanjutnya, perubahan pada penerimaan perpajakan tersebut akan memengaruhi belanja negara antara lain anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH) pajak. Tingkat inflasi akan berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB) nominal. Perubahan PDB nominal berdampak pada perubahan penerimaan perpajakan terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, dan pajak lainnya. Pada sisi belanja negara, perubahan penerimaan perpajakan tersebut akan diikuti oleh perubahan DBH pajak. Fluktuasi nilai tukar rupiah pada sisi pendapatan negara akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap subsidi energi, DAU, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) akan memengaruhi besaran APBN terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak mentah sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, perubahan harga minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan harga minyak mentah Indonesia antara lain akan memengaruhi belanja subsidi energi, DBH migas ke daerah akibat perubahan PNBP SDA. Selanjutnya, perubahan lifting minyak dan lifting gas akan memengaruhi besaran penerimaan PPh migas, PNBP SDA migas, DBH migas, DAU. Meskipun telah diterapkan sejak tahun tahun 2017, kebijakan pagu DAU nasional kembali menjadi bersifat final dalam tahun 2019. Ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Ketergantungan pemerintah daerah masih besar terhadap dana transfer, khususnya DAU dalam membiayai belanja daerah. Kebijakan DAU dinamis akan mempersulit pemerintah daerah karena, seiring dengan perubahan alokasi DAU, pemerintah harus 8
mengidentifikasi/mereview kembali program prioritas daerah dalam tahun anggaran berjalan. 2. DAU menjadi satu-satunya komponen yang memberikan kepastian alokasi, yang sepanjang pengalokasiannya relative tidak mengalami perubahan signifikan, meskipun Asumsi dasar ekonomi makro mengalami perubahan. Merosotnya harga minyak dunia di tahun 2016 jauh melampaui harga yang ditetapkan dalam APBN mengakibatkan dilakukannya penundaan DAU. Kepastian alokasi ini tentunya akan menjadi dasar dalam penyusunan/pembahasan APBD. 3. Kebijakan pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas dana transfer ke daerah dilakukan melalui kebijakan yang affirmatif baik untuk dana-dana yang sifatnya specific grant maupun block grant. DAU yang pada dasarnya bersifat block grant, menjadi semi block grant karena adanya kewajiban mengalokasikan minimal 25% untuk membiayai belanja infrastruktur dalam rangka mendorong percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan perekonomian daerah. Kebijakan DAU yang bersifat dinamis tentu saja dapat mengurangi kemampuan daerah dalam melaksanakan mandat ini karena terbatasnya pendapatan daerah. 9