RANCANGAN 12 JULI 2019 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT

dokumen-dokumen yang mirip
2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan.

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN... TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi. Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MASUKAN KAMI TERIMA PALING LAMBAT TANGGAL 18 OKTOBER 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Disampaikan oleh. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta Jl Tompeyan I Tegalrejo Yogyakarta Telp (0274) , Fax (0274) ,

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Jalur Distribusi Obat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA PADANG dr. FERIMULYANI, M. Biomed

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan.

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

2017, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

PERMENKES No.949 Th 2000

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

Pengawasan Mutu Obat di Instalasi Farmasi

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Aspek legal. untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan. Yustina Sri Hartini - PP IAI

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HARGA ECERAN TERTINGGI OBAT

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI DAN OBAT MENGANDUNG PREKURSOR FARMASI

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN OBAT

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI PEMERINTAH

MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB V TUGAS KHUSUS 5.1. Latar belakang

Transkripsi:

Masukan kami terima paling lambat tanggal 31 Juli 2019 melalui email: prodisobat@gmail.com Cc: ditwasprod@pom.go.id; inspeksiterapetik@yahoo.com; distribusi_obat@yahoo.com; penilaian_obat@yahoo.com; ditwas.kmei@gmail.com RANCANGAN 12 JULI 2019 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat dan bahan obat serta untuk mencegah penyimpangan pengelolaan obat dan bahan obat, selama di peredaran perlu dilakukan pengawasan secara komprehensif; b. bahwa Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.35.07.12.4394 Tahun 2012 sudah tidak sesuai dengan kondisi dan/atau kebutuhan terkini; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Tindak Lanjut Pengawasan Obat dan Bahan Obat.

Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 180); 2. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1745); 3. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 784); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. 2. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku pembanding. 3. Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika. 4. Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 5. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat. 6. Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan, yang selanjutnya disebut dengan Obat-Obat Tertentu, adalah obat yang bekerja di sistem susunan syaraf pusat selain Narkotika dan Psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 7. Industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. 8. Fasilitas Produksi adalah sarana yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat dan bahan obat. 9. Fasilitas Distribusi adalah fasilitas yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan obat dan/atau bahan obat. 10. Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, distribusi

obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, distribusi obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Instalasi Farmasi Pemerintah yang disebut juga Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah adalah fasilitas tempat menyimpan dan menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 13. Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik yang selanjutnya disebut Sertifikat CDOB adalah dokumen sah yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan bukti bahwa PBF telah memenuhi persyaratan CDOB dalam mendistribusikan obat atau bahan obat. 14. Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disebut Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan bukti bahwa industri farmasi atau sarana telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat Obat dan/atau Bahan Obat. 15. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah fasilitas yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. 16. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. 17. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah bagian dari rumah sakit yang merupakan unit pelaksana fungsional yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit. 18. Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik, yang dalam Undang-Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut balai pengobatan yang bertugas

menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian. 19. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. 20. Toko Obat/Pedagang Eceran Obat yang selanjutnya disebut Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran. 21. Pengelolaan adalah kegiatan yang mencakup pengadaan, penerimaan, penyimpanan, produksi, distribusi, penyerahan, penarikan/pengembalian, pemusnahan, pendokumentasian dan/atau pelaporan. 22. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan/atau pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. 23. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan distribusi atau penyerahan obat dan/atau bahan obat baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan. 24. Distribusi adalah setiap kegiatan distribusi obat dan/atau bahan obat dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan. 25. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan Obat dan/atau Bahan Obat, baik antar penyerah maupun kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan. 26. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 27. Penarikan adalah proses penarikan kembali obat yang telah diedarkan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu dan penandaan. 28. Pengamanan Setempat adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk petugas unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan inventarisasi, pengambilan contoh untuk uji laboratorium, dan/atau penyegelan dalam pengawasan peredaran Obat dan Makanan, termasuk bahan baku dan/atau bahan pengemas. 29. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. 30. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi dan Analis Farmasi. 31. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. 32. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIPTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. 33. Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk petugas unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Petugas, adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang diberi tugas melakukan pengawasan

peredaran Obat dan Makanan berdasarkan surat perintah tugas. 34. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan. 35. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. BAB II TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Pedoman tindak lanjut pengawasan Obat dan Bahan Obat wajib menjadi acuan bagi Petugas dalam melaksanakan tugas pengawasan. (2) Tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan terhadap kegiatan pembuatan dan peredaran Obat dan Bahan Obat. (3) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk narkotika, psikotropika, prekursor farmasi, dan obatobat tertentu. Bagian Kedua Pelaksanaan Tindak Lanjut Pasal 3 (1) Pelaksanaan Pedoman tindak lanjut pengawasan Obat dan Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) ayat (1) bertujuan untuk memastikan:

a. Obat dan Bahan Obat yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu produk yang ditetapkan; b. pengelolaan obat dan bahan obat di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan c. kebenaran jalur distribusi dan penyerahan Obat dan Bahan Obat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan oleh Petugas. Pasal 3A (1) Fasilitas Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b meliputi: a. Industri Farmasi; b. Unit Transfusi Darah; c. Pusat Plasmaferesis; dan d. Sarana Pembuatan Radiofarmaka. (2) Fasilitas Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b meliputi: a. PBF; b. PBF Cabang; dan c. Instalasi Farmasi Pemerintah. (3) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b meliputi: a. Apotek; b. Instalasi farmasi rumah sakit; c. Puskesmas; d. Klinik; dan e. Toko obat Pasal 4 (1) Setiap pengawasan akan diberikan tindak lanjut hasil pengawasan. (2) Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. bimbingan teknis dan supervisi; dan/atau b. tindakan administratif. (3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan apabila terdapat pelanggaran peraturan perundang-undangan. (4) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan berdasarkan: a. hasil pemeriksaan di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian; b. hasil kajian keamanan, khasiat, dan mutu obat; dan/atau c. hasil kajian terhadap data pengawasan dari fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian. Pasal 5 (1) Tindak lanjut hasil pengawasan berupa tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi: a. peringatan; b. peringatan keras; c. penghentian sementara kegiatan; d. pembekuan Sertifikat CPOB; e. pencabutan Sertifikat CPOB; f. rekomendasi pembekuan izin Industri Farmasi; g. pembekuan izin edar; h. pencabutan izin edar; i. rekomendasi pencabutan izin Industri Farmasi; j. rekomendasi pencabutan izin/pengakuan fasilitas distribusi; k. pencabutan sertifikat CDOB; l. rekomendasi pencabutan izin fasilitas pelayanan kefarmasian; dan/atau m. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran.

Pasal 6 (1) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c untuk: a. Industri Farmasi dapat dikenakan untuk sebagian kegiatan atau seluruh kegiatan sesuai dengan sertifikat CPOB. b. PBF dan PBF Cabang dikenakan untuk seluruh kegiatan. c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dikenakan untuk seluruh kegiatan. (2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. (3) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja. (4) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja. Pasal 7 (1) Pelaksanaan pemberian tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Tindak Lanjut Pengawasan Obat dan Bahan Obat sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (2) Dalam hal Industri Farmasi, PBF, PBF Cabang atau Fasilitas Pelayanan Kefarmasian diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, pengaktifan kembali kegiatan dapat dilakukan jika telah dilakukan tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap temuan. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, huruf i, huruf j, dan huruf l disampaikan kepada Kementerian/Lembaga atau organisasi perangkat

daerah penerbit izin dengan tembusan institusi pembina instansi penerbit izin. (4) BPOM mengkoordinasikan teknis pelaksanaan tindak lanjut berupa rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, huruf i, huruf j, dan huruf l yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah. (5) Pelaksanaan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui sistem elektronik yang terintegrasi dan berbasis web. (6) Pelaksanaan penerbitan rekomendasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diberlakukan secara bertahap dengan mempertimbangan kesiapan sarana dan prasarana. Pasal 8 Selain diberikan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2), setiap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Obat dan Bahan Obat yang termasuk pelanggaran tindak pidana juga dapat diberikan tindakan pro justicia dalam rangka penegakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Dalam hal pelaksanaan rekomendasi melalui sistem elektronik yang terintegrasi dan berbasis web sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) belum dapat dilaksanakan atau sistem elektronik tidak berfungsi, pelaksanaan rekomendasi dilakukan secara manual. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku:

1. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.23.09.10.9269 Tahun 2010 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik di Industri Farmasi; dan 2. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.35.07.12.4394 Tahun 2012 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Diundangkan di Jakarta pada tanggal PENNY K. LUKITO DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR

14 LAMPIRAN PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT. PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam rangka menjamin khasiat, keamanan dan mutu obat dan bahan obat serta untuk mencegah penyimpangan pengelolaan obat dan bahan obat selama di peredaran, Badan POM melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian. Berdasarkan hasil pengawasan, apabila ditemukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan bahan obat, Badan POM memberikan tindak lanjut hasil pengawasan bimbingan teknis dan supervisi dan/atau tindakan administratif. Tindak lanjut tindakan administratif dapat berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan, pembekuan Sertifikat CPOB, pencabutan Sertifikat CPOB, rekomendasi pembekuan izin Industri Farmasi, rekomendasi pencabutan izin Industri Farmasi, rekomendasi pencabutan izin/pengakuan fasilitas distribusi, pencabutan sertifikat CDOB, rekomendasi pencabutan izin fasilitas pelayanan kefarmasian, larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran, pembekuan izin edar, dan/atau pencabutan izin edar. Pedoman tindak lanjut pengawasan obat dan bahan obat berisi: 1. tindak lanjut hasil pengawasan obat dan bahan obat secara umum 2. pelaksanaan tindak lanjut 3. ketentuan penutup B. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari pedoman tindak lanjut pengawasan obat dan bahan obat adalah:

15 1. sebagai pedoman bagi Petugas dalam melakukan tindak lanjut hasil pengawasan. 2. sebagai pedoman dalam melaksanakan koordinasi teknis pengawasan obat dan bahan obat antara BPOM dengan Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah. 3. untuk menjamin transparansi pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan obat dan bahan obat. 4. untuk memastikan obat dan bahan obat yang beredar memenuhi standar dan persyaratan khasiat, keamanan dan mutu yang dibangun dengan pengelolaan obat dan bahan obat di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Definisi Operasional 1. Manajemen Risiko adalah aplikasi sistematis terhadap kebijakan manajemen mutu, prosedur, serta penerapan sampai tugas penilaian, pengendalian, komunikasi, dan peninjauan risiko. 2. Temuan adalah ketidaksesuaian (non-conformities) terhadap suatu ketentuan yang berlaku. 3. Temuan sistemik adalah temuan yang terdapat pada seluruh aspek pengelolaan obat di fasilitas pelayanan kefarmasian, CPOB, CDOB, yang dapat menyebabkan kegagalan sistem atau hanya di sebagian aspek pengelolaan obat di fasilitas pelayanan kefarmasian, CPOB, CDOB, namun akan menyebabkan kegagalan beruntun.

16 BAB II KATEGORI TEMUAN A. Kategori temuan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dikelompokkan sebagai berikut: 1. Temuan Minor (Ringan) Temuan minor (ringan) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 1.1 tidak menyebabkan penurunan mutu obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi, dan/atau obat-obat tertentu; 1.2 tidak menyebabkan potensi penyimpangan peredaran dari dan/atau ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; 1.3 tidak bersifat sistemik; dan/atau 1.4 tidak menyebabkan risiko terhadap kesehatan; 2. Temuan Mayor (Sedang) Temuan mayor (sedang) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 2.1 menyebabkan potensi penurunan mutu obat, bahan obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi dan/atau Obat-Obat Tertentu; 2.2 menyebabkan potensi penyimpangan peredaran obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu dari dan/atau ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; dan/atau 2.3 bersifat sistemik yang mengakibatkan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-

17 obat tertentu menjadi tidak konsisten terhadap ketentuan, standar dan persyaratan. 3. Temuan Kritis (Berat) Temuan kritis (berat) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 3.1 menyebabkan penurunan mutu obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu; 3.2 menunjukkan terjadinya penyimpangan peredaran obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu dari/ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; 3.3 melakukan kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu tanpa kewenangan; 3.4 menunjukkan adanya pembuatan, pengadaan penerimaan, penyimpanan, distribusi dan/atau penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu ilegal termasuk palsu; 3.5 bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang berpotensi menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat atau mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; 3.6 bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang dapat mengakibatkan risiko kesehatan segera atau tersembunyi; dan/atau 3.7 bersifat kecurangan, pemalsuan produk atau data. B. Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf A, kategori temuan juga dapat ditentukan dengan mempertimbangkan kajian analisis risiko antara lain berupa tingkat keparahan/dampak dan tingkat intensitas/frekuensi/keberulangan suatu pelanggaran.

18 BAB III TINDAKAN ADMINISTRATIF Tindakan administratif terhadap hasil pemeriksaan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditentukan berdasarkan kajian analisis risiko antara aspek perlindungan kepada masyarakat dan ketersediaan obat dalam penjaminan keberlangsungan akses pelayanan kesehatan di suatu wilayah. Tindakan administratif dikelompokkan sebagai berikut: 1. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Produksi berupa Industri Farmasi dan Sarana Pembuatan Radiofarmaka: 1.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat 6 (enam) atau lebih temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat satu temuan kritis (berat). 1.2 Sanksi Peringatan Keras, jika terdapat lebih dari satu temuan kritis (berat) dan/atau penyimpangan peredaran dari/kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan dan/atau tidak ada perbaikan terhadap sanksi Peringatan sebelumnya. 1.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan pengurangan risiko (risk reduction) mutu produk tertentu dan memerlukan perbaikan fisik/renovasi terhadap fasilitas dengan mempertimbangkan riwayat kepatuhan fasilitas produksi terhadap sanksi yang pernah diberikan; dan/atau b. tidak ada perbaikan terhadap Sanksi Peringatan Keras sebelumnya. 1.4 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir (1.3) dapat diikuti dengan Tindakan Pengamanan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan tindakan kehati-hatian untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kesehatan dan

19 mengancam keselamatan hidup serta risiko pelanggaran peraturan perundang-undangan; b. sepanjang data siklus-hidup produk terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat; dan/atau c. Belum memiliki izin/pindah lokasi tanpa izin. 1.5 Sanksi Pembekuan Sertifikat CPOB, jika: a. tidak ada perbaikan bermakna selama 60 (enam puluh) hari kerja sejak sanksi Penghentian Sementara Kegiatan dengan Tindakan Pengamanan sebelumnya; b. terbukti melakukan produksi dalam masa pemberian sanksi Perintah Penghentian Sementara Kegiatan tanpa Tindakan Pengamanan sebelumnya; dan/atau c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci diduga melakukan tindak pidana di bidang farmasi. 1.6 Sanksi Pencabutan Sertifikat CPOB, jika: a. tidak ada perbaikan bermakna selama 2 (dua) tahun sejak sanksi Pembekuan Sertifikat CPOB; b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci telah terbukti melakukan tindak pidana di bidang farmasi; c. terbukti melakukan produksi dalam masa pemberian sanksi Penghentian Sementara Kegiatan Produksi dengan Tindakan Pengamanan; d. pernah diberikan sanksi Penghentian Sementara Kegiatan Produksi dengan Tindakan Pengamanan dan melakukan kembali pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; atau e. sepanjang data siklus-hidup produk, terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat secara berulang. 1.7 Sanksi Rekomendasi pembekuan izin industri farmasi, jika: a. seluruh sertifikat CPOB yang dimiliki telah dicabut; atau

20 b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci yang telah terbukti melakukan tindak pidana di bidang farmasi, namun belum mempunyai keputusan hukum tetap. 1.8 Sanksi Pembekuan Izin Edar, jika: a. tidak melaksanakan kewajiban membuat dan mengirimkan laporan produksi atau laporan pemasukan Obat Impor kepada Kepala Badan sebanyak 4 (empat) kali secara berturut-turut; b. seluruh sertifikat CPOB dibekukan; c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci di industri farmasi terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, namun belum mempunyai keputusan hukum tetap; dan/atau d. izin Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dibekukan. 1.9 Sanksi Pencabutan Izin Edar, jika: a. tidak melaksanakan produksi, importasi dan/atau peredaran obat selama 12 (dua belas) bulan berturutturut; b. seluruh sertifikat CPOB dicabut; c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci di industri farmasi terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, dan telah mempunyai keputusan hukum tetap; dan/atau d. izin Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dicabut. 1.10 Sanksi Rekomendasi pencabutan izin industri farmasi, jika: a. tidak dilakukan perbaikan selama 1 (satu) tahun sejak sanksi Pembekuan Izin Industri Farmasi; atau b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, dan telah mempunyai keputusan hukum tetap. 1.11 Sanksi sebagaimana dimaksud butir 1.2 sampai dengan butir 1.9 dapat diikuti dengan:

21 a. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu bila: i. hasil uji terhadap sampel yang diambil saat inspeksi tidak memenuhi spesifikasi sehingga berisiko terhadap kesehatan; ii. produk diproduksi di fasilitas yang tidak sesuai dengan Sertifikat Bentuk Sediaannya; iii. produk diproduksi tidak sesuai dengan proses kritis yang disetujui; iv. produk yang diproduksi tanpa Nomor Izin Edar dan/ atau diproduksi pada fasilitas yang tidak mempunyai Sertifikat CPOB; v. produk dengan label yang salah; vi. produk diproduksi menggunakan bahan baku yang sudah kadaluarsa tanpa didukung studi yang memadai; vii. pelulusan bets/produk tanpa dilakukan pengujian secara lengkap terlebih dahulu; dan/atau viii. berdasarkan manajemen resiko perlu dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud huruf a; dan/atau b. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika obat atau bahan obat terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu. 2. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Produksi berupa Unit Transfusi Darah dan Pusat Plasmaferesis: 2.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat 6 (enam) atau lebih temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat satu temuan kritis (berat). 2.2 Sanksi Peringatan Keras, jika terdapat lebih dari satu temuan kritis (berat) dan/atau penyimpangan peredaran dari/kepada

22 pihak yang tidak memiliki kewenangan dan/atau tidak ada perbaikan terhadap sanksi Peringatan sebelumnya. 2.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan pembuatan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan pengurangan risiko (risk reduction) mutu produk tertentu dan memerlukan perbaikan fisik/renovasi terhadap fasilitas dengan mempertimbangkan riwayat kepatuhan fasilitas produksi terhadap sanksi yang pernah diberikan; dan/atau b. tidak ada perbaikan terhadap Sanksi Peringatan Keras sebelumnya. 2.4 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan pembuatan sebagaimana dimaksud pada butir (2.3) dapat diikuti dengan Tindakan Pengamanan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan tindakan kehati-hatian untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kesehatan dan mengancam keselamatan hidup serta risiko pelanggaran peraturan perundang-undangan; b. sepanjang data siklus-hidup produk terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat; dan/atau c. belum memiliki izin/pindah lokasi tanpa izin. 2.5 Sanksi sebagaimana dimaksud butir 2.1 sampai dengan butir 2.4 dapat diikuti dengan a. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat dari peredaran bagi obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu bila: i. produk diproduksi di fasilitas yang tidak sesuai dengan Sertifikat Bentuk Sediaannya; ii. produk diproduksi tidak sesuai dengan proses kritis yang disetujui;

23 iii. produk yang diproduksi pada fasilitas yang tidak mempunyai Sertifikat CPOB; iv. produk dengan label yang salah; v. produk diproduksi menggunakan bahan baku yang sudah kedaluwarsa tanpa didukung studi yang memadai; vi. pelulusan bets/produk tanpa dilakukan pengujian secara lengkap terlebih dahulu; dan/atau vii. berdasarkan manajemen resiko perlu dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud huruf a; dan/atau b. perintah pemusnahan obat, jika obat terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu. 3. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Distribusi : 3.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat temuan minor (ringan) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut. 3.2 Sanksi Peringatan Keras, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang) yang menggambarkan situasi adanya hubungan sistemik antar temuan sehingga diperlukan tindakan yang lebih tegas dalam pemberian sanksi; b. terdapat temuan kritis (berat) dengan risiko dampak yang masih terlokalisasi; c. terdapat temuan mayor (sedang) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; atau d. tidak ada laporan perbaikan terhadap surat Peringatan. 3.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. terdapat temuan kritis (berat) yang mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; b. terdapat temuan mayor (sedang) sistemik yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut;

24 c. ditemukan adanya penerimaan, penyimpanan dan/atau distribusi obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu ilegal termasuk palsu; d. tidak memiliki sertifikat CDOB; dan/atau e. ditemukan hal-hal selain sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d yang berdasarkan manajemen risiko menyebabkan penyimpangan pendistribusian obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu dari/kepada pihak/sarana ilegal. 3.4 Sanksi Pencabutan Sertifikat CDOB sesuai dengan ruang lingkup Sertifikat CDOB, jika: a. fasilitas berubah fungsi dan tidak ada aktifitas pendistribusian obat dan/atau bahan obat pada alamat seperti tertuang dalam izin/pengakuan; b. tidak melakukan kegiatan pengadaan dan distribusi komoditi sesuai dengan ruang lingkup Sertifikat CDOB selama 6 (enam) bulan berturut-turut; c. melakukan kegiatan pengadaan dan/atau distribusi selama menjalani sanksi penghentian sementara kegiatan; d. telah mendapatkan 3 (tiga) kali berturut-turut penghentian sementara kegiatan; atau e. terbukti melakukan tindak pidana di bidang obat dan/atau bahan obat. 3.5 Sanksi Rekomendasi pencabutan izin /pengakuan, jika: a. tidak aktif dalam pendistribusian obat dan/atau bahan obat dalam kurun waktu 1 (satu) tahun; b. seluruh sertifikat CDOB yang dimiliki dicabut; dan/atau c. Izin PBF atau pengakuan PBF cabang sudah tidak berlaku atau dicabut. 4. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Pelayanan Kefarmasian 4.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang); dan/atau

25 b. terdapat temuan minor (ringan) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut. 4.2 Sanksi Peringatan Keras, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang) yang menggambarkan situasi adanya hubungan sistemik antar temuan sehingga diperlukan tindakan yang lebih tegas dalam pemberian sanksi; b. terdapat temuan kritis (berat) dengan risiko dampak yang masih terlokalisasi; c. terdapat temuan mayor (sedang) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; atau d. tidak ada laporan perbaikan terhadap surat Peringatan. 4.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. terdapat temuan kritis (berat) yang mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; b. terdapat temuan mayor (sedang) sistemik yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; c. ditemukan adanya penerimaan, penyimpanan dan/atau penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu ilegal termasuk palsu; dan/atau d. ditemukan hal-hal selain sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c yang berdasarkan manajemen risiko menyebabkan penyimpangan pendistribusian/ penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu dari/kepada pihak/sarana ilegal. 4.4 Sanksi Rekomendasi pencabutan izin, jika: a. fasilitas berubah fungsi dan tidak ada aktifitas pelayanan kefarmasian pada alamat seperti tertuang dalam izin; b. tidak aktif dalam pelayanan kefarmasian dalam kurun waktu 1 (satu) tahun; c. melakukan kegiatan selama menjalani sanksi penghentian sementara kegiatan;

26 d. telah mendapatkan 3 (tiga) kali penghentian sementara kegiatan; atau e. melakukan tindak pidana di bidang obat.

27 BAB IV CONTOH TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN Contoh Tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi, Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, meliputi : A. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Produksi 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu Industri Farmasi : a. (Temuan Kritis) Sistem pelulusan produk jadi tidak menjamin pelaksanaan pengkajian dan penilaian terhadap semua faktor yang relevan, termasuk kondisi produksi, hasil pengujian/ pengawasan selama proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan), pengkajian penyimpangan dari prosedur yang ditetapkan sehingga berpotensi meluluskan produk jadi yang tidak memenuhi syarat ke peredaran, sesuai temuan berikut : i. Kualifikasi personil yang melakukan pelulusan produk jadi tidak memadai. ii. Protap dan form evaluasi catatan bets yang tersedia tidak secara komprehensif mencakup semua faktor yang relevan dalam pembuatan obat. Dokumen tersebut tidak mengindikasikan apakah sebelum memberi keputusan pelulusan sudah dilakukan review secara komprehensif terhadap catatan bets. b. (Temuan Kritis) Tindakan penanganan penyimpangan adanya cemaran logam pada tablet tidak dilakukan secara komprehensif dan tanpa mempertimbangkan kajian risiko pada konsumen, yaitu : i. Pada proses granulasi terdapat ayakan mesh yang patah yang telah digunakan untuk pengayakan produk tablet. ii. Tindakan yang dilakukan adalah mencari patahan dari mesh secara manual sampai ketemu dan dicocokkan dengan mesh yang patah. iii. Tidak ada tindakan investigasi, proses produksi tidak dilengkapi dengan metal detektor dan tidak ada

28 dokumen pemeriksaan mesh sebelum dan sesudah digunakan. iv. Produk diluluskan untuk didistribusikan. c. (Temuan Mayor) Sistem pengawasan mutu mencakup penanganan reagen, penanganan baku pembanding, penanganan media pertumbuhan mikroba dan pemantauan lingkungan laboratorium belum menjamin hasil pengujian yang valid. 2. Analisis Dampak : Temuan pada Industri Farmasi tersebut merupakan temuan kritis yang bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang berpotensi menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat atau mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar khususnya pada temuan (1.a) dan (1.b) serta menyebabkan potensi penurunan mutu obat, bahan obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi dan/atau Obat-Obat Tertentu. 3. Tindak Lanjut : Industri Farmasi tersebut diberikan sanksi Peringatan Keras. B. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Distribusi 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu PBF : a. Ditemukan penerimaan obat yang jumlahnya tidak sesuai pesanan. b. Surat pesanan obat tidak diverifikasi oleh penanggung jawab. c. Tenaga kefarmasiam yang diberikan kuasa pada saat penerimaan tidak melakukan pengecekan pada saat obat datang. d. Ditemukan penyimpanan obat yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan obat. e. Tidak melakukan monitoring suhu ruang penyimpanan. f. PBF melakukan distribusi obat secara eceran (kemasan primer strip). g. Dokumen distribusi tidak diarsipkan dan tidak mudah telusur. 2. Analisis Dampak:

29 Berdasarkan temuan, menunjukkan bahwa pelanggaran terjadi pada beberapa aspek antara lain aspek pengadaan, penyimpanan dan dokumentasi sehingga berpotensi terjadinya diversi serta penurunan mutu obat. Sesuai hasil evaluasi temuan dikategorikan sebagai temuan Mayor dan bersifat sistemik. 3. Tindak Lanjut: PBF tersebut diberikan sanksi administratif berupa Peringatan Keras. C. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu Apotek : a. Apotek melakukan distribusi Obat Keras, Antibiotika, Obat- Obat Tertentu yang sering disalahgunakan golongan Obat Keras ke Toko Obat. b. Apotek menjual obat Narkotika dan Psikotropika tanpa resep dokter. c. Pencatatan stok dan penggunaan Narkotika dan Psikotropika tidak dilakukan dengan tertib. Seluruh obat selain Narkotika dan Psikotropika tidak dilakukan pencatatan stok dan penggunaan. d. Apotek tidak pernah menyimpan arsip dokumen pengadaan baik surat pesanan maupun faktur pembelian dengan baik. Hanya ditemukan sebagian kecil faktur pembelian obat. e. Dilakukan sampling dan pengamanan sementara produk X dengan Nomor Bets 123 karena diduga palsu secara fisik. Apotek tidak dapat menunjukkan arsip dokumen pengadaan untuk obat tersebut. f. Obat rantai dingin (vaksin, suppositoria dsb) disimpan tidak sesuai dengan suhu yang dipersyaratkan dalam waktu yang lama dan pada saat pemeriksaan vaksin telah berubah warna. g. Pada saat pemeriksaan tidak tersedia tenaga kefarmasian yang bertugas/melakukan pelayanan. Seluruh petugas pelayanan termasuk supervisor operasional apotek di bawah tenaga non farmasi.

30 2. Analisis Dampak : Berdasarkan temuan pada butir 1, menunjukkan bahwa pelanggaran bersifat sistemik (terdapat keterkaitan antar temuan) dan Kritikal khususnya terkait distribusi obat kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan sesuai temuan butir (1.a). Pada temuan butir (1.a) juga menunjukkan adanya peningkatan risiko mengingat produk yang disalurkan termasuk dalam golongan obat keras. Temuan butir (1.b) menunjukkan terjadinya diversi penyerahan obat narkotika dan psikotropika. Temuan butir (1.c) dan butir (1.d) menunjukkan tidak adanya jaminan integritas rantai distribusi khususnya terkait sumber pengadaan obat. Hal ini berdampak munculnya risiko peredaran obat palsu sebagaimana dimaksud pada temuan butir (1.e). Temuan butir (1.f) menunjukkan terjadinya penurunan mutu obat. Temuan butir (1.g) menunjukkan hubungan kausalis penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran lainnya karena tidak adanya peran tenaga farmasi dalam pelayanan kefarmasian di Apotek. Risiko dampak yang terjadi dari pelanggaran-pelanggaran ini adalah kejadian penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat-obat tertentu, peredaran obat ilegal/palsu dan risiko permasalahan resistensi antibiotika atas penyerahan antibiotika secara bebas. 3. Tindak Lanjut : Apotek tersebut diberikan sanksi administratif berupa Penghentian Sementara Kesehatan.