KELEMBAGAAN LAHAN KOMUNAL UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK DI NTB (KASUS KABUPATEN SUMBAWA)

dokumen-dokumen yang mirip
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. penting pembangunan. Sehingga pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah pusat

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

LUMBUNG PAKAN RUMINANSIA. Bernadete Barek Koten 1), Lilo J.M. Ch. Kalelado 1) dan Redempta Wea 1)

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

Dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

PEMBAHASAN. I. Keadaan Umum Wilayah Penelitian. Secara Geografis Kabupaten Soppeng terletak antara 4 o 06 o LS dan 4 o 32 o

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN EKONOMIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PANGAN DENGAN TERNAK KAMBING PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN SUMBAWA

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

KAJIAN POTENSI LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI POTONG DI KOTA PARE-PARE

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

Analisis Permintaan dan Penawaran Ternak Sapi di Nusa Tenggara Barat. (Analysis of Supply and Demand of Cattle In West Nusa Tenggara)

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TERNAK SAPI POTONG DI KELURAHAN MERDEKA KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG

ANALISIS PENGGUNAAN TENAGA KERJA RUMAH TANGGA PADA PEMELIHARAAN DOMBA DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

PROSPEK PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PEMBIBITAN SAPI BALI DI LAHAN MARGINAL UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DI NUSA TENGGARA BARAT

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

MENINGKATKAN KETERSEDIAAN PAKAN MELALUI INTRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL SEBAGAI BORDER TANAMAN KENTANG

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG AGRIBISNIS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEDESAAN DI NUSA TENGGARA BARAT

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH

I. PEDAHULUAN. sekitar 2-5 ekor ternak per rumah tangga peternak (RTP). Skala yang kecil

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERLUASAN AREAL UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN TERNAK KERBAU

LAPORAN AKHIR TEKNIKAL MANAJEMEN PASTURAL UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PERBIBITAN SAPI BALI DI PULAU SUMBAWA KERJASAMA ANTARA

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai September 2013 di Desa

POLA PENGEMBANGAN TERNAK DAN UPAYA PENINGKATAN PEMANFAATAN LAHAN KERING DI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

LAPORAN AKHIR. Edi Basuno Ikin Sadikin Dewa Ketut Sadra Swastika

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

PEMANFAATAN HASIL IKUTAN TANAMAN SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

AGROVETERINER Vol.5, No.1 Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.


J. M. Tatipikalawan dan S. Ch. Hehanussa Staf Fakultas Pertanian Unpatti Ambon ABSTRACT

L E M B A R A N D A E R A H PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN TERNAK DAERAH

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

POTENSI SUMBERDAYA TERNAK KERBAU DI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas tanam, produksi, dan produktivitas tanaman padi dan jagung per Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2008.

ANALISIS USAHA MODEL TUMPANGSARI PADA LAHAN PERHUTANI Studi Kasus Di RPH Cipondok BKPH Cibingbin KPH Kuningan

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi (Kasus di Kelurahan Ekajaya, Kecamatan Jambi Selatan Kotamadya Jambi)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

POTENSI PETERNAKAN SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DAGING SAPI DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB)

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TINJAUAN PUSTAKA. manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia

Transkripsi:

KELEMBAGAAN LAHAN KOMUNAL UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK DI NTB (KASUS KABUPATEN SUMBAWA) Mashur Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Tenggara Barat. Jl. Tawak-Tawak Kr.Sukun Mataram. E-mail: mashur_ntb@yahoo.co.id ABSTRAK: Lahan komunal sebagai padang pengembalaan di NTB sebagian besar terdapat di Pulau Sumbawa. Status lahan komunal di pulau ini sebagian besar milik negara. Pemanfaatan lahan komunal di NTB baru sekitar 20%, sehingga masih tersedia 80% lagi untuk pengembangan usaha ternak. Namun lahan komunal mempunyai kelemahan, terutama dalam penyediaan pakan pada musim kemarau dan kurangnya dukungan Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan lahan sebagai basis pengembangan peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan padang pengembalaan, pola pemeliharaan ternak dan dukungan pemerintah dalam pengembangan pembibitan ternak sapi dalam sistem pengembalaan di Kabupaten Sumbawa. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sumbawa pada bulan Oktober 2013 dengan menggunakan pendekatan survey. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa sebagian lahan komunal belum dimanfaatkan untuk pengembangan ternak dan ada kecendrungan pengurangan lahan pengembalaan karena dialih fungsikan sebagai lahan pertanian. Pengelolaan lahan komunal belum maksimal sehingga ternak sering kekurangan pakan pada musim kemarau. Pola pemeliharaan ternak pada lahan komunal masih bersifat tradisional. Hal ini menyebabkan produktifitas rendah dan tingkat kematian ternak tinggi. Dukungan kelembagaan lokal dan kebijakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan lahan komunal untuk pengembangan ternak relatif rendah. Untuk meningkatkan produktifitas ternak pada lahan komunal diperlukan perubahan pola pemeliharaan melalui pengembangan pakan hijauan. Kata Kunci: Kelembagaan, Lahan Komunal, Pengembangan Ternak, Sumbawa Abstract: Utilization of communal land in NTB about 20% and still available 80% for the development of livestock business. Therefore, communal land has weaknesses, especially in the provision of feed in the dry season, and lack of local government support in land use as a basis for livestock development. This study aims to determine the utilization of pastures, cattle rearing patterns, and government support in the development of cattle breeding. The study was conducted in Sumbawa Regency in October 2013 through a survey. The results show that some communal land has not been utilized for livestock development, and there is a reduction in pasture land as it is converted to agriculture. Communal land management is not maximized and has an impact on the lack of feed in the dry season. The pattern of livestock raising is still traditional. As a result, low productivity and increased mortality. Local institutional support and local government policy for communal land use for livestock development is relatively low. To improve the productivity of livestock, it is necessary to change the pattern of maintenance through the development of forage feed. Keywords: Institutional, Communal Land, Livestock Development, Sumbawa PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan pertanian selama ini lebih diprioritaskan pada pengembangan tanaman pangan, terutama dilahan sawah. Sementara pembangunan daerah dilahan kering belum optimal sehingga terjadi ketimpangan kesejahteraan petani di antara kedua agroeksistem tersebut. Pembangunan pertanian yang lebih memprioritaskan aspek produksi menyebabkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan relatif tertinggal. Menurut Pasandaran et al. (1993), SDM pertanian di wilayah lahan kering umumnya berpenghasilan dan berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat adopsi teknologi pertanian di agroekosistem lahan kering. Pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Barat (NTB) belum optimal. Hal ini 12

tercermin dari tidak berkembangnya kelembagaan sosial seperti kandang kolektif di Pulau Lombok dan kelembagaan lahan komunal di Pulau Sumbawa. Pengembangan peternakan melalui kelembagaan kandang kolektif di Pulau Lombok baru dimulai pada tahun 1990 an, sedangkan pemnfaatan kelembagaan lahan komunal dalam pengembangan peternakan di Pulau Sumbawa baru sebatas penerapan peraturan daerah tentang penggunaan lahan pengembalaan. Di Sumbawa, pengembalaan ternak dilakukan secara tradisional tanpa perencanaan dan manajemen yang baik, sehingga terlihat pengembangan pakan hijauan ternak untuk mendukung produktifitas ternak. Secara umum, sistem pemeliharaan ternak di NTB tercermin dari kondisi yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa. Di Pulau Lombok, misalnya, pemeliharaan ternak sebagian besar secara semi intensif (dikandangkan pada malam hari) hingga intensif (dikandangkan sepanjang hari), di Pulau Sumbawa, pemeliharaan ternak secara intensif tradisional (dilepas sepanjang hari) dan semi intensif (dikandangkan pada malam hari) dikandang komunal, terutama pada musim hujan atau selama musim kemarau dikandangkan pada waktu tertentu. Pemeliharaan ternak secara komunal dilakukan di padang pengembalaan, dilahan yang belum diusahakan bahkan dihutan negara, hutan rakyat, ladang/huma dan kawasan perkebunan. Padang pengembalaan ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau di wilayah lahan kering di NTB. Di Kabupaten Sumbawa, misalnya, luas padang pengembalaan (lar) pada tahun 2001 mencapai 2.825 ha yang mampu menampung 28.230 ekor ternak besar, tetapi baru dimanfaatkan 49,9% (Suwardji et al., 2002). Populasi ternak di NTB terdiri dari 76.622 ekor kuda, 695.951 ekor sapi, 155.904 ekor kerbau, 490.830 ekor kambing, dan 29.539 ekor domba (Dinas Peternakan dan Keswan NTB, 2010). Di Pulau Lombok, kepadatan ternak rata-rata 51 ekor per km 2, sedangkan di Pulau Sumbawa rata-rata 20 ekor km 2. Berdasarkan sistem pengembalaan, pemeliharaan ternak secara komunal sudah makin terdesak, terutama di Pulau Lombok, sehingga banyak peternak beralih ke sistem ternak secara intensif atau semi intensif. Sistem pengembalaan sapi pada lahan komunal di Pulau Sumbawa masih terus dipertahankan, walaupun dihadapkan pada berbagai kendala, terutama alih fungsi lahan, status kepemilikan lahan, ketersedian ssumber air, tingkat kesuburan, dan daya dukung pakan hijauan yang semakin berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan padang pengembalaan, pola pemeliharaan ternak dan dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan perbibitan ternak sapi di Kabupaten Sumbawa. METODE Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sumbawa pada bulan Oktober 2013, menggunakan pendekatan survei. Responden yang dipilih merupakan informan kunci di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Responden ditetapkan secara purposive sampling dengan menggunakan daftar pertanyaan semi struktur. Data yang dihimpun dianalisis secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Lahan Komunal Di Kabupaten Sumbawa, lahan komunal populer disebut lar (bahasa Sumbawa), artinya adalah padang pengembalaan ternak umum milik pemerintah daerah yang khusus digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) bagi masyarakat setempat pada waktu dan musim tertentu. Padang pengembalaan ini memiliki sumber air yang cukup dan terletak jauh dari pemukiman penduduk atau di pulau kecil (gili). Luas lar bervariasi mulai dari puluhan hingga ratusan hektar, bahkan ribuan hektar yang terdapat di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumbawa, dengan daya tampung ternak lebih dari 500 ekor. Jumlah pemilik ternak dalam satu lar berkisar antara 8 12 orang dengan satu unit kandang komunal. Kandang komunal hanya dimanfaatkan pada malam hari untuk mengandangkan ternak agar aman dari pencurian, sedangkanpada siang hari ternak digembalakan di padang pengembalaan. Lar memiliki sumber pakan alami berupa rumput, semak belukar (legume semak), tumbuhan kayu dan sebagian yang tumbuh dialiran lar, serta memiliki sumber air yang memadai, sehingga walaupun tidak dikontrol selama satu hari ternak tidak akan mengalami kekurangan air dan pakan terutama pada musim hujan. Di areal peternakan dengan sistem lar juga terdapat kelompok peternak yang membiarkan ternaknya dipadang pengembalaan dalam waktu yang cukup lama (lebih dari satu bulan). Walaupun jarang dikontrol, ternak di Kabupaten Sumbawa relatif aman dan hampir 13

tidak pernah terjadi pencurian. Pengontrolan ternak dipadang pengembalaan biasanya secara bergiliran antara anggota kandang komunal. Selama ini, permasalahan yang sering terjadi pada sistem lar adalah ancaman binatang buas, seperti anjing yang ada kalanya memakan anak sapi yang baru lahir, dan ancaman penyakit ternak serta keterbatasan hijauan pada musim kemarau. Ternak dikawasan lar biasanya diberikan vaksin dan pengobatan sekali setahun pada saat register ternak oleh dinas peternakan setempat. Kelompok tani-ternak di Desa Boak dan Simu mempunyai polapemeliharaan yang hampir sama, yaitu sama-sama mengembalakan ternak di padang pengembalaan. Peternak di Desa Boak walaupun mengembalakan ternak tetapi pada waktu-waktu tertentu, terutama pada musim kemarau, memberikan tambahan pakan hijauan yang berkualitas pada ternaknya, seperti daun turi. Ternak dikumpulkan dibawah pepohonan dekat perladangan untuk diberikan hijauan pakan dari legume turi. Di desa ini banyak petani (44%) yang mencari rumput Di Kabupaten Sumbawa terdapat pakan ternak di tempat-tempat yang delapan lar yang tersebar di beberapa ketersediaan hijauan pakannya masih banyak. kecamatan dan memiliki peraturan daerah. Munculnya peraturan daerah mengenai batasbatas lar dan pemanfaatannya dilatar belakangi oleh adanya keluhan dari masyarakat setempat tentang proyek perhutani dan perkebunan pada tahun 1990 an yang memakai lahan yang Sebanyak 33% petani seringkali membawa ternaknya ke dekatsaluran irigasi atau sawah untuk mencari pakan. Sebagian petani (11%) mendapatkan pakan hijauan dari sawah atau ladang sendiri. Peternak di Desa Simu lebih banyak biasanya digunakan sebagai lar oleh yang mengembalakan ternak di padang rumput masyarakat. Pembatasan pemanfaatan lar pada siang hari tanpa memberikantambahan menimbulkan permasalahan sosial di pakan yang berkualitas. Di desa ini ternak lebih masyarakat yang khawatir akan terdesaknya banyak dibiarkan di ladang atau sawah yang lahan pengembalaan. Untuk menghindari ketersediaan pakannya banyak. Di tempattempat terjadinya konflik sosial, pemerintah daerah setempat merasa perlu membuat peraturan daerah khusus yang mengatur peternakan tersebut, sebagian besar petani (40%) membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri. Meskipun demikian, masih ada petani yang sistem lar. mencari pakan yang diberikan kepada Ternak yang akan dijual biasanya ditangkap dengan menggiring ke kandang komunal yang terletak di dekat perkampungan atau bila masih di areal lar penangkapan biasanya dengan menggunakan tali yang ternaknya pada sore haridi kandang komunal. Sebagian diantara mereka (47%) mencari rumput di lahan dekat saluran irigasi dan sedikit sekali petani (5%) yang mencari rumput dikebun sendiri. dilemparkan ke leher ternak. Di Desa Boak dan Simu, Ternak di Sumbawa umumnya perkembangan jumlah induk dan sapi dibiarkan berada di ladang,sawah atau lahan yang memiliki persediaan hijauan pakan yang cukup bagi ternak. Pagi hari ternak dibawa dipelihara dengan sistem pengembalaan hampir tidak ada (Tabel 1). Perbedaannya, petani di Desa Boak lebih sering memberikan tambahan ketempat-tempat tersebut dan pulang ke pakan pada ternaknya, terutama di siang hari. kandangpada sore hari. Tapi ada juga yang Kelompok ternak di kedua desa lebih dominan membiarkan ternaknya berada di sawah atau menggunakan lahan pribadi untuk ladang tanpa membawa pulang. mengembalakan ternaknya. Tabel 1. Perkembangan ternak sapi pada padang pengembangan (lar) di Desa Boak dan Simu, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa. 2012. Desa Boak Desa Simu Uraian Jumlah (ekor) % Jumlah (ekor) % Induk 26 40,0 34 43,0 Jantan 1 1,5 - - Dara 1 1,5 2 2,5 Jantan muda 5 7,7 - - Anak jantan 17 26,2 17 21,5 14

Anak betina 15 23,1 26 33,0 Jumlah 65 100 79 100 Sumber: Data sekunder, diolah Lahan Komunal vs Lahan Sendiri Secara umum, lahan komunal digunakan sebagai tempat pengembalaan bersama. Lahan pribadi hanya digunakan sebagai tempat pengembalaan ternak dalam jumlah yang relatif terbatas, sedangkan ternak dalam jumlah yang lebih banyak digembalakan dilahan komunal. Lahan komunal penting artinya bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pribadi atau bagi masyarakat yang memiliki ternak dalam jumlah yang cukup banyak tetapi tidak memiliki lahan pribadi yang cukup luas.keuntungan lahan pribadi sebagai lahan pengembalaan selain dapat merencanakan penggunaannya juga dapat mengembangkan tanaman pakan hijauan untuk ternak. Lahan pribadi biasanya diberi pakan pembatas, sedangkan lahan komunal jarang dipagar. Pemeliharaan ternak dengan sistem lar erat kaitannya dengan jumlah kepemilikan ternak dan musim tanam (musim hujan). Sebagian petani yang memiliki kebun atau ladang dengan jumlah sapi relatif sedikit (< 20 ekor) pada awal musim hujan memelihara sapi di ladang atau di kebun yang sudah dipagar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ternak bisa mendapatkan rumput yang tumbuh dimusim hujan di ladang atau di kebun tanpa mengganggu tanaman orang lain. Selain itu sapi bisa dipakai untuk mengolah tanah. Pada musim kemarau atau pasca panen ternak dilepas di lahan sawah atau ladang dan memnfaatkan limbah pertanian sebagai pakannya, seperti jerami padi, jerami kacang hijau, jerami kacang tanah, dan batang jagung. Pada akhir musim kering, ketersediaan pakan (limbah hasil pertanian) di areal tersebut biasanya sudah berkurang, sehingga ternak sering kali mencari pakan ketempat yang jauh atau ke hutan bila disekitarnya terdapat hutan, atau pemilik ternak membawa ternaknya ke areal lar. Bagi peternak yang mempunyai ternak yang cukup banyak (> 30 ekor) atau peternak tidak mempunyai ladang atau kebun pada awal musim hujan membawa ternaknya ke areal lar untuk dilepas dan dikontrol sewaktu-waktu (seminggu sekali, sebulan sekali atau 2-3 bulan sekali), bergantung pada kesempatan pemilik ternak. Pada musim kering atau pada saat panen, ternak dibawa kembali ke sawah atau ladang dan memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai pakan. Sebagian peternak yang memiliki ternak relatif banyak (> 50 ekor) memelihara ternaknya sepanjang tahun dengan sistem lar dan dikontrol sewaktu-waktu. Peternak bisa membedakan ternak miliknya sendiri dengan milik orang yang lain dengan cara melihat tanda-tanda khusus pada ternaknya yang dewasa, seperti cap ternak yang sengaja dibuat ditubuh ternak, kalung yang diberikan ke ternak dengan tanda khusus, pemotongan sebagian kecil daun telinga pada saat anak sapi baru lahir. Pada orang tertentu yang mempunyai kemampuan khusus sehingga ternaknya tidak meninggalkan areal lar atau kelompok ternakanya. Salah satu cara adalah dengan mencabut bulu mata ternaknya. Cara ini dipercaya bisa menghindari wabah penyakit. Jenis Ancaman yang Muncul Jika Lahan Komunal Berkurang Kurang kondusif atau berkurangnya lahan komunal akibat peralihan penggunaannya berdampak terhadap peralihan tempat penggembalaan misalnya ke hutan penyangga, terjadi pengerusakan terhadap ladang dan perkebunan milik petani setempat. Untuk mengantisipasi hal ini Pemerintah Daerah telah menerapkan Peraturan daerah untuk membatasi penggunaan lahan sebagai lahan pengembalaan. Di samping itu, berkurangnya lahan komunal menyebabkan pemilik ternak cenderung akan mengurangi jumlah ternaknya dengan cara menjual. Masalah lain yang timbul adalah terbatasnya ketersediaan pakan, terutama pada musim kemarau, sehingga ternak menjadi kurus, tingkat reproduksinya rendah, mudah tertular penyakit, dan tingginya angka kematian. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi ternak di NTB. Untuk memperbaiki produksi ternak sapi di lahan komunal diperlukan perencanaan pemanfaatan lahan tersebut untuk pengembalaan dengan menggunakan konsep lahan berpindah. Di samping itu diperlukan upaya pengembangan pakan hijauan ternak agar mampu mendukung pengembangan ternak secara berkelanjutan. 15

Interaksi Individual dengan Lahan Komunal Di lahan komunal, ternak individu dapat dilepaskan secara bebas tanpa perjanjian antara pemilik ternak dengan pemerintah atau instansi yang mengelola lahan komunal.tidak ada batasan jumlah ternak yang dilepas atau dipelihara oleh individu di lahan komunal. Keberadaan kelompok di lahan komunal sangat bergantung pada daerahnya. Di Kabupaten Dompu, misalnya, tidak ada kelompok tani di lahan komunal. Sebaliknya, di Kabupaten Sumbawa terbentuk kelompok tani di lokasi lahan komunal atau di sekitarnya yang telah mendapat ijin dari Pemerintah Daerah. Status lahan komunal adalah milik negara, sehingga anggota masyarakat atau petani yang tidak termasuk dalam anggota kelompok juga dapat memanfaatkan lahan komunal. Di NTB, pemeliharaan ternak dengan sistem penggembalaan di lahan komunal bertempat di Pulau Sumbawa. Penggunaan lahan komunal diatur berdasarkan Peraturan Daerah yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati. Di beberapa kabupaten, penggunaan lahan komunal didasarkan pada Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola secara lebih intensif. Batasan Lahan Komunal Setiap atau beberapa desa harus memiliki lahan komunal sebagai tempat penggembalaan umum yang luasnya disesuaikan dengan jumlah ternak yang ada di desa tersebut untuk menjaga kemungkinan berkembangnya populasi ternak (Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 12 tahun 1992 tentang pemeliharaan ternak). Lokasi lahan komunal untuk tempat penggembalaan umum ditentukan berdasarkan hasil musyawarah desa atau beberapa desa. Semua peternak yang memelihara ternak dengan sistem penggembalaan diwajibkan menempatkan ternaknya di tempat penggembalaan umum. Kalau tidak mau, ternak harus dikandangkan atau diikat. Untuk menghindari perusakan tanaman oleh ternak maka lokasi lahan komunal harus dipagar di kelilingnya. Peternak yang menempatkan ternaknya di areal penggembalaan umum diwajibkan mengawasi ternaknya tersebut. Kelemahan dan Kekuatan Kelembagaan Lahan Komunal Lahan komunal di NTB cukup luas sehingga dapat menampung ternak dalam jumlah cukup besar. Namun yang baru termanfaatkan baru sekitar 20%, sehingga masih ada 80% lahan yang belum dimanfaatkan. Dengan kata lain, masih tersedia lahan untuk menampung sekitar 2 juta ekor ternak lagi. Dari segi luasnya, lahan komunal cukup potensial untuk pengembangan peternakan, namun dari segi kualitas relatif masih rendah, terutama kemampuan dalam penyediaan pakan ternak, khususnya pada musim kemarau. Di samping itu, terbatasnya sumber mata air untuk minum ternak berpengaruhi terhadap kemampuan produksi dan reproduksi ternak. Kelemahan dan kekuatan kelembagaan lahan komunal sangat ditentukan oleh kemampuan SDM, perencanaan dan sistem pengelolaan, permasalahan teknis dan biofisik, sinkronisasi aturan-aturan kelembagaan lokal dengan aturan Pemerintah Daerah dan kebijakan Pemerintah Daerah. Berikut adalah kelemahan dan kekuatan kelembagaan lahan komunal. Kelemahan 1. Kemampuan SDM dalam meningkatkan potensi lahan komunal, seperti perbaikan pola pemeliharaan ternak, pengembangan pakan hijauan dan sumber air bagi ternak, relatif rendah. 2. Terbatasnya pakan hijauan pada musim kemarau sehingga tingkat kematian ternak relatif tinggi. 3. Tingkat penerapan tekhnologi reproduksi relatif masih rendah dan pengontrolan ternak yang kurang menyebabkan tidak diketahui waktu birahi ternak induk, termasuk jika ada penularan penyakit pada ternak. 4. Pembinaan terhadap kelompok tani-ternak dalam pengembangan pembibitan sapi pada lahan komunal relatif rendah dan sangat jarang dilakukan. 5. Aturan kelembagaan lokal dan aturan Pemerintah Daerah dalam penggunaan lahan komunal secara baik oleh masyarakat. 6. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengembangan peternakan dengan memanfaatkan kelembagaan lahan komunal belum maksimal. Kekuatan 1. Lahan komunal masih sangat luas sehingga masih ada potensi untuk mengambangkan ternak dengan sistem pada penggembalaan. 2. Perbaikan sistem pemeliharaan di lahan komunal dengan pola ladang berpindah, pengambangan pakan hijauan toleran kering, dan pengelolaan sumber air bagi ternak masih berpeluang cukup besar. 16

3. Pengembangan peternakan ke depan, terutama ternak sapi bali, melalui kelembagaan lahan komunal dengan dukungan kebijakan pemerintah masih dimungkinkan. 4. Penataan lahan komunal dengan pola ladang berpindah dapat memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan populasi ternak. Untuk mendukung pengembangan peternakan di lahan komunal masih diperlukan pengembangan pakan hijauan ternak. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia sangat bergantung pada ketersediaan pakan. petani berperan penting dalam penyediaan pakan untuk menunjang usaha ternak (Nulik dan Bamualim 1998). Pakan hijauan merupakan salah satu masukan yang penting bagi ternak ruminansia. Pengembangan ternak, terutama ruminansia, sangat bergantung pada kecukupan pakan hijauan, baik jumlah dan mutu maupun kesinambungannya sepanjang tahun. Pakan hijauan ternak adalah rumput, legume herba, dan legume pohon/semak yang dapat digunakan sebagai pakan ternak (Home dan Stur 1999). Posisi dan Peranan Pemerintah Daerah Pengakuan atas lahan komunal diatur dalam Surat Keputusan Bupati Sumbawa Nomor 700 Tahun 2000 dan Nomor 1520 Tahun 2001 tentang ijin membuka lahan untuk lokasi padang penggembalaan ternak dengan ketentuan bahwa status lahan yang dibuka adalah milik negara. Di Kabupaten Sumbawa, misalnya, penggunaan lahan komunal diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 12 Tahun 1992 tentang pemeliharaan ternak yang antara lain mengatur bahwa pemilik ternak dapat memelihara ternak dengan cara menggembalakan ternaknya di tempattempat yang tidak berdekatan dengan areal pertanian, hutan lindung, hutan produksi, dan hutan suaka alam (Pasal 3 Ayat 1). Setelah selesai menggembalakan ternak, para penggembala harus memasukkan kembali ternaknya ke kandang atau diikat (Pasal 3 Ayat 2). SIMPULAN 1. Lahan komunal merupakan padang pengembalaan umum berupa lahan milik Pemerintah Daerah atau milik negara. 2. Lahan komunal milik negara dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakat dalam satu atau beberapa desa. 3. Pengakuan atas lahan komunal diatur dalam Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah. 4. Berdasarkan daya tampung ternak, baru sekitar 20% lahan komunal di NTB yang telah dimanfaatkan untuk padang pengembalaan sehingga masih terdapat sekitar 80% lagi yang belum dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak sapi. DAFTAR RUJUKAN Dinas Peternakan Kabupaten Dompu, 2004. Lahan Komunal Kabupaten Dompu. Dompu Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa, 2004. Lahan Komunal Kab. Sumbawa. Sumbawa Besar. Dinas Peternakan NTB, 2012. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Nusa Tenggara Barat Tahun 2012. Mataram. Pasandaran, E., Hermanto, Sumaryonto, dan N. Syafa at, 1993. Investasi Pengembangan Pertanian di Lahan Kering: Suatu Pendekatan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Lahan. Prosiding Lokakarya Status dan Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram 16-18 November 1993. Buku I, Proyek P3NT. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa, 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa No. 12 tahun 1992 tentang Pemeliharaan Ternak. Sumbawa Besar. Suwardji dan S. Tejowulan, 2002. Pengembangan Pertanian Lahan Kering Terpadu Dengan Penerapan Konsep Master BLEQ di Propinsi NTB. Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRI). Fakultas Pertanian Unram, Mataram. Suwardji, Amry Rakhman, H. Badrul Munir, dan Sri Tejowulan, 2002. Laporan Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL). 17