BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bersifat reversible (Rizema, 2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tenaga kesehatan di rumah sakit sangat bervariasi baik dari segi jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem pelayanan kesehatan merupakan salah satu struktur

BAB V PEMBAHASAN. Fakultas Kedokteran UNS angkatan 2013 pada Desember Dari 150

Tidur dan Ritme Sirkadian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tidur didefenisikan sebagai perubahan status kesadaran dimana persepsi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini melibatkan 70 orang responden yang merupakan

Gangguan tidur LAMIA ADILIA DITA MINTARDI FEBRYN PRISILIA PALIYAMA DR. SUZY YUSNA D, SPKJ

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari

Istirahat adalah suatu keadaan tenang, relaks, tanpa tekanan emosional,dan bebas dari perasaan

Fisiologi Tidur dan Pernapasan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istirahat bagi tubuh dan jiwa, atas kemauan dan kesadaran secara utuh atau

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

BAB I PENDAHULUAN. (ageing population). Adanya ageing population merupakan cerminan dari

Tidur = keadaan bawah sadar dimana orang tsb dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Koroner dan penyakit Valvular ( Smeltzer, et., al. 2010). Gangguan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. hari yang dicirikan dengan penurunan voluntary body movement dan penurunan

BAB I PENDAHULUAN. telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya. dan bertambah cenderung lebih cepat (Nugroho, 2000).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. minggu mengalami perbaikan pada kualitas tidur dalam studi ini. Perbaikan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengapa seseorang butuh tidur akan lebih jelas bila dilihat dari akibat bila

BAB 1 PENDAHULUAN. 11% dari seluruh jumlah penduduk dunia (± 605 juta) (World Health. meningkat menjadi 11.4% dibandingkan tahun 2000 sebesar 7.4%.

BAB I PENDAHULUAN. Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar atau pasif yang ditandai

commit to user BAB V PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. ke-4 di dunia dengan tingkat produksi sebesar ton dengan nilai USD 367 juta

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa jumlah. jiwa dengan usia rata-rata 60 tahun (Bandiyah, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. organ tubuh. Hal ini juga diikuti dengan perubahan emosi secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia, sama seperti halnya dengan semua binatang

BAB I PENDAHULUAN. orang permasalahan sulit tidur (insomnia) sering terjadi bersamaan dengan terjaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. desain penelitian case control, yaitu penelitian dengan cara membandingkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hingga berada dalam kondisi yang optimal (Guyton & Hall, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan terhadap golongan pelajar ini dapat menyebabkan pola tidur-bangun. berdampak negatif terhadap prestasi belajarnya.

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis maupun psikologis. Segala yang dibutuhkan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dewasa normal bervariasi antara 4-10 jam sehari dan rata-rata berkisar antara

BAB I PENDAHULUAN. remote control, komputer, lift, escalator dan peralatan canggih lainnya

BABf PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar. manusia yang termasuk kedalam kebutuhan dasar dan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan tidur (Kryger, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tidur sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik, mental, dan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Olahraga adalah aktivitas fisik yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. cendrung untuk sedenter atau tidak banyak melakukan kegiatan. Sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Faktor umur harapan hidup masyarakat Indonesia saat ini memerlukan

BAB II KAJIAN TEORI. emosional dan sosial. Menurut Santrock (2003) perubahan. remaja terbagi menjadi 3, yaitu: hormonal pada pubertas.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Dimana seseorang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki umur

MASYARAKAT KINI. Penuh dengan individu yg merasa letih Senantiasa berjuang utk perlombaan hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya (Potter & Perry,

Fisiologi Tidur. Beny Atmadja W. Bag;lSMF. Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Unpad/RS. Hasan Sadikin Bandung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tidur merupakan keadaan berkurangnya tanggapan dan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tidur merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Lima, Fransisco &

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. melekat kecintaanya terhadap cabang olahraga ini. Sepuluh tahun terakhir ini

BAB 1 PENDAHULUAN. organ, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (America

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN survei rutin yang dilakukan rutin sejak tahun 1991 oleh National Sleep

BAB I PENDAHULUAN. Tidur merupakan suatu proses penting dalam kehidupan manusia. Kualitas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini di seluruh dunia jumlah orang lanjut usia (lansia)

TEORI DAN METODOLOGI LATIHAN OLEH: YUNYUN YUDIANA

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan ini, masalah yang. manusia. Menurut National Institute of Mental Health, 20% populasi

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reni Ratna Nurul Fauziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sepanjang hari. Kehidupan manusia seolah tidak mengenal waktu istirahat. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. optimal bagi manusia. Maslow dalam teori kebutuhan dasar manusia, membagi

direncanakan antara pembebanan dan recovery. Lari interval ini merupakan lari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tidur adalah kondisi istirahat alami yang. dilakukan oleh semua makhluk hidup, termasuk manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungannya dengan fungsi kognitif, pembelajaran, dan atensi (Liu et al.,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk menguasai segala sesuatu yang berguna untuk hidup. 17. hasil belajar ditunjukkan dalam bentuk berubah pengetahuannya,

BAB I. Pendahuluan. melakukan pekerjaan tanpa memperdulikan kesehatan. Pekerjaan. hari dan berulang ulang akan mengakibatkan insomnia yang

MODUL 9 KEBUTUHAN ZAT GIZI DAN JUMLAH KALORI YANG DIPERLUKAN OLEH ATLET

BAB 1 PENDAHULUAN. melakukan aktivitas, setiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk

I. PENDAHULUAN. sekaligus sebagai upaya memelihara kesehatan dan kebugaran. Latihan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan disegala bidang selama ini sudah dilaksanakan oleh

I. PENDAHULUAN. hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Indonesia menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tidur 2.1.1 Definisi tidur Tidur berasal dari kata latin Somnus yang berarti periode pemulihan, serta suatu keadaan fisiologis untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal dan bersifat reversible (Rizema, 2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar dimana orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton dan Hall, 2007). 2.1.2 Fisiologi tidur Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap rangsangan dari luar. Tidur dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga active sleep dan fase Non Rapid Eye Movement (NREM) disebut juga quiet sleep. Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan 5

6 tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergik dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi neuron kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus akan kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi dari retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi (Rizema, 2011). Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R) ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut, peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil (Rizema, 2011). Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari osilasi akan berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal

7 ini ditunjukkan oleh penelitian menggunakan oksigen positron emission tomography (PET) yaitu selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin menurun. Selama fase REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama, kortek motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks dapat menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke korteks prefrontal dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi (Riadi et al, 2009). Saat ini banyak dilakukan penelitian tidur menggunakan alat polysomnography. Elektroda yang dipakai untuk pemeriksaan tidur dengan cara ini minimal berjumlah empat buah yaitu satu untuk melihat gambaran gelombang dari elektroencephalograpy (EEG) dua saluran untuk elektrokulogram (EOG) dan satu untuk elektromiogram (EMG). Elektroda EEG biasanya diletakkan pada C3 atau C4. Elektrokulogram biasanya direkam dari kedua mata dengan elektroda diletakkan 1 cm di sebelah kantus kanan dan kiri. Untuk EEG dan EOG reference electroda diletakkan ipsilateral atau kontralateral dari cuping telinga atau pada mastoid sedangkan EMG direkam secara bilateral dari otot atau submental di dagu. Rekaman polysomnograpy dilakukan pada saat pasien tidur dan hasil standard akan menunjukkan kadar oksigen darah, pernapasan, dan REM sesuai dengan waktu tidur. Gelombang tidur yang terlihat pada gambaran polisomnogram akan berbeda sesuai dengan fase tidur (gambar 2.1). Pada keadaan perpindahan dari fase terjaga akan terlihat gambaran gelombang alfa. Fase pertama NREM akan memperlihatkan gambaran gelombang teta. Fase kedua NREM akan memperlihatkan gambaran spindle waves. Fase ketiga NREM akan

8 memperlihatkan gambaran spindle waves ditambah dengan slow waves. Fase empat NREM akan memperlihatkan gelombang yang sama seperti fase ketiga namun ditambah gambaran gelombang delta yang merupakan ciri fase 4 NREM. Fase REM bukan merupakan fase tidur karena pada keadaan tidur didapatkan sleep spindle (S) atau kompleks K maupun delta yang tidak terdapat pada keadaan REM. Fase REM juga bukan keadaan terjaga karena pada EEG tidak didapatkan gelombang alfa yang lebih dari 25% maupun EMG yang tinggi. Syarat terjadinya REM adalah didapatkannya gelombang campuran (alfa, beta dan teta) tak teratur dan tidak ada kompleks K (Riadi et al, 2009, Rizema, 2011). (Mark Ehrman, Sara C, 2009) Gambar 2.1 Gambaran Polisomnogram Sesuai Fase Tidur Gelombang tidur yang terlihat pada polisomnogram akan memperlihatkan frekuensi dan amplitudo yang berbeda. Pada keadaan perpindahan dari keadaan terjaga menuju tidur, gelombang alfa yang akan muncul dengan frekuensi 8-12 Hz dengan amplitudo <50 mikrovolt. Gelombang teta memiliki frekuensi 4-8 Hz dan amplitudo 50-100 mikrovolt. Spindle waves, slow waves dan delta waves memiliki amplitudo 100-200 mikrovolt dengan frekuensi 0,5-4 Hz.

9 Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu : 1. Tahapan terjaga Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8 12,5 Hz) mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009). 2. Fase 1 Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut juga twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage mix frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya (Mark Ehrman, Sara C, 2009). 3. Fase 2 Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1. Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit dan bervariasi pada tiap individu (Mark Ehrman, Sara C, 2009). 4. Fase 3 Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,

10 tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 10 menit fase 3 akan diikuti fase 4 (Mark Ehrman, Sara C, 2009). 5. Fase 4 Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009) 6. Fase REM. Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang biasanya berlangsung 10 15 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009). Gambaran fase tidur ini dapat dilihat pada gambar 2.2 (National Heart and Lung Institute, 2009) Gambar 2.2 Gelombang EEG Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90 menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari

11 eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan berulang kembali setiap 75 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan keempat, fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek. Siklus ini terjadi 4 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal dengan lama tidur 7 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap siklus 75 90 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009). Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak dalam fase 3 dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta sepertiga akhir lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki laki muda (20 29 tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 90 tahun) akan memberikan gambaran pola tidur yang berbeda (Potter dan Perry, 2006). Pengamatan dari siklus tidur-bangun manusia memperlihatkan keterkaitannya dengan usia. Bayi yang baru lahir tidur dari 16 hingga 20 jam per hari, dan anak-anak 10-12 jam. Total waktu tidur menurun menjadi 9-10 jam pada usia 10 tahun dan menjadi 7-7,5 jam menjelang dewasa. Penurunan bertahap sekitar 6 jam berkembang pada akhir kehidupan dewasa. Namun, adanya perbedaan individual dalam panjang dan kedalaman tidur disebabkan oleh faktor genetik, kondisi hidup, jumlah aktivitas fisik, dan status psikologis (Ropper dan Brown, 2005). Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda

12 15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu 28 % dari pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya kesegaran sesuai bertambahnya usia (Riadi et al, 2009). Secara farmakologik dapat dinyatakan bahwa REM dan NREM mempunyai kaitan-kaitan dengan metabolisme amine, terutama 5- hydroxytryptamine (serotonin) dan norepinepherine. Monoamine oxidase inhibitor mengurangi REM. Terbukti pula bahwa NREM dibina oleh mekanisme setononergik dan REM dipelihara oleh mekanisme adrenergik (Mardjono & Sidharta, 2000). Tidur NREM dan REM diatur dalam formasi retikuler dan dipengaruhi oleh acetylcoline dan dua amine biogenik yaitu 5- hydroxytryptamine (serotonin) dan norepinephrine. Neuron serotonergik terletak di dalam dekat regio raphe pada pons. Neuron norepinephrine kaya konsentrasinya di locus cereleus. (Ropper & Brown, 2005). 2.1.3 Kualitas tidur Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Septiyadi, 2007). Remaja usia 12-18 tahun memerlukan waktu tidur 8-9 jam per hari. Waktu tidur masih berperan penting bagi kesehatan seperti pada masa kanak-kanak mereka. Walaupun ditemukan bahwa banyak remaja memerlukan waktu tidur

13 yang mungkin lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, tuntutan sosial membuat mereka sulit mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang sesuai. Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung memerlukan waktu 6-7 jam per hari dengan tidur yang lebih sering pada siang hari (Robotham, 2011). Sebuah pandangan yang mengatakan semakin lama orang tidur, maka akan semakin mendapatkan kesehatan yang optimal, ternyata merupakan pandangan yang salah. Sebuah penelitian tentang korelasi waktu tidur dan tingkat kematian yang dilakukan oleh Institusi Amaerica Cancer Society yang bekerja sama dengan UCSD mengatakan bahwa orang dengan kebiasaan tidur lebih dari 8 jam sehari cenderung memiliki resiko tinggi untuk meninggal dengan cepat. Orang yang tidur 8 jam sehari dalam penelitian tersebut dikatakan memiliki resiko 12% meninggal lebih cepat, dan resiko meningkat menjadi 17% pada orang-orang yang tidur 9 jam sehari. Resiko lebih besar, yaitu 34% terjadi pada orang-orang yang tidur 10 jam sehari (Arief, 2009). Kualitas tidur yang baik akan membuat remaja sehat. Sebaliknya kualitas tidur yang buruk justru akan memengaruhi kesehatannya, baik fisik maupun mental. Dr. Susan Redline dari Case Western Reserve, mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas tidur dapat memengaruhi proses homeostatis. Jika proses ini terganggu maka bisa menjadi salah satu faktor meningkatnya resiko penyakit kardiovaskular (Rizema, 2011). Kualitas dan kuantitas tidur yang kurang pada anak dapat mengakibatkan terjadinya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan penurunan tingkat atensi di siang hari. Gangguan pola tidur dapat menimbulkan efek negatif pada performa di sekolah, fungsi kognitif, dan mood sehingga dapat menimbulkan konsekuensi

14 serius lainnya seperti peningkatan angka kejadian kecelakaan mobil dan motor (Millman, 2005). Pada 20 tahun terakhir ini, para peneliti mengenai tidur menyadari perbedaan perubahan pola tidur pada remaja. Penelitian yang dilakukan di Amerika oleh National Sleep Foundation mendapatkan berbagai fakta yaitu, lebih dari 36% remaja berusia 18-29 tahun dilaporkan mengalami kesulitan bangun pagi (dibandingkan dengan 20% pada usia 30-64 tahun dan 9% diatas usia 65 tahun). Fakta lain yaitu hampir 22% remaja sering sekali terlambat masuk kelas atau bekerja karena sulit bangun pagi (dibandingkan 11% pada pekerja berusia 30-64 tahun dan 5% di atas usia 65 tahun). Selain itu sebanyak 4% remaja mengeluhkan kantuk saat bekerja, setidaknya 2 hari dalam seminggu atau lebih (Arief, 2009). 2.1.4 Penilaian kualitas tidur Kualitas tidur memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan (Yi dkk, 2006). Kualitas tidur diukur menggunakan pengukuran kualitas tidur dapat berupa kuisioner maupun sleep diary, noctural polysomnography, dan multiple sleep latency test (Hermawati dkk, 2010). Pengukuran kualitas tidur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Yi, Si, dan Shin (2006) melakukan pengukuran kualitas tidur yang disebut dengan Sleep Quality Scale (SQS). Busye, dkk (1989) dalam Rush (2000), melakukan penelitian tentang pengukuran kualitas tidur menggunakan instrumen pengukuran kualitas tidur yang disebut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI adalah instrumen efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan pola tidur pada orang dewasa. PSQI dikembangkan untuk mengukur dan membedakan individu dengan kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk.

15 Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Dimensi tersebut antara lain; 1. Kualitas tidur subjektif Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan evaluasi singkat terhadap tidur seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk (Buysse et al., 1989). 2. Latensi tidur Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur hingga tertidur. Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit untuk dapat memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih dari 20 menit menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami kesulitan dalam memasuki tahap tidur selanjutnya (Buysse et al., 1989). 3. Durasi tidur Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang baik (Buysse et al., 1989). 4. Efisiensi kebiasaan tidur Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari 85% (Buysse et al., 1989).

16 5. Gangguan tidur Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana pola tidurbangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang (Buysse et al., 1989). 6. Penggunaan obat Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif mengindikasikan adanya masalah tidur. Obat-obatan mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada tahap REM. Oleh karena itu, setelah mengkonsumsi obat yang mengandung sedatif, seseorang akan dihadapkan pada kesulitan untuk tidur yang disertai dengan frekuensi terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk kembali tertidur, semuanya akan berdampak langsung terhadap kualitas tidurnya (Buysse et al.,1989). 7. Disfungsi di siang hari Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan mengantuk ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau perhatian, tidur sepanjang siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami distres, dan penurunan kemampuan beraktivitas (Buysse et al., 1989). Semua dimensi tersebut dinilai dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot penilaian masing-masing sesuai dengan standar baku (Smyth, 2012). Kuisioner PSQI terdiri dari 9 pertanyaan dengan masing-masing pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor komponen 1-7 dengan rentang 0-21. Skor diatas 5 mengindikasikan pola tidur yang buruk. Kuisioner ini telah diuji validitas dan reabilitas (Cronbach s alpha) yaitu 0,83 (Smyth, 2012).

17 2.1.5 Faktor-faktor yang memengaruhi tidur 1. Usia Menurut penelitian terdapat hubungan antara siklus bangun tidur manusia dengan usia. Total kebutuhan tidur neonatus biasanya 16-20 jam dalam satu hari dan pada anak-anak biasanya 10-12 jam per hari. Total Sleep Time (TST) mulai menurun menjadi 9-10 jam pada umur 10 tahun dan 7-7,5 jam pada remaja. Paa dewasa terjadi penurunan yang sangat signifikan menjadi 6,5 jam per hari. Pada dewasa juga terjadi penurunan tidur REM dan menurut Maryland University, melatonin juga mengalami penurunan seiring dengan usia. National Sleep Foundation juga mengatakan bahwa usia berkaitan dengan penyakit-penyakit kronis seperti hipertensi yang dapat menyebabkan obstructive sleep apneu (OSA) yang merupakan salah satu kondisi yang mengganggu kualitas tidur dari seseorang (Michael V, 2009, Maryland, 2013). 2. Stres Stres bisa berpengaruh di banyak hal, salah satunya adalah tidur. Pada keadaan stres, otak akan beradaptasi melalui dua mekanisme yaitu melalui jalur Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dan Locus Ceruleus Noreponephire (LC-NE). Stres dapat menyebabkan peningkatan hormon kortisol dan NE melalui dua mekanisme yaitu melalui jalur CRH dan LC-NE. Dalam keadaan stres kedua hormon ini dapat menyebabkan sulit untuk tidur pada malam hari terutama hormon kortisol. Normalnya pada kortisol meningkat pada pagi hari setelah bangun tidur dan menurun pada saat tidur. Pada keadaan stres di malam hari, kortisol mengalami peningkatan. Sehingga hormon kortisol meningkatkan produksi hormon adrenergik yang menyebabkan orang dalam keadaan siap siaga.

18 Hal ini menyebabkan orang menjadi sulit tidur. (Chrousus dan Gold 1992, Purba et al 1995, Hudson et al, 2010). 3. Olahraga Menurut beberapa studi, olahraga dapat mengurangi waktu untuk memulai tidur (Sleep Onset) dan meningkatkan durasi tidur. Adapun beberapa studi yang mengatakan bahwa olahraga aerobik terus menerus seperti berlari dan angkat bebdan tidak berpengaruh terhadap tidur. Namun ada juga penelitian pada orang insomnia dewasa yang berolahraga selama 4-24 minggu mengalami perubahan pola tidur yang signifikan. Durasi tidurnya menjadi lebih panjang, onset tidurnya menjadi lebih cepat dan kualitas tidur semakin membaik. (Guilleminault et al, 1995, Reid et al, 2010, Passos et al, 2012). Walaupun mekanisme masih belum jelas, namun ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Menurut Horne & Staff, apabila olahraga dilakukan sore hari maka akan terjadi reduksi dari gejala gangguan tidur. Olahraga menstimuli tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh dan post-exercise menurunkan suhu tubuh sehingga dapat menyebabkan orang lebih mudah untuk jatuh dalam keadaan tidur. Olahraga juga dapat mengurangi gejala depresi dan ansietas yang merupakan salah satu penyebab gangguan tidur. (Horne & Staff, 1983). Olahraga juga dapat menyebabkan insomnia apabila dilakukan pada malam hari. Menurut penelitian Dwi Heri et al, olahraga di malam hari dapat menginduksi terjadinya insomnia yang ringan. Penelitian ini juga didukung oleh teori Youngstedt, olahraga pada malam hari dapat menyebabkan tubuh melepaskan adrenalin dan nor-adrenalin, dua stimulan tubuh yang meningkatkan

19 denyut jantung dan suhu tubuh sehingga orang menjadi dalam keadaan waspada dan terjada dan tidak bisa tidur. (Youngstedt, 2008, Dwi Heri et al, 2012). 4. Kehamilan Gangguan tidur lazim terjadi pada perempuan yang sedang hamil. Terdapat beberapa faktor hormonal yang turut berperan dalam gangguan ini, termasuk perubahan kadar estrogen, progesteron, kortisol dan melatonin dari kadar dasarnya. Di samping itu, perubahan fisiologi pernapasan maternal, perawakan tubuh, dan pada trimester ketiga, gerakan janin semuanya dapat berperan mengurangi kuantitas dan kualitas tidur. (Sadock, 2004). 5. Gangguan jiwa lain Insomnia dan hipersomnia dapat disebabkan oleh gangguan jiwa seperti depresi berat, gangguan ansietas, gangguan bipolar dan sebagainya. Polisomnografi menunjukkan bahwa pada insomnia akibat depresif berat atau gangguan mood lainnya didapatkan gambaran berkurangnya tidur tahap 3 dan 4, sering disertai latensi REM singkat dan periode REM pertama yang lama. (Kupfer et al, 2000, Sadock, 2004). 6. Stimulan dan alkohol Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu siklus tidur REM. Pengaruh alkohol yang telah hilang dapat menyebabkan individu sering kali mengalami mimpi buruk. (Potter, 2005, Koch 2005).

20 7. Merokok Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh. Perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari. (Potter, 2005, Koch 2005). 8. Obat-obatan dan zat kimia lain Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan yang kronik (amphetamin, kafein, nikotine), anti hipertensi, anti depresan, anti histamin, anti kholinergik. (Japardi, 2002) Pada pasien insomnia yang menggunakan obat hipnotik sedatif dalam jangka waktu yang lama biasanya toleransi terhadap obat tersebut meningkat. Sehingga obat kehilangan efek yang dapat mencetuskan tidur dan butuh dosis yang lebih besar untuk mendapatkan efek tidur. Apabila pasien menghentikan obat secara tiba-tiba, pasien akan mengalami insomnia yang lebih berat. Salah satu efek yang dikeluhkan pasien adalah sering bangun singkat di malam hari. (Sadock, 2014) 9. Faktor-faktor lain yang memengaruhi tidur Faktor-faktor lain seperti kerja gilian (shiftwork), jet lag, juga dapat mengganggu jadwal tidur seseorang. Pasien biasanya sering mengeluhkan insomnia dan somnolen. Lingkungan termasuk kebisingan dan cahaya juga dapat berpengaruh terhadap pada kualitas tidur dan kuantitas tidur. (Buschermi et al, 2005, Harvard, 2007).

21 2.2 Olahraga 2.2.1 Definisi olahraga Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstuktur, yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Aktivitas fisik ini akan menyebabkan peningkatan pengeluaran tenaga dan energi sehingga dapat menimbulkan pembakaran kalori bagi tubuh dalam jumlah yang signifikan. Individu yang berolahraga adalah individu yang melakukan aktivitas olahraga minimal 2-3 kali dalam seminggu 20-30 menit. Individu dengan kategori rutin berolahraga melakukan minimal 3-5 kali dalam seminggu dalam rentang waktu 20-30 menit (Brannon et al, 2007). 2.2.2 Jenis-jenis olahraga Olahraga secara umum digolongkan menjadi dua jenis tergantung dari efek keseluruhan terhadap tubuh manusia. 2.2.2.1 Olahraga aerobik Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting untuk olahraga aerobik adalah intensitas dan durasinya. Dari segi intensitas, olahraga aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke tingkat tertentu. Intensitas untuk olahraga bervariasi sebanyak 50-80% dari denyut jantung maksimal. Olahraga aerobik fokus pada peningkatan daya tahan kardiovaskuler. Contohnya seperti; bersepeda, berjalan, berlari, mendaki, bermain tenis, aktivitas untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskuler, renang, jogging, dan lain sebagainya (Brannon et al, 2007).

22 2.2.2.2 Olahraga anaerobik Olahraga anaerobik membutuhkan ledakan energi yang intensif dalam durasi yang pendek. Akan tetapi ia tidak memerlukan konsumsi oksigen yang tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya tahan otot, tetapi harus berhati-hati karena ia boleh menjadi bahaya pada orang yang menderita penyakit jantung koroner. Seperti aktivitas yang meningkatkan kekuatan otot dalam jangka pendek, latihan berat badan (Brannon et al, 2007). 2.2.3 Intensitas olahraga Intensitas latihan ditetapkan secara spesifik pada setiap individu sesuai dengan kapasitas fisik yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan secara terus menerus agar intensitas latihan benar-benar mencapai intensitas yang diprogramkan. Intensitas latihan dapat diekspresikan dalam satuan absolut (contoh: watt) maupun diekspresikan dalam bentuk relatif (misalkan terhadap frekuensi denyut jantung maksimal, METs, VO 2 maks maupun RPE/Rating of Perceived Exertion). Menurut Andersen (1999) pada umumnya, intensitas latihan dimulai 40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional. Pada orang dengan dengan permasalahan jantung, intensitas latihan dapat ditetapkan antara 40 sampai dengan 60% kapasitas fungsional (Jette,1999). Pada dasarnya tujuan akhir menentukan besaran intensitas latihan adalah untuk memberikan petunjuk bagi seseorang tentang intensitas latihan yang akan dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk dirinya sekaligus meminimalisir resiko terjadinya cedera (Slentz, 2004).

23 2.2.3.1 Penetapan intensitas dengan berdasarkan frekuensi denyut jantung Pada umumnya, apabila tidak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang ekstrim, keadaan psikologis maupun penyakit, terdapat hubungan yang relatif bersifat linear antara denyut jantung pada saat latihan dengan intensitas latihan. (Feigenbaum, 1999). Menurut Cooper (1994), intensitas olahraga kesehatan yang cukup yaitu apabila denyut nadi latihan mencapai 65-80% DNM sesuai umur (Denyut Nadi Maximal sesuai umur = 220-umur dalam tahun. Masalah intensitas yang adekuat ini harus menjadi perhatian terutama pada olahraga kesehatan (Giriwijoyo, 2008). 2.2.3.2 Penetapan intensitas dengan RPE (Rating of Perceived Exertion) Penetapan intensitas juga dapat didasarkan persepsi seseorang terhadap kelelahan (perceived exertion). Konfirmasi intensitas latihan dengan mempergunakan RPE penting untuk dilakukan karena frekuensi denyut jantung maksimal dapat bervariasi pada setiap orang. Konfirmasi ini penting untuk mengevaluasi agar suatu latihan betul-betul dilakukan pada intensitas yang optimal. Lebih lanjut, pada keadaan dimana terjadi hambatan respon kardiovaskular, penetapan intensitas latihan dengan mempergunakan skala RPE lebih tepat dibandingkan berdasarkan frekuensi denyut jantung. (Feigenbaum et al., 1999). Salah satu pedoman RPE dikembangkan oleh Bjorg pada tahun 1982 dengan mempergunakan skala dari 6 sampai dengan 20. Skala Bjorg sampai dengan sekarang masih cukup sering dipergunakan akan tetapi dewasa ini terdapat alternatif skala penggunaan Bjorg dengan mempergunakan skala antara 0 sampai dengan diatas 10. Dengan adanya dua skala yang sekarang ini sering

24 dipergunakan, penetapan intensitas dengan mempergunakan RPE harus jelas mencantumkan standard RPE yang dipergunakan (Feigenbaum et al., 1999). Tabel 2.1 Skala Rating of Perceived Exertion Skala Kategori RPE Bjorg Skala Kategori-Ratio RPE 6 0 7 sangat sangat ringan 0.5 sangat sangat ringaan 8 1 sangat ringan 9 sangat ringan 2 ringan 10 3 sedang 11 cukup ringan 4 agak berat 12 5 berat 13 agak berat 6 14 7 sangat berat 15 berat 8 16 9 17 sangat berat 10 sangat sangat berat 18 maksimal 19 sangat, sangat berat 20 (Feigenbaum et al., 1999) Penggunaan skala kategori Bjorg didasarkan pada temuan bahwa kategori RPE Bjorg meningkat secara linear dengan peningkatan respon fisiologis seperti frekuensi denyut jantung, ventilasi dan konsumsi oksigen. Walaupun demikian dewasa ini skala Bjorg dikembangkan karena terdapat temuan bahwa pada latihan intensitas rendah dan tinggi subjek lebih mudah untuk mengaitkan persepsinya terhadap kelelahan dengan skala kategori-ratio (Jette, 1994). 2.2.2.3 Penetapan intensitas latihan dengan METs Jette (1994) menyatakan bahwa METS adalah satuan dari kapasitas fungsional tubuh (VO 2 maks). 1 METs merupakan kapasitas latihan yang membutuhkan 3,5 g O 2 /kgmenit. Biasanya rentang latihan yang disarankan adalah 40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional maksimal. Setelah menetapkan rentang intensitas yang diinginkan, dapat dipilih kegiatan fisik yang pengeluaran energinya sesuai dengan intensitas latihan yang diinginkan. Hal yang juga

25 mempengaruhi kisaran METs aktivitas-aktivitas tersebut adalah keadaan lingkungan. Perbedaan suhu, kelembaban, kecepatan angin dan sebagainya berpengaruh pada keluaran METs. Mengingat terdapat keterbatasan ini, pada lingkungan yang ekstrim intensitas latihan dengan mempergunakan frekuensi denyut jantung dan RPE lebih cocok untuk dilakukan (Jette et al., 1994). Apapun pedoman intensitas latihan yang ditetapkan, sebaiknya intensitas latihan ditetapkan dalam nilai kisaran. Setelah kisaran intensitas latihan ditetapkan, misalnya 5 sampai dengan 9 METs, sebaiknya latihan dimulai dengan intensitas yang rendah kemudian dilanjutkan pada intensitas yang lebih tinggi secara bergantian. Hasil akhir pengeluaran energi pada kisaran ini akan sama dengan latihan intermiten 6 sampai dengan 8 METs atau latihan kontinyu dengan intensitas 7 METs (Jette et al., 1999). Tabel 2.2 Contoh Nilai METs Beberapa Jenis Aktivitas Jenis latihan Rata-rata Bulutangkis 5.8 Basket 8.3 Berlari 12 menit menempuh 1,6 km 11 menit menempuh 1,6 km 10 menit menempuh 1,6 km 9 menit menempuh 1,6 km 8 menit menempuh 1.6 km 6 menit menempuh 1.6 km 8,7 9,4 10,2 11,2 12,5 14,1 Squash 9.9 Tenis meja 4.1 (Jette,1994)

26 2.3 Hubungan Kualitas Tidur dengan Olahraga Menurut American Sleep Disorder Association (ASDA), olahraga merupakan salah satu intervensi non farmakologi yang digunakan untuk memperbaiki kualitas tidur. Beberapa mekanisme dari olahraga yang memengaruhi kualitas tidur sebagai berikut ; 1. Efek pada kesehatan mental Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, efek dari olahraga terhadap kesehatan mental erat hubungannya dengan depresi dan ansietas. Terjadinya depresi akan ansietas berhubungan dengan kadar dopamin dan serotonin dalam otak. Menurut Daniel M. Landers, manfaat olahraga terhadap depresi dan ansietas sama dengan yang pengobatan lainnya (Veqar, 2012). Tabel 2.3 Efek Olahraga terhadap Kesehatan Mental Menurunkan Kegelisahan Menurunkan Depresi Olahraga aerobik memberikan hasil terbaik Pasien dengan level kegelisahan yang tinggi merespon lebih awal Olahraga reguler memberikan hasil terbaik jika dilakukan dalam waktu yang lama (Veqar, 2012) 2. Efek pada mekanisme termoregulator Olahraga reguler memberikan hasil lebih baik jika dilakukan secara teratur Olahraga yang dilakukan beberapa kali dalam seminggu memberikan hasil yang lebih baik Olahraga yang bertenaga memberikan hasil yang lebih baik Regulasi suhu merupakan aspek penting dalam homeostatis. Hal ini merupakan pemeliharaan dari suhu tubuh inti dalam kisaran sempit yang dilakukan dengan mengontol pembuangan dan penyerapan panas dari dan dalam tubuh. Modulasi dalam suhu tubuh inti memengaruhi parameter tidur. Perubahan

27 dalam suhu tubuh inti dapat dilakukan secara aktif (dengan olahraga dll), atau secara pasif (dengan mandi air hangat, thermo suit, selimut listrik, dll). Metodemetode menaikkan suhu ini dapat dilakukan beberapa kali (sebelum tidur atau selama tidur). Waktu pengaplikasian ini tampaknya juga memainkan peran penting dalam beberapa penelitian. Dalam sebuah artikel, Liao dkk melaporkan bahwa slow wave sleep (SWS) gelombang tidur lambat dapat ditingkatkan dan fragmentasi tidur dapat diturunkan dengan menghangatkan tubuh secara pasif yang merubah suhu inti. Hal serupa juga dilaporkan oleh berbagai peneliti yang menggunakan metode berbeda untuk menurunkan suhu tubuh sebelum tidur. Fletcher dkk menggunakan selimut elektronik untuk meningkatkan suhu tubuh inti selama tidur dan melaporkan menurunnya efisiensi. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa ada hubungan antara suhu tubuh inti dengan tidur (Veqar, 2012). Studi neuroanatomi juga menyimpulkan bahwa daerah preoptic atau hipotalamus anterior memainkan peran penting dalam pengaturan termoregulator. Inisiasi tidur didapatkan dengan meningkatnya rerata neuron di daerah preoptic yang dapat dicetus dengan memanaskannya. Neuron-neuron ini dapat dihangatkan dengan perubahan suhu tubuh inti. Oleh karena itu, hipotesis bahwa tidur mungkin berfungsi sebagai down regulation dapat didukung. Horne dkk telah melakukan kajian tentang hubungan olahraga dan tidur. Mereka melaporkan bahwa terdapat hubungan posistif antara SWS dan olahraga (Veqar, 2012). 3. Efek pada irama sirkadian Irama sirkadian adalah interval waktu 24 jam yang merespon faktor endogen seperti suhu tubuh inti dan lainnnya, serta faktor eksogen seperti cahaya

28 dan sebagainya. Gangguan terhadap salah satu faktor dalam irama sirkadian dapat mempengaruhi tidur. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor terpenting disini adalah cahaya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melibatkan olahraga dan tidur, didapatkan dampak waktu olahraga dan tidur serta korelasi antara efek olahraga dalam irama sirkadian. Olahraga aerobik yang dilakukan larut malam dihubungkan dengan kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan olahraga yang dilakukan sore hari (Veqar, 2012). Dirumuskan oleh Driver dan Taylor bahwa olahraga yang dilakukan di area yang terang dapat meningkatkan kualitas tidur untuk individu dengan diubahnya irama sirkadian. Mereka juga menyarakan penelitian selanjutnya untuk menemukan hubungan cahaya, olahraga dan tidur. 4. Efek pada sistem serotonergik Olahraga mempunyai efek pada aktivitas serotonergik pada otak dan alirah darah perifer. Kadar serotonin di diensefalon meningkat selama berolahraga. Serotonin yang dikeluarkan ke diensefalon dan cerebrum dipercayai berperan dalam menyebabkan tidur yang normal. Serotonin membantu menyebabkan tidur melalui hambatan aktif dari sistem non serotonergik supraspinal (Melancon et al, 2014). Sintesis serotonin di otak tergantung pada kadar tersedianya tryptophan (TRP) dalam plasma. Sintesis serotonin saat berolahraga utamanya disebabkan oleh meningkatnya stimulus adrenergik dalam lipolisis yang akan meningkatkan free fatty acid (FFA) plasma. Peningkatan kadar FFA secara langsung meningkatkan TRP bebas ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar

29 sintesis serotonin. Efek mengguntungkan dari olahraga mungkin berkaitan dengan meningkatnya sistem serotonergik yang lebih tinggi (Melancon et al, 2014).