BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan bahwa resiliensi adalah kapasitas manusia untuk merespon kondisi yang tidak menyenangkan, trauma, atau kesengsaraan dengan cara yang sehat dan produktif, terutama untuk mengendalikan tekanan-tekanan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal serupa juga dikatakan Helton & Smith (2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Grotberg (dalam Desmita, 2009) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat, dan bahkan berubah karena pengalaman adversitas. Individu yang resilien akan mampu untuk mengambil makna dari permasalahan yang ada dan mampu memperbaiki diri dari masalah yang dialami. Menurut Desmita (2009), resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk dapat menghadapi, mengatasi, dan kembali bangkit dalam menghadapi situasi sulit atau kondisi yang tidak menyenangkan. 2. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi yaitu: a. Regulasi emosi (Emotion regulation) Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua hal keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang dan fokus. Dua keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu. b. Pengendalian impuls (Impulse control) Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan impuls atau keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri kemudian akan membawanya kepada kemampuan berpikir jernih dan akurat (Reivich & Shatte, 2002). Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. c. Optimisme (Optimism) Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Optimis berarti memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwasituasi yang sulit dapat berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka percaya bahwa mereka dapat memegang kendali dan arah hidupnya.
d. Kemampuan menganalisis masalah (Causal Analysis) Kemampuan menganalisis masalah merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Kemampuan menganalisis masalah dilakukan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002). e. Empati (Empathy) Empati merupakan kemampuan individu untuk mampu membaca dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain, sehingga individu mampu membaca sinyalsinyal mengenai kondisi emosional dan psikologis mereka melalui isyarat non-verbal, dan kemudian menentukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Individu yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002). Empati adalah pemahaman pikiran dan perasaan orang lain dengan cara menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang tersebut (Kartono dalam Nashori, 2008). f. Efikasi diri (Self-efficacy) Efikasi diri menggambarkan perasaan seseorang mengenai keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, keyakinan mengalami memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Efikasi diri memiliki pengaruh terhadap prestasi yag diraih, kesehatan fisik dan mental, perkembangan karir, bahkan perilaku memilih dari seseorang. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
g. Pencapaian (Reaching out) Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup keberanian individu dalam mengatasi ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Sedangkan resiliensi menurut Benard (2004) memiliki empat aspek yaitu: a. Social Competence Kemampuan sosial mencakup karakteristik, kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan seseorang untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang lain. Diidentifikasikan sebagai atribut dari resiliensi, termasuk kualitas dari fleksibilitas, empati, rasa peduli, kemampuan komunikasi, rasa humor, dan tingkah laku prososial lainnya. b. Problem Solving Skills Kemampuan ini mencakup kemampuan berpikir abstrak, reflektif, dan fleksibel, mencoba mencari alternatif solusi dari masalah kognitif dan sosial. c. Autonomy Melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan bebas dan untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungan. Autonomy juga diasosiasikan dengan kesehatan yang positif dan perasaan akan kesejahteraan, merasakan kebebasan dan berkehendak dalam melakukan suatu tindakan. d. Sense of purpose Sense of purpose yaitu: memiliki orientasi untuk sukses, motivasi untuk berprestasi, memiliki harapan (hope) yang sehat, memiliki antisipasi. Fokus terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten telah diidentifikasikan dengan sukses dalam
bidang akademis, identitas diri yang positif, dan sedikitnya tingkah laku yang beresiko terhadap kesehatan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam resiliensi menurut Reivich & Shatte meliputi regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, causal analysis, empati, efikasi diri, reaching out. Sedangkan menurut Benard meliputi kemampuan social, kemampuan pemecahan masalah, autonomy, dan orientasi untuk sukses. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002), karena aspek tersebut memiliki penjelasan yang lebih mudah dipahami dan menjelaskan secara lengkap dalam mengungkap resiliensi. Aspek Reivich & Shatte juga banyak diaplikasikan oleh beberapa penelitian seperti penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2014), Widuri (2012), dan Maulida (2016). 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Resnick, Gwyther, dan Roberto (2011), terdapat empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu, yaitu: a. Harga diri (Self-Esteem) Harga diri yang dimiliki individu akan membantu individu dalam menghadapi berbagai hambatan dalam hidup. Ketika individu dihadapkan dengan suatu masalah, harga diri yang dimiliki individu akan membantu individu untuk tetap tegar dan menumbuhkan rasa percaya terhadap diri sendiri untuk dapat melalui permasalahan yang dihadapinya. b. Dukungan Sosial (social support) Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi bagi meraka yang mengalami kesulitan dan kesengsaraan akan meningkatkan resiliensi dalam dirinya ketika pelaku sosial yang ada di sekelilingnya memiliki support terhadap penyelesaian masalah atau proses bangkit kembali yang dilakukan oleh individu tersebut.
c. Spiritualitas Salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi pada individu adalah ketabahan atau ketangguhan (hardiness) dan keberagaman serta spiritualitas. Dalam hal ini pandangan spiritual pada individu percaya bahwa tuhan adalah penolong dalam setiap kesengsaraan yang tengah di alaminya, tidak hanya manusia yang mampu menyelesaikan segala kesengsaraan yang ada, dan dalam proses ini individu percaya bahwa tuhan adalah penolong setiap hamba. d. Emosi positif Emosi positif yang dimiliki individu memungkinkan individu untuk bereaksi dengan emosi positif dan tenang saat menghadapi permasalahan dan dapat menghilangkan respon negatif serta mampu menghadapi permasalahan yang dihadapinya dengan efektif. Menggunakan emosi yang positif saat menghadapi suatu masalah dapat membuka respon yang lebih bervariasi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi menurut Resnick, dkk yaitu self-esteem (harga diri), social support (dukungan social), spiritualitas, dan emosi positif. Maka peneliti memilih faktor harga diri sebagai variabel prediktor karena harga dirimerupakan penilaian terhadap diri sendiri, tolak ukur harga diri kita sebagai manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri. Menurut Lupo (2012) penilaian diri seseorang tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan akan berdampak pada tingkat motivasi, banyaknya usaha dan ketekunan, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan dan akhirnya mendapatkan kesuksesan hidup. Kemampuan untuk bangkit dari kegagalan ini disebut juga sebagai resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
B. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Minchinton (1993), harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri, tolak ukur harga diri kita sebagai manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri. Harga dirijuga dapat dideskripsikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau perasaan mengenai diri yang berdasarkan pada keyakinan mengenai apa dan siapa diri kita sebenarnya. Baron & Byrne (2005) harga diri merupakan objek dari kesadaran diri, evaluasi diri, dan merupakan penentu perilaku. Oleh karena itu, perilaku merupakan indikasi dari harga diri yang bersangkutan karena penghargaan diri akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati. Branden (dalam Gunarsa, 2009) menyatakan bahwa harga diri adalah suatu aspek kepribadian yang merupakan kunci terpenting dalam pembentukan perilaku seseorang. Karena hal ini berpengaruh pada proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil bahkan pada nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang yang memungkinkan manusia menikmati dan menghayati kehidupan, sehingga seseorang yang gagal memilikinya akan cenderung mengembangkan gambaran harga diri yang semu untuk menutupi kegagalannya. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa harga diri yaitu penilaian terhadap diri sendiri, tolak ukur harga diri kita sebagai manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri. Harga diri juga merupakan pandangan individu terhadap nilai dirinya atau bagaimana seseorang menilai, mengakui, menghargai, atau menyukai dirinya 2. Aspek-aspek Harga Diri Aspek-aspek harga diri secara lebih rinci dikemukakan oleh Minchinton (1993), yaitu: a. Perasaan tentang diri sendiri 1) Menerima diri sendiri
Menerima diri sendiri maksudnya seseorang menerima dirinya secara nyata dan penuh, nyaman dengan keadaan dirinya sendiri,dan memiliki perasaan yang baik tentang diri sendiri, apapun kondisi yang dihadapai. Individu memandang bahwa dirinya memiliki keunikan tersendiri meskipun ada sifat-sifat, kemampuan, atau keterampilan yang tidak dimiliki. 2) Menghargai dirinya sendiri Dengan menghargai dirinya sendiri perasaannya tentang kompetensi, dirinya sendiri tidak bergantung pada kondisi eksternal. Apapun yang terjadi kita dapat merasa nyaman dengan diri kita sendiri dan dapat menilai keunikan yang ada dalam diri tanpa menghiraukan karakter atau kemampuan yang kita tidak punya 3) Memaafkan dirinya sendiri dengan ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dibuatnya. Individu memiliki keyakinan mendalam bahwa mereka adalah penting dan berarti, walaupun bukan untuk orang lain, setidaknya untuk dirinya sendiri. Individu mengasihani dan memaafkan dirinya dari ketidaksempurnaan. b. Perasaan terhadap hidup 1) Menerima kenyataan Perasaan terhadap hidup berarti menerima tanggung jawab atas setiap bagian hidup yang dijalaninya. Maksudnya, sesorang dengan harga diri tinggi akan dengan lapang dada tidak menyalahkan keadaan hidup ini atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena faktor eksternal.
2) Harapan yang realistis Seseorang akan membangun harapan ataupun cita-cita secara realistis,sesuai kemampuan yang dimilikinya. Perasaan seseorang terhadap hidup juga menentukan apakah ia akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri. c. Hubungan dengan orang lain 1) Menghargai orang lain Seseorang dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang, berarti memiliki harga diri yang baik. Ia percaya bahwa setiap orang, termasuk dirinya mempunyai hakyang sama dan patut dihormati. 2) Bijaksana dalam melakukan hubungan Menerima keberadaan individu lain, fleksibel, dan bertanggung jawab dalam hubungan. Individu dapat melihat semua orang adalah layak dan pantas. Seseorang dengan harga diri tinggi mampu memandang hubungannya dengan orang lain secara bijaksana. Sedangkan menurut Coopersmith (1967) terdapat empat aspek harga diri yaitu: a. Power Kekuasaan Kemampuan buat bisa mengatur dan mengontrol tingkah laris diri sendiri dan orang lain. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan dan penerimaan berdasarkan orang lain terhadap ide-idenya & hak-hak individu tersebut. b. Significance Keberartian Kepedulian, perhatian & afeksi yang diterima individu menurut orang lain, hal tadi merupakan penghargaan & minat berdasarkan orang lain & pertanda penerimaan dan
popularitasnya. Hal ini ditandai menggunakan kermahan, ketertarikan dan disukai individu menyukai dirinya. c. Virtue Kebajikan Ketaatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan buat menjauhi tingkah laris yang tidak boleh dan melakukan tingkah laris yg diperbolehkan sang moral, etika & kepercayaan. d. Competence Kemampuan Sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan menggunakan baik menurut level yg tinggi dan usia yang berbeda. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut Minchinton aspek-aspek dalam harga diri yaitu perasaan tentang diri sendiri, perasaan tentang hidup, dan hubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Coopersmith yaitu kekuasaan, keberartian, kebajikan dan kemampuan. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan Minchinton (1993), karena aspek yang diuraikan lebih terbaru dan lebih rinci untuk di jadikan alat ukur. C. Hubungan antara Harga Diri dengan Resiliensi Harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri, tolak ukur hargadiri kita sebagai manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri (Minchinton 1993). Adapun aspek-aspek hargadiri yaitu: (1) perasaan tentang diri sendiri, (2) perasaan terhadap hidup, dan (3) hubungan dengan orang lain (Minchinton 1993). Aspek perasaan tentang diri sendiri terbagi menjadi beberapa yaitu (1) menerima diri sendiri, pada aspek ini seseorang memandang bahwa dirinya memiliki keunikan tersendiri, menghargai setiap potensi yang dimiliki tanpa pernah mengeluh, aspek ini berkaitan dengan
aspek optimisme milik resiliensi sebab, menurut Revich & Shatte (2002) optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut pecaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Pada saat individu mampu menghargai potensi dirinya, maka dalam diri individu tersebut dapat menanamkan rasa percaya akan kemampuan yang dimilikinya dalam mengatasi kesulitan. (2) menghargai diri sendiri, dan (3) memaafkan dirinya sendiri berkaitan dengan causal analysis sebab causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasi akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi (Revich & Shatte, 2002), karena jika seseorang tidak menyukai dirinya sendiri membiarkan orang lain merendahkan dirinya sendiri dan ia akan merasakan keperihan dan penderitaan mental yang menjadi penyebab rendahnya harga diri yang menyebabkan individu tidak dapat mengidentifikasi penyebab permasalahan yang dihadapi. Untuk aspek perasaan tentang hidup berkaitan erat dengan aspek efikasi diri pada resiliensi sebab efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (revich & shatter 2002). Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai resiliensi (revich & shatter 2002). Aspek perasaan terhadap hidup terdapat dua yaitu (1) menerima kenyataan berarti menerima tanggung jawab atas setiap hidup yang dijalaninya, ia sadar bahwa semuanya itu terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusannya sendiri bukan karena faktor eksternal. (2) harapan yang realistis, seseorang yang memiliki hargadiri yang tinggi akan membangun harapan ataupun cita-cita secara realistis, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pada aspek ini berhubungan dengan aspek reaching out pada resiliensi sebab, saat individu mampu menerima kenyataan atas hidup yang ia jalani maka ia mampu membangun cita-cita secara realistis sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Saat ia mampu menerima kenyataan atas apa yang terjadi maka ia akan dapat meraih aspek positif dari
kehidupannya. Reaching out merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002) harapan yang realistis. Aspek hubungan dengan orang lain terdapat beberapa penjabaran yaitu (1) menghargai ornag lain, (2) bijaksana dalam melakukan hubungan, (3) bersikap asertif. Pada aspek ini berhubungan dengan aspek empati pada resiliensi sebab empati berkaitan dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Revich & Shatte, 2002). Saat individu dapat membaca tanda-tanda kondisi emosional orang lain, maka individu tersebut akan dapat berempati karena dapat mengerti dan memahami apa yang sedang orang lain rasakan. Individu yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Revich & Shatte 2002). Berdasarkan studi analisis yang dilakukan oleh Masnina (2017) remaja panti yang memiliki harga diri positif berpeluang untuk mampu beradaptasi dibandingkan dengan remaja panti yang memiliki harga diri negatif. Hasil tersebut diyakini dengan tingkat kepercayaan 95% peluang remaja panti yang memiliki harga diri positif dapat dapat mempunyai resiliensi adaptif dibandingkan dengan remaja panti yang memiliki resiliensi maladaptif bahwa harga diri berpengaruh bagi remaja di panti asuhan, harga diri yang bersumber dari cara pola asuh pengganti orang tua yaitu menghargai kelebihan, menghargai potensi diri, dan menerima kekurangan diri sendiri, dapat merubah prilaku remaja dalam menilai sesuatu dengan positif, serta resiliensi mempunyai kaitan dengan penilaian diri remaja yang adaptif dapat beradaptasi dengan lingkungan yang mengancam ketika berada di panti asuhan.
D. Hipotesis Ada hubungan yang positif antara harga diri dengan resiliensi pada remaja di panti asuhan. Semakin tinggi harga diri maka akan semakin tinggi pula resiliensi pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah harga diri maka akan semakin rendah pula resiliensi pada remaja di panti asuhan.