BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sosial-emosional (Batubara, 2016). Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Eem Munawaroh, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

BAB II LANDASAN TEORI

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Padang, terdapat 24 panti asuhan yang berdiri di Kota Padang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI MENGENAI RESILIENSI REMAJA DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL. Disusun Oleh. Dian Sartika Sari

BAB II LANDASAN TEORI. Shatte dan Reivich (2002) mneyebutkan bahwa resilience adalah kemampuan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bangsa yang mampu bertahan dan mampu memenangkan persaingan yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

PEDOMAN WAWANCARA. b. Pengendalian Impuls 1. apa yang responden lakukan jika teringat pada kenikmatan melakukan ritual-ritual penggunaan narkoba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tugas akhir atau yang sering disebut skripsi merupakan gerbang terakhir yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gambaran dari tujuh keterampilan yang ada dalam teori yaitu: emotion regulation,

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan anugerah Tuhan dan juga aset bangsa yang sangat berharga.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khulaimata Zalfa, 2014

BAB II KAJIANPUSTAKA. (penderitaan) lainnya (Smet, 1990 dalam Desmita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga. dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan antar anggota keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

RESILIENSI PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul)

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

RESILIENSI PADA PENDERITA KANKER SERVIKS STADIUM LANJUT NASKAH PUBLIKASI

Profil Resiliensi Kepala Keluarga yang Menjadi Korban Banjir di Desa Dayeuhkolot Kabupaten Bandung. Dyah Titi S; Detri Sefianmi; Angeria Mentari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masa remaja adalah masa peralihan dan kritis bagi perkembangan individu dari masa anak-anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Batubara, 2016). Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah serta dihadapkan tugas perkembangan yang berbeda dari sebelumnya (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Remaja membutuhkan pendampingan bimbingan serta pengarahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi terkait dengan proses perkembangan sehingga remaja dapat melalui perubahan-perubahan yang terjadi dengan wajar (Akuba, 2014). Pada kenyataannya tidak semua individu dalam perjalanan hidupnya dapat melewati masa remajanya dengan pendampingan orang tua. Ada beberapa faktor yang menyebabkan remaja harus rela berpisah dengan keluarganya sehingga berada di sebuah panti asuhan, seperti ekonomi rendah, menjadi yatim, piatu, atau bahkan yatim piatu (Hartini, dalam Tricahyani, 2016). Panti asuhan merupakan lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial, pengganti orang tua, memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial, agar memiliki kesempatan sama seperti anak pada umumnya sebagai penerus generasi bangsa (Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial, 2004)

2 Remaja yang tinggal di panti asuhan tentu berbeda dengan remaja yang masih tinggal dengan orang tuanya. Remaja yang tinggal bersama orang tua dan dirawat dengan orang tua akan mendapatkan kasih sayang yang penuh dan terpenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya karena orang tua akan menganggap anak adalah segalanya. Remaja yang tinggal bersama keluarga akan mendapatkan perlindungan, bimbingan, dukungan, dan perhatian karena keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak dan remaja. Menurut Gender (dalam Dedy, 2013), remaja dalam menghadapi berbagai masalah perkembangan memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana dan sesuai dengan kebutuhannya. Remaja membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan proses perkembangan, sehingga remaja dapat melalui dan menghadapi perubahanperubahan yang terjadi dengan wajar. Sedangkan remaja yang tinggal di panti dituntut dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Kehidupan anak-anak panti asuhan yang kurang memperoleh perhatian, kasih sayang, ataupun bimbingan karena pengasuh harus berbagi kasih sayang dan perhatian dengan anak-anak yang jumlahnya banyak sehingga tidak bisa memperhatikan secara mendalam. Hal tersebut memungkinkan remaja menjadi lebih rentan mengalami stress dan depresi karena menghadapi berbagai masalah yang menekan. Permasalahan yang sering muncul pada remaja di panti yakni tidak lekatnya kepada pengasuh sehingga tidak adanya tempat bagi remaja untuk meluapkan emosi-emosi dan perasaan yang ada pada diri remaja. Kehidupan remaja di panti asuhan yang mengharuskan semuanya berbagi seperti tempat tidur, rebutan kamar mandi, dan fasilitas lain menjadikan siapa yang kuat dia yang menang maka akan membuat psikis menjadi tertekan. Keharusan kedisiplinan yang

3 ketat untuk mentaati peraturan rutinitas yang ada seperti jadwal belajar, ibadah, piket, dan jadwal keluar masuk panti asuhan. kondisi panti asuhan dengan jumlah pengasuh yang tidak sebanding dengan remaja di panti asuhan menjadikan remaja kurang bisa mendapatkan perhatian, kasih sayang atau bimbingan pengasuh secara mendalam. Dengan sedikit bimbingan, remaja di panti asuhan harus bisa mengatur hidupnya sendiri. Hal ini tentu membuat hidup remaja menjadi berat karena banyaknya tuntutan yang harus di jalaninya. Dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi remaja di panti asuhan diperlukan kemampuan remaja agar dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut dimana dapat meningkatkan potensi diri setelah menghadapi situasi yang penuh tekanan dan mampu pulih dan bangkit kembali dari kondisi sulit (Rew & Horner, 2003). Kemampuan itulah yang dimaksud dengan resiliensi. Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan bahwa resiliensi adalah kapasitas manusia untuk merespon kondisi yang tidak menyenangkan, trauma, atau kesengsaraan dengan cara yang sehat dan produktif, terutama untuk mengendalikan tekanan-tekanan dalam kehidupan sehari-harinya. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi dan mengatasi serta merespon secara positif kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang tidak dapat dihindari, dan memanfaatkannya untuk memperkuat diri sehingga mampu beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan (Dewi, 2004). Adapun aspek-aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) adalah: a. Regulasi emosi (emotional regulation); b. Kontrol impuls (impulse control); c. Optimisme (optimism); d.kemampuan menganalisis masalah (causal analysis);e. Empati (empathy); f. Efikasi Diri (self efficacy); g. Pencapaian (reaching out).

4 Adapun fenomena yang terjadi di dalam panti asuhan menurut Febiana (Putri, Agusta, & Najahi, 2013) pola pengasuhan yang dilakukan di dalam panti asuhan merupakan hal yang memprihatinkan. Peran yang semestinya dapat diharapkan untuk menggantikan orangtua dalam mengasuh anak, akan tetapi tidak dapat menjalankan perannya dengan maksimal dikarenakan terlalu banyak anak yang harus diasuh di dalam panti. Hal tersebut menyebabkan anak-anak panti mengalami tekanan emosional, sosial, serta fisik yang diakibatkan oleh trauma pengalaman, kekacauan, dan stres dalam hidup. Remaja di panti asuhan diharapkan memiliki resiliensi agar dapat menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Resiliensi sangat penting pada diri remaja terutama remaja yang tinggal di panti asuhan agar mampu keluar dari keadaan yang membuatnya tertekan (Hartini, 2001). Individu yang memiliki resiliensi akan mampu mengambil keputusan dalam kondisi sulit dan tertekan. Individu yang resilien mampu pulih kembali (bounce back) setelah mengalami kondisi yang sulit, individu akan mengalami peningkatan kualitas dan kemampuan diri. Individu yang resilien akan mampu beradaptasi secara positif dari tekanan yang dialaminya (Resnick, 2000). Menurut Schoon (2006) rendahnya resiliensi pada remaja dapat membawa pada risiko remaja berisiko (at risk adolescence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolescence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja yang bermasalah (troubled adolescence). Menurut Reich, dkk, (2010) menyatakan bahwa kebanyakan orang sangat rentan dengan kejadian traumatis dalam kehidupannya, dan sebagian besar lainnya memikul beban stress secara persisten sepanjang waktu. Bahkan tidak ada seorang anak pun yang terbebas dari tekanan dan trauma, perubahan yang terjadi secara cepat dan

5 lingkungan yang memberi pengaruh stress telah menciptakan resiko baru bagi anak- anak dan remaja. Peneliti melakukan wawancara kepada 10 remaja di Panti Asuhan X pada tanggal 17 Desember 2017, yang mana 6 dari 10 remaja menunjukkan bahwa subjek saat mengalami sebuah masalah sulit memberikan respon yang positif dan masih mengedepankan trauma-trauma yang pernah subjek alami. Tujuh dari sepuluh remaja sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang menjadikan remaja tersebut kurang percaya diri dalam menghadapi kehidupan yang dijalani. Pada beberapa situasi, 6 dari 10 remaja tersebut mengungkapkan bahwa mereka sulit mencari apa penyebab dari apa yang terjadi, karena saat remaja berada pada posisi sulit remaja akan cenderung menyalahkan diri sendiri dan menjadikan hal tersebut penyebab dari apa yang terjadi yaitu dirinya sendiri dan menganggap dirinya tidak berharga. Tujuh dari sepuluh remaja juga masih sulit menerima kenyataan kalau dirinya harus terpisah dari orang tuanya dan tinggal di panti asuhan. Empat dari sepuluh remaja mengakui bahwa dari apa yang terjadi pada diri sendiri saja sulit jadi bagaimana hendak berempati pada orang lain. Namun bukan berarti remaja tidak peduli terhadap yang lain, hanya saja sama-sama menjadi wadah meluapkan emosi yang dirasakan dan juga sama-sama saling menghibur. Enam dari sepuluh remaja ada yang bercerita kalau masih merasa ragu-ragu apakah remaja itu yakin atau tidak, mampu atau tidak dalam menghadapi masalah yang dihadapi.enam dari sepuluh remaja juga merasa kalau subjek merupakan anak yang tidak beruntung dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang dianggap masih mempunyai keluarga. Lima dari sepuluh remaja bercerita kalau sedang menghadapi masalah lebih cenderung pasrah, terkadang suka mengedepankan emosi-emosi negatif mereka dan mereka sulit untuk focus dan tenang dalam melakukan sesuatu.

6 Kesimpulan di atas menunjukkan terdapat masalah pada resiliensi remaja panti, karena tidak sesuai dengan karakteristik individu yang memiliki tingkat resiliensi yang baik. Reivich & Shatte (2002) menjelaskan individu yang resilien yaitu (1) regulasi emosi, dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dalam wawancara remaja lebih cenderung menyelesaikan semua permasalahan di satu waktu daripada fokus menyelesaikan satu persatu. Subjek sulit untuk bangkit dari kejadian yang meenjadikan tramatik. Subjek sering merasa tidak percaya diri saat sudah melakukan sebuah usaha. Subjek juga sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain seperti nasib dan barang yang dimilikinya. Saat subjek mendapatkan suatu permasalahan subjek cenderung merasa dirinya penyebabnya. Subjek saat mengalami kegagalan akan menyendiri, merasa minder kepada teman-temannya dan takut akan di cela oleh temantemannya. Permasalahan yang subjek merasa itu di luar kemampuannya itu membuat subjek menyerah terlebih dahulu sebelum dihadapinya. Menurut Resnick, dkk (2011), terdapat empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu yaitu self-esteem (harga diri), social support (dukungan sosial), spiritualitas, emosi positif. Dari faktor-faktor di atas, peneliti mengangkat faktor harga diri. Sorensen (dalam Aunillah & Adiyanti, 2015) mengatakan harga diri sebagai pandangan yang mendasar atas diri sendiri atau bersifat personal tentang bagaimana merasa, menilai, dan menghargai diri sendiri. Saat remaja memiliki harga diri maka remaja akan merasa bahagia, aman, percaya diri, tenang, dan memiliki pikiran yang jernih dalam mengatasi masalah yang terjadi (Lupo, dalam Aunillah & Adiyanti, 2015). Hal-hal tersebut dikarenakan remaja memandang diri dan hidupnya secara positif sehingga mendukung remaja untuk mencapai resiliensi.

7 Menurut Minchinton (1993), harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri, tolak ukur harga diri kita sebagai manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri. Chaplin (2000) menyatakan bahwa harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu. Oleh karena itu, perilaku merupakan indikasi dari harga diri yang bersangkutan karena penghargaan diri akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati. Terdapat beberapa aspek-aspek yang dikemukakan oleh Minchinton (1993) mengenai harga diri yaitu perasaan tentang diri sendiri, perasaan tentang hidup, dan hubungan dengan orang lain. Remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan mengevaluasi dirinya secara positif maka akan mampu menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya, serta tidak cepat menyalahkan dirinya atas kekurangan dan ketidak sempurnaan dirinya, ia selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi tantangan. Sedangkan remaja yang memiliki harga diri yang rendah akan mengevaluasi dirinya secara negatif, merasa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidak sempurnaan dirinya, ia cenderung tidak percaya diri dalam melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya (Santrock, dalam Desmita, 2010). Timbulnya harga diri yang rendah pada individu ini adalah sebagai bentuk manifestasi reaksi emosional yang tidak menyenangkan bagi individu akibat dari cara pandang atau penilaian negatif terhadap diri sendiri. Padahal, penilaian negatif itu belum tentu benar adanya sehingga mengakibatkan munculnya rasa rendah diri jika berhadapan dengan orang lain (Surya, 2006). Penilaian diri seseorang tentang apa yang dapat dan tidak dapat lakukan akan berdampak pada tingkat motivasi, banyaknya usaha dan ketekunan, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, dan akhirnya mendapatka kesuksesan hidup (Lupo, 2012). Saat individu mampu

8 menilai positif dirinya sendiri maka akan mampu menerima dirinya dan kenyataan dalam hidupnya. Kemampuan positif itu akan membantu saat individu merasa dirinya tidak baik-baik saja maka akan mampu melakukan tindakan dan usaha yang positif. Usaha yang ia lakukan akan membawa pada kemampuan individu untuk bangkit dari kegagalan atau kemalangan dalam meraih kesuksesan hidup. Kemampuan untuk bangkit dari kegagalan serta kterampilan untuk merespon sesuatu dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesulitan (adversities), terutama untuk mengendalikan tekanan hidup sehari-hari disebut juga dengan istilah resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi membawa seseorang pada pemahaman tentang cara dan alasan seseorang berpikir tentang tindakannya serta dapat membantu mengatasi momen yang penuh dengan tekanan yang berkaitan dengan masa remaja, relasi dengan teman lama dan baru (Reivich & Shatte, 2002). Pemahaman tentang pikiran seseorang dalam bertindak akan memengaruhi penilaian seseorang terhadap sumber-sumber harga diri yang dimiliki oleh setiap orang. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara harga diridengan resiliensi pada remaja di panti asuhan? B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada remaja di Panti Asuhan. 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu psikologi pada umumnya dan khususnya untuk psikologi industri, psikologi perkembangan dan psikologi sosial, serta untuk mengetahui kaitannya harga diri dengan resiliensi pada remaja yatim piatu di panti asuhan.

9 2. Manfaat praktis Diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memberikan informasi dan pemahaman kepada remaja panti asuhan yang memiliki resiko terhadap ancaman psikologis, bahwa tekanan, ancaman, dan permasalahan yang diterima tidak akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka ketika mereka memiliki resiliensi yang tinggi.