PENDAHULUAN Latar Belakang Industri peternakan kini memasuki era baru sebagai sumber pertumbuhan pertanian. Pembangunan industri peternakan dalam 3 tahun telah berhasil memberikan kontribusi PBD yang harus melonjak secara konsisten. Pertumbuhan PBD peternakan pada tahun 2005 sebanyak 7,9% melebihi tingkat pertumbuhan sektor pertanian (3,5%) dan pertumbuhan PBD nasional (5,5%). Pemerintah untuk tahun 2007, telah menyetujui anggaran pembangunan peternakan sebesar 8,7 triliun melebihi anggaran untuk tanaman pangan dan perkebunan, sebagai komitmen pemerintah dalam mendorong percepatan pembangunan industri peternakan. Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan keseluruhan yang bertujuan untuk menyediakan pangan hewani berupa daging, susu, serta telur yang bernilai gizi tinggi, meningkatkan pendapatan peternak, dan memperluas kesempatan kerja. Hal inilah yang mendorong pembangunan sektor peternakan sehingga pada masa yang akan datang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan perekonomian bangsa (Salam T, 2009). Dalam upaya pemenuhan protein hewani dan peningkatan pendapatan peternak, maka pemerintah dan peternak telah berupaya mendayagunakan sebagian besar sumber komoditi ternak yang dikembangkan, diantaranya adalah ayam pedaging (broiler). Perkembangan peternakan khususnya perunggasan di Sumatera Utara tidak lepas dari peran besar industri perunggasan yang ada di wilayah tersebut. Meski tidak banyak jumlahnya, tetapi industri peternakan (perunggasan) tersebut
mampu memenuhi kebutuhan peternak, baik yang berskala besar maupun kecil. Tidak hanya di Medan dan sekitar Sumut tetapi juga beberapa wilayah lain di Sumatera. Dan industri perunggasan ini juga memberikan kontribusi pada pendapatan daearah yang cukup besar. Secara umum kondisi usaha di Sumatera Utara, pengusaha besar, jumlahnya lebih sedikit tetapi kontribusinya pada pendapatan daerah jauh lebih besar. Berdasarkan data statistik Pemko Medan dilihat dari potensi daerahnya, meski jumlah pengusaha besar hanya 0,2% sedangkan pengusaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) mencapai 99,8% (ini berarti jumlah UKMK mencapai hampir 500 kali lipat dari jumlah usaha besar). Tetapi kontribusi UKMK hanya 39,85, sedangkan usaha besar mencapai 60,2%. Dalam bisnis yang penuh persaingan, pelaku perunggasan di Sumatera Utara tetap memiliki komitmen yang kuat terhadap pembangunan peternakan. Ayam ras adalah salah satu jenis unggas yang relatif lebih mudah pemeliharaannya dan sudah banyak dipelihara para petani sejak dulu sampai sekarang, terutama di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain produksinya berupa daging dan telur dapat dinikmati sebagian besar masyarakat. Kenyataan ini jelas memberikan gambaran bahwa ayam ras mempunyai peranan yang positif dan memungkinkan untuk diusahakan dalam upaya mendapatkan tambahan penghasilan. Beternak ayam ras pedaging lebih cepat mendatangkan hasil dari pada beternak ayam buras. Pada umunya pemeliharaan selama 5-8 minggu saja ayam sudah mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera dijual. Dengan demikian perputaran modal berjalan dengan waktu yang tidak lama (Muslimin, 2002).
Data Ditjen Bina Produksi Peternakan, menyebutkan populasi ayam ras petelur di Sumut pada tahun 2003 mencapai 14.436.402 ekor dengan produksi telur 126.590 ton. Populasi ayam ras pedaging, pada tahun yang sama, mencapai 61.948.000 ekor atau setara dengan 36.053 ton daging. Daging ayam ras dalam waktu relatif singkat menjadi komoditas bisnis peternakan yang strategis dan menggantikan peran ternak lainnya dalam penyediaan daging. Produksi daging sapi pada tahun 1984 sebesar 216,4 ribu ton, sedangkan produksi daging ayam ras baru 78,5 ribu ton tetapi sejak tahun 1990, produksi daging sapi hanya meningkat menjadi 259,2 ribu ton sementara daging ayam mulai melampaui daging sapi dengan produksi sebesar 261,4 ribu ton. Perubahan peran dalam kontribusi daging nasional dari dominannya daging sapi kedaging ayam ras terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada tahun 1996, dimana produksi daging sapi sebesar 347,2 ribu ton sementara produksi daging ayam ras mencapai 605,0 ribu ton. Pada tahun 1996 tersebut terjadi puncak populasi ayam ras pedaging sebanyak 755,96 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2001). Konsumsi daging ayam ras terus meningkat seiring dengan perubahan ekonomi nasional. Pada tahun 1990 konsumsi daging ayam ras baru mencapai 1,93 kg/kapita/tahun dan tahun 1996 meningkat mencapai 2,61 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging ayam ras sempat menurun saat terjadi krisis ekonomi tetapi kemudian kembali meningkat saat pemulihan ekonomi berlangsung dan pada tahun 2001 diprediksi konsumsi rata-rata 4,48 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi daging ayam ras diperkirakan terus meningkat apabila terjadi pertumbuhan ekonomi karena korelasi antara konsumsi dengan pendapatan masyarakat cukup tinggi. Titik jenuh konsumsi daging ayam ras masih jauh
dibandingkan dengan kondisi saat ini. Sebagai perbandingan, konsumsi daging ayam ras di Negara maju dapat mencapai 75 kg/kapita/tahun, yang 16 kali lipat lebih dari rata-rata konsumsi nasional saat ini (PINSAR Unggas Nasional, 2000). Pelaksanaan usahatani ternak hendaknya ditekankan pada usahatani yang intensif dan berkesinambungan, artinya meningkatkan produktivitas ternak semaksimal mungkin. Dalam pelaku usaha peternakan broiler, beberapa dari peternak mengusahakan ternak broiler sebagai usaha milik pribadi dan ada yang menjalin kerjasama dengan perusahaan yang disebut bermitra. Peternak mandiri prinsipnya menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas memasarkan produknya. Adapun ciri ciri peternak mandiri adalah mampu membuat keputusan sendiri tentang: (1) perencanaan usaha peternakan; (2) menentukan fasilitas perkandangan; (3) menentukan jenis dan jumlah sapronak yang akan digunakan; (4) menentukan saat penebaran DOC di dalam kandang; (5) menentukan manajemen produksi; dan (6) menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi. Pelaku usaha ternak ayam ras pedaging yang sebagian besar berbentuk peternakan rakyat, pada umumnya kelemahan utama didalam usahanya terletak pada bidang permodalan ralatif kecil, kurangnya kemampuan manajemen pemeliharaan, harga pakan relatif tinggi sedangkan kebutuhan ayam ras pedaging cukup besar berkisar antara 60 70% dari biaya produksi (Rasyaf,2004). Peternak mengalamai gulung tikar, karena mengalami kerugian dalam budidaya. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain lemahnya modal, manajemen pemeliharaan, kesulitan dalam pemasaran. Oleh sebab itu, banyak peternak plasma yang tidak dapat melanjutkan usahanya. Masalah lain yang muncul yaitu
dibidang pemasaran, karena belum memiliki pangsa pasar yang jelas sehingga harga yang diterima peternak dibawah harga pasar. Permasalahan bagi peternakan ayam broiler adalah aspek pasar dan penyediaan sarana produksi yang membuat peternakan takut mengambil resiko untuk mengembangkan usaha peternakan broiler dengan skala produksi lebih besar. Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak maka diperlukan lembaga pembiayaan agribisnis dalam menunjang pengembangan produksi peternakan. Oleh karena hal tersebut, salah satu cara terbaik yang dapat dianjurkan dalam pengembangan agribisnis peternakan ayam ras pedaging adalah menerapkan sistem pola kemitraan. Faktor pendorong peternak ikut pola kemitraan adalah: 1). Tersedianya sarana produksi peternakan; 2). Tersedia tenaga ahli; 3). Modal kerja dari inti; 4). Pemasaran terjamin. Pola kemitraan yang terjalin antara perusahaan dan peternak dikarenakan adanya rasa saling memerlukan diantara kedua pihak. Dimana pihak perusahaan memerlukan terjaminnya kesinambungan hasil produksi broiler, sedangkan peternak memerlukan modal dan pembinaan. Usaha peternakan broiler pada pola kemitraan, dalam proses produksi peternak hanya menyediakan tenaga kerja dan kandang, sedangkan pihak perusahaan menyediakan bibit pakan, obat-obatan, pelayanan teknik berproduksi dan kesehatan hewan (Hartono, 2000). Alasan peternak beralih menjadi plasma kemitraan, yaitu: (1) kekurangan modal usaha; (2) mengurangi risiko kegagalan/kerugian; (3) untuk memperoleh jaminan kepastian penghasilan; (4) untuk memperoleh jaminan kepastian dalam pemasaran; (5) untuk mendapatkan jaminan kepastian supply sapronak. Program pengembangan kemitraan
merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak dan daging. Kemitraan diharapkan dapat menjadi solusi untuk merangsang tumbuhnya peternak di Indonesia terutama bagi peternak rakyat yang kepemilikan modalnya relatif kecil. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan pendapatan antara peternakan ayam broiler pola kemitraan P.T Satwa Utama Raya (SUR) dengan non pola kemitraan. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti dan peternak dalam pengembangan usaha peternakan ayam broiler untuk dapat membantu dalam mengelola usaha taninya sehingga mampu mencapai tujuanya. Hasil penelitian nantinya dapat digunakan sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Prodi Peternakan Fakultas Pertanian. Hipotesis Penelitian Peternakan broiler mitra PT. Satwa Utama Raya lebih menguntungkan dibandingkan dengan peternakan broiler non pola kemitraan.