BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam menghadapi era globalisasi, kualitas sumber daya manusia yang bekerja di rumah sakit serta mutu pelayanan rumah sakit perlu di tingkatkan agar makin maju dan mandiri yang pada gilirannya akan dapat pula meningkatkan produktifitas. Kesehatan adalah salah satu unsur yang penting untuk menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Pada UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan kerja di selenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar di peroleh produktifitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memandang upaya kesehatan kerja sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan, serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan (Jamsosindo, 2012). Rumah sakit adalah institusi pelayanan masyarakat yang bergerak di bidang pelayanan jasa kesehatan dengan penggunaan peralatan tekhnologi tinggi, bahan bahan, dan obat obatan berbahaya bagi kesehatan untuk tindakan diagnostik. Oleh karena itu, terpaparnya tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap bahan bahan
berbahaya dan bibit penyakit mempunyai risiko tinggi terhadap status kesehatan tenaga kesehatan (Zaenab, 2012). Lingkungan rumah sakit dapat mengandung berbagai dampak negatif yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan manusia terutama petugas kesehatan. Salah satu cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya dilingkungan rumah sakit adalah meningkatkan kewaspadaan umum/universal precaution (Hadijah, 2012). Petugas kesehatan khususnya perawat dalam pekerjaannya sehari-hari memberikan pertolongan atau perawatan terhadap pasien, perawat terlibat dalam tindakan pemasangan infus dan lain sebagainya, pekerjaan perawat selalu berhubungan langsung dengan pasien, dengan cairan tubuh pasien, darah dari pasien dan melalui udara (air borne) sehingga sangat memungkinkan tertularnya penyakit dari pasien diantaranya adalah Hepatitis B dan TB Paru (Hadijah, 2012). Salah satu upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit adalah dengan berusaha mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial di Rumah Sakit. Upaya pengendalian infeksi untuk mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial memerlukan sikap profesionalisme dari para petugas di Rumah Sakit. (Bonang, 2003) Risiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang di rawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada para petugas di rumah sakit tersebut, misalnya saja pada perawat. Berbagai prosedur penangan pasien memungkinkan petugas terpajan dengaan virus atau kuman yang berasal dari pasien. Infeksi pada petugas juga
berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat bekerja secara produktif dalam artian tidak dapat melayani pasien. (Bonang, 2003). Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam pengendalian infeksi di rumah sakit adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam menerapkan metode Kewaspadaan Universal (Universal Precautions) yaitu semua upaya pencegahan penularan infeksi atau penyakit di unit-unit pelayanan kesehatan, yang kegiatan utamanya antara lain mencuci tangan untuk mencegah infeksi silang, pemakaian sarung tangan, dan alat pelindung diri lain untuk mencegah kontak dengan darah dan cairan infeksius, pengelolaan jarum dan alat tajam lain untuk mencegah perlukaan, melakukan dekomintasi alat dan barang yang sudah di pakai, pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan (Madjid B, 2001). Infeksi di rumah sakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Bakteri ini berkembang di lingkungan rumah sakit yang berasal dari air, udara, lantai, makanan serta alat-alat medis maupun non medis. Sumber penularan bisa melalui tangan petugas kesehatan, jarum injeksi, kateter, kasa pembalut atau perban dan karena penanganan yang kurang tepat dalam menangani luka. Selain pasien, infeksi nosokomial ini juga dapat mengenai petugas rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien (Bararah, 2009). Infeksi terkait sarana pelayanan kesehatan adalah tantangan yang serius bagi rumah sakit karena hal tersebut dapat menyebabkan kematian, baik langsung maupun
tidak langsung serta menjadikan pasien dirawat lebih lama dan memakan biaya lebih mahal. Semakin tingginya kasus infeksi yang didapat dari rumah sakit, hendaknya pihak rumah sakit menyusun program upaya pengendalian infeksi yang serius. Salah satu strategi yang bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode universal precautions (Depkes, 2010). Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas kesehatan di rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya yang merupakan sarana yang rawan terhadap terjadinya infeksi. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu oleh petugas kesehatan dalam pemberian pelayanan. Untuk seorang perawat kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Mencuci tangan adalah tindakan yang harus di biasakan oleh semua petugas kesehatan, karena dengan mencuci tangan mikroorganisme yang terdapat pada tangan dapat di kurangi sehingga penularan kuman dan transmisi dari orang ke orang dapat di cegah. Begitu juga dengan pemakain alat pelindung diri oleh petugas seperti sarung
tangan, masker dan alat pelindung diri lainnya sangat di perlukan dalam menangani penderita dengan kemungkinan adanya pencemaran oleh darah, atau cairan tubuh penderita melalui udara perantara lainnya. Penerapan universal precaution dalam tindakan keperawatan di pengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah perilaku perawat dalam penerapan universal precaution. Perilaku merupakan semua kegiatan manusia yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor besar yang mempengaruhinya yaitu faktor pengetahuan dan sikap. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik ketika menerapkan universal precaution dalam memberikan asuhan keperawatan (Putra, 2012). Hasil studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa rumah sakit yang menjalankan program pengendalian infeksi dan surveilans secara insentif dapat menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial sebesar 32%, sedangkan rumah sakit yang tidak menjalankan program pengendalian dan surveilans secara efektif terjadi peningkatan kejadian infeksi nosokolmial sebesar 18%. Dengan program pengendalian infeksi maka kasus infeksi nosokomial di bagian bedah menurun dari 0,36% menjadi 0,03% per tahun.(depkes RI, 2001). Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.Salah satu faktor risiko yang utama adalah pekerja kesehatan di instalasi-instalasi rumah sakit, terutama yang berhubungan langsung dengan pasien
TB maupun spesimen laboratorium yang berhubungan dengan pemeriksaan kuman Tuberkulosis (Escombe, 2007). Pada 1990-an, Dr. Anthony Harries dan rekan di Malawi melaporkan bahwa petugas kesehatan berisiko 12 kali lebih tinggi terhadap pengembangan TB setiap tahun dibandingkan dengan masyarakat umum. Risiko TB per tahun tinggi di antara semua golongan petugas kesehatan, khususnya dokter (Escombe, 2007). Dr. Martin Jagui Moscoso menggambarkan penularan TB di antara petugas kesehatan di Peru, negara dengan tingkat kejadian HIV yang rendah tetapi memiliki tingkat kejadian TB yang relatif tinggi (100-200 per 100,000) serta juga TB- MDR. Dalam sebuah penelitian, tingkat konversi tes PPD (yang dapat mendeteksi sebagian besar infeksi TB laten atau baru) per tahun adalah 17% di antara dokter di satu klinik (Bonifacio, 2002). Pada 1997, terdapat 44 kasus petugas kesehatan terpajan TB aktif di rumah sakit Almenara (36 di antaranya dikonfirmasi TB). Kejadian TB pada staf laboratorium per tahun pada tahun itu adalah 6.977 per 100.000, dan untuk staf medis lainnya adalah 932 per 100.000. Satu-satunya faktor risiko TB di laboratorium adalah penggunaan ruang bersamaan (Echanobe, 2001). Peninjauan secara sistematis meneliti konversi PPD di antara petugas kesehatan di Asia atau Amerika Selatan melaporkan tingkat kejadian saat bekerja adalah 5,8% (0-11,3%) per tahun. Peningkatan kejadian hasil PPD positif di antara petugas kesehatan yang sering berhubungan dengan pasien juga dilaporkan dari Pantai Gading (Menzies, 2007).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat ditularkan kebagian tubuh lainnya termasuk meningens, ginjal dan tulang. Agens infeksius utama adalah mycobacterium tuberculosis adalah batang aerob tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smeltzer, 2001). Badan Kesehatan Dunia/WHO (World Health Organization) memperkirakan dewasa ini terdapat sekitar 1700 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (dari hasil uji tuberculin positif) dari jumlah tersebut ada 4 juta penderita baru dengan basil tahan asam (BTA) positif ditambah lagi 4 juta penderita baru dengan BTA negatif. Jumlah seluruh penderita TB di dunia sekitar 20 juta orang dengan angka kematian sebanyak 3 juta orang tiap tahunnya yang mana merupakan 25 persen dari kematian yang dapat dicegah apabila TB dapat ditanggulangi dengan baik (Gklinis, 2004). Berdasarkan Global Report TB WHO tahun 2011, prevalensi TB diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, insidensi TB sebesar 189 per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita dengan TB BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA (+). ¾ dari kasus berusia 15 49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pembrantasan TB yang dilaksanakan pemerintah (Gklinis, 2004).
Di Propinsi Sumatera Utara, TB paru merupakan penyakit lama yang masih tetap ada. Secara umum, angka penemuan kasus TB paru di Sumatera Utara mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 kasus TB paru diperkirakan berkisar 15.517 penderita dan terdapat sebanyak 15.614 penderita tahun 2010 (Antara, 2011). Pada tahun 2011 penderita untuk kasus TB Paru sebanyak 5.709 orang, penemuan positif 729 orang, konversi 97,39 persen, success rate 91,54 persen, dan eror rate 5 persen. Sementara indikator TB Paru Nasional adalah, angka konversi di atas 80 persen, kesembuhan 85 persen, dan eror rate di bawah 5 persen (Pemkab Madina, 2012). Berdasarkan data Rekam Medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panyabungan pada tahun 2012, dari 10 penyakit terbanyak rawat inap pada tahun 2012, didapatkan hasil penyakit TB Paru menempati urutan pertama dengan jumlah penderita yang berkunjung sebanyak 2587 orang (26,4%), hipertensi 2234 orang (18,7%) dan malaria 1776 (14,9%). Dari survey awal yang Peneliti lakukan di RSUD Panyabungan, pada tahun 2011 ada 4 orang perawat yang bekerja pada bagian rawat inap yang menderita TB Paru (+), dan 1 orang diantaranya telah meninggal pada tahun 2011. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan pemakaian APD terhadap penerapan universal precaution dalam upaya pengurangan risiko TB Paru pada perawat ruangan rawat inap Interna RSUD Panyabungan Tahun 2013.
1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimanakah hubungan pengetahuan, sikap dan pemakaian APD terhadap penerapan universal precaution dalam upaya pengurangan risiko TB Paru pada perawat ruangan rawat inap Interna RSUD Panyabungan Tahun 2013. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis hubungan pengetahuan, sikap dan pemakaian APD terhadap penerapan universal precaution dalam upaya pengurangan risiko TB Paru pada perawat ruangan rawat inap Interna RSUD Panyabungan Tahun 2013. 1.4. Hipotesis Ada hubungan pengetahuan, sikap dan pemakaian APD terhadap penerapan universal precaution dalam upaya pengurangan risiko TB Paru pada perawat ruangan rawat inap Interna RSUD Panyabungan Tahun 2013. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Menjadi masukan bagi perawat untuk menambah wawasan dalam upaya penerapan universal precaution di rumah sakit. 2. Menjadi masukan bagi Rumah Sakit untuk mengevaluasi penerapan universal precaution pada perawat dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
3. Penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan penerapan universal precaution di rumah sakit.