BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berupa orang, lembaga, buku dan sejenisnya (H.A.W, 2008). Dalam pengertian

dokumen-dokumen yang mirip
Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

STRATEGI KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI KONSELOR VCT DALAM MENINGKATKAN KESADARAN BEROBAT PADA PASIEN HIV DI RSUD KABUPATEN KARAWANG

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) termasuk salah satu

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. 1 HIV yang tidak. terkendali akan menyebabkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

1 Universitas Kristen Maranatha

Konseling & VCT. Dr. Alix Muljani Budi

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

Berusaha Tenang Mampu mengendalikan emosi, jangan memojokan si-anak atau merasa tak berguna.

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terdapat hampir di semua negara di dunia tanpa kecuali Indonesia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN IMS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

A. Landasan Teori. 1. Pengetahuan. a. Definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari. penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA

Oleh: Logan Cochrane

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

Lampiran 1. Informed Consent. Penjelasan prosedur

2015 KAJIAN TENTANG SIKAP EMPATI WARGA PEDULI AIDS DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS SEBAGAI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

NOMOR : 6 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. masih sering terjadi. Seorang perempuan bernama Mairinda yang kini menjabat

PENANGGULANGAN HIV / AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

KUESIONER PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan dengan Antiretroviral atau

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sumber Informasi 1. Pengertian Sumber adalah dasar yang digunakan didalam penyampaian pesan pesan, yang digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri. Sumber dapat berupa orang, lembaga, buku dan sejenisnya (H.A.W, 2008). Dalam pengertian informasi adalah keterangan, pemberitahuan, atau berita. Informasi sifatnya menambah pengetahuan atau wawasan seseorang. Oleh karena itu, uraian dalam berita radio/televisi merupakan informasi. Informasi disebut juga pesan, Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator (Pawit, 2013). Sumber informasi adalah pembuat, pengirim atau dasar dalam penyampaian pemberitahuan serta berita sebagai pengarah didalam usaha mencoba mengubah sikap atau tingkah laku komunikan. 2. Macam macam sumber informasi Menurut Ircham (2005), ada beberapa macam sumber informasi, yaitu: a. Media elektronik Media elektronik sebagai sarana untuk menyampaiakan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan berbeda-beda jenisnya antara lain: 1) Televisi Penyampaian pesan atau informasi informasi kesehatan melalui media televisi dalam bentuk sandiwara, sinetron, forum diskusi atau tanya jawab sekitar masalah kesehatan, pidato (ceramah), kuis, atau cerdas cermat dan sebagainya.

2) Radio Penyampaian informasi atau pesan pesan kesehatan melalui radio juga dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain obrolan (tanya jawab), sandiwara radio, ceramah. 3) Video Penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan dapat melalui video. b. Media cetak Media cetak sebagai alat bantu menyampaikan pesan pesan kesehatan sangat bervariasi, antara lain sebagai berikut: 1) Surat kabar ialah suatu media yang berisi berita, informasi dan pendidikan seputar kesehatan maupun umum yang terbit secara kontiniu 2) Majalah ialah sebuah media publikasi atau terbitan secara berkala yang memuat artikel artikel kesehatan dari berbagai penulis. 3) Booklet ialah suatu media untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan dalam bentuk buku-buku, baik berupa tulisan maupun gambaran 4) Leaflet ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat dalam bentuk kalimat maupun gambar atau kombinasi. 5) Selebaran bentuknya seperti leaflet tetapi tidak berlipat 6) Lembar balik ialah media penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan lembar baliknya berisi kalimat sebagai pesan atau informasi yang berkaitan dengan gambar tersebut.

7) Poster ialah bentuk media cetak yang berisi pesan-pesan informasi kesehatan yang biasanya ditempel ditembok, di tempat umum, kendaraan umum. c. Media siber Media siber adalah komunikasi yang menggunakan internet sebagai alat komunikasi. 1) Website atau blogspot ialah sebuah wadah yang digunakan untuk mencari informasi atau untuk mendapatkan informasi yang lebih luas atau secara global. 2) Konten masyarakat seperti youtube merupakan sebuah aplikasi yang bertujuan untuk saling berbagi dengan seseorang baik itu secara jarak jauh maupun dekat. 3) Sosial media yang biasa digunakan seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain lain (dll), dimana merupakan situs yang dapat membantu seseorang untuk berkomunukasi dengan pengguna lainnya sehingga dapat berbagi dan bertukar informasi kesehatan. d. Teman atau suami atau pasangan Teman atau suami atau pasangan dalam memberikan informasi kepada WPS melakukan layanan VCT memegang peranan penting dalam upaya pencegahan penularan HIV. Teman atau suami atau pasangan memberikan informasi yang mereka ketahui merupakan salah satu bentuk dukungan dan mengajak serta memberikan dorongan motivasi pada WPS untuk bersedia melakukan layanan VCT, karena WPS merupakan orang berisiko terkena HIV/AIDS. e. Petugas kesehatan dan petugas lapangan Peran petugas kesehatan dan petugas lapangan memberikan informasi berupa penyuluhan yang rutin dilakukan guna membantu WPS untuk lebih tahu

tentang HIV/AIDS dan dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang jelas tentang layanan VCT. 3. Pengukuran sumber informasi Penelitian Purwaningsih (2011), seluruh responden pernah mendapatkan informasi dari petugas kesehatan, tetapi informasi yang didapat dari teman ataupun media massa merupakan faktor pendorong dalam memanfaatkan layanan VCT. Pengukuran sumber informasi tentang layanan VCT dilihat dari sumber informasi yang didapat bervariasi atau tidak sehingga dapat mendorong keinginan WPS untuk datang ke layanan VCT. Item variasi sumber informasi antara lain pasangan (jika memiliki), teman, media cetak, media elektronik, dan media siber. B. Partisipasi 1. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia, partisipasi didefinisikan sebagai hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, atau mengambil bagian. Partisipasi adalah ikut sertanya seseorang dalam memecahkan permasalahan permasalahan yang ada disekitarnya. 2. Faktor faktor yang mampu mempengaruhi partisipasi a. Pendapatan Kondisi pendapatan yang sangat rendah tidak dapat mendorong WPS dalam berpartisipasi dalam layanan VCT. Menurut Notoatmodjo (2007), tingkat pendapatan seseorang berhubungan erat dengan berbagai masalah kesehatan. Orang dengan tingkat pendapatan rendah akan lebih berkosentrasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang kehidupannya.

b. Lama Bekerja sebagai WPS Menurut penelitian Rahmayati dan Sri Handayani (2014), lama bekerja memberikan pengalaman kepada para WPS. Kemungkinan menyaksikan teman seprofesi yang terjangkit penyakit menular seksual atau HIV AIDS memberikan pengalaman nyata yang membuat WPS melakukan upaya antisipasi. Gencarnya informasi tentang penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual di area lokalisasi juga memberikan masukan positif bagi WPS yang telah lama bekerja di lokalisasi. c. Sumber Informasi Sumber informasi adalah tersedianya informasi informasi terkait dengan tindakan atau praktik yang akan diambil oleh seseorang (Notoatmodjo, 2005). Sumber informasi pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan WPS untuk berpartisipasi dalam layanan VCT, faktor ini disebut faktor pendukung. Sumber informasi mengenai layanan VCT dapat diperoleh dari petugas kesehatan atau petugas lapangan, teman, pasangan (jika memiliki), dan media massa lainnya. 3. Pengukuran partisipasi Partisipasi dapat juga dikatakan sebagai peran serta, menurut Notoatmodjo (2003), peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan adalah suatu perilaku atau aktivitas seseorang dalam rangka memelihara kesehatannya. Pengukuran partisipasi dalam penelitian ini mengacu pada Keputusan Kementerian Kesehatan RI No. 1507 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary, Counselling, and Testing) mengatakan bahwa anjuran untuk melakukan tes-hiv diulang setiap 3-6 bulan. Ini dikarenakan tubuh umumnya membentuk antibodi sekitar tiga minggu sampai tiga bulan setelah

pertama kali terjangkit virus HIV. Periode ini disebut periode jendela, yang bisa bertahan hingga 42 hari. Seberapa cepat tubuh membentuk antibodi bisa berbeda antar satu orang dengan yang lainnya, ada yang membutuhkan waktu lebih lama atau bahkan lebih cepat dari tiga bulan (Maryunani, Aeman, 2013). Pengukuran partisipasi layanan VCT dalam penelitian ini adalah berpartisipasi jika responden melakukan layanan VCT > 2 kali dalam 6 bulan terakhir dan tidak berpartisipasi jika responden melakukan layanan < 2 kali dalam 6 bulan terakhir. C. Voluntary, Counselling, and Testing (VCT) 1. Pengertian Voluntary, Counselling, and Testing (VCT) dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai konseling dan testing HIV secara sukarela, membantu setiap orang untuk mendapatkan akses kearah semua layanan, baik Informasi, edukasi, terapi dan dukungan psikososial. Konseling HIV/AIDS adalah dialog antara seseorang (klien) dengan pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS (Purwaningsih, 2011).

2. Peran layanan VCT Gambar 1 Peran Layanan VCT Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1507 (2006). Konseling dan Testing Sukarela dikenal sebagai layanan VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. 3. Tahapan layanan VCT Menurut Kemenkes 2013 layanan HIV/AIDS juga merupakan proses konseling pra pemeriksaan, proses pemeriksaan, konseling pasca pemeriksaan yang bersifat rahasia dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Dimana pemeriksaan HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent. Tahapan layanan VCT dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Konseling pra pemeriksaan HIV/AIDS Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian konselor melakukan penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan yang berisiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik, pernah menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas isu HIV yang dihadapi. Beberapa konsep pra pemeriksaan HIV/AIDS (Maryunani, Aeman, 2013) : 1) Persetujuan klien (Informed Consent) Layanan VCT hanya dilakukan atas dasar sukarela, bersifat pribadi dan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. 2) Kerahasiaan Hasil VCT diberikan melalui tatap muka saat konseling pasca pemeriksaan dan dijamin kerahasiaannya. 3) Tidak diskriminasi Klien tidak akan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam pelayanan VCT karena dilakukan dalam suasana bersahabat. 4) Mutu terjamin Mutu pelayananan tidak perlu diragukan, karena VCT dilakukan dengan metode yang tepat dan akurat. b. Pemeriksaan HIV/AIDS (pengambilan dan pemeriksaan darah) Setelah tahap pra konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes, darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa

memakan waktu antara setengah jam sampai satu minggu tergantung metode tes darahnya. Dalam layanan VCT, diagnosis didasarkan pada antibodi HIV yang ditemukan dalam darah. Beberapa pemeriksaan laboraturium yang biasa dipakai untuk diagnosis HIV adalah: 1) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Bertujuan untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV. Tes ELISA ini sangat sensitif, tetapi tidak selalu spesifik. Maka, bila perlu dilakukan konfirmasi hasil ELISA dengan Western Blot Test. 2) Western Blot (WB) Test Merupakan elektroforesis gel poliakrilamid, bertujuan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Hasil dianggap negatif bila tidak ditemukan rantai protein. Hasil dianggap positif bila ditemukan hampir semua rantai protein, dan dapat mengkonfirmasikan hasil ELISA realitif yang berulang ulang. 3) Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase Merupakan tes yang bertujuan untuk mendeteksi DNA dan RNA virus HIV. Tes ini sering digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes lain jika tidak jelas (namun masih mahal). c. Konseling pasca pemeriksaan HIV 1) Pada proses konseling pasca tes HIV, petugas akan memberikan waktu bagi klien untuk memahami hasil tes HIV dan bersaksi 2) Hasil tes HIV dalam kertas laboraturium disiapkan secara sederhana dan jelas 3) Jika klien belom mengerti arti tersebut, petugas konseling dapat membantu memberikan penjelasan lebih lanjut.

4) Stelah klien mengerti hasil tes HIV, klien akan mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan reaksi emosional yang muncul. Petugas akan mendampingi klien mengendalikan reaksi emosional. 5) Setelah klien tenang dan mampu menerima hasil tes HIV, petugas akan memberikan penjelasan kembali tentang cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS terlepas hasil tes HIV klien tersebut negatif atau positif, kemudian memberikan dukungan yang sesuai dan membuat rencana lebih lanjut. Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan untuk segera mendapat pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi karena HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat. Memulai menjalani pemeriksaan HIV/AIDS, tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam pemeriksaan HIV/AIDS dijamin kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan petugas kesehatan yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk menghadapi stres dan membuat keputusan sendiri sehubungan dengan HIV/AIDS (Maryunani, Aeman, 2013). 4. Model layanan VCT Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik IMS, klinik TB, ART, dan sebagainya. Lokasi pelayanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik cukup mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi (Depkes RI, 2006). Model layanan VCT terdiri dari:

a. Mobile VCT (penjangkauan dan keliling) Layanan VCT model penjangkauan dan keliling atau mobile VCT dapat dilaksanakan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. b. Statis VCT (klinik VCT tetap) Pusat layanan VCT terintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan VCT, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait. D. Human Immunedeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) 1. Pengertian Menurut French (2015), Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus HIV ini menyerang selsel darah putih yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disertai oleh infeksi HIV. Individu yang terinfeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala atau penyakit tertentu akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh HIV.

2. Cara penularan HIV/AIDS Virus HIV tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau bertahan lama diluar tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan cairan tubuh manusia untuk bisa hidup, bereproduksi dan mampu menularkan ke orang lain. Ada lima unsur yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu: sumber infeksi, vehikulum/media perantara, hospes yang rentan, tempat keluar dan tempat masuk hospes baru (Irianto, 2013). Ada tiga metode penyebaran virus HIV tersebut, yakni (Maryunani, Aeman, 2013): a. Hubungan seksual (Lelaki Seks Lelaki (LSL) maupun heteroseksual) Hubungan seks melalui vagina, anal, dan oral dengan pengidap HIV atau penderita AIDS merupakan cara yang banyak terjadi pada penularan HIV/AIDS. b. Melalui darah yang tercemar HIV Penyebaran virus HIV juga terjadi ketika orang menggunakan jarum suntik atau alat injeksi yang tidak steril secara bersama, biasanya terjadi di kalangan para pengguna narkoba yang di antara mereka ada yang mengidap HIV. c. Melalui ibu kepada anaknya Seorang wanita yang mengidap HIV dapat menularkan virus HIV kepada anaknya pada saat kehamilan, kelahiran atau pada masa menyusui. 3. Hal Hal yang tidak dapat menularkan HIV/AIDS Menurt Maryunani, Aeman (2013), virus HIV tidak menular semudah bebagi kuman penyakit menular lainnya. Dalam berbagai peristiwa yang biasa kita alami sehari hari, HIV/AIDS tidak dapat menular jika : a. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual).

b. Meraba, memeluk, bersalaman, menangis, duduk berdekatan, atau berpegangan dengan penderita dengan cara biasa. c. Penderita AIDS bersin atau batuk didekat kita. d. Makan atau minum bersama dengan penderita. e. Bersentuhan dengan pakaian dan barang barang lain bekas penderita AIDS seperti sisir rambut, sprei, handuk, kakus/wc. f. Sama sama berenang di kolam renang. g. Gigitan nyamuk atau serangga lain manapun atau juga tidak dari binatang lain. h. Penggunaan telepon, dll. 4. Kelompok resiko tinggi tertular HIV/AIDS Menurut Irianto (2013), karena sifat penularan tersebut diatas, maka kelompok resiko tinggi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Mereka yang mempunyai banyak pasangan (LSL maupun heteroseksual) seperti wanita atau pria tuna susila dan pelanggannya, mucikari, kelompok homoseks, biseks dan waria. Semula diduga penyakit AIDS hanya merupakan penyakit yang menimpa kelompok laki laki LSL yang biasanya berhubungan dengan sesama jenis, namun sekarang ini diketahui bahwa AIDS bisa menjangkiti siapa saja melalui berbagai penularan HIV/AIDS. b. Penderita hemofilia dan penerima tranfusi darah atau produk darah lainnya. c. Transmisi HIV non seksual dapat terjadi pula pada petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS dan petugas laboratorium yang menangani spesimen cairan tubuh yang berasal dari penderita. d. Bayi/anak yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV/AIDS. e. Pengguna narkoba suntik/ Injecting Drug User (IDU)

f. Perempuan yang mempunyai pasangan laki laki pengidap virus HIV/AIDS g. Laki laki atau perempuan penganut seks bebas. 5. Pencegahan penularan HIV/AIDS Upaya yang dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen (prong) sebagai berikut (Kemenkes, 2015): a. Prong 1: pencegahan penularan HIV Cara untuk meminimalisasi jumlah kasus penderita HIV/AIDS dengan upaya preventif atau upaya pencegahan. Rumus pencegahan HIV biasa dikenal dengan istilah pencegahan pola ABDCE yaitu : A : Abstinence artinya tidak melakukan hubungan seks sama sekali, terutama bagi individu yang belum memiliki pasangan resmi. B : Be faithful artinya saling setia pada satu pasangan, dengan kata lain melakukan hubungan seks dengan satu pasangan saja (suami/istri) atau tidak berganti ganti pasangan. C : Condom artinya jika hubungan seks tersebut adalah seks yang berisiko kehamilan atau penularan penyakit, maka pakailah kondom. D : Don t inject artinya jauhi narkoba dan tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian. E : Education artinya pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal hal yang berkaiatan dengan HIV/AIDS. b. Prong 2: mencegah kehamilan tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV

Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang aman, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. c. Prong 3: mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang terinfeksi HIV ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1) Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV 2) Menegakkan diagnosis HIV. 3) Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) bagi ibu. 4) Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.

5) Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB. 6) Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak. 7) Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan. 8) Pemberian profilaksis ARV pada bayi. 9) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya. Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. d. Prong 4: dukungan psikologis, sosial, medis dan perawatan Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul dan bekerja mencari nafkah seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan daya tahan tubuh. Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan keluarganya. 1) Dukungan psikososial Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu dengan HIV dan keluarganya cukup penting, mengingat ibu dengan HIV maupun ODHA lainnya menghadapi masalah psikososial, seperti stigma dan diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga, masalah dalam pekerjaan, ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan psikososial dapat diberikan oleh pasangan dan keluarga, kelompok dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh

agama dan masyarakat, tenaga kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan psikososial dapat berupa empat macam, yaitu: a) Dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang; b) Dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif; c) Dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga; d) Dukungan informasi, berupa semua informasi terkait hiv-aids dan seluruh layanan pendukung, termasuk informasi tentang kontak petugas kesehatan/lsm/kelompok dukungan sebaya. 2) Dukungan medis dan perawatan Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat dengan peningkatkan pola hidup sehat, kepatuhan pengobatan, pencegahan penyakit oportunis dan pengamatan status kesehatan. Dukungan bagi ibu meliputi: a) Pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan b) Pengobatan dan pemantauan terapi ARV c) Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik d) Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan e) Konseling dan dukungan asupan gizi f) Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat g) Kunjungan rumah. Dukungan bagi bayi/anak meliputi: a) Diagnosis HIV pada bayi dan anak b) Pemberian kotrimoksazol profilaksis c) Pemberian ARV pada bayi dengan HIV d) Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi/anak

e) Pemeliharaan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak f) Pemberian imunisasi. Penyuluhan yang diberikan kepada anggota keluarga meliputi: a) Cara penularan HIV dan pencegahannya b) Penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga. E. Wanita Pekerja Seks (WPS) 1. Pengertian Wanita Pekerja Seks atau biasa disebut WPS adalah profesi menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan dan biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya (Kartono, 2011). 2. Penyebab seseorang menjadi WPS Terbukanya kesempatan penyimpangan perilaku seks komersial yang semakin marak terjadi pada segala tingkat usia, tingkat pendidikan dan status sosial pendapatan. Kecenderungan ini meningkat akibat terdorong oleh gaya hidup yang tidak sesuai dengan pola hidup dan penghasilan yang mereka dapatkan (Depkes RI, 2008). Beberapa faktor yang menjadi penyebab seseorang bekerja sebagai WPS: a. Faktor pendapatan Berupa himpitan atau kesulitan pendapatan. Pada umumnya WPS berasal dari keluarga kurang mampu atau miskin. b. Faktor pendorong Penyebab sesorang menjadi WPS cenderung kompleks seperti hubungan dalam keluarga yang tidak baik, pendidikan rendah, kemiskinan, masa depan tidak

jelas, tekanan penguasa, hubungan seksual terlalu dini, pergaulan bebas, kurang penanaman nilai nilai agama serta perasaan dendam dan benci kepada laki laki (Destiani, 2008). Selanjutnya menurut Lestari dan Koentjoro (dalam Destiani, 2008), kecenderungan perempuan untuk menjual diri adalah karena pengaruh teman, aspirasi material, tren, mencari perhatian karena dirumah kurang merasa diperhatikan dan kompensasi kekecewaan. 3. Masalah masalah yang ditimbulkan dari pekerjaan WPS Menurut Destiani (2008), profesi sebagai WPS menimbulkan permasalahan yang tidak hanya terjadi pada WPS, tetapi juga terhadap pelanggan dan lingkungan. Masalah tersebut antara lain : a. Terhadap WPS Masalah yang terjadi pada WPS yaitu dapat menularkan penyakit seperti : 1) Infeksi Menular Seksual (IMS) Infeksi menular seksual yang disebut juga Sexually Transmitted Disease (STD) merupakan penyakit infeksi yang penularannya melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan pasangan yang sudah tertular. 2) HIV/AIDS b. Terhadap pelanggan Pelanggan dapat pila mendapatkan dampak buruk dari pengguna jasa seksual dari WPS. Para pelanggan dapat tertular IMS dan HIV/AIDS bila tidak menggunakan kondom. c. Terhadap lingkungan Pelanggan WPS kebanyakan adalah pria beristri. Bila seseorang pelanggan tertular IMS atau HIV/AIDS, maka ia akan menularkannya kembali pada istrinya.

Bahkan bila istrinya sedang hamil, maka IMS atau HIV/AIDS dapat pula ditularkan kepada bayinya. Dengan demikian akan terjadi penularan yang makin kompleks. Masalah pelacuran dari dahulu sampai sekarang menimbulkan masalah sosial sensitif yang menyangkut peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama. F. Hubungan Akses Informasi terhadap Partisipasi Layanan VCT Penelitian yang dilakukan Purwaningsih, dkk (2011) mengatakan masih ada yang belum memahami manfaat melakukan VCT. Hal tersebut kemungkinan dapat terjadi karena kurangnya penyebarluasan informasi dan pemberian edukasi kepada orang risiko tinggi. Mobilitas orang risiko tinggi seperti WPS, cukup tinggi dengan berpindah-pindah lokalisasi sehingga dapat menyebabkan mereka kurang mendapatkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS karena mereka mendapat informasi yang belum lengkap sehingga memungkinkan terbentuknya keyakinan yang salah. Teman atau sesama orang risiko tinggi, dapat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi individu. Hal ini kemungkinan juga dapat memengaruhi terbentuknya keyakinan yang salah pada orang risiko tinggi karena individu yang mempunyai persepsi yang salah tentang VCT akan meniru perilaku yang kurang baik dari individu lainnya. Layanan VCT sebagai salah satu strategi pencegahan HIV, membantu setiap orang untuk mendapatkan akses ke arah semua layanan, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi akurat dan tepat waktu dapat dicapai sehingga proses pikir, perasaan dan perilaku dapat diarahkan kepada perilaku lebih sehat (Depkes RI, 2008).