BAB I PENDAHULUAN Stres akulturatif yang dialami mahasiswa perantauan menjadi hal yang penting untuk dikaji karena mengakibatkan dampak negatif bagi mahasiswa tersebut, seperti perasaan mengalami diskriminasi, mengganggu kesehatan mental, depresi, dan bahkan kecenderungan untuk bunuh diri. Atas dasar hal tersebut, stres akulturatif menjadi hal yang menarik untuk dikaji guna mengetahui stres akulturatif yang dialami mahasiswa perantauan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang pentingnya mengelola stres akulturatif yang difokuskan pada stres akulturatif mahasiswa Papua yang melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana di Kota Salatiga. Stres akulturatif ini diteliti berdasarkan pertimbangan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam menjalankan studi juga berkaitan dengan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap budaya atau lingkungan asing dan terhadap tugas-tugas akademiknya. Selain itu, pendidikan tinggi dirasakan sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa bertahan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melihat dua faktor yang mempengaruhi stres akulturatif, yakni hardiness dan dukungan sosial teman, serta apakah ada hubungan antara hardiness dan dukungan sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa asal Papua. 1
1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memacu setiap bangsa, termasuk Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang untuk berlomba-lomba meningkatkan produktivitas bangsanya agar tidak mengalami ketertinggalan. Salah satu cara meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia/sdm. Kualitas SDM yang tinggi dalam hal penguasaan IPTEK, keterampilan sosial dan personal dapat menjadikan SDM mampu bersaing secara profesional dan sehat sesuai dengan bidang yang dikuasainya. Persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh pekerjaan yang baik merupakan salah satu faktor yang mendorong setiap orang ingin meraih pendidikan tinggi, tidak terbatas hanya sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA) tetapi juga sampai ke universitas atau perguruan tinggi (Hasibuan, 2003). Berkaitan dengan perguruan tinggi atau universitas, Hidajat & Sodjakusumah (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa di Indonesia, pendidikan tinggi dirasakan sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa bertahan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia, jumlah perguruan tinggi masih jauh dari memadai. Sarana dan prasarana yang berkualitas di bidang pendidikan sepertinya hanya tersedia di kota-kota besar, terutama di pulau Jawa. Hal ini terbukti dari jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang terdapat di pulau Jawa yang lebih banyak dibanding dengan perguruan tinggi yang terdapat di luar pulau Jawa. 2
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) tahun 2016, jumlah keseluruhan perguruan tinggi yang ada di Indonesia sebanyak 4.445 perguruan tinggi, dengan 2.068 terdapat di pulau Jawa. (www.dikti.org.2016). Rata-rata perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terdapat di pulau Jawa tersebut merupakan perguruan tinggi yang berkualitas. Hal ini membuat setiap orang, khususnya siswa yang baru lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berasal dari luar pulau Jawa lebih tertarik untuk melanjutkan studinya di pulau Jawa. Selain itu, banyaknya alternatif fakultas/jurusan yang dapat dipilih sesuai dengan minat masing-masing menjadi salah satu daya tarik untuk melanjutkan studi di pulau Jawa (Hidajat & Sodjakusumah, 2000). Belajar di perguruan tinggi jauh berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan tingkat atas, baik waktu, teknik, maupun tujuannya. Oleh karena itu mahasiswa yang baru menginjak dunia perguruan tinggi perlu mengadakan adaptasi yang baik dengan situasi belajar, terutama untuk mengetahui teknik dan metode belajar yang baik. Dengan mengetahui cara belajar yang baik tersebut dapat memungkinkan efisiensi waktu dan tenaga dalam belajar (Burhanudin, 2004). Pada setiap transisi dari jenjang pendidikan yang lebih rendah ke jenjang yang lebih tinggi, peserta didik akan dihadapkan berbagai pengalaman dan persoalan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Santrock (2002 a ), bahwa transisi dari sekolah lanjutan tingkat atas menuju perguruan tinggi juga bisa memiliki beberapa sisi yang positif. Siswa menjadi merasa lebih dewasa, mendapatkan banyak pelajaran yang dapat dipilih, memiliki waktu untuk bersama teman sebaya, 3
memperoleh lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi gaya hidup dan nilai yang berbeda-beda, menikmati kebebasan dari pengawasan orang tua, dan menjadi lebih tertantang secara intelektual dengan adanya tugas-tugas akademik. Salah satu universitas yang menjadi pilihan bagi pelajar dari berbagai daerah di seluruh Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke tingkat pendidikan tinggi adalah Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di kota Salatiga. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah khususnya mahasiswa Papua perlu melakukan adaptasi terhadap kondisi setempat karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya. Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak selamanya berlangsung mulus. Ada berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa Papua di UKSW, termasuk penyesuaian diri mereka yang dapat membuat mereka tertekan dan mengalami stres yang terakumulasi dengan adanya tekanan saat bertemu dengan situasi kehidupan yang berbeda, seperti makanan, gaya pakaian, pengaturan keuangan, penggunaan waktu, relasi interpersonal, kondisi cuaca (iklim), dan transportasi umum. Siswanto (2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanantekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan. Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri tersebut bila dibiarkan tanpa penyelesaian akan mempengaruhi kesehatan mental. Dari hasil wawancara dengan 21 mahasiswa Papua yang kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang dilakukan pada bulan Februari 2016, diketahui bahwa terdapat permasalahan yang 4
muncul akibat proses adaptasi. Dari survey awal yang dilakukan, ternyata 18 orang mahasiswa mengalami kesulitan ketika pertama berada di kota Salatiga. Kesulitan yang paling dirasakan yaitu dalam hal bahasa, cuaca, makanan, dan pergaulan sehingga menimbulkan tekanan-tekanan bagi mahasiswa tersebut. Sementara itu, beberapa mahasiswa yang lainnya mengatakan cukup dapat menikmati situasi yang baru dan membuat diri mereka merasa nyaman, enjoy, dan bangga. Adanya fenomena-fenomena positif dan negatif tersebut menyimpulkan adanya masalah yang terkait dengan stres, khususnya stres yang berkaitan dengan penyesuaian terhadap lingkungan baru, atau sering disebut sebagai stres akulturatif. Berdasarkan pertimbangan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam menjalankan studi juga berkaitan dengan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap budaya atau lingkungan asing dan terhadap tugas-tugas akademiknya, maka stres akulturatif penting untuk diteliti. Hal ini didukung dengan pendapat Griffith (1983, dalam Nevid dkk., 2005) bahwa kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang mendukung dan perasaan memiliki identitas etnik akan menghasilkan penyesuaian diri yang baik. Dari hasil wawancara tersebut di atas, ditemukan bahwa berkaitan dengan kesulitan adaptasi dalam hal bahasa, mengakibatkan mahasiswa Papua mengalami tekanan karena ada beberapa mahasiswa Papua yang diejek dan ditertawakan karena logat bahasanya yang berbeda dengan mahasiswa Jawa, dan pada akhirnya berdampak negatif yaitu mahasiswa Papua cenderung membatasi diri untuk berbicara atau 5
bergaul dengan mahasiswa Jawa. Akibatnya mahasiswa Papua cenderung berteman atau bergaul hanya dengan sesama mahasiswa Papua lainnya. Berkaitan dengan kesulitan bahasa juga dapat menimbulkan dampak negatif, seperti hasil penelitian Snyder dkk.(1987, dalam Nevid, dkk., 2005) yang menemukan bahwa orangorang Meksiko-Amerika yang kurang fasih berbahasa inggris menunjukkan lebih banyak tanda-tanda kecemasan dan depresi dibandingkan dengan orang-orang Meksiko-Amerika yang fasih berbahasa inggris. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang dapat melakukan adaptasi dengan bahasa Jawa, dampak positifnya adalah mahasiswa tersebut menjadi lebih percaya diri dan merasa bangga ketika dapat berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari Jawa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok imigran, beradaptasi terhadap budaya setempat sambil mempertahankan identitas etnik secara psikologi menguntungkan (Nevid dkk., 2005). Imigran Hispanik-Amerika mengganti bahasa Spanyolnya dengan bahasa Inggris sehingga dapat lebih menyesuaikan diri dengan kultur setempat (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005). Permasalahan lainnya adalah mahasiswa Papua mengalami kesulitan untuk menerima makanan yang berasal dari Jawa (yaitu cenderung manis), dampak negatifnya mahasiswa sering kehilangan selera makan dan pada akhirnya mengalami penuruan berat badan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pumariega (1986, dalam Nevid dkk., 2005), yang menemukan bahwa Siswa SMA Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya lebih tinggi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dalam tes yang berkaitan dengan anoreksia (gangguan pola makan yang 6
ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan dan ketakutan akan kegemukan) dibandingkan dengan siswi yang tingkat akulturasinya lebih rendah, dengan menggunakan tes atau kuesioner sikap makan. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang mampu beradaptasi dengan masakan makanan dari Jawa yang berdampak positif mereka tetap dapat menikmati makanan tersebut dan memiliki pola makan yang baik. Bahkan beberapa mahasiswa ada yang menjadi lebih gemuk ketika merantau di Kota Salatiga. Berbagai kesulitan yang dialami oleh mahasiswa Papua berkaitan dengan proses adaptasi ini ternyata berdampak pada gangguan psikis serta gangguan fisik sebagai akibat dari kondisi psikis yang terganggu. Mahasiswa yang bersangkutan merasakan adanya perasaan kesepian, homesick, mudah bosan, cepat lelah, merasa cemas, kesulitan dalam penyesuaian sosial dan budaya, serta mengalami gangguan fisik seperti pusing, maag, diare, masalah pencernaan, sesak nafas, flu, dan sakit tipus. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ortega dkk. (2000, dalam Nevid dkk., 2005) yang menemukan bahwa pada subjek Hispanik-Amerika, semakin tinggi tingkat akulturasi semakin besar kemungkinan mereka mengalami suatu gangguan psikologis. Penelitian yang dilakukan Hovey & King (1997, dalam Hovey, 2000) pada imigran Latin di Amerika, menyebutkan bahwa stres akulturatif berhubungan dengan depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hal ini didukung oleh penelitian Hovey (2000) yang menyebutkan bahwa imigran Latin yang berada di Amerika juga mengalami stres akulturatif. Penelitian itu menyebutkan bahwa selama proses akulturasi, stres akan menghasilkan tingkat 7
depresi dan kecenderungan bunuh diri yang cukup signifikan. Dengan kata lain, individu yang mengalami peningkatan stres akulturatif berpotensi mengembangkan tingkat depresi dan kecenderungan bunuh diri. Stres akulturatif yang dialami individu membawa dampak negatif bagi individu yang bersangkutan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver dkk., (1999, dalam Baron & Byrne, 2005), bahwa di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi, distres yang mereka alami seringkali meliputi kecemasan dan depresi, yang mungkin pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan minuman beralkohol dan gangguan makan. Stres yang dimaksud adalah suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Peristiwa fisik atau psikologis tersebut muncul sebagai gejala ketika mahasiswa mengalami tekanan mental atau stres. Dampak dari akulturasi tidak selalu negatif, terdapat beberapa keuntungan yang didapat ketika melakukan adaptasi atau berakulturasi, seperti hasil penelitian terhadap remaja Asia-Amerika, menunjukkan bahwa remaja yang memiliki identitas etnik tampak lebih mampu menyesuaikan diri secara psikologis dan memiliki tingkat self-esteem yang lebih tinggi (Huang dkk., 1994, dalam Nevid dkk., 2005). Pada suatu kesempatan, Berry dkk. (1999) menyimpulkan bahwa akulturasi kadang meningkatkan peluang hidup seseorang dan kesehatan mental. Stres akulturatif merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis, dan sosial). Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al. 2007) mengatakan bahwa aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada 8
mahasiswa dapat berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau ketidakbiasaan dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan pengalaman sistem nilai yang bertentangan. Murphy (1965, dalam Berry dkk., 1999) menemukan bahwa beberapa kelompok yang berakulturasi mungkin lebih diterima dan ditempatkan lebih tinggi dalam hierarki berprestasi. Dari hasil wawancara juga ditemukan adanya perbedaan dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan proses adaptasi antara mahasiswa Papua yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Slavin dan Rainer (1990, dalam Crockett et.al., 2007) menemukan hubungan signifikan yang berbeda antara penyesuaian diri dan stres akulturatif pada wanita dan laki-laki Latin Meksiko di Amerika. Dalam suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat hubungan yang kuat antara stres yang terjadi dalam upaya untuk adaptasi terhadap kultur dan lingkungan baru dengan kondisi distres psikologis. Imigran wanita menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam Nevid dkk., 2005). Uppaluri et.at (2001, dalam Il Livingston et.al, 2007) mengatakan bahwa wanita imigran Karibia yang datang ke Amerika lebih banyak menderita gejala depresi dan keluhan somatik ketika melakukan adaptasi dengan kultur yang baru dibandingkan dengan imigran laki-laki. Uraian di atas memberi gambaran apabila proses adaptasi tidak berhasil dilakukan dengan baik akan menimbulkan tekanan atau stres oleh sebab itu stres akulturatif penting untuk diteliti. Stres yang dialami individu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam suatu 9
kesempatan, Smet (1994) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi stres adalah peubah dalam individu, karakteristik kepribadian, peubah sosial kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial, dan strategi coping. Pada faktor karakteristik kepribadian, salah satunya adalah kepribadian ketabahan (hardiness). Pada faktor hubungan dengan lingkungan sosial, salah satunya adalah dukungan sosial. Mengacu pada faktor tersebut, maka dua peubah tak gayut yang akan diteliti adalah hardiness dan dukungan sosial teman. Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa (1984, dalam Smet, 1994) yang mengonseptualisasikan tentang hardiness sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam perlawanan terhadap stres. Kobasa memulai dengan adanya perbedaanperbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan mengkombinasikan peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan tipe kepribadian yang lebih komprehensif. Hasil penelitian yang dilakukan Kobasa & koleganya (1979, dalam Nevid dkk., 2005) menemukan bahwa individu yang memiliki hardiness tidak pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan mereka. Hardiness yang dimiliki ini yang kemudian menyebabkan individu tidak mudah merasakan stres. Berikutnya Nevid dkk. (2005) menyatakan bahwa hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian. Berdasarkan hasil penelitian Kobasa & koleganya (1979, dalam Nevid dkk., 2005) seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki hardiness tidak pernah mencoba untuk 10
menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaannya. Selanjutnya, yang menjadi ketertarikan peneliti adalah apakah hardiness juga dapat meminimalisir stres akulturatif pada mahasiswa, khususnya mahasiswa Papua dalam melakukan adaptasi budaya di Salatiga. Pertanyaan penelitian di atas muncul karena masih belum jelas apakah hardiness selalu dapat menolong individu yang mengalami stres. Sebagaimana pendapat Florian et.al. (1995, dalam Eschleman et.al., 2010), bahwa konseptualisasi hardiness masih diperdebatkan. Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa komponen tantangan dari hardiness tidak berkontribusi pada prediksi hasil kesehatan. Pendapat Florian et.al. (1995, dalam Eschleman et.al., 2010) ini mengandung arti pula bahwa tidak selamanya hardiness dapat menahan efek stres, sehingga masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hardiness dalam hubungannya dengan stres, khususnya stres akulturatif. Faktor lain yang dapat mempengaruhi stres adalah dukungan sosial, hal ini sesuai dengan pendapat Smet (1994). Kajian psikologi kesehatan menunjukkan bahwa hubungan yang suportif secara sosial juga bisa meredam efek stres, membantu orang mengatasi stres dan menambah kesehatan. Dukungan sosial bermanfaat tatkala individu mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Sarason dkk.,1994, dalam Taylor dkk., 2009). Uraian di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial dapat menekan stres yang dirasakan individu, namun berbeda dengan pendapat Baron & Byrne (2005), yang mengatakan bahwa meskipun 11
seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solberg et.al. (1994 dalam Crockett et.al., 2007). Kedua penelitian tersebut menemukan hasil yaitu tidak ditemukan bukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan stres psikologis ataupun penyesuaian diri pada mahasiswa Latin. Perbedaan hasil penelitian dan pendapat tokoh di atas menunjukkan hal yang masih belum jelas apakah dukungan sosial dapat menekan stres, atau bahkan dukungan sosial dapat memicu stres. Perbedaan inilah yang menjadi dasar bahwa hubungan antara dukungan sosial dengan stres akulturatif masih perlu dilakukan penelitian kembali. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah Hardiness dan Dukungan Sosial Teman secara simultan atau parsial berpengaruh terhadap Stres Akulturatif mahasiswa Papua di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 12
a. Menentukan pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua laki-laki di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. b. Menentukan pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua perempuan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. c. Menentukan perbedaan stres akulturatif mahasiswa Papua di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ditinjau dari jenis kelamin. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu bagi psikologi sosial khususnya psikologi lintas budaya dalam hubungannya antara stres akulturatif mahasiswa Papua, hardiness, dan dukungan sosial teman. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, yaitu: a. Mahasiswa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi atau acuan mahasiswa Papua yang akan kuliah di Pulau Jawa khususnya Kota Salatiga, yang berkaitan dengan masalah stres akulturatif, hardiness, dan dukungan sosial teman. 13
b. Universitas. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi atau acuan pihak universitas dalam menangani mahasiswanya dalam kaitannya dengan permasalahan stres akulturatif, hardiness, dan dukungan sosial teman. 1.4.3 Manfaat Bagi Penulis a. Dapat memahami pentingnya peran hardiness dan dukungan sosial teman dalam penurunan stres akulturatif. b. Melalui penelitian ini penulis dapat membuat sebuah karya ilmiah terkait dengan hubungan hardiness dan dukungan sosial teman dengan stres akulturatif mahasiswa Papua dalam rangka meraih gelar Master Sains Psikologi. 14