BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi pada Istri Korban KDRT. mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB II LANDASAN TEORI. trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. dalam kehidupan, mampu bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II KAJIAN TEORI. kurang dari 40% dari tingkat tinggi mengalami kelelahan. Didunia kerja,

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

Studi Komparatif Mengenai Resiliensi Remaja Korban Sodomi di Desa X dan di Desa Y Kabupaten Bandung

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis yang ditandai dengan tingginya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN. lembaga yang sah karena terbentuk sesuai dengan aturan hukum yang. berlaku, demi kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi, dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

juga kelebihan yang dimiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gambaran dari tujuh keterampilan yang ada dalam teori yaitu: emotion regulation,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban KDRT 1. Pengertian Resiliensi pada Istri Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Pendapat lain oleh Glantz & Johnson (1999), resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosi. Beberapa dari individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi, Yang pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005). Sulistyarini (2011) menyatakan bahwa individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse

conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin, 2001). Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi ialah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma. Diperjelas oleh Connor dan Davidson (2003) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Block dan Kreman (Xianon & Zhang, 2007) menyatakan bahwa resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan/survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stress dan mengalami penderitaan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan istri untuk bertahan dan beradaptasi dalam situasi yang menekan serta meresponnya dengan positif sehingga dapat mengembangkan diri mereka dan menjadi pribadi yang lebih baik bahkan dari sebelum mengalami kekerasan. 2. Aspek-aspek Resiliensi Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh aspek yang membangun resiliensi, yaitu: a. Regulasi emosi Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan baik yang dapat membantu individu untuk mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk

kedekatan, sukses dipekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan seseorang cenderung menular kepada orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan dan rasa cemas maka kita juga akan semakin menjadi seseorang yang pemarah dan mudah cemas. Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). b. Mengontrol Impuls Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku. Seseorang menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif.

Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. c. Optimis Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Individu yang optimis percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup. Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).

Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich & Shatte(2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi. d. Analisis Sebab Masalah (Causal analysis) Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Causal analysis digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika individu tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka individu tersebut akan membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus. Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan individu. Gaya berpikir ini erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya berpikir saya-selalu-semua merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta

permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir bukan saya-tidak selalu-tidak semua meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada selalu-semua tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dan mengubah situasi, individu tersebut akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir tidak selalu-tidak semua dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu yang resilien tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat demi menjaga self-esteemnya atau membebaskan diri dari rasa bersalah. Individu yang resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali, sebaliknya memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan individu tersebut mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empati Menurut Reivich dan Shatte (2002) empati mencerminkan kemampuan individu membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda noverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang berempati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. f. Efikasi Diri Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan

untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy dirinya akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Individu yang memiliki efikasi yang tinggi akan sangat mudah menghadapi tantangan. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami (Reivich & Shatte, 2002). Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi. g. Reaching out (Pencapaian) Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi membantu untuk meningkatkan aspek positif dalam kehidupan individu. Resiliensi merupakan sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih (reaching out) dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan individu tersebut telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Individu-individu ini memilih untuk memiliki kehidupan standar, dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Individu ini menganggap gagal ketika melakukan sesuatu lebih buruk daripada gagal sebelum mencoba. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihan-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa

mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah self-handicapping, dan secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu seperti ini cenderung berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan kegagalan yang akan mendatangkan bencana besar. Menurut Reivich & Shatte (2002), Reaching out merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi. Berdasarakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terbentuknya suatu resiliensi pada istri dapat dilihat dari bagaiman istri dapat mengelolah emosi ketika mengalami KDRT, mengontrol impuls atau mengendalikan dorongan yang dalam dirinya, optimis bahwa segala sesuatu dapat beruah lebih baik, menganalisis sebab akibat dari setiap persoalan, berempati dan memahami kondisi orang lain, memiliki efikasi diri yang baik dan reaching out sehingga mampu memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. 3. Pembentuk Resiliensi Beberapa sumber yang dapat membentuk resiliensi diungkapkan oleh Grotberg (1999) yaitu sebagai berikut;

a. I Have ( sumber dukungan eksternal ) I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut. Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan berkuasa atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain. Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak. b. I Am ( kemampuan individu ) I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Individu juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Individu ini memiliki empati

dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu ditunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Indvidu ini juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri, bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika individu mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu dalam mengatasi kesulitan tersebut. Individu merasa mandiri dan cukup bertanggungjawab dan dapat melakukan banyak hal dengan kemampuannya sendiri sehingga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya. Selain itu individu juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Memiliki kepercaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik serta memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-tuhan-an yang diyakini. c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal ) I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Individu dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitarnya. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Individu mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik. Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Individu mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain.

Mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan pada hal-hal yang tidak baik. Individu juga memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu Individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal. Berdasarkan definisi di atas ditarik kesimpulan untuk mencapai suatu resiliensi dibutuhkan sumber keluatan yakni pengaruh atau dukungan dari orang sekitar individu yang mengalami tekanan, kekuatan yang dimiliki individu itu sendiri berupa keyakinan, perilaku dan perasaan positif serta mampu menjalin hubungan dengan sosial dan interpresonal. 4. Fungsi Resiliensi Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi berguna bagi manusia dalam kondisi berikut ini ( Reivich & Shatte, 2002): a. Overcoming Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri. Sehingga dapat

tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan. b. Steering through. Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dan dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul. c. Bouncing back Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang

mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan. d. Reaching out Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka. Berdasarkan definisi di atas disimpulkan resiliensi dibutukhan bagi istri untuk mengatasi situasi tekanan yang dangat berat sehingga istri mampu berpikir positif dan memiliki motivasi untuk produktif, mampu mengatasi masalah dan tidak terbebani dengan kejadian tersebut, mampu untuk mengontrol hasil dari kehidupan sehingga mampu kembali ke kehidupan normal serta mampu menemukan makna dan tujuan hidup. 5. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Kekerasan diranah rumah tangga merupakan tindakan kriminal yang sangat sering terdengar sehingga tidak heran jika permasalahan ini menjadi topik yang paling populer dalam ranah problematika kehidupan rumah tangga. UUD No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut Sukri (2004) kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan atau istri dapat diartikan sebagai suatu tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, dan melanggar hak-hak asasi perempuan. Tindak kekerasan yang dilakukan akan memberikan dampak dan resiko yang sangat besar bagi perempuan atau istri. Berdasarka uraian di atas disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang dilakukan oleh anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis yang menimbulkan dampak menyakiti secara fisik, psikis, seksual, ekonomi termasuk peramasan kemerdekaan bagi korban. 6. Dampak KDRT bagi Istri KDRT menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan seorang istri, kekerasan tidak hanya menyebabkan luka pada tubuh, tetapi juga merusak kesehatan psikis dan emosional, mengganggu fungsi-fungsi sosial ekonomi serta

melumpuhkan sendi-sendi kehidupan perempuan bahkan pada tataran yang sangat fundamental. Menurut Newton (2001) istri yang mengalami KDRT akan mudah gelisah, emosional berlebihan, depresi kronis, malnutrisi, mudah panik, memiliki gangguan somatisasi, disfusi seksual hingga bunuh diri. Baquandi (2009) mengatakan dampak kekerasan terhadap istri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian. Dampak psikologis lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentukbentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dampak KDRT diantaranya menimbulkan sakit secara fisik, tekanan mental, depresi, rusaknya organ reproduksi, kehilangan harga diri dan gangguan kepribadian lainya. 7. Faktor Istri Bertahan dalam KDRT Berbagai faktor yang menyebabkan istri sebagai korban kekerasan tidak melakukan perlawanan atau keluar dari kondisi KDRT. Diungkapkan oleh Farha (1999), menyatakan bahwa alasan Istri tetap memilih bertahan dalam KDRT ialah:

a. Takut akan pembalasan suami, banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam jika mereka berupayah keluar dari rumah. b. Tidak adanya tempat berlindung, banyak istri bergantung secara ekonomi pada suami sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba tetap bertahan dalam penderitaan. c. Takut dicerca masyarakat, banyak perempuan takut dikatakan perempuan tidak baik karena diketahui sebgai korban kekerasan dan sebagian tidak siap dengan status sosial sebagai janda becerai karena diangap rendah dalam masyarakat. d. Rasa percaya diri yang rendah akibat penganiayaan, istri merasa tidak berani dan tidak percaya memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah. e. Untuk kepentingan anak, istri khawatir anak-anaknya akan megalami penderitaan yang lebih buruk jika berisah dengan ayah mereka. f. Istri tetap mencintai suami, mereka mendambakan berhentinya kekerasan bukan putusnya perkawinan. Istri berharap suami akan berubah menjadi baik kembali. g. Mempertahankan perkawinan, banyak istri yang percaya bahwa perkawiana merupakan sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Istri menganggap lebih baik tetap menderita dalam perkawinan dari pada bercerai karena tabu atau dilarang oleh agama. 8. Resiliensi Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Hidup dalam KDRT merupakan suatu tekanan yang sangat besar bagi seorang istri. KDRT merupakan situasi yang tanpa disadari terus berulang layaknya siklus kekerasan, siklus ini terdiri dari tahap munculnya konflik dimana timbul

permasalahan dalam hubungan suami istri, yang kedua ialah tahap kekerasan, pada tahap ini istri akan menerima penganiyayaan secara fisik maupun psikis seperti pemukulan dan caci maki, selanjutnya tahap bulan madu,suami akan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya, lalu tahap reda atau ketenangan yakni keadaan dimana suami dan istri menjalankan kehidupan seperti pasangan pada umumnya (Hayati dkk., 2000). Situasi KDRT akan terus berulang dikarenakan walaupun istri merasakan teror dari kekerasan yang diterima, ketika suami kembali meminta maaf dan menyesali perbuatanya istri merasa memiliki harapan suaminya akan berubah. Selain itu, perasaan cinta yang dimiliki istri akan membuat istri memaklumi perbuatan suaminya ( Rifka Annisa Women s Crisis, 2000). KDRT yang terus terjadi memberikan dampak negatif tidak hanya bagi fisik istri tetapi jauh lebih besar berdampak pada psikologi sorang istri. Istri yang menerima KDRT akan mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri (Baquandi, 2009). Namun, meskipun KDRT memberikan dampak yang negarif bagi korban, para korban cenderung lebih memilih untuk bertahan dalam kondisi KDRT daripada keluar dari situasi tersebut (Krisyanti, 2004). Bertahan dalam suatu hubungan dengan kekerasan bukanlah suatu hal yang mudah. Istri yang memilih untuk tetap bertahan dalam kekerasan diyakini bahwa karna istri memiliki resiliensi. Reseliensi yaitu kemampuan seseorang untuk

menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995). Beberapa dari individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu tersebut akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi. Sehingga, pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005). Untuk mencapai resiliensi yang baik tidaklah mudah, khususnya bagi korban KDRT yang dapat dikatakan tinggal dan hidup bersama tekanan dan kekerasan dalam rumah tangganya. Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan berbagai hal harus dipenuhi seorang istri hingga mencapai resiliensi walapun dengan cara yang berbeda-beda pada tiap individu, diantaranya mampu mengontrol emosi dan perasaan yang bergejolak dalam dirinya dan mengalihkan pikiran dan perasaannya pada hal yang lebih positif dan mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat. Selain itu, istri mampu mengontrol dorongan yang ada dalam dirinya untuk bertindak melawan tekanan yang dihadapi sehingga mampu meguasai pikiran dan emosi dan menjadikan perilaku yang resilien. Istri yang resilien juga memiliki sikap optimis akan masa depan yang lebih baik, kemampuan ini membantu istri untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang dihadapi hingga mampu memperbaiki keadaan. Optimis akan membuat fisik istri lebih sehat dan terhindar dari depresi. Kemampuan untuk menganalisis penyebab persoalan juga menjadi aspek penting dalam resiliensi, istri yang mampu pengolah kognitifnya dengan baik dapat menemukan penyebab dari setiap tekanan yang

dialami dan menjelaskan pada pribadanya tanpa terjebak pada situasi yang rumit dan mengakibatkan menyalahkan orang lain ataupun dirinya sehingga mampun membebaskan diri dari rasa bersalah. Beberapan orang memiliki kepekaan terhadapa bahasa nonverbal orang lain sehingga mampu menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Individu yang memiliki empati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Self-efficacy memampukan istri untuk memiliki keyakinan atas potensi yang dimiliki. Istri dengan self-efficacy yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya dan bangkit dari tekanan. Kemampuan terakhir yang harus dimilki istri agar mencapai resiliensi ialah mampu meraih apa yang diinginkan, istri yang resisten mampu meningkatkan keterampilan yang dimilikinya secara positif tanpa terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Tekanan yang diterima tidak menghalanginya untuk mencapai impian akan masa depan yang lebih baik dan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan resiliensi pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga tercermin dari kemampuannya untuk mengolah pikiran, perasaan, emosi dan fisiknya dengan tepat. Kemampuan ini berbeda-beda pada tiap individu sehingga tidak semua individu wajib memiliki seluruh aspek resiliensi tegantung potensi apa yang lebih dominan dalam diri korban. Terbentuknya suatu resiliensi dapat dipengaruhi oleh bagaimana dukungan dari orang disekitar korban,

kesadaran akan potensi yang dimiliki serta kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan, maka dari hal tersebut korban dapat memiliki motivasi untuk hidup, tidak terbebani oleh masalah yag diterima, yakin akan potensi yang dimiliki sehinga mendapatkan makna akan kehidupannya dan menemukan tujuan dari hidup. B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Central question: Bagaimana gambaran resiliensi pada istri korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? 2. Sub question: a. Bagaimana cara partisipan mengatur stabilitas emosi saat mengalami KDRT? b. Bagaimana cara partisipan mengontrol dorongan dalam dirinya ketika menghadapi KDRT? c. Bagaimana bentuk keyakinan partisipan akan masa depannya saat berada dalam situasi KDRT? d. Bagaimana partisipan mengidentifikasi sebab permasalahan yang memicu terjadinya tindakan KDRT? e. Seberapa mampu partisipan menunjukan rasa empati pada lingkungannya di tengah dituasi KDRT? f. Seberapa yakin partisipan akan kemampuan dirinya dalam mengatasi situasi KDRT?

g. Seberapa besar pencapain partisipan dalam mewujudkan impiannya ditengah situasi KDRT yang dialami? 3. Topical question: a. Bagaimana bentuk pengalaman KDRT yang dialami partisipan? b. Apa saja dampak KDRT yang dialami partisipan? c. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dapat istri bertahan dalam hubungan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan?