BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. maupun di daerah, unit-unit kerja pemerintah, departemen dan lembaga-lembaga

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah otonom sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

BAB I PENDAHULUAN. ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

I. PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian terakhir diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan pengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per Undang-Undangan. Otonomi daerah berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah yang pada dasarnya, menurut Mardiasmo (2002) mengandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut, yaitu :

1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah. 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan. Pelaksanaan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa Pemda memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya yang dimiliki untuk belanja-belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemda yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). Menurut UU No. 32 tahun 2004 proses penyusunan anggaran diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif (PEMDA) dan legislatif (DPRD) tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja. Eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah yang membuat rancangan APBD. Sedangkan legislatif bertugas mensahkan rancangan APBD dalam proses

ratifikasi anggaran. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang menjadi pedoman bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran. APBD itu sendiri terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, diklasifikasikan dalam 3 sumber, yaitu: PAD (Pendapatan Asli Daerah); Dana Perimbangan; dan Lain-lain Penerimaan yang sah. Potensi PAD masing-masing daerah dapat dikatakan berbeda, sehingga menimbulkan fenomena fiscal gap, yaitu suatu kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan antara kekuatan pendapatan dan kebutuhan belanja modal antar pemerintah daerah. PAD merupakan pendapatan yang dihasilkan daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dari laba perusahaan daerah dan lain-lain. Setiap daerah memiliki wewenang dan kewajiban untuk menggali sumber keuangannya sendiri dengan melakukan segala upaya untuk meningkatkan PAD. Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintah, karena merupakan cerminan keberhasilan usaha atau tingkat kemampuan daerah sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya (Halim dan Abdullah, 2004). Permasalahan utama pada pendapatan daerah pada dasarnya adalah masih terdapat pada tingginya ketergantungan sumber pendapatan daerah kepada pemerintah pusat. Selain karena keterbatasan pandapatan asli daerah, permasalahan lainnya adalah belum optimalnya pengelolaan. Untuk itu dalam mewujudkan

peningkatan pendapatan daerah, kebijakan pendapatan daerah diarahkan, dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemungutan dan penerimaan pendapatan daerah serta meningkatkan pendapatan daerah melalui perbaikan sistem dan prosedur karena pendapatan daerah merapakan salah satu bentuk kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Menurut Bastian (2011) kinerja adalah gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan visi, misis, tujuan dan sasaran organisasi yang terutang dalam perumusan perencanaan strategis (strategic planning) suatu organisasi. Kinerja merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian menjadi tuntutan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya. Namun berdasarkan fenomena yang terjadi di Indonesia pada saat perekonomian dunia tengah melambat, Indonesia masih sanggup mencatat pertumbuhan ekonomi 6,3 persen. Sebagian kalangan menilai hal itu bukanlah prestasi menggembirakan. Pasalnya, dengan segenap potensi yang ada, Indonesia seharusnya mampu mencatat pertumbuhan lebih tinggi. Lalu mengapa Indonesia tidak bisa maksimal? Salah satunya adalah faktor kualitas aparatur negara. Aparatur negara sebagai unsur pelaksana penyelenggaraan pemerintahan negara mempunyai peran sentral dan strategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Jumlah aparatur kita saat ini mencapai 4 juta orang, sementara jumlah penduduk berkisar 235 juta jiwa.

Dengan kuantitas begitu besar seharusnya kontribusi mereka bisa lebih optimal. Sayangnya aspek kuantitas tersebut tidak diimbangi dengan aspek kualitas. Tak heran jika keberadaannya justru dianggap sebagai beban ketimbang aset penting. Pemerintah pun telah menetapkan moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) selama dua tahun terakhir, untuk mengurangi beban anggaran. Biaya belanja pegawai pemerintah tahun 2013 tercatat Rp 241,12 triliun atau 14,54 persen dari total belanja negara yang mencapai Rp 1.657,9 triliun. Akibat gemuknya belanja pegawai, belanja modal di tahun depan jadi minim, sekitar Rp 193,8 triliun. Padahal, belanja modal merupakan satu di antara faktor untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen yang ditargetkan pemerintah. Sorotan terhadap kinerja aparatur negara terus menguat pasca reformasi. Berbagai kritikan muncul dan cenderung memosisikan mereka sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi. Laporan World Economic Forum (WEF) menyebutkan, posisi daya saing ekonomi Indonesia turun empat tingkat dari posisi 46 pada 2011 menjadi di posisi 50 pada 2012. Data tersebut menunjukkan Indonesia saat ini berada di bawah beberapa negara sekawasan, seperti Malaysia yang menempati posisi 25, Brunei di posisi 28, China di posisi 29, dan Thailand di posisi 38. Laporan WEF juga memperlihatkan penyebab penurunan peringkat Indonesia karena permasalahan birokrasi yang tidak menguntungkan untuk sektor bisnis. Pada dasarnya pengertian pegawai negeri yang lebih khusus menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU No.8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang

dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Tetapi banyak pegawai-pegawai di Indonesia, khususnya yang bekerja di instansi pemerintah terjangkit patologi etos kerja atau yang lebih dikenal dengan virus-virus penyakit yang bisa menular dari satu orang ke orang lain. Virus penyakit yang dimaksud disini bukan virus penyakit tertentu seperti malaria atau demam berdarah, tetapi yang dimaksud disini adalah fenomena sosial pegawai yang tingkah lakunya bertentangan dengan kaidah-kaidah, norma-norma, moralitas, dan rasionalitas yang dipersyaratkan oleh pimpinan. Fenomena yang kerap menghiasi instansi pemerintahan ini seakan tidak bermuara, karena sudah berjuta cara dilakukan tetapi pegawai-pegawai yang nakal masih tetap saja ada. Kenakalan pegawai tersebut dimulai dari hal yang kecil seperti datang terlambat, bolos kerja, bermain game atau social network, dan bahkan melakukan korupsi (Harian Kompas edisi 20 November 2012/Kompas.com). Berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja pemerintah di Indonesia belum cukup maksimal. Sedangkan berdasarkan hasil peneltian terdahulu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2007) yang meniliti mengenai Pengaruh flypaper effect dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah pada kinerja SKPD kota Semarang, menunjukan hasil bahwa hanya dana alokasi umum yang berpengaruh terhadap kinerja SKPD, sedangkan pendapatan asli daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja SKPD.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik meneliti lebih lanut mengenai pendapatan asli daerah terhadap kinerja instansi pemeritah dengan judul sebagai berikut : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penyusun merumuskan pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana Pendapatan Asli Daerah di Kota Bandung? 2. Bagaimana Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung? 3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka maksud dan tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana Pendapatan Asli Daerah di Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui bagaimana Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat diantaranya sebagai berikut : 1. Bagi Penulis Pengetahuan dan wawasan mengenai pengelolaan keuangan daerah dan faktor yang mempengaruhi Kinerja Instansi Pemerintah di Kota Bandung dan memahami perbandingan antara konsep yang diberikan pada masa perkuliahan dengan penerapannya langsung di Instansi Pemerintahan. 2. Bagi Pemerintah Bahan masukan kepada Pemerintah Kota Bandung dalam mengambil kebijaksanaan untuk terus meningkatkan dan mengembangkan daerahnya di masa yang akan datang. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk pengembangan serta menjadi sumber informasi atau masukan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang yang sama. 4. Bagi Akuntansi Sektor Publik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi untuk para Instansi Akuntansi Sektor Publik Kota Bandung untuk memahami mengenail Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Instansi Pemerintah dengan baik.

1.5 Lokasi dan Waktu Dalam rangka untuk memperoleh data yang dibutuhkan oleh peniliti dalam penulisan skripsi ini, peniliti melakukan penelitian pada ppmerintah Kota Bandung. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Desember 2013 sampai dengan selalesai.