JST Kesehatan, Januari 2019, Vol. 9 No. 1 : 85 92 ISSN 2252-5416 EFEKTIVITAS SODIUM DIVALPROAT SEBAGAI TERAPI AJUVAN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA SKIZOFRENIA PARANOID YANG DIBERI HALOPERIDOL The Effectiveness of Divalproat Sodium as Adjuvant Therapy on the Improvement of Paranoid Schizophrenic Patients Given Haloperidol 1 Sukmawaty Machmud, 2 Theodorus Singara, 3 Nur Aeni M.A. Fattah 1 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: sukmamachmud@gmail.com) 2 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: theosingara@yahoo.co.id) 3 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: andinuraenifattah@yahoo.com) ABSTRAK Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang berat yang merupakan penyakit di bidang psikiatri. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas Sodium Divalproat sebagai terapi ajuvan terhadap perbaikan gejala skizofrenia paranoid yang diberi haloperidol. Penelitian ini dilakukan secara eksperimental terhadap total 30 pasien skizofrenia paranoid yang dirawat inap di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel dibagi menjadi kelompok kontrol yang hanya mendapat antipsikotik haloperidol sebanyak 15 orang dan kelompok terapi ajuvan yang terdiri atas 15 orang pasien yang mendapat terapi haloperidol dan sodium valproate. Respon terapi dinilai melalui skor PANSS positif pada awal terapi, minggu pertama terapi, dan minggu kedua terapi. Melalui analisis statistik tidak didapatkan perbedaan nilai signifikansi yang bermakna antara perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid yang berulang antara kelompok kontrol dan kelompok terapi ajuvan. Meskipun demikian, kelompok terapi ajuvan sodium divalproat terlihat mengalami perbaikan gejala yang lebih baik, terutama pada inisiasi terapi yang berarti bahwa kelompok ini lebih cepat mengalami respon klinis dibandingkan kelompok kontrol. Kata kunci: Skizofrenia paranoid, antipsikotik haloperidol, sodium divalproat, gejala positif ABSTRACT Schizophrenia is a severe mental disorder that is a disease in the field of psychiatry. The aim of the research was to determine the effectiveness of divalproat sodium as adjuvant therapy on the improvement of paranoid schizophrenic patients given haloperidol. The research was an experimental study with a total number of 30 paranoid schizophrenic inpatients in RSKD of South Sulawesi Province. They were divided into control group who were only given haloperidol antipsychotics consisting of 15 patients and adjuvant therapy group consisting of 15 patients given haloperidol therapy and valproat sodium. Therapy response was assessed through positive PANSS score at the beginning of therapy, i.e. the first week of therapy and the second week of therapy. The data were analyzed using Statistic analysis. The results of the research indicate that there is no significant different value of the improvement of recurrent positive symptoms of paranoid schizophrenic between the control group and the adjuvant therapy group. Nevertheless, the adjuvant therapy group of divalproat sodium appears to have a better symptom improvement especially at the beginning of therapy, which means that this group more rapidly experiences clinical response than the control group. Keywords: Paranoid schizophrenia, haloperidol antipsychotics, divalproat, positive symptoms 85
Sukmawaty Machmud ISSN 2252-5416 PENDAHULUAN Skizofrenia adalah Gangguan jiwa yang berat yang merupakan penyakit di bidang psikiatri. Penyakit ini muncul 1,4 kali lebih sering kalangan pria dibandingkan wanita dan biasanya muncul lebih awal di kalangan pria (Smith et al., 2010). Sebanyak 1,7 juta kunjungan ke ruang gawat darurat pertahun melibatkan pasien dengan gejala positif dan 20% - 50% dari kunjungan darurat psikiatri di Amerika Serikat melibatkan pasien yang berisiko memperlihatkan gejala positif skizofrenia. Skizofrenia (seb anyak 27%) dan gangguan bipolar yang umumnya memperlihatkan gejala positif. Gejala positif pada pasien skizofrenia atau gangguan bipolar dapat dipercepat atau diperburuk oleh faktor yaitu lakilaki, usia yang lebih muda, riwayat penyalahgunaan zat, ketidakpatuhan menggunakan antipsikotik (Sadock et al., 2013). Kebanyakan pasien skizofrenia, memperlihatkan beberapa episode akut dengan gejala positif yang memerlukan perawatan di rumah sakit selama perjalanan penyakit mereka, dan hampir dari 20% dari pasien-pasien ini membutuhkan pengobatan untuk gejala positifnya. Pasien dengan gejala positif yang dihubungkan dengan skizofrenia paranoid berisiko untuk mencelakai diri mereka sendiri atau orang lain sehingga membutuhkan pengobatan untuk mengontrol gejala dengan cepat (Sadock et al., 2013). Terdapat lima subtype skizofrenia, yaitu: Skizofrenia Paranoid, disorganized schizophrenia, catatonic schizophrenia, undifferentiated schizophrenia, dan residual schizophrenia. Obat antipsikotik utama yang paling sering digunakan untuk penanganan skizofrenia paranoid adalah antipsikotik golongan tipikal, yaitu haloperidol dengan dosis maksimal 30 mg/hari. Haloperidol merupakan obat yang paling utama pada penatalaksanaan semua tipe skizofrenia (Tjay & Rahardja, 2007). Alasan masih digunakannya haloperidol karena efikasi biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan kombinasi antipsikotik atipikal lebih tinggi dari haloperidol, dikarenakan harga satuan oral atipikal yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga satuan oral tipikal, yaitu haloperidol dan hal ini juga akibat dari lama rawat inap yang lebih panjang pada penggunaan atipikal dibandingkan dengan kelompok penggunaan antipsikotik tipikal. Adanya bukti-bukti penanganan skizofrenia dengan memakai antipsikotik yang memakai dasar hipotesis dopamin kurang relevan lagi. Bukti-bukti tersebut menunjukkan gejala inti skizofrenia paranoid berupa gejala positif, ternyata tidak berespon baik terhadap antipsikotik yang bersifat antagonis dopamin. Bukti-bukti ini mengakibatkan timbul dugaan bahwa gejalagejala inti tersebut tidak berkaitan dengan aktifitas dopamin saja. Oleh karena itu, hipotesis dopamin tersebut direvisi kembali dengan memasukkan neurotransmiter lainnya, misalnya serotonin, glutamat dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang saling berinteraksi sehingga orang menderita skizofrenia (Amir, 2009). Akhir-akhir ini, banyak dilakukan penelitian tentang obat-obat skizofrenia salah satunya obat golongan mood stabilizers. Mood stabilizers saat ini menjadi salah satu kunci dari terapi dari pasien skizofrenia yang tidak mampu diatasi hanya dengan pemberian antipsikotik saja. Secara internasional saat ini banyak dilakukan penambahan terapi termasuk mood stabilizers pada pasien skizofrenia sebagai terapi adjuvan (Kang et al., 2011). Obat tambahan ini bisa digunakan untuk mengurangi gejala dan keluhan seperti agresivitas atau gejala positif pada skizofrenia paranoid (Murray et al., 2008). Salah satu laporan kasus dari India. Seorang laki-laki, belum menikah, umur 30 tahun, berat badan 62 kg, sejak tahun 2007 dengan keluhan utama halusinasi auditorik dan ideas of reference, mengalami penarikan diri dan mengalami hendaya dalam pekerjaan sehari-hari. Pasien tidak mempunyai riwayat gangguan mood. Pasien didiagnosis skizofrenia paranoid. Diberikan terapi risperidon 8 mg/hari dalam dosis terbagi dan fluoxetine 80mg/hari dalam dosis terbagi. Terapi ini memberikan respon yang baik dalam memperbaiki hendaya pasien dalam bekerja sebagai machinery. Tetapi gejala halusinasi auditoriknya tidak berhenti, suara-suara itu selalu mengkritiknya. Kemudian oleh psikiaternya dicoba diberikan sodium divalproat sebagai terapi adjuvan dengan antipsikotik dan antidepresan dengan dosis yang sama dengan sebelumnya. Pasien diberi sodium divalproat dengan dosis 1700 mg/hari dalam dosis terbagi. Hasilnya halusinasi auditorik pasien berkurang 75% dengan 86
Skizofrenia paranoid, antipsikotik haloperidol, sodium divalproat, gejala positif ISSN 2252-5416 nilai PANSS 2 dan 3 (mild symptoms) pada item P3/halusinasi. Penelitian sebelumnya oleh Ping-Tao et al (2016), yang merupakan studi meta-analisis dari Taiwan yang dilakukan pada Agustus 2016 dengan menggunakan skala BPRS dan PANSS. Penelitian ini melibatkan sebanyak 889 memperlihatkan gejala positif. Sebanyak 436 pasien skizofrenia diberikan terapi haloperidol ataupun risperidon dengan penambahan valproat dan 453 diberikan antipsikotik (diberikan haloperidol atau risperidone secara acak) saja. Hasilnya terdapat perbaikan psikopatologi yang signifikan daripada yang hanya diberikan antipsikotik saja. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Sodium Divalproat sebagai terapi ajuvan terhadap perbaikan gejala skizofrenia paranoid yang diberi haloperidol. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Unit Gawat Darurat (UGD) dan rawat inap (bangsal) Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Sulawesi Selatan, selama bulan Agustus 2017. Desain dan Variabel Penelitian Penelitian ini adalah quasi-experimental design dengan pendekatan rancangan pre-test post-test with Control Time Series Design. Variabel penelitian terdiri dari: variabel bebas (antipsikotik tipikal dan moodstabilizer), variabel tergantung (perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid), variabel antara ( ketidakseimbangan neurotransmitter otak), dan variabel kendali (pendidikan, umur dan lamanya terapi). Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis skizofrenia paranoid yang berulang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia paranoid yang memperlihatkan gejala positif dan telah berulang masuk ke RSKD Sulawesi Selatan yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Metode Pengumpulan Data Setiap pasien skizofrenia paranoid yang memenuhi kriteria inklusi pada kelompok penelitian, akan dicatat identitasnya. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai maksud dan tujuan penelitian. Subyek selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang diberikan terapi adjuvan sodium divalproat dan haloperidol dengan kelompok yang hanya diberikan haloperidol, yang merupakan kelompok kontrol. Mengukur PANSS awal sebelum penelitian pada setiap kelompok di bangsal rawat inap RSKD. Melakukan pengukuran ulang nilai PANSS pada setiap kelompok, setelah mendapat terapi selama1 minggu dan 2 minggu. Melakukan pengolahan dan analisis data secara statistik dengan sistem komputerisasi. Teknik Analisis Data Melakukan pengolahan data dan analisis data secara statistik, dengan menggunakan paired t test dan independent sample t test kelompok yang mendapat terapi adjuvan sodium divalproat dengan kelompok kontrol. HASIL Telah dilakukan penelitian quasiexperimental design dengan pendekatan rancangan pre-test post-test with Control Time Series Design untuk mengetahui efektivitas Sodium Divalproat sebagai terapi ajuvan terhadap perbaikan gejala skizofrenia paranoid yang diberi haloperidol. Penelitian dilakukan di bangsal rawat inap RSKD Prov. SulSel mulai 7 Agustus sampai 21 Agustus 2017. Pada akhir penelitian diperoleh jumlah total sampel sebanyak 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi, yang terbagi atas dua kelompok sampel yaitu kelompok kontrol sebanyak 15 orang dan kelompok terapi adjuvan kontrol sebanyak 15 orang. Kelompok sampel dibagi dua, yaitu kelompok yang mendapat terapi adjuvan sodium divalproat 250 mg/8 jam/hari dan haloperidol 5 mg/8jam/hari dan kelompok yang hanya mendapatkan terapi haloperidol 5 mg/8jam/hari, yang merupakan kelompok kontrol. PANSS yang digunakan hanya skala positif untuk mengukur kedua kelompok sampel. Sebaran data diuji dengan uji Saphiro Wilk karena jumlah sampel pada data primer kecil (Tabel 1). 87
Sukmawaty Machmud ISSN 2252-5416 Tabel 1. Uji Normalitas Variabel-Variabel yang Dinilai dari Kedua Kelompok Statistic df Sig. Total PANSS Awal.961 30.331 Total PANSS Minggu I.944 30.116 Total PANSS Minggu II.908 30.051 Selisih PANSS Awal dan Minggu I.914 30.091 Selisih PANSS Awal dan Minggu II.958 30.273 Sumber: Data Primer, (2017) Total PANSS Awal adalah jumlah total PANSS sebelum dilakukan penelitian pada kedua kelompok sampel. Total PANSS Minggu I adalah jumlah total PANSS setelah mendapat terapi selama satu minggu pada kedua kelompok sampel. Total PANSS Minggu II adalah jumlah total PANSS setelah mendapat terapi selama dua minggu pada kedua kelompok sampel. Selisih PANSS Awal dan Minggu I adalah jumlah perbedaan antara Total PANSS minggu I terhadap Total PANSS Awal pada kedua kelompok sampel. Selisih PANSS Awal dan Minggu II adalah jumlah perbedaan antara total PANSS minggu II terhadap Total PANSS Awal pada kedua kelompok sampel. Masing-masing kelompok mempunyai nilai P > 0,05, maka dikatakan variabel pada data terdistribusi normal. Oleh karena itu dilakukan uji perbandingan uji t berpasangan untuk minggu pertama dengan minggu kedua untuk mengetahui perbedaan ratarata dua kelompok sampel (Tabel 2). Tabel 2. Uji T Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan Minggu Kedua Terapi dengan Haloperidol Rerata Perbaikan PANSS Awal terhadap Minggu I Rerata Perbaikan PANSS Awal terhadap Minggu II Paired t Test 95% CI Mean Std. Deviation Lower Upper Sig. (2-tailed) 5.000 4.209 2.669 7.331.000 9.600 6.967 5.742 13.458.000 Nilai P < 0,05 untuk minggu pertama dan minggu kedua pada kelompok kontrol maka hasil bermakna secara statistik (lampiran, Tabel 2). Nilai p < 0,05 pada minggu pertama dan minggu kedua untuk kelompok terapi adjuvan maka dapat dikatakan hasil bermakna secara statistik ( Tabel 3). Tabel 3. Uji T Berpasangan Skor PANSS Positif Minggu Pertama dan Minggu Kedua Terapi dengan Haloperidol dan Depakote Rerata Perbaikan PANSS Awal terhadap Minggu I Rerata Perbaikan PANSS Awal terhadap Minggu II Paired t Test 95% CI Mean Std. Deviation Lower Upper Sig. (2-tailed) 4.133 3.091 2.422 5.845.000 8.533 5.263 5.619 11.448.000 88
Skizofrenia paranoid, antipsikotik haloperidol, sodium divalproat, gejala positif ISSN 2252-5416 Deskriptif skoring PANSS positif pada kedua jenis terapi menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol pengukuran skoring PANSS total di awal penelitian dengan rerata 24,60±5,501. Setelah terapi minggu I nilai rerata PANSS total 19,60±4,911. Setelah terapi minggu II nilai rerata PANSS total 15,00±4,899. Sedangkan pada kelompok terapi adjuvant, didapatkan pengukuran skoring PANSS total di awal penelitian dengan rerata 24,00±3,873. Setelah terapi minggu I nilai rerata PANSS total 19,87±5,343 dan nilai rerata skor PANSS total setelah terapi minggu II adalah 15,47±6,232 (Tabel 4). Tabel 4. Deskriptif Skoring PANSS Positif Pada Kedua Jenis Terapi Terapi PANSS Min Max Mean Std. Deviation Haloperidol PANSS Total Awal 15 34 24.60 5.501 PANSS Total Minggu I 13 29 19.60 4.911 PANSS Total Minggu II 10 27 15.00 4.899 Selisih PANSS I 0 11 4.93 4.148 Selisih PANSS II 0 17 8.27 5.325 Haloperidol + Depakote PANSS Total Awal 16 31 24.00 3.873 PANSS Total Minggu I 12 27 19.87 5.343 PANSS Total Minggu II 8 26 15.47 6.232 Selisih PANSS I 0 8 4.13 3.091 Selisih PANSS II 0 17 8.53 5.263 Untuk mengetahui perbedaan rerata pada kedua kelompok sampel yang berbeda dilakukan uji parametrik Independent Sample t-test. Didapatkan perbaikan PANSS setelah terapi 1 minggu dan perbaikan PANSS setelah terapi 2 minggu, masing-masing nilai P >0,05 sehingga dikatakan hasil penelitian ini tidak bermakna secara statistik. Sehingga secara keseluruhan, penelitian ini tidak bermakna (Tabel 5). Tabel 5. Uji Perbandingan Skor PANSS Positif Terapi Haloperidol dengan Haloperidol dan Depakote Setelah 1 Minggu dan 2 Minggu 95% Confidence Interval of the Difference Sig. Lower Upper Perbaikan PANSS Setelah 1 Minggu.080-1.982 3.448 Perbaikan PANSS Setelah 2 Minggu.300-3.551 5.685 Independent Sample t-test PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak didapatkan perbedaan nilai signifikansi yang bermakna antara perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid yang berulang antara kelompok kontrol dan kelompok terapi ajuvan. Meskipun demikian, kelompok terapi ajuvan sodium divalproat terlihat mengalami perbaikan gejala yang lebih baik, terutama pada inisiasi terapi yang berarti bahwa kelompok ini lebih cepat mengalami respon klinis dibandingkan kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan perbaikan gejala positif pada pasien skizofrenia paranoid yang diberikan terapi adjuvan sodium divalproat dan haloperidol dengan yang diberikan haloperidol, yang merupakan kelompok kontrol berdasarkan PANSS 89
Sukmawaty Machmud ISSN 2252-5416 (Positive and Negative Syndrome Scale) Positif yang terdiri dari 7 item. Dengan memperhatikan variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status pernikahan, didapatkan data primer tersebut didapatkan nilai p > 0.05, sehingga disimpulkan bahwa berdasarkan variabel-variabel ini terdistribusi normal untuk jumlah keselurahan populasi sampel. Proporsi jenis kelamin sampel penelitian adalah laki-laki lebih banyak dibanding perempuan yaitu laki-laki sebanyak 24 orang (80%) dan perempuan sebanyak 6 orang (20%). Hal ini sesuai dengan Kaplan & Sadock (2007), bahwa lebih dari setengah dari semua pasien skizofrenia yang dirawat inap adalah laki-laki dan sepertiganya adalah perempuan yang pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenia pada perempuan adalah lebih baik dari hasil akhir pasien skizofrenia pada laki-laki, dalam hal ini skizofrenia pada laki-laki memiliki kecenderungan mengalami kekambuhan atau berulang. Salah satu faktor yang mendukung perempuan lebih sedikit dan hasil akhir skizofrenia lebih baik pada perempuan daripada laki-laki karena hormon estrogen yang dimiliki oleh wanita dapat mengatur sistem dopamin. Estrogen dapat mencegah peningkatan dopamin yang terjadi pada pasien skizofrenia atau dianggap estrogen sebagai protektorat terhadap skizofrenia (Lindamer et al., 2010). Berdasarkan karakteristik umur sampel penelitian, kelompok usia terbanyak 31-40 tahun sebanyak 12 orang (40,0%), kemudian kelompok umur 20-30 tahun sebanyak 10 orang (33,3%) dan kelompok umur 41-50 tahun berjumlah 8 orang (26,6%). Karakteristik ini sejalan dengan yang mengatakan bahwa gambaran psikotik pada skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja akhir dan pada pertengahan umur 30 tahun. Episode pertama psikotik sering muncul pada laki-laki pada umur awal 20-an sedangkan pada wanita akhir 20-an. Onset skizofrenia pada umur di bawah 10 tahun dan di atas 60 tahun sangat jarang terjadi (Sadock et al., 2013). Skizofrenia juga berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah akan semakin memperburuk prognosis skizofrenia. Pada penelitian ini, didapatkan untuk pendidikan tingkat SD sebanyak 7 orang (23,3%), tingkat SMP sebanyak 10 orang (33,3%), tingkat SMA 12 orang (40,0%) dan S1 sebanyak 1 orang (3,3%%). Dari data tersebut menunjukkan sebagian besar sampel berada pada tingkat pendidikan SD, dan SMP. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin kurang kemampuannya dalam mengolah stress dalam kehidupannya. Tingkat pendidikan secara tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan. Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka akan sulit seseorang mendapatkan pekerjaan. Sesuai dengan data penelitian ini, tampak bahwa sampel yang tidak bekerja sebanyak 17 orang (56,7%) dan yang bekerja 13 orang (43,3%). Dengan tidak bekerjanya seseorang maka tingkat perekonomian juga akan rendah, penghasilan yang didapat tidak akan mampu mencukupi kebutuhan keluarga terutama bagi yang telah menikah. Sehingga dari sampel tampak jumlah sampel yang menikah 17 orang (56,7%) dan tidak menikah 13 orang (43,4%). Salah satu faktor stressor yang cukup tinggi dan menekan adalah masalah perekonomian. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa perbaikan skor PANSS positif setelah terapi minggu pertama didapatkan nilai p = 0,08, dan setelah minggu kedua didapatkan nilai p = 0,3. Hasil nilai ini diperoleh dari uji perbandingan dengan uji independent T test antara dua kelompok sampel. Dari uji perbandingan tersebut didapatkan hasil tidak bermakna karena masingmasing nilai p > 0,05. Hal ini menunjukkan pada minggu pertama penambahan terapi sodium divalproat cukup memberikan hasil yang baik dibanding penambahan terapi sodium divalproat setelah minggu kedua. Sehingga memberi kesan, bahwa penambahan sodium divalproat dapat membuat PANSS positif lebih baik pada minggu I dibandingkan pada terapi selanjutnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ping-Tao et al (2016), pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi tambahan sodium divalproat selain antipsotik sebagai obat utama. Penelitian ini menggunakan sampel 889 penderita skizofrenia yang mendapat monoterapi antipsikotik haloperidol atau risperidon. Sebanyak 436 pasien mendapatkan terapi adjuvan sodium divalproat dan antipsikotik monoterapi dan sebanyak 453 pasien yang hanya mendapat monoterapi. 90
Skizofrenia paranoid, antipsikotik haloperidol, sodium divalproat, gejala positif ISSN 2252-5416 Hasil penelitian adalah terjadi perbaikan yang signifikan pada penggunaan valproat di awal terapi, dalam hal menurunkan gejala permusuhan dan agresi. Pengobatan dengan terapi adjuvan lebih signifikan pada awal terapi dibandingkan dengan pengobatan dalam waktu yang lama. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa diantara semua subtype skizofrenia, skizofrenia paranoid yang memberikan hasil perbaikan yang signifikan dengan terapi adjuvan sodium divalproat dibanding subtype skizofrenia yang lain. Penambahan sodium divalproat bermanfaat pada terapi di minggu I karena kerja sodium divalproat meningkatkan konsentrasi plasma/serum dari antipsikotik, dalam hal ini haloperidol sehingga kerja haloperidol lebih kuat dibanding apabila haloperidol diberikan sebagai monoterapi. Sodium divalproat utamanya bekerja mengurangi eksitasi glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi mayor yang mengeksitasi neuron-neuron di otak (master swcith). Dengan cara mengurangi influx natrium ke dalam sel neuron (Stahl, 2013), menyebabkan berkurangnya eksitasi sel neuron terutama glutamat sehingga gejala positif akan berkurang. Sodium divalproat bekerja ikut menghambat dopamin melalui pelepasan GABA, melalui mekanisme kerja meningkatkan keluaran dan mengurangi reuptake GABA dan memperlambat inaktifasi GABA pada sel GABAergik. GABA adalah neurotransmitter yang penghambat di otak. Adapun kerja dari terapi adjuvan sodium divalproat hanya pada terapi minggu pertama atau hanya bermanfaat di awal terapi karena adanya kondisi statis dinamis internal tubuh yang relatif dipertahankan secara konstan terhadap berbagai rangsang yang menyebabkan setiap sel neuron dengan kerjanya yang spesifik selalu mempertahankan homeostatis. Sehingga jika sel neuron telah menjadi homoestatis akan ion natrium, maka peranan sodium divalproat untuk mengurangi influx ion natrium, tidak diperlukan lagi. Keterbatasan dari penelitian ini adalah kurangnya jumlah sampel dan masa pengamatan yang singkat, sehingga tidak dapat menentukan efek terapi adjuvan dan efek samping sodium divalproat pada fase terapi selanjutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara perbaikan gejala positif skizofrenia paranoid yang berulang antara kelompok yang mendapat terapi haloperidol yang merupakan kelompok kontrol dengan kelompok yang mendapat terapi adjuvan sodium divalproat terhadap haloperidol. Penderita skizofrenia paranoid yang berulang yang mendapatkan adjuvan sodium divalproat terlihat mengalami perbaikan gejala yang lebih baik dibanding penderita skizofrenia paranoid yang berulang yang tidak mendapatkan adjuvan sodium divalproat, terutama pada minggu pertama. Penderita skizofrenia paranoid yang mendapatkan adjuvan sodium divalproat lebih cepat mengalami respon klinis dibanding penderita skizofrenia paranoid yang. Terapi adjuvan sodium divalproat bermanfaat untuk pengobatan pada minggu pertama. Peneliti menyarankan agar penggunaan sodium divalproat sebagai terapi adjuvan dapat menjadi pertimbangan untuk percepatan perbaikan gejala pada penderita skizofrenia paranoid yang berulang. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan kontrol antipsikotik yang lebih beragam, dengan menggunakan instrumen penilaian yang berbeda, dengan desain teracak buta ganda (randomized double blind control trial) dan penelitian pada center pendidikan lainnya (multicenter). DAFTAR PUSTAKA Amir N. (2009). Interaksi Neurotransmitter pada skizofrenia dan Implikasi Terapeutiknya. Perjalanan Panjang Skizofrenia. Makalah disajikan dalam Kongres International WPA Regional Meeting Mental Health Disaster, yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa. Jakarta, Beyond Emergency Respone, Nusa Dua Bali, Indonesia. Kang S et al. (2011). Adjunctive Moodstabilizer Treatment for Hospitalized Schizophrenia Pateints, Asia Psychotyropic Prescription Study (2001-2008). International Journal of Neuropshicofarmacology. 1157-2264. Kaplan & Saddock. (2007). Schizophrenia in Synopsis of Psychiatry. Ed 10 th. New York: 467-97. Lindamer et al. (2010). Estrogen, and Schizophrenia. Psychiatryonline.org. American Psychiatric Association, 2004. 91
Sukmawaty Machmud ISSN 2252-5416 Web. 16 Nov. 2010. Available from: http://focus.psychiatryonline.org/cgi/content /full2/1/138. Murray R.M. et al. (2008). Schizophrenia and Related Disorder. Essential Psychiatry Fourth Edition. United States of America: Cambride University Press. Ping-Tao T. et al. (2016). Significant Effect of valproate Augmentation Therapy in Patients With Schizophrenia. Medicine (94(4): E2475. Sadock B.J. et al. (2013). Kaplan and Sadock s Synopsis of Psychiatry Ninth Edition. Philadelphia, USA: Pippincot Williams and Wilikins. Smith T.W et al. (2010). Schizophrenia Maintenance Treatment. AM fam Physician. 82(4): 338-339. Stahl S.M. (2013). Stahl s Essential Psychopharmacoloy Neuroscientific Basis and Practical Application fourth edition. New York: Cambrige Medicine Press. Tjay H. T. & Rahardja K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi 6. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: PT Gramedia. 92