7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Ayam Sentul Ayam lokal di Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam lokal merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam lokal yang terdapat di Indonesia beragam penampilannya, dan penyebarannya cukup luas di desa maupun di kota. Hal ini menunjukkan bahwa ayam lokal punya potensi yang baik untuk dikembangkan, terutama dimanfaatkan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menaikkan pendapatan keluarga. Indonesia memiliki banyak rumpun unggas lokal yang berpotensi tinggi untuk pengembangan peternakan (Sarwono 1990). Taksonomi ayam lokal menurut Sarwono (2003) yaitu: Kingdom Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Aves : Neonithesh : Galiformers : Phasianidahe : Gallush : Gallus Domesticus Ayam lokal sekarang ini telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan morfologi yang beraneka ragam dan nama menurut daerah atau lokasi asal berkembangnya. Saat ini terdapat 31 rumpun ayam lokal yang mempunyai ciri
8 spesifik dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial pedaging atau petelur (Sartika dan Iskandar, 2007). Rumpun-rumpun tersebut diantaranya adalah ayam Pelung, ayam Kedu, ayam Nunukan, ayam Gaok, dan ayam Sentul. Ayam sentul merupakan ayam lokal yang terdapat di daerah Ciamis (Jawa Barat). Ayam sentul mempunyai bulu yang didominasi warna abu-abu serta memiliki beberapa variasi warna yaitu abu-abu tua, abu-abu muda, abu-abu kecokelatan, abu-abu kemerahan dan abu-abu keputihan (Sulandari dkk., 2007). Sartika dan Iskandar (2007) mengklasifikasi ayam sentul yang didasarkan atas warna bulunya menjadi lima jenis yaitu sentul kelabu, sentul geni, sentul batu sentul debu, dan sentul emas Nataamijaya (2005) menyatakan bahwa populasi ayam Sentul di Kabupaten Ciamis tidak lebih dari 1000 ekor dan tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Ciamis. Ayam Sentul dipelihara secara semi intensif dan dapat dijadikan komoditas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Ciamis (Iskandar dkk., 2004). Menurut Diwyanto dkk., (2011) ayam Sentul mempunyai keunggulan yaitu sebagai penghasil daging dan telur (tipe dwi guna), bobot badan ayam Sentul jantan 1,3-3,5 kg dan ayam betina 0,8 2,2 kg, produksi telur 118 butir/tahun. 2.2. Deskripsi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan tanaman buah yang berasal dari hutan tropis di kawasan Asia Tenggara (Malaysia atau Indonesia). Buah manggis berbentuk bola yang berdiameter sekitar 3-8 cm, kulitnya berwarna ungu kemerahan dan di dalamnya terdapat beberapa segmen daging buah berwarna putih. Di Indonesia manggis dikenal dengan berbagai macam nama lokal seperti manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung), manggusto (Sulawesi Utara), maupun manggista (Sumatera Barat) (Cahyo, Agus. 2011). Pusat penanaman pohon
9 manggis adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Prihatman, 2000). Klasifikasi tanaman manggis menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut: Kerajaan Kelas Sub-kelas Bangsa Suku Marga : Plantae : Magnoliposida : Dilleniidae : Theales : Clusiaceae : Garcinia Jenis : Garcinia manggostana L. Menurut Iswari (2011) kulit buah manggis merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam buah manggis, yaitu 70-75% sedangkan bagian lainnya yaitu daging buah 10-15% dan bijinya 15-20 %. Menurut Permana (2010), kandungan nutrisi yang terdapat dalam kulit manggis adalah air 5,87%, abu 2,17%, lemak 6,45%, protein 3,02%, total gula 2,10%, dan karbohidrat 82,50%. Kulit manggis merupakan cangkang yang dibuang oleh konsumen atau dapat disebut sebagai limbah hasil pertanian. Sejauh ini pemanfaatan kulit manggis hanya untuk penyamakan kulit, obat tradisional dan bahan pembuat zat antikarat serta pewarna tekstil. Kulit buah manggis diketahui mengandung senyawa xanthone sebagai antioksidan, antiproliferativ, dan antimikrobial yang tidak ditemui pada buah-buahan lainnya. Senyawa xanthone meliputi mangostin, mangostenol A, mangostinon A, mangostinon B, trapezifolixanthone, tovophyllin B, alfa mangostin, beta mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin dan gartanin. Senyawa-senyawa tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan (Qosim, 2007).
10 Xanthone merupakan komponen antioksidan paling penting dalam kulit manggis, kandungan xhantone pada kulit buah manggis 27 kali lebih banyak daripada yang terkandung pada daging buah manggis (Mardiana L. 2011). Adanya kandungan xanthone dalam kulit manggis bertindak sebagai antioksidan, antiproliferatif (penghambat pertumbuhan kanker), antiinflamasi, dan antimikrobial. Menurut Mardawati, ddk, (2008) xanthone merupakan kelompok senyawa bersifat antioksidan, antibakteri, antifungi, antialergi, antitumor, antihistamin, dan antiinflamasi. Antioksidan membantu mengenyahkan radikal bebas, menghambat penuaan, meningkatkan system kekebalan tubuh, mengontrol penyakit degenerative seperti arthritis, sebagai terapi untuk penyakit kardiovaskular semisal hipertensi, penyakit jantung iskemik dan atherosclerosis. 2.3. Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara pemisahan komponen tertentu dari suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat terlarut di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen aktif. Metode ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat (Bernardini, 1983). Terdapat beberapa cara yang sering digunakan dalam melakukan ekstraksi antara lain: perkolasi, perendaman atau maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi. Metode ekstraksi yang digunakan bergantung pada tekstur bahan, kandungan air contoh, dan jenis senyawa yang akan diekstraksi. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan
11 yaitu maserasi. Kelebihan metode ini relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kelemahan metode ini diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu maserasi sederhana, maserasi kinetik, dan maserasi menggunakan tekanan (List dan Schmidt, 1989). Maserasi adalah suatu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dalam suatu pelarut baik tunggal ataupun campuran dengan lama waktu tertentu (umumnya 1-2 hari perendaman) tanpa pemanasan (Houghton dan Rahman, 1998). Perendaman bahan yang dilakukan pada proses maserasi akan dapat menaikkan permeabilitas dinding sel melalui tiga tahapan: (1) masuknya pelarut ke dalam dinding sel dan membengkakannya, (2) senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan masuk ke dalam pelarut, (3) difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel. Proses ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu lama ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne, 1996). 2.4. Performa 2.4.1 Konsumsi Ransum Ransum adalah campuran berbagai bahan pakan yang diberikan kepada ternak untuk mencukupi kebutuhannya (Pond dkk., 1995). Konsumsi ransum merupakan ukuran untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi seekor ternak setiap ekor per hari. Kebutuhan unggas yang paling utama yaitu energi dan protein,
12 sedikit vitamin dan mineral. Zat-zat tersebut diperoleh unggas dari pakan/ransum yang dikonsumsi setiap hari (Wahju, 1984). Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada di dalam ransum yang telah tersusun dari berbagai bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam (Rasyaf, 1994). Menurut Tilman dkk. (1986), sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memperoleh energi sehingga ransum yang dimakan tiap harinya cenderung berhubungan dengan kadar energinya. Wahju (1984) menyatakan bahwa konsumsi akan meningkat bila diberi ransum yang berenergi rendah dan menurun bila diberi ransum yang berenergi tinggi, banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum broiler diantaranya besar dan bangsa ayam, luas kandang, tingkat energi dan protein dalam ransum. Church (1979), menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan warna pakan yang diberikan. Konsumsi ayam dapat pula dipengaruhi oleh kapasitas tembolok. Meskipun kebuhtuhan energinya belum terpenuhi, namun ayam akan berhenti makan apabila temboloknya sudah penuh (Tilman, dkk, 1986). Rasyaf (1992), menyatakan bahwa tembolok merupakan alat pencernaan pertama sebelum masuk ke proses berikutnya, sebagai alat pencernaan pertama yang sifatnya sebagai penampung, kapasitas tembolok tidak banyak atau terbatas. Cahyono (2001) menyatakan bahwa ransum yang baik harus mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah berimbang, selain memperhatikan kualitas pemberian ransum juga harus sesuai dengan umur ayam karena nilai gizi dan jumlah ransum yang diperlukan pada setiap pertumbuhan berbeda.
13 2.4.2. Konversi Ransum Menurut North dan Bell (1990), konversi ransum adalah unit ransum yang diperlukan untuk menghasilkan unit pertambahan bobot badan. Dinyatakan juga bahwa Konversi ransum (Feed Converse Ratio) adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu minggu dengan pertambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu, bila rasio kecil berarti pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan dengan efisien. Hal ini dipengaruhi oleh besar badan dan bangsa ayam, tahap produksi, kadar energi dalam ransum, dan temperatur lingkungan (Rasyaf, 2004) Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan ransum serta kualitas ransum.. Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf, 1994). Semakin tinggi konversi ransum menunjukan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat dan semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin sedikit ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat sehingga memiliki nilai efisiensi lebih baik. 2.4.3. Pertambahan Berat Badan Pertumbuhan pada hewan bermula dari sel telur yang telah dibuahi dan berlanjut sampai dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan berat yang dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang tiap minggu atau tiap waktu lain (Tilman dkk, 1986). Pertumbuhan ayam mencakup pertumbuhan dalam bentuk berat jaringanjaringan pembangun seperti: tulang, jantung, otak, dan semua jaringan tubuh
14 lainnya (kecuali jaringan lemak) dan alat-alat tubuh. Anggarodi (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang tertimbun dalam tubuh, sedangkan penambahan lemak/penambahan air bukanlah pertumbuhan murni. Menurut Morison (1967), pertambahan berat badan merupakan akibat membesarnya jaringan-jaringan otot dan jaringan lainnya yang terbentuk dengan peningkatan bahan-bahan seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air. Hal ini terjadi pada ternak yang masih muda sedangkan pada ternak yang dewasa dalam bentuk penimbunan lemak yang lebih banyak. Pertumbuhan ayam pedaging dibutuhkan ransum yang banyak mengandung protein karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun, pengganti sel yang rusak dan berguna untuk pembentukan telur (Wibowo, 1996). Wahju (1992) menyatakan bahwa, kebutuhan protein per hari untuk ayam pedaging yang sedang bertumbuh dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, protein untuk hidup pokok dan protein untuk pertumbuhan bulu. Pertumbuhan sangat erat hubungannya dengan konsumsi, dan diperkirakan 63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan karena menurunnya konsumsi ransum dari ayam. Suhu tinggi dan saat ayam dalam keadaan stress, akan menurunkan pertumbuhannya karena konsumsi ransum yang menurun (Leeson dan Summer, 1991). Waskito (1983) mengemukakan bahwa ransum merupakan salah satu faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan, oleh karena itu untuk mencapai pertumbuhan yang optimal sesuai dengan potensi genetik diperlukan suatu ransum yang mengandung cukup unsur gizi secara kualitatif dan kuantitatif, dengan demikian ada hubungan antara pertumbuhan dengan konsumsi ransum. Pertambahan bobot badan ayam sentul pada minggu 1 sampai minggu ke 6 melaju
15 dengan lambat, namun pada minggu ke-7 sampai minggu ke 12 pertambahan bobot badan ayam sentul melaju dengan lebih cepat (Susanti, 2009). Tingkat pertumbuhan masa starter ayam Sentul masih lebih lambat dibandingkan dengan beberapa rumpun ayam lokal lain di Indonesia (Creswell dan Gunawan, 1982).