I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah keragaman Kota Medan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, namun di sisi lain juga mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Setiap aktivitas manusia pada umumnya menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi terhadap barang/material yang digunakan sehari-hari. Demikian juga, jenis sampah sangat tergantung dari jenis material yang dikonsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan gaya hidup masyarakat (Ginting, 2004). Ketika jumlah manusia masih sedikit dan sampah bersifat organik dalam mengatasi sampah cukup dengan membuangnya jauh-jauh dan alam masih dapat melakukan self purification. Namun ketika terjadi revolusi industri dan telah ditemukannya bahan-bahan baru dari proses sintesis kimia yang sulit diuraikan oleh alam, dan manusia berkembang sangat pesat serta berkembangnya pola konsumerisme, sampah mulai bermasalah. Prinsip membuang jauh-jauh tidak dapat dilaksanakan lagi karena tempat yang jauh sudah tidak ada lagi sudah penuh dengan manusia, dan tidak ada satu tempat pun yang dihuni manusia mau menerima sampah. Setuju tidak setuju sampah akan dibuang pada satu tempat yang jauh dari pemukiman 1
sebagai pembuangan akhir yang disebut sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) (Ginting, 2004). Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh dilakukan beberapa alternatif meminimalisasi sampah diantaranya beberapa jenis industri mendisain ulang produk-produk yang dirancang berasal dari bahan yang dapat didaur ulang. Dengan adanya sampah yang dapat diproses daur ulang ini, timbul mata pencaharian baru bagi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah yang beroperasi di lokasi penampungan sampah sebagai pemulung. Di Indonesia tercatat angka pemulung sampah pada tahun 1998 sebanyak 9,96% dari total penduduk di Indonesia dan setiap tahun terjadi penambahan. Angka tersebut tersebar paling banyak di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Purwokerto, Menado (BPS, 2004). Untuk Kota Medan belum ada angka perolehan yang pasti, namun diperkirakan tidak jauh berbeda dengan persentase dari pemulung di Indonesia. Kota Medan sebagai kota metropolitan, memiliki luas 265,1 km 2, yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Jumlah timbunan sampah pada 2009 mencapai 887,75 ton/hari dengan komposisi 47,2% organik dan 52,8 non organik. Untuk mengoptimalkan dan memperbaiki tingkat pelayanan sampah di Kota Medan maka Kota Medan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah pelayanan. Pada setiap daerah pelayanan terdiri dari 7 kecamatan (Badan Lingkungan Hidup, 2009). Sampah dari wilayah pelayanan Medan I dan Medan II dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang, terletak di Kelurahan Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu,
Kabupaten Deli Serdang, berjarak 16 km dari pusat kota yang luasnya 18,5 Ha, dapat menampung sampah sebanyak 550.000 m 3 dan telah dioperasikan sejak tahun 1988, sedangkan wilayah pelayanan III dibuang ke TPA Terjun, yang terletak di Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, berjarak 9 km dari pusat Kota Medan (Setyowati, 2007). TPA Terjun merupakan TPA yang baru. Luas TPA Terjun adalah 13,8 Ha, dengan daya tampung 500.000 m 3 dan telah beroperasi sejak tahun 1993 yang menampung seluruh jenis sampah termasuk sampah dari kawasan industri (Badan Lingkungan Hidup, 2009). Sistem pembuangan di TPA ini adalah open dumping, di mana sampah ditaburkan pada suatu lahan, kemudian diratakan dan dipadatkan. Ketinggian tumpukan sampah saat ini sudah mencapai kira-kira 7-8 meter tanpa pemilahan sampah, dengan air lindi yang tidak terolah dan tidak ada penanganan terhadap gas (Damanhuri, 1995). Jumlah pemulung di TPA Terjun bervariasi antara 200-300 orang. Pada saat sekarang ini jumlah pemulung diperkirakan ada 200 orang. Pemulung setiap harinya bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah. Sampah-sampah ini berasal dari buangan kegiatan produksi dan konsumsi manusia baik dalam bentuk padat, cair maupun gas merupakan sumber pencemaran lingkungan hidup dan merupakan sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik karena bisa menjadi sarang penyakit, menjijikkan dan menimbulkan bau tidak sedap (Hadiwiyoto, 1983). Salah satu masalah kesehatan pada masyarakat pemulung di TPA yang memerlukan perhatian serius adalah Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK). PKAK
merupakan salah satu bentuk dari penyakit akibat kerja yang menggambarkan berbagai keadaan yang terjadi pada kulit yang terpapar karena pekerjaan langsung atau faktor lingkungan. Walaupun tidak menimbulkan kematian, Penyakit Kulit Akibat Kerja dapat merugikan pekerja, menurunkan produktivitas, menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan biaya kerja (Rofiq, 2007). Penyakit Kulit Akibat Kerja sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja yang paling sering terjadi pada sebagian besar negara. Insiden PKAK berkisar dari 5 sampai 19 kasus per 10.000 pekerja setiap tahun (Taylor, 2008). Biro statistik tenaga kerja Amerika Serikat tahun 2003 mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja yang terdaftar menderita PKAK. Penyakit kulit tersering adalah dermatitis kontak, sebesar 21,3% yang merupakan terbanyak kedua (Taylor, 2008). Di Swedia dilaporkan PKAK sekitar 50% dari seluruh penyakit akibat kerja. Diperkirakan 20-25 laporan tentang PKAK mengakibatkan berhenti bekerja dan kehilangan sebagian hari pekerjaannya. Kesulitan melaporkan disebabkan faktor lingkungan kerja, faktor genetik dan faktor lain dari keadaan kulit seseorang seperti hygiene, ketrampilan pekerja dan adanya penyakit kulit yang berhubungan dengan dermatosis itu sendiri (Rofiq, 2007). Pemulung setiap harinya bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah. Risiko sebagai pemulung tentunya sangat besar sekali karena sampah tentunya mengandung banyak sekali bakteri-bakteri patogen akibat pembusukan zat-zat organik yang bisa masuk ke tubuh melalui pori pori, kulit dan pernafasan. Jika komponen zat berbahaya pada barang bekas tersebut masuk ke tubuh, maka akan
menyebabkan berbagai macam penyakit (Triyanto, 2009). Untuk ini perlu satu kajian sejauhmana sampah tersebut memberikan akibat pada kulit mereka yang setiap harinya kontak dengan sampah. Dari kajian ini tentunya dapat diharapkan diperolehnya suatu cara preventif dalam pekerjaan mereka untuk melindungi dari penyakit kulit yang berkepanjangan sehingga merugikan kesehatan para pemulung. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana keterpaparan pemulung sampah di TPA Terjun dapat menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Untuk mengetahui paparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. Tujuan Khusus: a. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap penyakit kulit akibat kerja. b. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat pelindung diri (memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan krim pelindung saat bekerja) terhadap penyakit kulit akibat kerja.
1.4. Hipotesis a. Ada hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap penyakit kulit akibat kerja. b. Ada hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat pelindung diri (memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan krim pelindung saat bekerja) terhadap penyakit kulit akibat kerja. 1.5. Manfaat Penelitian a. Memberikan masukan pada masyarakat khususnya para pemulung yang beroperasi di TPA Terjun terhadap risiko penyakit kulit akibat kerja. b. Untuk mencari solusi pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja yang berhubungan dengan sampah. c. Memberi masukan bagi pemerintah terkait khususnya Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja pada pemulung.