4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Peningkatan Kualitas Air Tanah Gambut dengan Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Rasidah a, Boni P. Lapanporo* a, Nurhasanah a

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

APLIKASI METODE ELEKTROKOAGULASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH COOLANT. Arie Anggraeny, Sutanto, Husain Nashrianto

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

BAB II AIR LIMBAH PT. UNITED TRACTORS Tbk

PENENTUAN KUALITAS AIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

RACE-Vol.4, No.1, Maret 2010 ISSN PENGARUH PASANGAN ELEKTRODA TERHADAP PROSES ELEKTROKOAGULASI PADA PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TEKSTIL

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurusan. Teknik Kimia Jawa Timur C.8-1. Abstrak. limbah industri. terlarut dalam tersuspensi dan. oxygen. COD dan BOD. biologi, (koagulasi/flokulasi).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

Gambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU. Surabaya, 12 Juli 2010

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

Serbuk Biji Kelor Sebagai Koagulan Harimbi Mawan Dinda Rakhmawati

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara langsung maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, limbah

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat

Menentukan Dimensi Setiap Peralatan yang Diperlukan Sesuai Proses yang Terpilih Menentukan Luas Lahan yang Diperlukan Menentukan Biaya Bangunan

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EFEKTIFITAS ELEKTROFLOKULATOR DALAM MENURUNKAN TSS DAN BOD PADA LIMBAH CAIR TAPIOKA

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

Bab V Hasil dan Pembahasan

III. METODOLOGI PENELITIAN

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

I. PENDAHULUAN. 2006), menjadi peluang besar bagi industri ini dalam pemanfaatan limbah untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBAIKAN KUALITAS AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam) DAN PAC (Poly Alumunium Chloride)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan. keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. air dapat berasal dari limbah terpusat (point sources), seperti: limbah industri,

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK PADA SKALA LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEKTROKOAGULASI

UJI TOKSISITAS LIMBAH CAIR BATIK SEBELUM DAN SESUDAH DIOLAH DENGAN TAWAS DAN SUPER FLOK TERHADAP BIOINDIKATOR (Cyprinus carpio L)

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyisihan Besi (Fe) Dalam Air Dengan Proses Elektrokoagulasi. Satriananda *) ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 1 (2017), Hal ISSN :

I. PENDAHULUAN. kesehatan lingkungan. Hampir semua limbah binatu rumahan dibuang melalui. kesehatan manusia dan lingkungannya (Ahsan, 2005).

PERBANDINGAN METODE ELEKTROKOAGULASI DENGAN PRESIPITASI HIDROKSIDA UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT RUSYADI WICAHYO AULIANUR

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan dan domestik (Asmadi dan Suharno, 2012). limbah cair yang tidak ditangani dengan semestinya. Di berbagai tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung

I. PENDAHULUAN. kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI FARMASI

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

Transkripsi:

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.5 Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga yang dipisahkan pada penelitian ini dilakukan pada dua jenis limbah cair yaitu limbah cair RPH dan limbah cair peternakan (PET). Pertumbuhan dilakukan pada bak kultivasi yang berukuran 50 cm x 30 cm x 35 cm. Sebelum dicampurkan dengan inokulum mikroalga limbah cair terlebih dahulu dilakukan karakterisasi. Tabel 1 menunjukkan karakteristik limbah cair RPH dan limbah cair peternakan yang digunakan sebagai media kultur. Tabel 1 Karakteristik limbah cair yang digunakan Parameter Satuan Nilai (awal) PET RPH TSS mg/l 300 340 Kekeruhan FTU 350 370 Warna PtCo 620 590 COD mg/l 176 136 Fosfat mg/l 19.32 17.25 + NH 4 mg/l 1.56 2.72 - NO 3 mg/l 2.13 1.80 ph 6.3 6.5 Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa beberapa kandungan senyawa organik yang ada pada limbah cair RPH dan limbah cair peternakan mendekati nilai baku mutu air limbah untuk usaha peternakan. Hal ini dapat dilihat pada nilai TSS limbah cair RPH yaitu 340 mg/l. Dengan demikian limbah cair RPH yang digunakan tergolong kedalam limbah tercemar karena melebihi baku mutu air limbah usaha peternakan sapi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2009 yaitu sebesar 300 mg/l. Untuk itu pengolahan diperlukan untuk menurunkan zat pencemar yang ada pada limbah tersebut. Dilihat dari nilai COD yaitu untuk limbah cair RPH sebesar 136 mg/l dan limbah cair peternakan sebesar 176 mg/l, nilai ini belum melebihi baku mutu air limbah yaitu 200 mg/l, namun untuk mengurangi beban pencemaran maka pengolahan melalui pemanfaatan limbah cair menjadi media pertumbuhan mikroalga menjadi suatu alternatif yang cukup baik untuk diterapkan.

Kandungan zat organik yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan mikroalga dan akan mencemari lingkungan. Untuk itu, untuk mengurangi kandungan bahan organik tersebut dilakukan penanganan pendahuluan (pretreatment). Penanganan pendahuluan yang dilakukan meliputi penyaringan. Penyaringan bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan zat terlarut berukuran besar yang ada pada limbah cair RPH dan limbah cair peternakan. Menurut Sirait et al. (2008), mengolah limbah secara aerobik memanfaatkan aktivitas mikroba aerob dalam kondisi aerob untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air limbah menjadi zat inorganik yang stabil dan tidak memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Menurut Kawaroe et al. (2010) unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri dari mikronutrien dan makronutrien. Makronutrien antara lain C, H, N,P K, S, Mg dan Ca. Sedangkan makronutrien yang dibutuhkan antara lain adalah Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si. Pertumbuhan mikroalga pada media kultur dapat diindikasikan dengan perubahan warna air yang awalnya jernih atau bening menjadi berwarna hijau. Warna hijau yang timbul menandakan keberadaan mikroalga karena mikroalga memiliki pigmen hijau atau klorofil. Mikroalga yang biasa dijumpai di danau dan di kolam adalah Chlorophyta (alga hijau) yang memiliki klorofil dan mampu melakukan fotosintesis (Kawaroe et al. 2010). Gambar 5 dan 6 menunjukkan limbah cair RPH dan limbah cair peternakan sebelum dan sesudah ditumbuhi mikroalga. Gambar 5 (a) Limbah cair RPH dan (b) media kultur (RPH).

Gambar 6 (a) Limbah cair peternakan dan (b) media kultur (peternakan). Waktu yang dibutuhkan mikroalga untuk tumbuh pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) adalah 12-14 hari. Pada media kultur (RPH), mikroalga tumbuh menyebar pada cairan, sedangkan pada media kultur peternakan mikroalga selain tumbuh menyebar di cairan juga sebagian besar berkumpul di permukaan media. Karakterisasi terhadap media kultur (RPH dan PET) dilakukan sebelum proses koagulasi/flokulasi diterapkan. Kondisi awal media kultur yang telah ditumbuhi mikroalga sebelum dipisahkan dinilai sebagai kondisi mikroalga pada kondisi tanpa penambahan dosis koagulan dan pengaturan ph (untuk koagulasi/flokulasi kimia) dan waktu kontak 0 menit (untuk koagulasi/flokulasi elektrik). Kondisi awal media kultur sebelum mikroalga dipisahkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada Tabel 2, nilai TSS yang diasumsikan sebagai jumlah mikroalga yang ada meningkat dari kondisi media kultur sebelum diinokulasikan (lihat Tabel 1). Beberapa parameter lain seperti COD dan konsentrasi fosfat mengalami penurunan. Hal ini menandakan bahwa zat organik yang terdapat pada media kultur dipergunakan untuk metabolisme mikroalga. Menurut Ginting (2007), penggunaan zat organik pada limbah menandakan terjadinya mekanisme pengolahan limbah cair secara biologis. Pengolahan limbah biologis yang terjadi pada penelitian ini terjadi secara aerobik. Mikroalga berperan dalam penyediaan oksigen untuk bakteri pengolah limbah. Hal ini terjadi karena mikroalga memiliki kemampuan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen.

Tabel 2 Karakteristik media kultur sebelum diberi perlakuan pendahuluan koagulasi Nilai Parameter Satuan Media kultur (PET) Media kultur (RPH) TSS mg/l 324 367 Kekeruhan FTU 379 390 Warna PtCo 800 720 COD mg/l 86.4 75.2 Fosfat mg/l 10.02 4.21 ph 6.7 7.3 4.2 Pemilihan Nilai Batasan Optimasi 4.2.1 Proses Koagulasi Kimia Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (Lampiran 1) dengan menggunakan analisa awal TSS, kekeruhan dan warna serta analisa lanjutan nilai COD, fosfat dan ph maka dipilih nilai-nilai ph dan dosis yang digunakan sebagai central (pusat) dengan kode 0 pada perancangan komposit terpusat. Gambar 7 (a) dan 7 (b) menunjukkan grafik hubungan dosis koagulan PAC terhadap parameter TSS. Pada Gambar 7 (a) yaitu untuk media kultur (RPH), hasil uji jar test pertama memberikan hasil TSS yang terendah (9 mg/l) adalah untuk perlakuan dengan dosis 50 mg/l pada ph 7.3. Selanjutnya dilakukan uji coba lagi dengan pengaturan ph yaitu pada ph 7 dan diperoleh 2 nilai TSS terendah yaitu 6 mg/l dan 7 mg/l pada dosis PAC 75 mg/l dan 125 mg/l, sehingga nilai ph dan dosis yang ditetapkan sebagai central adalah diantara nilai dosis PAC tersebut yaitu 100 mg/l pada ph yang sama (ph 7). Gambar 7 (b) dan 7 (c) menunjukkan hasil penelitian pendahuluan untuk uji pendahuluan jar test media kultur (peternakan) dengan koagulan PAC. Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah pada ph 7 dengan dosis PAC 225 mg/l.

TSS (mg/l) 35 30 25 20 15 10 5 0 25 (ph 7) 50 (ph 7,3) 75 (ph 7) 75 (ph 7,3) 100 (ph 7,3) 125 (ph 7) 125 (ph 7,3) 150 (ph 7,3) 175 (ph 7) Dosis PAC (mg/l) (a) TSS (mg/l) 50 40 30 20 10 0 50 75 100 125 150 175 200 225 Dosis PAC (mg/l) (b) TSS (mg/l) 50 40 30 20 10 0 6,5 6,75 7 7,25 7,5 7,75 8 ph Gambar 7 Grafik hubungan (a) dosis PAC terhadap nilai TSS pada media kultur (RPH) dan hubungan (b) dosis PAC serta (c) ph terhadap nilai TSS pada media kultur (peternakan). Hubungan dosis ferro sulfat dengan nilai TSS pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) ditunjukkan pada Gambar 8 (a) dan ( b). Pada Gambar 8 (a) dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah 8 mg/l dan 7 mg/l pada ph 6.5 dengan dosis ferro sulfat 60 mg/l dan 70 mg/l, sehingga dosis yang ditetapkan sebagai central adalah 65 mg/l dengan ph 6.5. Gambar 8 (b) menunjukkan hasil penelitian pendahuluan untuk uji pendahuluan jar test media kultur peternakan dengan koagulan ferro sulfat. Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah pada ph 6,5 dengan dosis ferro sulfat 110 mg/l. Nilainilai yang ditetapkan sebagai central secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3. (c)

TSS (mg/l) 50 40 30 20 10 0 30 40 50 60 70 100 150 200 250 300 Dosis ferro sulfat (mg/l) TSS (mg/l) 60 50 40 30 20 10 0 (a) 40 50 60 70 100 110 Dosis ferro sulfat (mg/l) (b) Gambar 8 Grafik hubungan dosis ferro sulfat terhadap nilai TSS pada (a) media kultur (RPH) dan (b) media kultur (peternakan). Tabel 3 Nilai-nilai ph dan dosis yang digunakan sebagai central No Perlakuan ph Dosis (mg/l) 1 Media kultur (RPH) dengan PAC 7 100 2 Media kultur (peternakan) dengan PAC 7 225 3 Media kultur (RPH) dengan ferro sulfat 6.5 65 4 Media kultur (peternakan) dengan ferro sulfat 6.5 110 4.2.2 Proses Koagulasi Elektrik Penetapan central (pusat) untuk teknik koagulasi elektrik yaitu berdasarkan pada hasil penelitian Afriyanti (2011) yang menyebutkan bahwa efisiensi pemisahan mikroalga yang terbaik menggunakan teknik koagulasi elektrik adalah pada input energi listrik 15 volt dengan waktu 40 menit. Taraf untuk faktor input energi listrik (X 1 ) yaitu -1 (10 volt) dan +1 (20 volt), dan taraf untuk faktor waktu (X 2 ) yaitu -1 (30 menit) dan +1 (50 menit). Tabel 4 menunjukkan matrik satuan percobaan yang diujikan pada penelitian utama.

Tabel 4 Matrik satuan percobaan Kode nilai RPH dengan PAC PET dengan PAC RPH dengan ferro sulfat PET dengan ferro sulfat RPH dan PET (elektrik) No Input energi X 1 X 2 ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) listrik (volt) Waktu (menit) 1-1 -1 6.5 75 6.75 200 6.25 60 6.25 100 10 30 2-1 1 6.5 125 6.75 250 6.25 70 6.25 120 10 50 3 1-1 7.5 75 7.25 200 6.75 60 6.75 100 20 30 4 1 1 7.5 125 7.25 250 6.75 70 6.75 120 20 50 5 0 0 7 100 7 225 6.5 65 6.5 110 15 40 6 0 0 7 100 7 225 6.5 65 6.5 110 15 40 7 0 0 7 100 7 225 6.5 65 6.5 110 15 40 8 1.414 0 7.7 100 7.4 225 6.85 65 6.85 110 22.07 40 9-1.414 0 6.3 100 6.6 225 6.15 65 6.15 110 7.98 40 10 0 1.414 7 135.35 7 260.35 6.5 72.07 6.5 124.14 15 54.14 11 0-1.414 7 64.64 7 189.65 6.5 57.93 6.5 95.86 15 25.86

4.3 Penentuan Optimasi Proses 4.3.1 TSS TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik (Huda 2009). Pada penelitian ini mikroalga yang dapat dipisahkan dilihat dari selisih nilai TSS sebelum dilakukan koagulasi sebagai perlakuan pendahuluan dan nilai TSS setelah dilakukan koagulasi. Pada koagulasi kimia digunakan dua jenis koagulan yaitu PAC dan ferro sulfat. Pengaruh yang diberikan pada kedua jenis media kultur yang digunakan menunjukkan hasil yang berbeda. Pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan PAC efisiensi tertinggi yaitu 99% didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 75 mg/l pada ph 6.5, sedangkan pada media kultur cair (peternakan) efisiensi tertinggi yaitu 99% didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 225 mg/l pada ph 7. Hasil yang didapatkan pada media kultur (RPH) berbeda dengan hasil perhitungan optimasi menggunakan metode respon permukaan, dimana nilai optimal untuk efisiensi TSS pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan PAC adalah 98% yang didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 100 mg/l pada ph 7, sedangkan pada media kultur (peternakan) nilai optimal untuk efisiensi TSS adalah 98% dengan penambahan PAC sebanyak 200 mg/l pada ph 7.25. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B. Perbedaan yang cukup besar terlihat pada dosis koagulan yang diberikan yaitu pada media kultur (peternakan) dosis yang diberikan jauh lebih besar daripada dosis yang diberikan pada media kultur RPH. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik yang cukup tinggi pada media kultur (peternakan) sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk dapat terkoagulasi dengan baik. Pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan ferro sulfat efisiensi tertinggi yaitu 99.18% didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 70 dan 65 mg/l pada ph 6.75 dan 6.5, sedangkan pada media kultur (peternakan) efisiensi tertinggi yaitu 98% didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 110 mg/l pada ph 6.5. Menurut hasil perhitungan optimasi menggunakan metode respon permukaan, nilai optimal untuk efisiensi TSS pada

media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan ferro sulfat adalah 99% yang didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 65 mg/l pada ph 6.5, sedangkan pada media kultur (peternakan) nilai optimal untuk efisiensi TSS adalah 81% dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 120 mg/l pada ph 6.75. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D. Penggunaan koagulan ferro sulfat pada perlakuan ini terutama untuk media kultur (peternakan) tidak sebesar penggunaan koagulan PAC yaitu hanya kurang lebih setengahnya, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan ferro sulfat untuk melakukan agregasi pada media kultur (peternakan) lebih kuat dibandingkan menggunakan PAC. Media kultur sesudah diberi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Gambar 9 (a) Media kultur (RPH) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC dan (b) media kultur (peternakan) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC. Gambar 10 (a) Media kultur (RPH) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat dan (b) media kultur (peternakan) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat.

Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan teknik koagulasi elektrik untuk media kultur (RPH) efisiensi tertinggi (79%) diperoleh pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) efisiensi tertinggi (67%) diperoleh pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit. Dilihat dari pengaruh waktu maka terdapat persamaan yaitu efisiensi tertinggi diperoleh selama 40 menit, namun jika dilihat dari pengaruh tegangan yang diberikan maka cukup memberikan hasil yang berbeda dimana pada media kultur (peternakan) hanya memerlukan tegangan yang rendah untuk menghasilkan efisiensi pemisahan (dilihat dari parameter TSS) yang tinggi sedangkan pada media kultur (RPH) memerlukan tegangan 2 kali lebih besar. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa untuk memisahkan mikroalga tidak harus menggunakan tegangan yang cukup tinggi. Hasil optimasi menunjukkan nilai yang berbeda yaitu pada media kultur RPH adalah 79% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan efisiensi optimal untuk limbah cair peternakan adalah 49% pada input energi listrik dan waktu yang sama yaitu 15 volt selama 40 menit. Nilai efisiensi yang diperoleh tidak sebesar nilai efisiensi dari hasil eksperimen namun faktor yang digunakan untuk mendapatkan efisiensi TSS yang optimal adalah sesuai dengan yang diperkirakan pada penelitian pendahuluan yaitu 15 volt dengan waktu selama 40 menit, dimana kedua faktor ini selanjutnya ditetapkan sebagai titik central untuk melakukan penelitian utama. Data lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F. Media kultur sesudah diberi perlakuan koagulasi elektrik dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 11 Mikroalga pada media kultur (RPH) dengan perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik, (a) mikroalga yang mengapung, (b) mikroalga yang mengendap dan (c) mikroalga yang menempel pada elektroda. Gambar 12 Mikroalga pada media kultur (peternakan) dengan perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik, (a) mikroalga yang mengapung, (b) mikroalga yang mengendap dan (c) mikroalga yang menempel pada elektroda.

Koagulasi elektrik melibatkan reaksi kimia didalamnya. Menurut Rohman (2009), prinsip dasar dari elektrokoagulasi adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Interaksi yang terjadi di dalam larutan yaitu: (1) migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroforesis) dan netralisasi muatan, (2) kation atau ion hidroksil membentuk endapan dengan pengotor, (3) interaksi kation logam dengan ion OH - membentuk sebuah hidroksida dengan sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan polutan, (4) oksidasi polutan sehingga sifat toksiknya berkurang (Holt et al. 2002). Reaksi reduksi-oksidasi mengganggu kestabilan larutan limbah sehingga zat yang tersuspensi pada larutan tersebut juga mengalami destabilitas. Ketidakstabilan muatan pada limbah cair dan mikroalga menyebabkan mikroalga dengan muatan yang sejenis membentuk flok untuk mencapai kestabilannya kembali dengan melakukan koagulasi. Mikroalga yang membentuk flok atau terkoagulasi jika sudah mencapai bobot yang cukup akan mengendap. Sedangkan mikroalga yang masih ringan akan terbawa gas H 2 dan mengapung. Pada Gambar 11 dan 12 terlihat perbedaan flok mikroalga yang berhasil dipisahkan. Pada media kultur (RPH) flok yang terbentuk lebih berat sehingga cenderung lebih banyak yang mengendap, sedangkan pada media kultur (peternakan) flok yang terbentuk masih cenderung ringan sehingga lebih banyak yang mengapung. Pengukuran nilai TSS tidak hanya dilakukan dengan spektrofotometer tetapi juga menggunakan kertas saring miliphore (0.42 µm), hal ini dilakukan untuk membandingkan nilai TSS yang didapatkan. Tabel 5 menunjukkan hasil pengamatan yang telah dilakukan.

Tabel 5 Perbandingan pengukuran TSS No Kode Spektrofotometer (mg/l) Miliphore (mg/l) 1 A 5 (15 volt, 40 menit) 76 110 2 A 4 (20 volt, 50 menit) 163 168 3 B 5 (15 volt, 40 menit) 154 216 4 B 4 (20 volt, 50 menit) 231 320 5 C 5 (ph 7, 100 mg/l PAC) 5 14 6 C 11 (ph 7, 64,64 mg/l PAC) 29 70 7 D 5 (ph 7, 225 mg/l PAC) 6 2 8 D 11 (ph 7, 189,65 mg/l PAC) 7 14 9 E 9 (ph 6,15; 65 mg/l Ferro sulfat) 19 30 10 E 7 (ph 6,5; 65 mg/l Ferro sulfat) 3 2 11 F 9 (ph 6,15; 110 mg/l Ferro sulfat) 13 14 12 F 7 (ph 6,5; 110 mg/l Ferro sulfat) 8 24 Keterangan: A: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi elektrik B: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi elektrik C: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi kimia (PAC) D: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi kimia (PAC) E: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi kimia (ferro sulfat) F: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi kimia (ferro sulfat) Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa secara umum nilai TSS hasil pengukuran dengan menggunakan kertas miliphore lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran menggunakan spektrofotometer, hal ini disebabkan karena tingkat ketelitian metode pengukuran menggunakan kertas miliphore lebih tinggi, namun penggunaan spektrofotometer lebih menghemat waktu dan biaya sehingga pengukuran nilai TSS untuk penelitian ini dilakukan dengan spektrofotometer. 4.3.2 Kekeruhan Parameter lain yang diamati pada penelitian ini adalah kekeruhan. Kekeruhan atau turbidity digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan - bahan yang melayang biasanya bahan organik dan inorganik (Huda 2009 dalam Afriyanti 2011). Semakin pekat atau keruh suatu limbah cair yang dibuang ke lingkungan maka kualitas limbah dan keamanannya terhadap lingkungan semakin buruk. Selain berpengaruh pada penurunan nilai TSS, koagulasi/flokulasi yang diterapkan sebagai perlakuan pendahuluan juga berpengaruh pada nilai kekeruhan dari limbah yang digunakan. Hal ini berarti selain dapat memisahkan mikroalga, juga memberikan manfaat tambahan yaitu

dengan mengolah limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga parameter yang berbahaya bagi lingkungan dapat diminimalisir. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 99% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 97% pada ph 7.25 dengan dosis 250 mg/l. Hasil optimasi nilai efisiensi tidak berbeda jauh yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98.8% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) sebesar 95% pada ph 7.25 dengan dosis 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 99% pada ph 6.75 dengan dosis 60 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 97% pada ph 6.5 dengan dosis 124.14 mg/l. Hasil optimasi efisiensi parameter kekeruhan menunjukkan nilai efisiensi yang lebih rendah daripada hasil eksperimen yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 97% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 52% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Dosis yang digunakan pada kedua media kultur tidak terlalu jauh berbeda, namun hasil optimasi efisiensi pada media kultur (peternakan) cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ph dan dosis ferro sulfat sangat berpengaruh terhadap parameter kekeruhan. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 64% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 69% pada input energi listrik 10 volt selama 30 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 64% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 55% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Faktor input dan waktu yang ditetapkan berdasarkan optimasi berbeda dengan hasil efisiensi tertinggi menurut eksperimen, input energi listrik yang ditetapkan

lebih tinggi daripada 10 volt yaitu 15 volt dan waktunya lebih lama yaitu 40 menit. Hasil eksperimen menunjukkan nilai efisiensi kekeruhan yang lebih tinggi yaitu 69%, hal ini menunjukkan bahwa dengan input energi listrik yang lebih rendah dan waktu lebih pendek dapat dihasilkan efisiensi kekeruhan yang lebih tinggi. 4.3.3 Warna Warna merupakan karakteristik lain yang cukup penting untuk diamati. Semakin gelap warna limbah cair maka kualitas limbah cair tersebut semakin buruk sehingga perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 92% pada ph 7 dengan dosis 225 mg/l. Hasil optimasi nilai efisiensi tidak berbeda jauh yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) sebesar 87% pada ph 7.25 dengan dosis 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 95% pada ph 6.75 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 92% pada ph 6.5 dengan dosis 124.14 mg/l. Hasil optimasi efisiensi parameter warna menunjukkan nilai efisiensi yang lebih rendah daripada hasil eksperimen yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 93% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 65% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). ). Dosis yang digunakan pada kedua media kultur tidak terlalu jauh berbeda, namun hasil optimasi efisiensi pada media kultur (peternakan) cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ph dan dosis ferro sulfat juga sangat berpengaruh terhadap parameter warna. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 56% pada input

energi listrik 15 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 56% pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 54% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 41% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Penurunan warna yang terjadi pada proses koagulasi disebabkan oleh proses adsorbsi koagulan. Pada proses koagulasi kimia diperoleh efisiensi penurunan warna sekitar 90% sedangkan pada koagulasi elektrik hanya sekitar 50% Hal ini disebabkan karena mikroalga yang berhasil dipisahkan masih belum optimal sehingga berpengaruh pada warna yang terukur yaitu masih cukup pekat. Zat warna yang terukur ditimbulkan dari pigmen klorofil yang dimiliki oleh mikroalga. 4.3.4 COD Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) dari suatu limbah cair merupakan parameter yang penting untuk menunjukkan kualitas limbah cair tersebut. Nilai COD media kultur RPH dan media kultur peternakan sebelum diberi perlakuan adalah 136 mg/l dan 176 mg/l, nilai ini masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 200 mg/l untuk limbah cair usaha atau kegiatan peternakan sapi (Peraturan MenLH No. 11 tahun 2009). Nilai COD mengalami penurunan hampir setengahnya setelah ditumbuhi oleh mikroalga yaitu 75.2 mg/l untuk media kultur (RPH) dan 86.4 mg/l untuk media kultur (peternakan). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan limbah cair sebagai media kultur mikroalga secara efektif dapat menurunkan nilai COD limbah cair tersebut sehingga lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Penurunan nilai COD yang terjadi setelah diberi perlakuan pendahuluan koagulasi/flokulasi kimia dan elektrik tidak terlalu besar namun masih terjadi penurunan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi penurunan COD tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 28% pada ph 6.3 dengan

dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 36% pada ph 6.6 dengan dosis 225 mg/l. Hasil optimasi untuk efisiensi parameter COD cukup rendah yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 18% pada ph 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 25% pada ph 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan nilai COD yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 25% pada ph 6.25 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 24% pada ph 6.15 dengan dosis 110 mg/l. Hasil optimasi efisiensi menunjukkan nilai yang cukup berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 18% pada ph 6.5 dengan dosis ferro sulfat 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 3% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan nilai COD yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 24% pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 19% pada input energi listrik 20 volt selama 30 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 23% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 14% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat - zat organik yang ada pada suatu cairan atau limbah cair menjadi CO 2 dan H 2 O. COD merupakan salah satu indikator penting untuk pencemaran didalam air yang disebabkan oleh limbah yang mengandung bahan organik. Secara umum COD yang tinggi pada suatu limbah menunjukkan adanya bahan pencemar organik dalam jumlah banyak.

4.3.5 Fosfat Fosfor merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1986) dalam Afriyanti (2011) kekurangan fosfor dapat menyebabkan perubahan morfologi sel, misalnya perubahan bentuk dan ukuran sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat. Pada limbah cair, P-organik sering dinilai sebagai konsentrasi fosfat. Fosfat merupakan senyawa organik yang dapat mencemari lingkungan, sehingga apabila konsentrasi fosfat cukup tinggi maka sebaiknya dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap limbah cair tersebut sebelum dibuang ke lingkungan. Konsentrasi awal fosfat limbah cair RPH dan limbah cair peternakan adalah 17.25 mg/l dan 19.32 mg/l. Setelah ditumbuhi mikroalga terjadi penurunan konsentrasi fosfat yang cukup besar yaitu 4.21 mg/l untuk limbah cair RPH dan 10.02 mg/l untuk limbah cair peternakan. Penurunan konsentrasi fosfat ini disebabkan karena mikroalga menggunakan P-organik dalam jumlah yang cukup banyak, dan diketahui bahwa mikroalga yang tumbuh pada limbah cair pun cukup banyak. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu nilai efisiensi penurunan konsentrasi fosfat adalah sebesar 100%, untuk media kultur (RPH) pada ph 6.5 dan ph 7 dengan dosis 125 mg/l dan 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) pada ph 6.75 dan ph 7 dengan dosis 200 mg/l dan 225 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter konsentrasi fosfat tidak jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 99% pada ph 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 100% pada ph 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Hasil efisiensi konsentrasi fosfat ini cukup baik karena pada ph netral dan dosis yang lebih rendah daripada hasil eksperimen dapat memperoleh efisiensi penurunan konsentrasi fosfat sekitar 100%. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi sebesar 100% untuk penurunan konsentrasi fosfat yaitu untuk media kultur (RPH) pada ph 6.75 dengan dosis 60 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) pada ph 6.5 dengan dosis 124.14 mg/l. Hasil optimasi

efisiensi untuk proses koagulasi menggunakan koagulan ferro sulfat yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 100% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 91% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan konsentrasi fosfat yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 85% pada input energi listrik 20 volt selama 50 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 79% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 77% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 78% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). 4.3.6 ph Nilai ph dari media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) sebelum diberi perlakuan adalah 6.5 dan 6.3. Setelah ditumbuhi mikroalga nilai ph mengalami sedikit peningkatan yaitu 7.3 untuk media kultur (RPH) dan 6.7 untuk media kultur (peternakan). Hal ini menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan limbah cair sebagai media kultur mikroalga maka dapat memperbaiki nilai ph cairan. Media kultur mengalami perubahan ph setelah diberi perlakuan pendahuluan koagulasi kimia dan koagulasi elektrik. Media kultur yang mengalami perlakuan pendahuluan koagulasi kimia dengan koagulan PAC dan ferro sulfat nilai ph berkisar pada ph netral (cenderung asam) yaitu 5.2-7.4, namun yang diberi perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik nilai ph berada diatas 7 yaitu 7.2-7.8. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi perubahan ph tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 24% pada ph 6.3 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 15% pada ph 6.6 dengan

dosis 225 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter ph menggunakan kogulan PAC menunjukkan hasil yang cukup berbeda terutama untuk media kultur (peternakan). Efisiensi parameter ph untuk media kultur (RPH) yaitu 12% pada ph eksperimen 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 3% pada ph eksperimen 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk perubahan nilai ph yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 29% pada ph 6.25 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 19% pada ph 6.25 dan ph 6.15 dengan dosis 120 mg/l dan 110 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter ph menggunakan kogulan ferro sulfat menunjukkan hasil yang cukup berbeda. Efisiensi parameter ph untuk media kultur (RPH) yaitu 12% pada ph eksperimen 6.5 dengan dosis ferro sulfat 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 6% pada ph eksperimen 6.75 dengan dosis ferro sulfat 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk perubahan nilai ph yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 7% pada input energi listrik 20 volt dan 15 volt selama 50 menit dan 25.86 menit serta untuk media kultur (peternakan) sebesar 16% pada input energi listrik 22.07 volt dan 15 volt selama 40 menit dan 54.14 menit. Hasil optimasi efisiensi pada penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan hasil yang lebih rendah yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 4% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 13% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Kurva efisiensi hubungan antara masing-masing faktor yaitu ph, dosis PAC, dosis ferro sulfat, input dan waktu terhadap masing-masing respon pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) dapat dilihat pada Lampiran 4-9.

4.3.7 Optimasi Proses Koagulasi Kimia dengan PAC Desain model yang terpilih dari hasil analisis penentuan model pada media kultur peternakan untuk respon TSS adalah model kuadratik. Hasil uji analisis ragam yaitu model berpengaruh nyata terhadap respon karena prob<f yaitu 0.0432 (nilai prob<f, kurang dari 0.05 menunjukkan bahwa model tersebut nyata), sedangkan kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0,6055. Standar deviasi untuk model adalah 1.86 dengan nilai R 2 = 84.49% dan rasio 7.045 menunjukkan rasio tersebut sudah baik untuk mengarahkan desain model karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon kekeruhan, model yang terbentuk adalah model linier, namun model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu 0.057. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0.1468. Standar deviasi untuk model adalah 5.09 dengan nilai R 2 = 51.15% dan rasio 5.366, meskipun nilai R 2 tidak terlalu tinggi namun nilai rasio sudah cukup baik untuk mengarahkan desain model karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon warna, model yang terbentuk adalah model kuadratik, model berpengaruh nyata karena prob<f yaitu 0.0464. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0.2871. Standar deviasi untuk model adalah 20.5 dengan nilai R 2 = 83.99% dan rasio 7.466. Pada respon COD tidak terpilih model persamaan sehingga Y = 66.2 dan merupakan nilai rata-rata keseluruhan untuk prediksi nilai respon Y (COD). Standar deviasinya adalah 6.76. Respon fosfat memiliki model kuadratik dengan nilai prob>f yaitu 0.3404, hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terspon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0.0001. Standar deviasi untuk model adalah 0.21 dengan nilai R 2 = 59.58% dan rasio 3.778. Hasil uji analisis ragam untuk respon ph menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah linier. Nilai prob<f yaitu 0.0073 yang menunjukkan bahwa model berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0.8581, hal ini menunjukkan bahwa model sudah sesuai dengan trend atau plot dari model linier. Standar deviasi untuk model adalah 0.18 dengan nilai R 2 = 70.76% dan rasio 8.304. Hasil

analisis ragam dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 19, 20, 21, 22, 23 dan 24. Hasil optimasi pada media kultur peternakan yang telah ditumbuhi mikroalga yaitu dengan faktor dosis PAC 225 mg/l pada ph 7 didapatkan nilai respon TSS = 6 mg/l, kekeruhan = 18 FTU, warna = 79.4 PtCo, COD = 66.2 mg/l, konsentrasi fosfat = 0.0045 mg/l dan ph = 6.3. Masing-masing respon memiliki model persamaan untuk mendapatkan nilai dari respon berdasarkan faktor dosis dan ph optimal. Data dapat dilihat pada Lampiran 2B. Nilai dari faktor dosis dan ph optimal (225 mg/l dan 7) akan dibandingkan dengan hasil eksperimen untuk memperoleh selisih antara hasil respon optimal dengan hasil eksperimen (Lampiran 13-18). Berdasarkan optimasi dengan menerapkan proses koagulasi kimia menggunakan koagulan/flokulan PAC pada media kultur (peternakan) yang telah ditumbuhi mikroalga, nilai faktor yang optimal merupakan titik central sehingga berdasarkan hasil eksperimen didapatkan tiga nilai untuk masing-masing respon. Nilai TSS yang didapatkan dari hasil eksperimen adalah 6 mg/l, 6 mg/l dan 4 mg/l. Jika dibandingkan dengan nilai respon optimal maka nilai pertama dan kedua adalah sama yaitu 6 mg/l, sedangkan jika dibandingkan dengan nilai respon model terdapat sedikit perbedaan yaitu sebesar 0.2%. Untuk nilai hasil eksperimen ketiga yaitu 4 mg/l terdapat perbedaan sebesar 50% dengan nilai respon model. Pada nilai kekeruhan juga terdapat perbedaan yaitu nilai hasil eksperimen adalah 14 FTU, 15 FTU, dan 14 FTU. Nilai ketiganya berbeda dengan nilai respon model maupun optimasi, terdapat perbedaan sebesar 30% dan 21%. Nilai untuk respon warna berdasarkan hasil eksperimen yaitu 73 PtCo, 73 PtCo, 66 PtCo, sedangkan untuk model dan optimasi adalah 79.4 PtCo sehingga terdapat perbedaan sebesar 9% dan 20% antara hasil eksperimen dengan model. Pada nilai COD juga terdapat perbedaan yaitu nilai hasil eksperimen adalah 59.2 mg/l, 60.8 mg/l dan 61.6 mg/l. Nilai respon model dengan optimasi pada parameter COD ini adalah sama, hal ini disebabkan karena berdasarkan metode permukaan respon tidak terbentuk model persamaan sehingga nilai respon (Y) hanya ditunjukkan sebesar 66.2 mg/l. Apabila dibandingkan maka terdapat perbedaan nilai yaitu sebesar 12%, 9% dan 7%. Pada respon konsentrasi fosfat

terdapat perbedaan yang cukup besar antara hasil eksperimen kedua dan ketiga dengan model, namun untuk hasil eksperimen pertama hanya terdapat sedikit perbedaan. Hasil eksperimen menunjukkan nilai 0.0046 mg/l, 0.0058 mg/l dan 0.0035 mg/l, sedangkan nilai model adalah 0.0045 mg/l sehingga terdapat perbedaan sebesar 3%, 23% dan 27%. Nilai ph hasil eksperimen pertama adalah sebesar 6.6. Terdapat perbedaan sebesar 5% dengan nilai ph model (ph 6.3). Sedangkan untuk nilai ph hasil eksperimen kedua dan ketiga adalah sama yaitu sebesar 6.26 sehingga terdapat perbedaan sebesar 1%. Desain model yang terpilih dari hasil analisis penentuan model pada media kultur RPH untuk respon TSS adalah model linier. Hasil uji analisis ragam yaitu model tidak berpengaruh nyata terhadap respon karena prob>f (5%) = 0.3892 (nilai prob>f, lebih dari 0.05 menunjukkan bahwa model tersebut tidak nyata), kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0,0044. Standar deviasi untuk model adalah 7.49 dengan nilai R 2 = 21.01% dan rasio 2.614, nilai R 2 masih cukup rendah dan rasio juga belum mengarahkan desain model dengan baik karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon kekeruhan, model yang terbentuk adalah model kuadratik, namun model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu 0.2989. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0.0057. Standar deviasi untuk model adalah 11.58 dengan nilai R 2 = 62.20% dan rasio 3.396. Pada respon warna, model yang terbentuk adalah model kuadratik, model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu 0.1874. Standar deviasi untuk model adalah 60.04 dengan nilai R 2 = 69.97% dan rasio 3.946. Pada respon COD model persamaan yang terpilih adalah linier dengan nilai prob>f yaitu 0.2805, hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0,0894. Standar deviasi untuk model adalah 3.48 dengan nilai R 2 = 27.22% dan rasio 3.211. Respon fosfat memiliki model linier dengan nilai prob>f yaitu 0.2302, hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0.0027. Standar deviasi untuk model adalah 0.041 dengan nilai R 2 = 30.73%

dan rasio 3.597. Hasil uji analisis ragam untuk respon ph menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah kuadratik. Nilai prob>f yaitu 0.0979 yang menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0.9454, hal ini menunjukkan bahwa model sudah sesuai dengan trend atau plot dari model kuadratik. Standar deviasi untuk model adalah 0.26 dengan nilai R 2 = 77.76% dan rasio 5.573. Hasil analisis ragam dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 25, 26, 27, 28, 29 dan 30. Hasil optimasi pada media kultur (RPH) yang telah ditumbuhi mikroalga yaitu dengan faktor dosis PAC 100 mg/l pada ph 7 didapatkan nilai respon TSS = 9 mg/l, kekeruhan = 5 FTU, warna = 16 PtCo, COD = 61.3 mg/l, konsentrasi fosfat = 0.0305 mg/l dan ph = 6.4. Masing-masing respon memiliki model persamaan untuk mendapatkan nilai dari respon berdasarkan faktor dosis dan ph optimal. Data dapat dilihat pada Lampiran 2A. Nilai dari faktor dosis dan ph optimal (100 mg/l dan 7) akan dibandingkan dengan hasil eksperimen untuk memperoleh selisih antara hasil respon optimal dengan hasil eksperimen (dapat dilihat pada Lampiran 13-18). Berdasarkan optimasi dengan menerapkan proses koagulasi kimia menggunakan koagulan PAC pada media kultur (RPH) yang telah ditumbuhi mikroalga, nilai faktor yang optimal juga merupakan titik central sehingga berdasarkan hasil eksperimen didapatkan tiga nilai untuk masing-masing respon. Nilai TSS yang didapatkan berdasarkan hasil eksperimen adalah 5 mg/l, 5 mg/l dan 4 mg/l. Hasil yang didapatkan ini memiliki perbedaan yang cukup besar jika dibandingkan dengan nilai respon model yaitu 9 mg/l. Perbedaan antara hasil eksperimen dengan respon model adalah sebesar 82% dan 127%. Pada nilai kekeruhan, apabila dibandingkan dengan hasil eksperimen terdapat perbedaan namun tidak sebesar pada nilai TSS. Hasil eksperimen untuk kekeruhan adalah 4 FTU, 4 FTU dan 6 FTU, berdasarkan perhitungan maka terdapat perbedaan sebesar 25% dan 17% dengan nilai respon model. Hasil eksperimen warna yaitu 16 PtCo, nilai yang didapatkan ini sama dengan hasil perhitungan respon model. Hasil eksperimen untuk parameter COD yaitu 62.4 mg/l, 60.8 mg/l dan 63.2 mg/l, sedangkan hasil perhitungan berdasarkan respon model yaitu 61.3

mg/l sehingga terdapat perbedaan sebesar 2%, 1% dan 3% antara hasil eksperimen dengan respon model. Pada parameter konsentrasi fosfat diperoleh hasil eksperimen 0.007 mg/l, 0.0035 mg/l dan 0.0023 mg/l, sedangkan hasil perhitungan berdasarkan respon model adalah 0.0305 mg/l. Pada konsentrasi fosfat ini terdapat perbedaan yang cukup besar antara hasil eksperimen dengan respon model yaitu sebesar 336%, 771% dan 1226%. Hasil eksperimen untuk parameter ph yaitu 6.6, 6 dan 6.7, sedangkan hasil perhitungan respon model adalah 6.4. Apabila dibandingkan antara hasil eksperimen dengan nilai respon model maka terdapat perbedaan sebesar 3%, 7% dan 4%. Efektivitas pemilihan titik optimal dari faktor yang digunakan (ph dan dosis) pada proses koagulasi kimia menggunakan koagulan PAC sebagai perlakuan pendahuluan pada teknik pemisahan mikroalga dilihat dari parameter TSS yang terukur. Berdasarkan perhitungan maka pada media kultur peternakan selisih antara hasil eksperimen dengan nilai respon model lebih kecil yaitu berkisar antara 0.2%-50% sedangkan pada media kultur (RPH) lebih besar yaitu 82% dan 127%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai central untuk ph dan dosis yang juga merupakan pendugaan awal titik optimal telah sesuai dengan rancangan pada metode permukaan respon. Hubungan ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) pada media kultur (peternakan) terhadap masing-masing respon ditunjukkan pada Gambar 13. Pada Gambar 13 (a), 13 (c) dan 13 (e) dapat dilihat bahwa nilai TSS, warna dan konsentrasi fosfat terus menurun dan mencapai titik optimal (6 mg/l, 78 PtCo dan 0.005 mg/l) pada ph 7 dan dosis PAC 225 mg/l, kemudian terjadi sedikit peningkatan. Penurunan nilai ph dan dosis PAC bersifat kuadratik pada daerah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ph dan dosis PAC diatas 7 dan 225 mg/l akan menghambat proses koagulasi mikroalga pada media kultur peternakan, dimana koagulan pada media kultur telah menjadi jenuh sehingga tidak bekerja secara optimal lagi untuk menurunkan kadar TSS, warna dan konsentrasi fosfat. Menurut Alaerts (1984), PAC memiliki beberapa keunggulan untuk digunakan sebagai koagulan yaitu efektif bekerja pada rentang ph 5-10, menghasilkan lumpur lebih sedikit dan memiliki efek korosi yang jauh lebih kecil.

Pada Gambar 13 (b) dapat dilihat bahwa nilai kekeruhan terus menurun dan mencapai titik optimal pada kekeruhan = 18 FTU, sedangkan pada Gambar 13 (f) menunjukkan bahwa nilai ph media kultur setelah diberi perlakuan semakin meningkat sehingga mencapai titik optimal yaitu 6.3. Model persamaan yang terbentuk berdasarkan gambar adalah linier pada daerah percobaan. Gambar 13 (d) yaitu kurva respon COD menunjukkan bahwa tidak terbentuk suatu model persamaan, berdasarkan metode respon permukaan tidak terpilih suatu model untuk menunjukkan hubungan antara faktor ph dan dosis PAC terhadap respon COD sehingga hanya terdapat satu nilai untuk semua kombinasi percobaan yaitu 66.2 mg/l. Hubungan ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) pada media kultur (RPH) terhadap masing-masing respon ditunjukkan pada Gambar 14. Pada Gambar 14 (a) dan 14 (e) dapat dilihat bahwa nilai TSS dan konsentrasi fosfat terus mengalami peningkatan hingga mencapai titik optimal yaitu 9 mg/l dan 0.0028 mg/l. Pada Gambar 14 (b) dan 14 (c) dapat dilihat bahwa nilai kekeruhan dan warna terus mengalami penurunan hingga mencapai titik optimal (kekeruhan = 5 FTU dan warna = 16 PtCo). Penurunan nilai ph dan dosis PAC yang diikuti bersifat kuadratik pada daerah percobaan, pada titik tertentu nilai kekeruhan dan warna kembali meningkat. Nilai kekeruhan dan warna pada media kultur (RPH) ini lebih rendah daripada media kultur (peternakan).

W a r n a ( U n it P t C o ) p H K e k e r u h a n ( F T U T u r b id it y ) F o s f a t ( m g / L ) T S S ( m g / L ) C O D ( m g / L ) ware l ve predicted value ow predicted value Design-Expert Software Factor Coding: Actual COD Design points above predicted value Design points below predicted value 75.2 14 55.2 80 12 X1 = B: Dosis X2 = A: ph 75 10 70 8 65 6 60 4 55 250.00 245.00 240.00 235.00 230.00 225.00 220.00 215.00 210.00 205.00 200.00 X2: Dosis (mg/l) 6.75 6.85 6.95 7.05 7.15 X1: ph 7.25 200.00 205.00 210.00 215.00 220.00 225.00 230.00 235.00 240.00 245.00 250.00 X2: Dosis (mg/l) 6.75 6.85 6.95 7.05 X1: ph 7.15 7.25 are l ve predicted value w predicted value 30 (a) Design-Expert Software Factor Coding: Actual Fosfat Design points above predicted value Design points below predicted value 0.7831 0.0023 0.3 (d) 25 X1 = A: ph X2 = B: Dosis 0.2 20 0.1 15 0 10-0.1 oftware ctual above predicted value below predicted value 250.00 245.00 240.00 235.00 230.00 225.00 220.00 215.00 210.00 205.00 200.00 X2: Dosis (mg/l) 6.75 (b) 6.85 6.95 7.05 X1: ph 7.15 7.25 Design-Expert Software Factor Coding: Actual ph Design points above predicted value Design points below predicted value 6.7 250.00 245.00 240.00 235.00 230.00 225.00 220.00 215.00 210.00 205.00 200.00 X2: Dosis (mg/l) 6.75 6.85 (e) 6.95 7.05 X1: ph 7.15 7.25 140 120 5.7 X1 = A: ph X2 = B: Dosis 6.8 6.6 100 6.4 80 60 40 6.2 6 5.8 250.00 245.00 240.00 235.00 230.00 225.00 220.00 215.00 210.00 205.00 200.00 X2: Dosis (mg/l) 6.75 (c) 6.85 6.95 7.05 X1: ph 7.15 7.25 250.00 245.00 240.00 235.00 230.00 225.00 220.00 215.00 X2: Dosis (mg/l) 210.00 205.00 200.00 Gambar 13 Kurva permukaan respon 3 dimensi hubungan antara ph dan dosis dengan (a) respon TSS, (b) kekeruhan, (c) warna, (d) COD, (e) fosfat dan (f) ph pada media kultur (peternakan) dengan koagulan PAC. (f) 6.75 6.85 6.95 7.05 7.15 X1: ph 7.25

Gambar 14 (d) merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) terhadap COD. Kurva menunjukkan nilai COD pada respon model dibangun berdasarkan model persamaan linier, sedangkan Gambar 14 (f) yang merupakan kurva hubungan antara ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) dengan parameter ph. Nilai ph terus mengalami peningkatan menuju ph netral dan mencapai titik optimal pada faktor ph 7 dan dosis PAC 100 mg/l. Penggunaan PAC sebagai koagulan pada proses koagulasi kimia sebagai perlakuan pendahuluan pada teknik pemisahan mikroalga pada kedua media kultur memberikan hasil yang cukup efektif yaitu diperoleh nilai optimal untuk TSS adalah berkisar antara 4-6 mg/l pada ph yang sama yaitu 7 namun dengan dosis PAC yang berbeda yaitu untuk media kultur (peternakan) adalah 225 mg/l dan media kultur (RPH) adalah 100 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mikroalga yang telah ditumbuhkan pada kedua media kultur telah berhasil dipisahkan, namun dosis PAC sebagai koagulan masih cukup besar.

W a r n a ( U n it P t C o ) p H K e k e r u h a n ( F T U T u r b id it y ) F o s f a t ( m g / L ) T S S ( m g / L ) C O D ( m g / L ) Software Actual s above predicted value s below predicted value Design-Expert Software Factor Coding: Actual COD Design points above predicted value Design points below predicted value 65.6 16 14 12 54.4 X1 = A: ph X2 = B: Dosis 66 64 10 8 62 6 4 60 2 58 Software ctual above predicted value below predicted value 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 85.00 X2: Dosis (mg/l) 80.00 75.00 (a) 6.50 6.70 6.90 7.10 7.30 X1: ph 7.50 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Fosfat Design points above predicted value Design points below predicted value 0.1183 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 X2: Dosis (mg/l) 85.00 80.00 75.00 6.50 (d) 6.70 6.90 7.10 7.30 X1: ph 7.50 40 30 0.0023 X1 = A: ph X2 = B: Dosis 0.08 0.06 0.04 20 0.02 10 0 0-0.02 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 85.00 X2: Dosis (mg/l) 80.00 75.00 6.50 6.70 6.90 7.10 7.30 7.50 X1: ph 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 X2: Dosis (mg/l) 85.00 80.00 75.00 6.50 6.70 6.90 7.10 7.30 X1: ph 7.50 Software Actual ts above predicted value ts below predicted value 200 150 (b) Design-Expert Software Factor Coding: Actual ph Design points above predicted value Design points below predicted value 6.7 5.6 X1 = A: ph X2 = B: Dosis 6.8 6.6 (e) 100 6.4 50 0 6.2 6 5.8 7.50 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 85.00 X2: Dosis (mg/l) 80.00 75.00 6.50 6.70 6.90 7.10 7.30 X1: ph 125.00 120.00 115.00 110.00 105.00 100.00 95.00 90.00 X2: Dosis (mg/l) 85.00 80.00 75.00 6.50 6.70 6.90 7.10 7.30 X1: ph 7.50 (c) (f) Gambar 14 Kurva permukaan respon 3 dimensi hubungan antara ph dan dosis dengan respon (a) respon TSS, (b) kekeruhan, (c) warna, (d) COD, (e) fosfat dan (f) ph pada media kultur (RPH) dengan koagulan PAC.