Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia 1

dokumen-dokumen yang mirip
Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

MEKANISME DISTRIBUSI PEMBAYARAN REDD : Studi Kasus Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan PUSLITSOSEK 2009

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

West Kalimantan Community Carbon Pools

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ini tentu akan meningkatkan resiko dari industri pertambangan.

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V HASIL ANALISA. dan keekonomian. Analisis ini dilakukan untuk 10 (sepuluh) tahun. batubara merupakan faktor lain yang juga menunjang.

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

3. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

HARAPAN RAINFOREST RESTORASI EKOSISTEM DI HARAPAN RAINFOREST SEBUAH MODEL DALAM UPAYA PENGURANGAN LAJU DEFORESTASI DI INDONESIA

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Tata ruang Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PROYEK PEMBANGUNAN PERUMAHAN AKASIA RESIDENCE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

PENDAHULUAN Latar Belakang

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

Mungkinkah Dilakukan? Sulistya Ekawati, Lukas Rumboko, Yanto Rochmayanto, Kushartati, Fenti Salaka, Zahrul Muttaqin

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Kehutanan

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODE PENELITIAN. Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi

VIII. KOMPENSASI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DENGAN METODE HEA. 8.1 Skenario Kompensasi Lahan Bekas Tambang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF RINA WINDRATI, HAMDANI M.SYAH HARIANTO.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RESTORASI EKOSISTEM

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PT. SANJI WANATIRTA INDONESIA. Jalan Anggrek No. 09, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Telp: Fax:

Transkripsi:

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 6 No. 5 Tahun 2012 Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia 1 REDD+ merupakan mekanisme insentif terkait upaya penurunan emisi sektor kehutanan yang saat ini sedang dinegosiasikan di tingkat global. Dari sisi finansial, REDD+ dipandang sebagai alternatif pembiayaan baru bagi upaya-upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari. Karena hutan merupakan sumberdaya yang memiliki nilai tinggi, pengukuran kelayakan implementasi REDD+ di Indonesia sangat diperlukan. Parameter yang harus dipertimbangkan adalah kelayakan ekonomi, sosial, lingkungan dan kebijakan. Latar Belakang 1 Disusun oleh: Ari Wibowo Luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 130,68 juta ha atau sekitar 70 % dari total luas Indonesia. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan sebagai penyerap/ penyimpan karbon maupun sebagai pengemisi karbon. Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforesta si, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya meningkatkan penyerapan/ penyimpanan. Laju deforestasi di Indonesia masih cukup tinggi atau rata-rata 1,1 juta ha (tahun 2006-20011) Emisi CO 2 yang terjadi di sektor kehutanan bersumber dari aktivitas deforestasi terutama konversi hutan untuk penggunaan lain, seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan prasarana wilayah. Selain itu emisi CO 2 juga dapat berasal dari degradasi atau penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, penebangan yang berlebihan (over cutting), perladangan berpindah (slash and burn) dan perambahan. Eksploitasi terhadap manfaat dari sumberdaya hutan mendorong terjadinya perubahan tutupan lahan sehingga mendorong terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Latar Belakang 1

Terlepas dari perannya dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, hutan menyimpan banyak manfaat penting lain bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Jasa ini sangat diperlukan dalam kehidupan manusia terutama bagi masyarakat yang tergantung pada sumberdaya hutan. Manfaat secara langsung hutan mampu menyediakan kayu bakar, kayu, dan hasil hutan bukan kayu seperti obat-obatan, rotan, dan buah-buahan. Sementara manfaat tidak langsung dari hutan adalah sebagai penyerap dan penyimpan karbon, biodiversitas, jasa rekreasi dan budaya. Implementasi REDD+ akan mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya hutan. Sebagai dasar pengambilan keputusan dalam implementasi REDD+, perlu diketahui berapa potensi manfaat yang diperoleh dan berapa biaya yang ditanggung. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kelayakan, sebagai kriteria atau dasar pengambilan keputusan dalam implementasi REDD+ seperti yang disyaratkan dalam Permenhut No. P. 20/Menhut-II/2011 tentang penyelenggaraan karbon hutan. Kelayakan ekonomi merupakan salah satu aspek yang menentukan penilaian diterima tidaknya permohonan kegiatan REDD+. 2 Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia

Kelayakan implementasi REDD+ Berdasarkan Manfaat dan Biaya Mengingat pentingnya peran sumberdaya hutan terhadap perekonomian suatu daerah, maka perubahan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan tersebut akan melibatkan banyak kepentingan. Untuk itulah diperlukan suatu pedoman kelayakan implementasi REDD+ yang komprehensif. Secara umum kelayakan implementasi REDD+ harus mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu faktor ekonomi, sosial, kebijakan dan lingkungan. Nilai ekonomi sumberdaya hutan sangat tinggi. Kondisi inilah yang mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan alih fungsi hutan keperuntukan lain (deforestasi dan degradasi). Perubahan atau konversi kawasan hutan menjadi bentuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, areal bekas tebangan, lahan terbuka dan pembangunan kawasan pemukiman. Oleh karena itu keberhasilan implementasi REDD+ tergantung pada seberapa jauh kegiatan REDD+ dapat mengkompensasi manfaat yang hilang. Manfaat implementasi REDD+ adalah semua nilai manfaat yang dihasilkan dari setiap pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi. Manfaat tersebut bisa langsung (karbon yang diperdagangkan) maupun tidak langsung seperti jasa lingkungan dan biodiversitas. Nilai manfaat langsung ini tergantung dari harga karbon dan jumlah emisi karbon yang berhasil dikurangi. Sedangkan biaya implementasi REDD+ adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk dapat mengurangi emisi karbon. Biaya dalam implementasi REDD+ meliputi biaya implementasi, biaya transaksi dan biaya abatasi yang mencakup biaya oportunitas. Biaya ekonomi untuk mitigasi pada sektor kehutanan tergantung pada beberapa faktor mencakup tingkat pengembalian dari pola penggunaan lahan (biaya korbanan dari penggunaan lahan), kebutuhan terhadap upfront investment; enforcement costs; kebijakan, kelembagaan, dan factor sosial. Selain itu mitigasi juga tergantung pada pendekatan dan/atau asumsi yang digunakan. Dengan demikian potensi manfaat dan biaya dari kegiatan mitigasi sangat beragam dan tergantung pada kondisi lokasi kegiatan implementasi REDD+. (i) review; (ii) Identifikasi manfaat dan biaya Valuasi dan analisis manfaat dan biaya Kelayakan ekonomi dan finansial implementasi REDD+ Gambar 1. Tahapan Pengukuran Kelayakan Kelayakan implementasi REDD+ Berdasarkan Manfaat dan Biaya 3

Tahapan-tahapan pengukuran kelayakan ekonomi implementasi REDD+ 1. Identifikasi semua potensi manfaat dari implementasi REDD+ 2. Identifikasi semua biaya implementasi REDD+, termasuk biaya implementasi, transaksi dan korbanan 3. Identifikasi perubahan penggunaan lahan 4. Penghitungan cadangan karbon untuk setiap penggunaan lahan untuk menduga total emisi karbon yang dihasilkan oleh perubahan penggunaan lahan tersebut. a. Aspek geo-fisik dan ekologi (topografi, tipe vegetasi dan iklim) b. Jumlah karbon stok untuk setiap penggunaan lahan/ tutupan lahan c. Matriks perubahan luas penggunaan lahan/tutupan lahan d. Informasi umum mengenai profil proyek, termasuk lokasi, ukuran, luas, peta-peta dan batas-batas proyek 5. Penghitungan kelayakan implementasi REDD+: a. Penghitungan arus kas masuk (manfaat yang diterima) dari penurunan emisi karbon b. Penghitungan arus kas biaya yang dikeluarkan c. Mengukur kelayakan implementasi REDD+ d. Indikator kelayakan ekonomi yang digunakan adalah nilai kekinian dari manfaat bersih (net present value, NPV), tingkat pengembalian modal (internal rate of return, IRR) dan Benefit-Cost Ratio (BCR) 4 Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia

Penerimaan dari REDD+ sebagai usaha karbon Penerimaan yang utama dalam implementasi REDD+ sebagai usaha karbon bersumber pada seberapa besar emisi CO 2 -ekuivalen dapat diturunkan. Sebagai contoh Demonstration Activity (DA) REDD-MRPP dengan luas areal proyek sekitar 24000 hektar di lokasi Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan digunakan sebagai sumber data untuk analisis. Kegiatan ini merupakan bantuan dari pemerintah Jerman dan didukung oleh GIZ Indonesia, dengan melakukan pengelolaan kawasan hutan produksi Lalan (ekosistem hutan rawa gambut) untuk menyediakan alternatif dan peluang baru bagi peningkatan nilai manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisa citralandsat tahun 2008, areal kegiatan MRPP dapat diklasifikasikan menjadi 8 kelas seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran luas tutupan hutan gambut Merang, 2008 No Kategori Luas (Ha) % 1 Hutan gambut bekas tebangan kerapatan tinggi 2 Hutan gambut bekas tebangan kerapatan sedang Cadangan karbon (ton) 3054 13.00 364 012 5950 25.34 623 032 3 Hutan baru tumbuh 4393 18.71 7 063 4 Hutan yang didominasi Mahang dan gelam 139 0.59 143 910 5 Belukar 1308 5.57 9 437 6 Padang rumput 1305 5.56 0 7 Lahanterbuka 3534 15.05 35 827 8 Baru ditebang / terbakar 3802 16.19 68 726 Total 23485 100 1 252 008 Sumber: MRPP, 2011 Penerimaan dari REDD+ sebagai usaha karbon 5

Berdasarkan data historis, ancaman terhadap kelestarian hutan di lokasi MRPP terdiri dari kebakaran hutan, pembalakan liar dan perambahan, konversi hutan untuk pertanian pada lahan kering, dan deforestasi yang direncanakan untuk pembangunan perkebunan. Berdasarkan perubahan tutupan lahan di lokasi MRPP periode 1978-2008, tingkat emisi karbon 1978-2008 disajikan pada Tabel 2. Biaya kegiatan dalam usaha karbon Tabel 2. Emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi hutan MRPP Perubahan tutupan lahan 1978-2008 Luas perubahan (Ha) Faktor emisi (tco2-eq/ha) Emisi CO2 (tco2-eq) Hutan alam LOA kerapatan tinggi 3142 248.68 781,352.56 Hutan alam LOA kerapatan sedang 6121 301.77 1,847,134.17 Hutan alam hutan sekunder 4519 567.36 2,563,899.84 Hutan alam dominasi mahang 143 499.39 71,412.77 Hutan alam belukar 1346 659.25 887,350.50 Hutan alam rumput 1343 685.71 920,908.53 Hutan alam tanah terbuka 3636 648.55 2,358,127.80 Hutan alam baru ditebang/ terbakar 3911 619.43 2,422,590.73 Total emisi CO 2 11,852,462 Emisi CO 2 per tahun 395,082 Sumber: MRPP Project, 2011 Kelayakan investasi implementasi REDD+ sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar dan kemampuan proyek tersebut untuk menjamin kualitas lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, penentuan biaya implementasi REDD+ harus melalui identifikasi kegiatan-kegiatan yang mampu mengakomodasi kepentingankepentingan tersebut, seperti 1. Inventarisasi (potensi kayu, satwa, non-kayu, jasa lingkungan, dan sosbud berkala). Kegiatan inventarisasi dan penataan hutan ini dilajukan secara berkala setiap dua tahun. Kegiatan ini bekerjasama dengan pemegang ijin usaha pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP). 2. Penataan hutan (blok dan petak berkala) 3. Pemanfaatan kawasan tertentu (perdagangan karbon dan perlindungan flora dan fauna) 4. Pemberdayaan masyarakat 5. Pembinaan dan pemantauan pada areal yang sudah ada ijinnya (pembinaan terhadap pemegang ijin) 6. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan (perdagangan karbon dan perlindungan flora-fauna) 7. Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi pada areal yang sudah ada ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan 8. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam (pencegahan kebakaran, perambahan, dan penebangan liar) 6 Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia

Sumber kas masuk dari kredit karbon 9. Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan antar stakeholder 10. Koordinasi dan sinergitas dengan instansi dan stakeholder terkait 11. Penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM (kebutuhan pegawai dan diklat) 12. Penyediaan pendanaan (rencana anggaran, proposal skema sharing pendanaan, proposal penjalinan kerjasama) Sumber kas masuk untuk membiayai kegiatan REDD+ di calon kawasan restorasi berasal pendapatan terutama dari kredit karbon, hasil hutan non-kayu, wisata alam, program penelitian, pendidikan dan pelatihan dan hasil hutan kayu. Sumber penerimaan dari perdagangan karbon diutamakan dari kredit karbon. Pemasukan dari kredit karbon diperkirakan dapat direalisasikan pada tahun kedua. Berdasarkan estimasi pemasukan ini, sebuah proyeksi arus kas dibangun. Untuk menghindari kerumitan perhitungan proyeksi 13. Penyediaan sarana dan prasarana (pengadaan dan pembangunan sarana kantor, transportasi, komunikasi dan alat perlengkapan kerja) 14. Pengembangan database (pengadaan peralatan dan pengembangan sistem) 15. Rasionalisasi wilayah kelola 16. Review pengelolaan 17. Pengembangan investasi (hasil hutan kayu dan non-kayu) 18. Penyediaan sumberdaya manusia yang profesional. arus kas, sumber-sumber kas lain seperti hasil hutan baik nonkayu dianggap sebagai tambahan penerimaan. Dari Tabel 2 dapat ditentukan bahwa besarnya emisi karbon yang harus dihindari adalah sebesar 395 ribu tco 2 -eq per tahun. Dengan demikian proyek karbon yang diselenggarakan adalah untuk memenuhi target penurunan laju emisi tersebut. Berdasarkan transaksi kredit karbon kehutanan yang sudah dilakukan, harga di pasar sukarela berkisar antara USD 5 sampai USD 10 per tco 2 ekuivalen. Analisa kelayakan dan sensitivitas Analisa kelayakan financial didasari oleh perhitungan net present value (NPV) berdasarkan metode aliran kas di diskonto (discounted cash flow) dan tingkat harga yang berlaku pada tahun 2011. Dengan asumsi nilai diskonto sebesar 15% dan masa proyek selama 30 tahun dan harga karbon adalah sebesar US8 per tco 2 -eq., maka proyek karbon untuk MRPP adalah layak secara finansial, yang ditunjukkan dengan nilai NPV sebesar Rp 4.033.763.000, nilai IRR sebesar19% dan rasio B/C sebesar 1,05. Dari hasil analisis ini, kelayakan proyek sangat sensistif terhadap perubahan harga dan tingkat output CO 2 -eq yang digunakan. Analisa sensitivitas ini diperlukan untuk melihat seberapa jauh kelayakan usaha karbon tersebut mampu bertahan akibat adanya perubahan pasar karbon (harga Sumber kas masuk dari kredit karbon 7

karbon) maupun terjadi perubahan kebijakan yang mempengaruhi pengelolaan implementasi REDD+, seperti kegiatan pemberdayaan masyarakat, pencegahan kebakaran, dan lain-lain. Implementasi REDD+ di MRPP sangat sensitif terhadap perubahan harga karbon. Jika harga karbon turun menjadi US$ 4 per tco 2 maka kelayakan implementasi REDD+ tersebut menjadi tidak layak. Di samping itu kebijakan dan manajemen dalam pengelolaan implementasi REDD+ akan sangat menentukan kinerja penurunan emisi. Jika target penurunan emisi hanya tercapai 80%, implementasi REDD+ tersebut menjadi tidak layak. Rekomendasi Keberlanjutan implementasi REDD+ sangat tergantung kepada aktivitasaktivitas yang dilaksanakan, baik dalam manajemen pengelolaan lokasi implementasi REDD+ dan kemampuan dalam menentukan berapa besar insentif yang seharusnya diterima, mengingat kelayakan implementasi REDD+ tersebut sangat sensitif terhadap tingkat harga karbon dan kinerja pencapaian target penurunan emisi. Analisis ekonomi terhadap implementasi REDD+ perlu dilakukan sebagai dasar perumusan kebijakan. Hasil analisis kelayakan implementasi REDD+ ini sangat tergantung pada kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat dimana proyek tersebut akan dilaksanakan. Oleh karena itu identifikasi terhadap potensial manfaat dan biaya yang diperlukan menjadi penting sehingga manfaat yang diperoleh dari implementasi REDD+ tersebut akan mampu mengkompensasi semua biaya yang dikeluarkan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; Website: www.puspijak.org 8 Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia