BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit serius yang disebabkan oleh dari genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria bisa berakibat fatal jika tidak terdeteksi dini dan mendapat penanganan yang tepat. Beberapa genus penyebab penyakit malaria diantaranya : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi. Malaria masih merupakan masalah kesehatan global di daerah tropis dan subtropis [1]. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) sebagian besar kematian karena malaria pada tahun 2015 di Afrika mencapai 90%, diikuti oleh Asia Tenggara sebesar 7% dan 2% kasus malaria di Timur Mediteranian. Sekitar 1,3 miliar orang beresiko malaria di 10 negara kawasan Asia Tenggara. Enam negara kecuali India, Nepal dan Indonesia dilaporkan telah memberi jumlah obat-obatan antimalaria yang cukup, namun tiga negara di kawasan Asia menyumbang 96% dari kasus malaria yang terjadi : India 70%, Indonesia 16% dan Myanmar 10% [2]. Wilayah kasus malaria di Indonesia yang dikonfirmasi per 1000 penduduk / prevalensi (PP) ditunjukkan pada Gambar 1.1. yang diperoleh dari [2]. Gambar 1.1. Konfirmasi Kasus Malaria di Indonesia [2] 1
Nyamuk Anopheles betina menginjeksi sporozoites yang terdapat pada kelenjar liur nyamuk ke aliran darah manusia sebagai inang perantara. Dalam waktu singkat, sporozoites yang telah masuk ke dalam aliran darah akan masuk kedalam hati dan menyerang sel-sel hati. Sporozoites akan berkembang dan bermultiplikasi di sel-sel hati. Sel-sel hati akan mengandung jutaan merozoit dan akhirnya pecah. Merozoit yang dikeluarkan masuk ke aliran darah dan selanjutnya menginfeksi selsel darah merah (RBC). Mezosites ini akan berkembang menjadi trofozoit, skizon, dan gametocytes yang biasanya disebut sebagai tahap dari pertumbuhan e Plasmodium. Beberapa gejala klinis yang ditemukan pada penderita malaria diantaranya adalah demam tinggi, sakit kepala, menggigil dan nyeri diseluruh tubuh. Pada beberapa kasus ada beberapa gejala lainnya seperti mual, muntah dan diare. Terdapat berbagai teknik pengujian laboratorium yang dilakukan untuk melihat kehadiran malaria dalam sampel darah tipis dan tebal diantaranya pemeriksaan mikroskopis dari sediaan darah tepi, Quantitative Buffy Coat (QBC), dan Rapid Diagnosis Test (RDT) [3]. Pada diagnosis secara mikroskopis, sediaan darah manusia dipersiapkan sebagai sediaan dan tipis pada slide kaca untuk kemudian diwarnai dengan larutan giemsa untuk memvisualisasikan malaria. Saat ini pemeriksaan miskropkopis menjadi standar emas dalam diagnosis malaria, karena cukup sensitif terhadap kehadiran dan biaya yang rendah [4][5][6]. Salah satu kelemahan dari miscroscopic analysis adalah kondisi hapusan darah yang sangat bergantung pada pencahayaan dan kondisi pencitraan. Selain itu teknik tersebut cukup memakan waktu dan akurasinya sangat bergantung pada tingkat keahlian paramedis terutama ketika diagnosis dilakukan pada tahap awal infeksi [3]. QBC melibatkan pewarnaan deoxyribonucleic acid (DNA) dalam tabung mikrohematokrit dengan pewarna fluorescent dan deteksi selanjutnya dengan mikroskop epi-fluorescent. Teknik QBC dinilai sederhana, handal dan userfriendly, namun memerlukan instrumentasi khusus dan lebih mahal jika dibandingkan dengan mikroscop cahaya konvensional, dan lemah pada penentuan spesies dan jumlah. Pada RDT semua didasarkan pada prinsip sama dan mendeteksi antigen malaria dalam darah yang mengalir disepanjang membran yang 2
mengandung antibodi anti-malaria sehingga pada RDT tidak diperlukan peralatan laboratorium. RDT merupakan diagnosis malaria yang cepat namun harus digunakan bersama dengan metode lain untuk mengkonfirmasi hasil, ciri infeksi dan memantau pengobatan [3]. Terdapat dua teknik dalam pendeteksian malaria menggunakan mikroskop, yang pertama dilakukan terdiri dari sejumlah besar sel darah merah yang terhemolis untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi oleh atau tidak. Pada sediaan darah tipis hanya terdiri dari satu lapisan sel darah merah yang tersebar digunakan untuk mengidentifikasi spesies malaria, mengukur emia dan mengenali bentuk dari tahapan yang telah menginfeksi sel darah merah. Sedangkan yang terdiri dari berlapis-lapis sel darah merah dan dibuat dari 3-4 tetes darah pada slide kaca digunakan untuk mendeteksi adanya. Pada teknik ini seorang paramedis harus melihat 200 lapang pandang dari sediaan atau menghitung 200-500 sel darah putih yang ada untuk menentukan apakah seorang pasien terinfeksi malaria [5]. Pada sediaan darah tipis tujuan utamanya adalah untuk memastikan spesies malaria terlihat didalam sel darah merah dengan cara menilai ukuran dari sel darah merah yang terinfeksi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi serta karakteristik bentuk tiap stadiumnya. Sedangkan hanya ada sel darah putih, trombosit dan yang divisualisasikan dengan tujuan untuk mendeteksi infeksi dan memperkirakan densitas [7]. Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, begitu banyak pemanfaatan teknologi dalam berbagai bidang terutama pada bidang kesehatan. Teknologi saat ini dimanfaatkan sebagai suatu cara pengidentifikasian penyakit bahkan sampai pada tahap diagnosis dari keparahan suatu penyakit itu sendiri. Salah satu teknik yang sering digunakan pada identifikasi penyakit adalah pengolahan citra digital. Pengolahan citra digital merupakan salah satu teknologi penyelesaian masalah dengan pemrosesan yang dilakukan terhadap suatu citra. Khusus pada bidang kesehatan, pengolahan citra akan membantu dokter dalam mendiagnosis berbagai penyakit dan kondisi dari seorang pasien seperti pada 3
diagnosis infeksi malaria yang disebabkan oleh. Pendeteksian pada laboratorium sendiri membutuhkan bantuan mikroskop karena ukuran yang sangat kecil. Hal tersebut akan memakan waktu yang cukup lama dan akan sangat bergantung terhadap kepakaran dari paramedis [8][9]. Faktor lain yang bisa menyebabkan kesalahan diagnosis seperti pencahayaan pada saat proses pendeteksian menggunakan mikroskop sangat mungkin terjadi. Keterbatasan tersebut menunjukkan adanya kebutuhan metode yang dibantu komputer untuk mendeteksi dan mendiagnosa adanya pada sediaan. Beberapa penelitian terdahulu telah memanfaatkan teknik pengolahan citra pada diagnosis infeksi malaria, dimana biasanya fokus penelitian yang dilakukan adalah deteksi malaria darah tipis. Pada penelitian ini akan dilakukan deteksi infeksi malaria, karena 20-40 kali lebih sensitif dibandingkan dengan sediaan darah tipis untuk skrining, dengan batas deteksi 10-50 trofozoit/ µl [10][11]. Pada teknik mikroskop konvensional, pada satu sediaan darah yang dianggap terinfeksi tapi memiliki hasil negatif akan dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 jam selama 48 jam [12]. Penelitian ini mengembangkan sebuah model deteksi dan klasifikasi untuk mengklasifikasikan dan artefak pada citra sediaan yang diperoleh dari mikroskop dan diubah menjadi sebuah citra digital, sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Berbagai penelitian mengenai deteksi dan klasifikasi infeksi malaria telah dilakukan oleh beberapa peneliti dalam beberapa tahun terakhir baik maupun sediaan darah tipis. Penelitian oleh Wibawa [13] bekerja sama dengan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM dalam mengembangkan metode klasifikasi spesies dan fase. Namun, fokus dari penelitian tersebut adalah darah tipis. Sementara sebelum dilakukannya identifikasi spesies dan fase yang menginfeksi manusia diharuskan untuk mengetahui keberadaan terlebih dahulu 4
dengan melihatnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pengembangan metode deteksi dan klasifikasi pada sediaan. Pada penelitian ini metode deteksi calon yang diusulkan yaitu Bottom-Hat dan Adaptive Entropy Thresholding. Pemilihan metode deteksi tersebut dikarenakan pada beberapa hasil percobaan metode Bottom-Hat dan Adaptive Entropy Thresholding memberikan hasil visual yang terbaik pada deteksi calon. Untuk metode klasifikasi yang diusulkan pada penelitian ini adalah Naïve Bayes klasifier, hal tersebut dikarenakan data yang digunakan memiliki perbedaan nilai fitur yang cukup berdekatan sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan klasifikasi bisa terjadi apabila klasifier tidak mampu mengatasi data dengan fitur yang tidak relevan. Sedangkan, Naïve Bayes merupakan klasifier yang mampu mengatasi kasus dengan fitur yang tidak relevan. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengembangan metode deteksi dan klasifikasi pada citra digital sediaan akan menggunakan metode Bottom-Hat dan Adaptive Entropy Thresholding pada deteksi, serta metode Naïve Bayes pada klasifikasi. 1.2 Perumusan masalah Kualitas deteksi pada citra miskroskopis digital sediaan sangat dipengaruhi oleh kepakaran dan pengalaman dari paramedis, hal ini sangat berpengaruh pada hasil diagnosis. Deteksi yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan diagnosis. Pengolahan citra digital dapat menjadi solusi untuk membantu tenaga medis dalam meningkatkan kualitas deteksi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk merancang metode deteksi menggunakan citra digital. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Elter, dkk [14] dengan mengusulkan sebuah metode deteksi darah tebal. Namun, metode tersebut hanya sensitif terhadap citra dengan kepadatan kurang dari lima. Kelemahan tersebut akan berpengaruh pada hasil identifikasi yang dihasilkan, terlebih jika yang ada pada sebuah citra memiliki kepadatan lebih dari lima. 5
1.3 Keaslian penelitian Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan pengolahan citra digital dan data mining untuk deteksi pada citra digital sediaan telah banyak dikembangkan. Pada bagian ini diberikan kajian mengenai beberapa penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi pada citra digital sediaan. Berikut adalah perbandingan beberapa metode yang dilakukan antara peneliti satu dengan peneliti yang lain. Keaslian penelitian di sini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Tabel 1.1 menunjukkan beberapa rangkuman penelitian yang terkait dengan identifikasi. Metode yang digunakan pada beberapa penelitian terdahulu cukup beragam dan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Sebagian besar permasalahan penelitian yang dirangkum dalam Tabel 1.1 terdiri atas identifikasi, deteksi, segmentasi dan klasifikasi. Identifikasi dilakukan oleh [15][16][11], proses ini merupakan dasar untuk tahapan berikutnya. Mereka memanfaatkan ruang warna untuk dapat membedakan dengan objek lainnya seperti sel darah putih dan artefak. Penelitian [15] melakukan peningkatan kualitas citra dengan menggunakan teknik dark stretching untuk mempermudah proses segmentasi citra. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh May, dkk [16] memanfaatkan ruang warna L*a*b dalam proses segmentasi dan menghitung banyaknya dalam darah. Sedangkan, [11] menggunakan fitur statistik orde pertama seperti mean, standar deviasi, kurtosis, skewness dan entropi yang kemudian digunakan untuk proses klasifikasi. Deteksi dilakukan oleh Elter, dkk [14] dengan melakukan transformasi warna citra masukan menjadi citra monokrom. Hal tersebut dilakukan dengan membagi citra kanal hijau terhadap citra kanal biru dan kemudian dikalikan terhadap invers tangen dari keduanya. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan operasi morfologi black-top-hat untuk memisahkan dari latar belakang dan objek lain seperti sel darah putih. Kemudian 6
dikombinasikan dengan global thresholding pada binarisasi citra. Segmentasi dilakukan oleh [17][18]. Harini, dkk [17] menggunakan kombinasi dari operasi morfologi dengan analisis blob pada tahap segmentasi untuk memisahkan dari latar belakang. Sedangkan Abidin, dkk [18] menggunakan Active Countour without Edge pada proses segmentasi. Klasifikasi dilakukan oleh [19][20]. Pinkaew, dkk [19] menggunakan lima fitur statistik yaitu mean, standar deviasi, kurtosis, skewness dan entropi. Fitur tersebut kemudian digunakan pada tahap klasifikasi menggunakan Support Vector Machine. Sedangkan Ravijava, dkk [20] menggunakan Histogram of Oriented Gradients dan wavelet method pada ekstraksi fitur. Tabel 1.1. Penelitian Identifikasi Penyakit Malaria No Peneliti Tujuan Penelitian Metode Keterangan 1. Hanif, dkk [15], 2011. Identifikasi Plasmodium Falciparum Segmentasi menggunakan teknik dark stretching Melakukan peningkatan kualitas citra dengan teknik dark stretching sehingga mempermudah proses segmentasi darah tebal. 2. Elter, dkk [14], 2011. Deteksi Operasi morfologi black-top-hat untuk memisahkan dengan leukosit dan artefak lain Melakukan transformasi warna citra masukan menjadi citra monokrom dengan membagi citra kanal hijau terhadap citra kanal biru dan kemudian dikalikan terhadap invers tangen keduanya. 7
No Peneliti Tujuan Penelitian Metode Keterangan 3. May, dkk [16], 2013. Identifikasi dan kuantifikasi Plasmodium vivax Konversi ruang warna ke L*a*b, segmentasi dengan menggunakan metode Otsu serta transformasi ke citra negative Hasil dari penelitian ini adalah melihat keberadaan yang menjangkit. 4. Purnama, dkk [11], 2013. Identifikasi Plasmodium Ekstraksi fitur terhadap kanal R, G dan B dari citra RGB serta kanal hue dari citra HSV dan HIS Menggunakan fitur statistik orde pertama yaitu mean, standar deviasi, kurtosis, skewness dan entropi. Fitur tersebut kemudian digunakan pada tahap klasifikasi menggunakan Genetic Programming. 5. Pinkaew, dkk [19], 2015. Klasifikasi otomatis Ekstraksi fitur dilakukan pada kanal G dari citra RGB, kanal I dari citra HSI serta kanal S dan V dari citra HSV Menggunakan lima fitur statistik yaitu mean, standar deviasi, kurtosis, skewness dan entropi. Fitur tersebut kemudian digunakan pada tahap klasifikasi menggunakan Support Vector Machine. 6. Harini, dkk [17], 2015 Segmentasi Konversi ruang warna ke HSV, segmentasi dengan menggunakan analisis blob Menggunakan kombinasi dari operasi morfologi dengan analisis blob pada tahap segmentasi untuk memisahkan dari latar belakang. 8
No Peneliti Tujuan Penelitian Metode Keterangan 7. Raviraja, dkk [20], 2015 Klasifikasi dan pengenalan Konversi ruang warna ke HSV, kemudian melakukan region detection menggunakan RoI Menggunakan Histogram of Oriented Gradients dan wavelet method pada ekstraksi fitur. 8. Abidin, dkk [18], 2016 Segmentasi Active Countour without Edge digunakan pada proses segmentasi Melakukan pemotongan calon untuk memudahkan proses segmentasi. Berdasarkan hasil kajian dari beberapa penelitian yang dijelaskan pada Tabel 1.1, terkait dengan peningkatan teknik deteksi dan klasifikasi malaria berbasis pengolahan citra digital, nampak bahwa antar penelitian tersebut memiliki perbedaan metode yang cukup signifikan terutama pada metode yang diusulkan. Oleh karena itu penelitian ini berusaha memberikan konstribusi untuk melakukan deteksi dan klasifikasi malaria dengan bantuan metode yang dapat digunakan pada pengolahan citra digital. Dengan tujuan dapat mendeteksi tiap objek yang dianggap sebagai dan kemudian diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu dan artefak, sehingga dapat meningkatkan kinerja paramedis dalam mendeteksi sel. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah mengembangkan metode berbasis pengolahan citra digital untuk meningkatkan performa metode dalam mendeteksi pada citra mikroskopis digital sediaan. Selain itu, akan dilakukan juga pengembangan metode untuk meminimalisir jumlah false positive pada deteksi dengan memanfaatkan metode klasifikasi untuk 9
membedakan objek yang dianggap sebagai dan objek lain yang bukan. 1.5 Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan dari penelitian, maka diharapkan nantinya akan memberikan manfaat baik bagi pihak umum maupun penulis. Adapun manfaat tersebut antara lain : 1. Diharapkan dapat membantu tenaga medis untuk membantu mendeteksi, sehingga mampu memimimalisir kesalahan diagnosis yang disebabkan unsur subjektifitas. 2. Metode yang dikembangkan diharapkan dapat menjadi modul rancangan suatu sistem berbasis komputer identifikasi malaria dalam darah. 10