BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Pengertian otonomi daerah itu sendiri menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Otonomi daerah merupakan upaya yang dibentuk guna memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang diwujudkan dengan melakukan kegiatan atau membuat pembaharuan yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. (Presiden RI, 2004 a ) Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, maka data keuangan memegang peranan penting dalam hal pengelolaan sumber pembiayaan serta alokasi pendapatan dan belanja daerah agar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Data keuangan daerah dapat memberikan deskripsi secara statistik mengenai perkembangan anggaran dan bagaimana anggaran tersebut dialokasikan. Data statistik tersebut memiliki kegunaan untuk menentukan kebijakan daerah dan dapat pula memberikan gambaran mengenai kemampuan serta kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. 1
2 Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan indikator indeks pembangunan manusia (IPM) yang ditandai dengan peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat (Presiden RI, 2014). Kesehatan adalah salah satu unsur penting bahkan sangat strategis dalam upaya pembangunan Manusia. Kesehatan merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat. Pelayanan kesehatan dilakukan melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan oleh semua pihak secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat (Presiden RI, 2009). Kewajiban dalam menjamin pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah pusat, akan tetapi merupakan kewajiban semua tingkat pemerintahan sesuai dengan kewenangannya termasuk dalam menjamin pembiayaan kesehatan. Pemerintah telah mengalokasikan dana yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain untuk pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Presiden RI, 2009).
3 Pembiayaan kesehatan yang dilakukan pemerintah ditetapkan dalam UU. No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembiayaan kesehatan tersebut bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (Presiden RI, 2009). Dana alokasi khusus (DAK) sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, diantaranya untuk meningkatkan pembangunan kesehatan, sehingga pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. Ruang lingkup penggunaan DAK bidang kesehatan dibagi menjadi dua yaitu fisik dan non fisik. DAK fisik salah satunya diarahkan untuk sub bidang kefarmasian seperti penyediaan obat dan bahan medis habis pakai (BMHP) di tingkat kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2015). Sumber dana lain yang dapat digunakan pemerintah dalam penyediaan obat adalah dana kapitasi. Dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sumber dana kapitasi berasal dari hasil pengelolaan dan pengembangan dana iuran peserta JKN oleh BPJS Kesehatan. Alokasi untuk
4 pembayaran jasa pelayanan kesehatan untuk tiap FKTP ditetapkan sekurangkurangnya 60% dari penerimaan dana kapitasi. Sedangkan alokasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besar dana kapitasi dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan. Alokasi dana kapitasi untuk biaya operasional pelayanan kesehatan digunakan untuk belanja obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. (Kemenkes RI, 2016 a ) Obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan, selain itu obat juga sudah merupakan kebutuhan masyarakat yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, obat perlu dikelola dengan baik, efektif dan efisien. Tujuan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dengan jenis dan jumlah yang cukup, sehingga kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi. Sesuai dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota memegang peranan yang sangat penting dalam menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat untuk pelayanan kesehatan dasar. (Presiden RI, 2009) Kota Yogyakarta merupakan ibukota Provinsi D.I. Yogyakarta yang terbagi menjadi 14 wilayah kecamatan dan 45 wilayah kelurahan. Kota Yogyakarta merupakan kota dengan dengan tingkat ketersediaan obat yang yang baik. Pencapaian kinerja ketersediaan obat dan vaksin tahun 2014 terealisasi 91,9% dari
5 target yang ditetapkan sebesar 93% (capaian sebesar 98,8%). Dari 297 jenis obat dan vaksin, tersedia 273 jenis dalam jumlah yang cukup untuk 18 bulan. Pemantauan obat skala nasional juga dilaksanakan di kota Yogyakarta, dari 297 jenis obat dan vaksin yang tersedia dipilih 144 jenis obat dan vaksin yang ditetapkan sebagai pemantauan ketersediaan obat dan vaksin. Hasil yang dicapai pada tahun 2014 adalah 126,45% dari target yang ditetapkan Kemenkes sebesar 100%. (Dinkes Kota Yogyakarta, 2015) Diperlukan kajian untuk mengevaluasi pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat dinas kesehatan kota Yogyakarta sehingga operasional pelayanan kesehatan dapat berjalan efektif, efisien guna menentukan kebijakan yang tepat oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Berdasarkan hal ini, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai seberapa besar pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat di dinas kesehatan kota Yogyakarta pada era JKN dan juga untuk mengetahui bagaimana peran dinas kesehatan dalam melakukan, monitoring dan evaluasi pengelolaan dana. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada era JKN? 2. Bagaimana peran Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat pada era JKN?
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat dinas kesehatan kota Yogyakarta pada era JKN belum pernah dilakukan penelitian sama, namun ada beberapa penelitian yang serupa di kota atau kabupaten lainnya. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan dapat dilhat pada tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Keaslian Penelitian Kategori (Puspita, 2009) (Pratiwi, 2011) (Soebangkit, 2011) (Sofyan, 2013) (Rahayu, 2017) Judul Evaluasi perencanaan dan pengadaan obat di dinas kesehatan kabupaten Majalengka tahun 2006, 2007 dan 2008 Evaluasi perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi dinas kesehatan kota Semarang Evaluasi kinerja perencanaan obat di dinas kesehatan kabupaten Konawe tahun 2008-2010 Evaluasi perencanaan dan ketersediaan obat publik untuk pelayanan kesehatan dasar (PKD) di Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong Evaluasi perencanaan dan ketersediaan obat di Instalasi Farmasi Dinas Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2013-2015 Tujuan Mengetahui kesesuaian perencanaan dan pengadaan obat di Dinas Majalengka tahun 2006-2008 Mengevaluasi dan melihat kesesuaian perencanaan dan pengadaan obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2007-2008 Mengevaluasi kinerja perencanaan obat yang dilakukan di Dinas Konawe pada tahun 2008, 2009, dan 2010 Mengevaluasi perencanaan dan ketersediaan obat publik untuk pelayanan kesehatan dasar yg telah dilaksanakan di Dinas Rejang Lebong tahun 2010-2011. Mengevaluasi perencanaan, dukungan manajemen dan ketersediaan obat di Instalasi Farmasi Dinas Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2013-2015 6
Lanjutan Tabel 1. Tempat Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka Dinas Kesehatan Kota Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan Instalasi Farmasi Dinas Semarang Kabupaten Konawe Kabupaten Rejang Lebong Murung Raya Waktu 2006-2008 2007-2008 2008-2010 2010-2011 2013-2015 Metode Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, dideskripsikan, dan dibandingkan dengan hasil wawancara dan indikator Pengumpulan data secara retrospektif dengan pengamatan deskriptif dan perhitungnan indikator perencanaan dan pengadaan Deskriptif analitik menggunakan rancangan studi kasus. Pengumpulan data secara kualitatif maupun kuantitatif. Deskriptif dan menggunakan data retrospektif. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan kuantitatif. Deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif. Hasil Alokasi dana pengadaan obat 39,95% (2006); 48,56% (2007); 43,45% (2008), keseuaiaan dana pengadaan obat 1004% (2006); 100,01% (2007), 100,01% (2008), biaya obat per penduduk masih di bawah standar (< Rp. 5000,-), 1) biaya obat perpenduduk masih dibawah standar (Rp. 5000,-) 2) persentase alokasi dana pengadaan obat dibanding dana bidang kesehatan 8,53% (2007) dan 9,83% (2008), 3) alokasi dana pengadaan obat dari anggaran APBD II sebesar 97,59 %(2007) dan 92,65% (2008). Kesesuaian dana pengadaan obat 21,3-44%, alokasi dana pengadaan obat 12,14-21,33%, dan biaya obat per penduduk Rp.6621- Rp.8733,7,- Pada tahun 2010 dan 2011 prosentase alokasi dana obat terhadap total kebutuhan dana obat sebesar 83,07% dan 70,49%, prosentase alokasi dana obat terhadap total dana kesehatan sebesar 18,76% dan 20,02%, biaya obat perkapita Rp.7,476 dan Rp. 6,344 Persentase alokasi dana obat 5,74% (2013); 4,60% (2014); 6,39% (2015), Persentase alokasi dana pengadaan obat 74,58% (2013); 80,55% (2014); 98,97% (2015), dan biaya obat perkapita masih belum sesuai dengan ketetapan WHO $2 perkapita, tetapi ketetapan nasional sudah mencukupi $1 perkapita 7
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat : 1. Manfaat Praktis a. Bagi pemerintah pusat : Sebagai bahan masukan dalam membuat rancangan peraturan-peraturan terkait pengelolaan dana di dinas kesehatan kabupaten/kota. b. Bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta: Sebagai masukan untuk menentukan kebijakan dalam rangka memperkuat sistem pengelolaan dana untuk memenuhi kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. 2. Manfaat Ilmiah a. Dapat mengetahui gambaran pengelolaan dana untuk memenuhi kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada era JKN. b. Dapat mengetahui gambaran peran Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana untuk memenuhi kebutuhan obat pada era JKN. E. Tujuan Penelitian 1. Mengevaluasi pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada era JKN. 2. Mengetahui peran Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana untuk pemenuhan kebutuhan obat pada era JKN. 8