BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan belum dapat dikurangi secara drastis. Menurut data Badan Pusat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) (Metode Baru)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

Pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, maka tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

PENDAHULUAN. hidup yang layak dibutuhkan pendidikan. Pendidikan dan kesehatan secara. dan merupakan jantung dari pembangunan. Negara-negara berkembang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. perubahan pada indikator sosial maupun ekonomi menuju kearah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) METODE BARU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan sebuah upaya atau proses untuk melakukan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perhatian khusus pada kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN NGADA, TAHUN O15

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) (Metode Baru)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana. pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan pemerintah bersama

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi makro perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang membaik walaupun permasalahan pengangguran dan kemiskinan belum dapat dikurangi secara drastis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen dari populasi Indonesia. Data ini menunjukkan penurunan 2,01 juta orang dibandingkan dengan 2011 yang mencapai 30,02 juta orang atau 12,49 persen populasi Indonesia. Penurunan tingkat kemiskinan ini menunjukkan proses pembangunan yang memberikan perubahan ke arah yang lebih baik untuk mensejahterakan masyarakat. Pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri dan kebebasan individu (Todaro dan Smith, 2011: 6). Proses perubahan tersebut harus berkesinambungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial, dan budaya sehingga pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bernegara. Tujuan utama dari pembangunan perekonomian adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan menggunakan indikator produk domestik bruto (PDB) dan produk nasional bruto (PNB). Dalam proses 1

pertumbuhan PDB memerlukan input yang berupa manusia sebagai human capital yang mempunyai kemampuan dan keahlian yang unik, di mana manusia akan selalu menambah stock of human capital-nya melalui pendidikan dan pengalaman bekerja (Borjas, 2013: 235). Hal ini sejalan dengan Adediran (2012: 3), human capital mengacu kepada stok dari kompetensi, ilmu pengetahuan dan kepribadian yang melekat dari kemampuan tenaga kerja pada saat menghasilkan nilai ekonomi. Atribut-atribut ini memberikan keuntungan bagi pekerja yang juga didapatkan melalui pendidikan dan pengalaman kerja. Pembangunan manusia merupakan proses memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia (a process of enlarging people's choices). Dalam hal ini manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan alat dari pembangunan (Human Development Report, 1990: 3). Untuk melakukan perhitungan yang komprehensif terhadap pembangunan manusia, UNDP memperkenalkan human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM) pertama kali pada 1990. Sejak saat itu, IPM secara berkala dipublikasikan setiap tahunnya dalam Human Development Report. Dalam Human Development Report yang pertama kali diterbitkan pada 1990 (Drapper, 1990: iii) 1, menyebutkan bahwa tujuan utama dari adanya IPM ini tidak akan menyampingkan pertumbuhan PDB suatu negara sebagai indikator dalam pertumbuhan ekonominya, namun turut membantu menjabarkan PDB sebagai pertumbuhan dari sisi pembangunan manusianya. Proses menerjemahkan ini 1 Lihat Kata Pengantar Human Development Report, 1990. 2

kadang berhasil, namun tidak juga menutup kemungkinan untuk gagal. Karena bisa saja suatu negara memiliki nilai pembangunan manusia yang relatif tinggi namun tingkat pendapatannya cenderung rendah, vice versa, seperti yang digambarkan pada Tabel 1.1 berikut: Tabel 1. 1 Nilai dan Peringkat IPM dan PDB per Kapita ASEAN, 2014 Negara PDB per IPM Peringkat Peringkat Kapita PDB per dari IPM Nilai USD Kapita Singapura 0,912 11 56.284,57 9 Brunei Darussalam 0,856 31 40.979,64 25 Malaysia 0,779 62 11.307,06 69 Thailand 0,726 93 5.977,38 108 Indonesia 0,684 110 3.491,92 140 Filipina 0,668 115 2.872,51 151 Vietnam 0,666 116 2.052,29 156 Laos 0,575 141 1.793,47 164 Kamboja 0,555 143 1.094,57 183 Myanmar 0,536 148 1.203,84 179 Sumber: UNDP 2 dan World Bank 3, 2014, diolah Sejak pertama kali diperkenalkan, IPM menjadi indikator penting dalam mengukur kemajuan pembangunan manusia. Menurut BPS, IPM merupakan alat ukur untuk capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Besarnya nilai IPM juga tidak terlepas dari peran ketiga indikator utamanya yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Berbagai negara mengadopsi konsep pembangunan manusia yang digagas oleh UNDP dan mencoba mengaplikasikan perhitungan IPM di negaranya. Indonesia turut mengambil bagian dalam mengaplikasikan konsep pembangunan manusia yang dinilai lebih relevan dibandingkan dengan konsep pembangunan 2 United Nations Development Programme (UNDP), Table 2: Trends in the Human Development Index, 1990-2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/ en/composite/trends 3 World Bank, PDB per kapita (USD), diakses dari: http://data.worldbank.org/ indicator/ny. GDP.P/CAP.CD 3

konvensional. Indonesia pertama kali melakukan perhitungan IPM pada 1996 yang dilakukan secara berkala setiap tiga tahun. Namun, sejak 2004, IPM dihitung setiap tahun. Menurut UNDP, perhitungan IPM pada saat ini menggunakan metode baru sejak 2010. Tolok ukur yang digunakan untuk menentukan kualitas hidup manusia adalah IPM dengan tiga komponen perhitungan, yaitu (1) Angka harapan hidup/ AHH pada waktu lahir (life expectancy at birth); (2) Harapan lama sekolah/ HLS (expected years of schooling/ EYS) dan Rata-rata lama sekolah/ RLS (mean years of schooling/ MYS); dan (3) Kemampuan daya beli (purchasing power parity) yang dilihat dari PNB riil per kapita (PPP USD). Melalui peningkatan ketiga indikator diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia. Tabel 1. 2 Komponen IPM Metode Baru di ASEAN, 2014 Peringkat IPM Negara AHH HLS RLS PNB per Kapita IPM Metode Baru Tahun Tahun Tahun PPP USD Unit 11 Singapura 83,0 15,4 10,6 76.628 91,2 31 Brunei Darussalam 78,8 14,5 8,8 72.570 85,6 62 Malaysia 74,7 12,7 10,0 22.762 77,9 93 Thailand 74,4 13,5 7,3 13.323 72,6 110 Indonesia 68,9 13,0 7,6 9.788 68,4 115 Filipina 68,2 11,3 8,9 7.915 66,8 116 Vietnam 75,8 11,9 7,5 5.092 66,6 141 Laos 66,2 10,6 5,0 4.680 57,5 143 Kamboja 68,4 10,9 4,4 2.949 55,5 148 Myanmar 65,9 8,6 4,1 4.608 53,6 Sumber: UNDP 4, 2014, diolah Perbandingan nilai dan komponen IPM di beberapa negara Asean dapat dilihat dalam Tabel 1.2. Singapura memiliki tingkat IPM tertinggi di Asean, peringkat 11 di level dunia, sehingga Singapura masuk ke dalam kategori very high human development menurut UNDP. Sedangkan, Indonesia berada pada 4 United Nations Development Programme, Table 1: Human Development Index and It s Components, 2014, diakses dari: http://hdr.undp.org/en/composite/hdi 4

urutan ke lima di Asean dan peringkat 110 di dunia, masuk dalam kategori medium human development, di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Untuk posisi IPM yang paling rendah di Asean adalah Myanmar yang menduduki peringkat ke 148 di dunia, yang masuk dalam kategori low human development. Berdasarkan data UNDP, peringkat pertama di dunia diduduki oleh Norwegia dengan nilai IPM sebesar 0,944; disusul dengan Australia (0,935) dan Swiss (0,930). Kualitas pembangunan manusia di negara-negara tesebut tidak lepas dari adanya pengaruh dari pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Semakin tinggi alokasi yang ditetapkan pemerintah dalam dua bidang tersebut maka akan terjadi peningkatan terhadap pembangunan manusia sehingga akan meningkatkan produktivitas manusia sebagai modal manusia. Perbandingan pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Asean ditunjukkan pada Tabel 1.3 berikut: Tabel 1. 3 Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan di ASEAN, 2014 (% terhadap PDB) Peringkat Pengeluaran Peringkat Pengeluaran Negara Negara IPM Pendidikan IPM Kesehatan 93 Thailand 7,6 116 Vietnam 7,1 116 Vietnam 6,3 93 Thailand 6,5 62 Malaysia 5,9 141 Kamboja 5,7 31 Brunei Darussalam 3,8 11 Singapura 4,9 110 Indonesia 3,6 115 Filipina 4,7 115 Filipina 3,4 62 Malaysia 4,2 11 Singapura 2,9 110 Indonesia 2,8 148 Laos 2,8 31 Brunei Darussalam 2,6 141 Kamboja 2,6 143 Myanmar 2,3 143 Myanmar 0,8 148 Laos 1,9 Sumber: UNDP 5 dan World Bank 6, 2014, diolah 5 United Nations Development Programme, Table 10: Education achievements, diakses dari: http://hdr.undp.org/sites/default/files/2015_human_development_report.pdf 5

Pada 2014, pengeluaran pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan sebesar 3,6 persen terhadap PDB, besaran pengeluaran pemerintah tersebut berada pada posisi ke lima di Asean di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan pada tahun yang sama sebesar 2,8 persen terhadap PDB, yang menduduki peringkat ke tujuh di Asean di bawah Vietnam, Thailand, Kamboja, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan tersebut penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena pada dasarnya pendidikan dan kesehatan merupakan layanan jasa yang normatifnya disediakan oleh pemerintah bukan bertumpu pada sektor swasta atau mekanisme pasar. Dalam ruang lingkup Asean, Indonesia memiliki potensi kualitas pembangunan manusia yang baik, mengingat mayoritas penduduk Indonesia saat ini berada pada umur yang produktif. Pemerintah dapat berkontribusi untuk meningkatkan kualitas manusia melalui pengaturan alokasi, realisasi dan penyerapan anggaran khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang berperan secara langsung terhadap kualitas manusia. Hal ini sejalan dengan Brata (2005: 6), pengeluaran pemerintah daerah khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM dalam konteks regional (antar provinsi) di Indonesia. Sejak 2001, pemerintah memberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Landasan hukum yang digunakan atas pelaksanaan otonomi daerah dan 6 Bank Dunia, Total Pengeluaran Kesehatan (% terhadap PDB), diakses dari: http://data.worldbank.org/indicator/sh.xpd.totl.zs?view=chart 6

desentralisasi fiskal ini adalah UU No. 24 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tujuan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah untuk mengurangi tingkat kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia. Kebijakan ini tentunya akan berdampak terhadap APBD provinsi, dimana harapannya APBD provinsi di Indonesia dapat tersebar secara adil dan merata untuk pembangunan daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, otonomi daerah merupakan perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga bentuk penyelenggaraan pemerintah bergeser dari yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Otonomi daerah juga merupakan bentuk manifestasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka demokrasi di mana daerah kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang terdekat dengan rakyat. Menurut Tiebout (1956) dan Oates (1972), pelayanan publik yang efisien diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis terdekat masyarakat, karena (1) pemerintah daerah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya; (2) keputusan pemerintah daerah responsif terhadap kebutuhan rakyat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi penggunaan dana; dan (3) persaingan antardaerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan inovasinya. Implikasinya, pemerintah daerah diberikan tanggung jawab dan wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri, yang sebelumnya menjadi fungsi pemerintah pusat. 7

Sebelum era otonomi daerah, struktur APBD yang berlaku adalah anggaran berimbang, di mana anggaran penerimaan sama dengan jumlah pengeluarannya. Sedangkan pada era otonomi daerah ini, struktur APBD yang digunakan mengacu pada pendapatan masing-masing daerah sehingga tiap-tiap daerah memiliki struktur keuangan yang berbeda tergantung pada kapasitas keuangan yang dimilikinya. Peningkatan pendapatan daerah berarti juga meningkatnya anggaran belanja. Sehingga, pemerintah daerah diharapkan mampu untuk menggunakan dana desentralisasi fiskal untuk menentukan prioritas belanja. Hal ini cukup logis karena pemerintah daerah yang mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan atas masyarakatnya sendiri, yang pada akhirnya masyarakat yang memperoleh manfaatnya. Pemberlakuan otonomi daerah menjadikan besaran APBD provinsi meningkat drastis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu), rata-rata APBD di seluruh Indonesia meningkat sejak 2001, ketika dimulainya pelaksanaan otonomi daerah, dari yang semula sebesar Rp 796 miliar menjadi Rp 6,6 triliun pada 2015. Peningkatan anggaran ini disebabkan meningkatnya sumber-sumber pendanaan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diimplementasikan dalam transfer ke daerah yang dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi cakupan, jenis dana yang didaerahkan, maupun besaran alokasi dana yang didaerahkan. Peningkatan alokasi anggaran ke daerah yang cukup signifikan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi 8

kesejahteraan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007: 12-13). Namun, untuk tingkat sebaran APBD secara regional masih belum merata, pada provinsi-provinsi tertentu memiliki nilai APBD yang jumlahnya relatif besar. Misalnya, APBD DKI Jakarta yang mencapai Rp 38 triliun (2013) atau hampir tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Perbedaan APBD ini tentunya berdampak terhadap PDRB pada masingmasing provinsi. Pada 2001-2015, selama pemberlakuan otonomi daerah, rata-rata PDRB antar provinsi di Indonesia berfluktuasi, dengan tren yang meningkat. Sama seperti APBD, tingkat PDRB antar provinsi di Indonesia juga mengalami ketimpangan. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali jauh meninggalkan beberapa provinsi lainnya, di mana ketiga provinsi tersebut PDRB-nya sudah mencapai di atas Rp 1.000 triliun. Padahal rata-rata PDRB provinsi di Indonesia hanya berkisar Rp 200 triliun. Selain mempengaruhi APBD dan PDRB tiap-tiap provinsi, pelaksanaan otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusianya. Peningkatan nilai IPM terjadi setelah mulai diberlakukannya otonomi daerah. Karena, kondisi sebelum dilaksanakannya otonomi daerah, kebutuhan daerah belum tertampung dengan baik yang disebabkan pola perencanaan APBD lebih menitik beratkan pada pertumbuhan nasional dan mengacu pada program sektoral yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sebagai konsekuensinya, programprogram yang ditetapkan pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007: 21). Hal ini ditunjukkan dengan penyerapan dana dari pemerintah pusat yang belum dimanfaatkan secara optimal. 9

Walaupun terjadi peningkatan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan pada 1996-1999, namun tidak mampu untuk meningkatkan kualitas manusia di daerah. Mayoritas nilai IPM secara regional justru menurun. Gambaran tingkat IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan secara regional era sebelum otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel 1.4 berikut: Tabel 1. 4 Perbandingan IPM (Metode Lama) dengan Alokasi APBD Bidang Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era Sebelum Otonomi Daerah, 1996-1999 Provinsi IPM (Unit) APBD Pendidikan (Rp Juta) APBD Kesehatan (Rp Juta) 1996 1999 1996 1999 1996 1999 Aceh 69,40 65,30 24.987,67 15.059,09 2.339,61 16.861,37 Sumatera Utara 70,50 66,60 6.555,20 14.588,92 5.801,19 18.982,29 Sumatera Barat 69,20 65,80 4.222,97 8.308,36 1.177,17 7.535,32 Riau 70,60 67,30 3.359,23 47.491,45 4.797,71 17.948,92 Jambi 69,30 65,40 6.041,35 8.741,28 1.948,16 6.756,36 Sumatera Selatan 68,00 63,90 6.337,63 11.646,40 763,41 8.027,80 Bengkulu 68,40 64,80 1.065,07 3.152,92 823,66 4.574,89 Lampung 67,60 63,00 6.231,81 6.561,04 2.289,86 6.007,57 Kep.Bangka Belitung - - - - - - Kep. Riau - - - - - - D.K.I. Jakarta 76,10 72,50 98.843,44 93.254,55 70.567,06 70.341,21 Jawa Barat 68,20 64,60 37.194,29 28.738,69 17.618,48 27.379,95 Jawa Tengah 67,00 64,60 18.599,30 38.873,16 12.693,43 31.999,02 D.I. Yogyakarta 71,80 68,70 3.961,84 7.265,53 2.204,14 4.798,81 Jawa Timur 65,50 61,80 49.266,00 66.731,74 18.407,83 36.014,77 Banten - - - - - - Bali 70,10 65,70 5.834,12 9.347,81 4.845,74 7.871,31 Nusa Tenggara Barat 56,70 54,20 1.730,00 5.972,63 1.663,99 6.826,24 Nusa Tenggara Timur 60,90 60,40 3.155,74 4.437,05 2.150,03 11.763,18 Kalimantan Barat 63,60 60,60 6.543,65 12.140,03 3.411,51 9.073,15 Kalimantan Tengah 71,30 66,70 6.812,17 8.823,45 2.792,58 8.259,48 Kalimantan Selatan 66,30 62,20 4.840,51 5.383,23 891,08 10.663,37 Kalimantan Timur 71,40 67,80 7.734,94 20.333,68 5.229,41 13.070,88 Sulawesi Utara 71,80 67,10 5.560,36 7.444,54 1.191,26 3.435,33 Sulawesi Tengah 66,40 62,80 1.698,05 4.403,44 1.698,19 6.163,06 Sulawesi Selatan 66,00 63,60 3.691,57 9.686,42 2.756,54 12.933,08 Sulawesi Tenggara 66,20 62,90 1.458,53 4.856,46 776,85 6.359,71 Gorontalo - - - - - - Sulawesi Barat - - - - - - Maluku 68,20 67,20 3.550,51-1.119,83 - Maluku Utara - - - - - - Papua Barat - - - - - - Papua 60,20 58,80 10.646,73 15.677,00 7.654,80 22.928,00 Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 1996-1999, diolah 10

Kondisi awal pelaksanaan otonomi daerah, menunjukkan terjadi perbedaan penyusunan anggaran. Pada saat ini dana yang disalurkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dilakukan secara block grant. Untuk proses penyusunan anggaran dilakukan dengan pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang melibatkan masyarakat pada tingkat paling bawah, sehingga pembangunan diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN, 2007: 23). Hasil pembangunan tersebut secara perlahan dapat terlihat, kualitas manusia secara regional meningkat. Menurut data BPS, selama era pelaksanaan otonomi daerah, IPM baik dengan metode lama (2002-2013) atau metode baru (2010-2015) meningkat, dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,900 persen. Walaupun mayoritas nilai IPM secara regional meningkat, namun nilainya masih berada dalam kategori kelompok sedang dengan rentang nilai 60-69,9. Sehingga, untuk lebih memaksimalkan peningkatan IPM kedepannya pemerintah harus lebih memberikan perhatiannya pada investasi pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan data DJPK Kemenkeu, alokasi APBD bidang pendidikan sebesar Rp 2,38 triliun (2002) meningkat hingga sebesar Rp 3,4 triliun (2004). Untuk alokasi APBD bidang kesehatan meningkat dari sebesar Rp 1,17 triliun (2002) dan menjadi Rp 2,97 triliun (2004). Sehingga wajar ketika nilai IPM-nya meningkat dan nilainya relatif tinggi jika dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Gambaran tingkat IPM dan alokasi APBD untuk pendidikan dan kesehatan secara regional pada era awal otonomi daerah ditunjukkan pada Tabel 1.5 berikut: 11

Tabel 1. 5 Perbandingan IPM (Metode Lama) Terhadap Alokasi APBD Bidang Pendidikan dan Kesehatan Antarregional di Indonesia Pada Era Awal Desentralisasi Fiskal, 2002-2004 Provinsi IPM (Unit) APBD Pendidikan (Rp Juta) APBD Kesehatan (Rp Juta) 2002 2004 2002 2004 2002 2004 Aceh 66,00 68,70 705.710,67 257.869,93 45.410,00 69.459,85 Sumatera Utara 68,80 71,40 14.702,82 66.717,50 22.354,47 90.335,23 Sumatera Barat 67,50 70,50 11.360,51 34.811,47 14.988,34 82.395,06 Riau 69,10 72,20 374.314,27 359.352,39 91.299,10 118.510,60 Jambi 67,10 70,10 4.578,49 19.936,14 5.834,81 43.465,89 Sumatera Selatan 66,00 69,60 27.214,66 81.860,79 13.008,99 45.978,69 Bengkulu 66,20 69,90 1.155,00 12.303,33 990,00 33.257,65 Lampung 65,80 68,40 22.359,99 71.566,35 22.729,90 78.866,55 Kep.Bangka Belitung 65,40 69,60 6.810,00 4.138,79 685,00 7.101,27 Kep. Riau - 70,80 - - - - D.K.I. Jakarta 75,60 75,80 561.515,02 1.024.745,04 370.978,34 797.051,71 Jawa Barat 65,80 69,10 77.599,89 258.698,78 76.152,00 131.204,93 Jawa Tengah 66,30 68,90 65.886,93 103.471,42 63.162,62 256.979,36 D.I.Yogyakarta 70,80 72,90 16.863,88 78.012,47 4.245,90 41.412,00 Jawa Timur 64,10 66,80 94.000,93 434.718,77 87.989,34 323.602,98 Banten 66,60 67,90 27.611,60 63.557,26 20.763,10 26.386,35 Bali 67,50 69,10 35.600,00 47.802,21 21.572,39 31.608,48 NTB 57,80 60,60 7.556,05 33.363,19 10.488,16 42.569,14 NTT 60,30 62,70 10.601,83 25.992,50 10.475,00 42.332,07 Kalimantan Barat 62,90 65,40 23.465,00 34.226,21 6.325,00 55.456,00 Kalimantan Tengah 69,10 71,70 6.216,00-8.394,50 - Kalimantan Selatan 64,30 66,70 6.860,17 37.958,91 17.400,00 64.050,37 Kalimantan Timur 70,00 72,20 104.879,68 44.398,39 23.142,00 220.177,97 Sulawesi Utara 71,30 73,40 8.000,00 16.723,72 2.700,00 20.535,78 Sulawesi Tengah 64,40 67,30 2.047,50 32.546,39 2.420,00 34.948,73 Sulawesi Selatan 65,30 67,80 18.022,60 52.974,66 10.999,13 85.161,15 Sulawesi Tenggara 64,10 66,70 5.035,00-1.700,00 - Gorontalo 64,10 65,40 3.200,00 10.624,77 1.175,00 2.917,05 Sulawesi Barat - 64,40 - - - - Maluku 66,50 69,00-25.579,35-31.683,61 Maluku Utara 65,80 66,40 2.420,00 8.285,75 66.238,38 11.800,58 Papua Barat - 63,70 - - - - Papua 60,10 60,90 136.478,87 172.334,41 143.702,18 181.560,89 Sumber: BPS dan DJPK Kemenkeu, 2002-2004, diolah Tren peningkatan IPM secara regional selama pemberlakuan otonomi daerah masih terus berlanjut hingga lima tahun terakhir, (2011-2015). Rentang capaian IPM dengan menggunakan metode baru secara regional berada dalam kategori rendah hingga tinggi, dan sebagian besar provinsi di Indonesia berada dalam capaian sedang. Menurut data BPS, sudah terdapat delapan provinsi yang 12

masuk ke dalam kategori tinggi, yaitu: Banten (2015), Sulawesi Utara (2015), Riau (2014-2015), Kepulauan Riau (2011-2015), DKI Jakarta (2011-2015), DI Yogyakarta (2011-2015), Bali (2011-2015), dan Kalimantan Timur (2011-2015). Sedangkan hanya Provinsi Papua (2011-2015) yang masih menunjukkan nilai IPM yang rendah. Capaian positif ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsiprovinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja yang mengalami kemajuan IPM, namun peningkatan IPM relatif menyebar. Upaya peningkatan kualitas manusia yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya sebatas peningkatan alokasi anggaran. Hal yang juga tidak kalah penting, pemerintah daerah harus dapat memastikan setiap warganya memperoleh kemudahan akses. Akses yang dimaksud ini adalah keterjangkauan yang diperoleh individu untuk melanjutkan kehidupan yang semakin baik, secara fisik (pemenuhan konsumsi setiap barang) ataupun nonfisik (jangkauan pendidikan, kesehatan dan komunikasi). Ini sejalan dengan Mangkoesoebroto (1993: 120), bahwa peranan alokasi untuk mengusahakan sumber-sumber ekonomi dalam ruang lingkup regional yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat menjadi peranan pemerintah daerah. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam studi ini akan melihat sejauh mana faktor-faktor seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan alokasi APBD bidang pendidikan dan kesehatan mempengaruhi IPM sebagai perhitungan komprehensif dari pembangunan manusia jika dilihat dalam ruang lingkup regional. Harapannya dari hasil studi ini dapat dijadikan acuan baik pemerintah baik pusat maupun daerah dan pihak-pihak terkait untuk mengoptimalkan potensi 13

pembangunan manusia sehingga nilai IPM Indonesia dapat meningkat kedepannya. 1.2 Batasan Penelitian Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada perkembangan pembangunan manusia di Indonesia, yang direpresentasikan melalui IPM metode baru yang dikeluarkan oleh BPS. Penelitian secara khusus akan melihat pengaruh variabel-variabel kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia pada 2011-2015. 1.3 Rumusan Masalah Masih rendahnya kualitas manusia yang digambarkan oleh IPM menjadi salah satu masalah besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Data BPS menunjukkan nilai IPM metode baru di Indonesia sebesar 69,55 yang masuk kategori medium (2015). Capaian IPM tersebut relatif rendah, mengingat berbagai dimensi pembangunan yang menjadi indikator dasar pembentuk IPM menunjukkan kinerja yang baik, seperti penurunan tingkat kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif baik walaupun mengalami penurunan akibat kondisi perekonomian global dan peningkatan alokasi APBD bidang pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan permasalahan ini, maka penelitian ini akan menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan alokasi APBD dalam bidang pendidikan dan kesehatan terhadap IPM di Indonesia, 2011-14

2015. Hal ini dilakukan untuk memperoleh analisis yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia antarregional di Indonesia. 1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah pernyataan yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian. Adapun hipotesis penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini adalah: 1. Kemiskinan diduga memiliki pengaruh negatif terhadap IPM di Indonesia. 2. Pertumbuhan ekonomi diduga memiliki pengaruh positif terhadap IPM di Indonesia. 3. Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan diduga memiliki pengaruh positif terhadap IPM di Indonesia. 4. Pengeluaran pemerintah bidang kesehatan diduga memiliki pengaruh positif terhadap IPM di Indonesia. 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian untuk periode pengamatan 2011-2015 ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh tingkat kemiskinan terhadap IPM di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap IPM di Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang pendidikan terhadap IPM di Indonesia. 15

4. Menganalisis pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah daerah bidang kesehatan terhadap IPM di Indonesia. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Akademisi Penulisan peneltian ini merupakan ajakan bagi kaum akademisi untuk lebih banyak lagi melakukan kajian terhadap pembangunan manusia di Indonesia, dengan semakin banyaknya penelitian diharapkan semakin terbukanya informasi dan cara-cara yang efektif untuk meningkatkan pembangunan manusia. 2. Bagi Pemerintah Masukan bagi pemerintah sebagai alat bantu perencanaan (planning tool) yang akan mengakomodasi dimensi pembangunan manusia. Dalam jangka panjang, penelitian ini dapat bersifat alat evaluasi (evaluating tool) dalam kerangka penelian arah pembangunan yang berkaitan dengan pembangunan manusia. 3. Bagi penulis Bagi penulis, sebagai mahasiswa penulisan penelitian ini merupakan syarat untuk menyelesaikan dan mendapatkan gelar strata satu dari Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Melalui penelitian ini akan memberikan ilmu pengetahuan baru kepada penulis bahwa antara kemiskinan, pertumbuhan perekonomian, 16

pengeluaran pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM di Indonesia. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bagian, dengan susunan atau sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan, batasan penelitian, perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini terdiri atas landasan teori yang menjelaskan teori yang mendasari penelitian ini dan studi empiris yang menjelaskan hasil temuan penelitian sebelumnya. Bab III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan model penelitian, sumber dan jenis data serta alat analisis yang dipakai dalam penelitian. Bab IV Analisis Bab ini membahas hasil temuan penelitian yang menjawab atas seluruh pertanyaan penelitian yang telah disebutkan dalam bagian rumusan permasalahan. 17

Bab V Kesimpulan dan Implikasi Bab ini memuat kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan dan implikasi yang membangun bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan IPM di Indonesia. 18