HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Miselium JPP Ompalina sp dalam media PDA

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

Lampiran 1. Tatacara analisis kimia limbah tanaman jagung. Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1. Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di

DAFTAR TABEL. 7. Tabel Rendemen etanol dari uulp pada berbagai kandungan lignin

PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL.

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Hidrolisa Asam pada Produksi Bioethanol dari Onggok (Limbah Padat Tepung Tapioka) Oleh :

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. zat kimia lain seperti etanol, aseton, dan asam-asam organik sehingga. memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi (Gunam et al., 2004).

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

IV. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

Respirasi Anaerob (Fermentasi Alkohol)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada saat panen, lebar tudung ialah rerata lebar tudung (pileus), yaitu panjang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di

II. TINJAUAN PUSTAKA

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%,

Disusun Oleh : Sulfahri ( ) Desen Pembimbing Ir. Sri Nurhatika, MP. Tutik Nurhidayati, S.Si.M.Si.

FERMENTASI ETANOL DARI SAMPAH TPS GEBANG PUTIH SURABAYA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber karbon dan sumber energi (Hardjo et al., 1994: 15).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE

HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI. PRODUKSI BIOETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae DARI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DENGAN VARIASI JENIS JAMUR DAN KADAR PATI

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Data pengukuran kompos limbah pertanian (basah) dan sampah kota. Jerami Padi 10 3,94 60,60. Kulit Pisang 10 2,12 78,80

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

4 Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. enzim selulase dari campuran kapang Trichoderma sp., Gliocladium sp. dan Botrytis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang dan Masalah. Kebutuhan energi makin lama makin meningkat. Peningkatan kebutuhan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp JPP Omphalina sp yang digunakan pada penelitian ini di inokulasikan dalam 20 ml media PDA pada suhu 27 O C. Setelah diinkubasikan selama satu minggu dihasilkan miselium berwarna putih yang memenuhi seluruh permukaan media seperti terlihat pada Gambar 8. Sedangkan pada media PDB dihasilkan pula miselium berwarna putih dengan kultur jernih (Gambar 9). Gambar 8 Miselium JPP Ompalina sp dalam media PDA

30 Gambar 9 Miselium JPP Omphalina sp dalam media PDB Hasil pengamatan pertumbuhan Omphalina sp selama inkubasi satu minggu menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan miselium pada media PDA dan PDB. Pada media PDA pertumbuhan miselium memenuhi seluruh permukaan media pada hari ke 7 inkubasi, sedangkan pada media PDB mencapai optimum pada hari ke 5 inkubasi. Menurut Eaton dan Hale ( 1993 ) kemampuan jamur untuk tumbuh pada suatu media dipengaruhi oleh jenis substrat yang sesuai dengan pertumbuhannya. JPP lebih cepat tumbuh dalam media PDB daripada media PDA. Hal ini mungkin disebabkan dalam media cair penyerapan nutrisi lebih cepat daripada dalam media padat. Pertumbuhan Jamur Trichoderma sp Isolat Trichoderma sp yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan pada 20 ml media PDA dalam cawan petri selama satu minggu. Berdasarkan pengamatan setelah tiga hari, terjadi pertumbuhan spora Trichoderma pada media PDA ditandai dengan adanya warna putih dari miselium yang lama kelamaan akan berubah menjadi hijau dan membentuk lingkaran menyebar seperti permadani (areal furrow)( Gambar 10).

31 Gambar 10 Miselium spora Trichoderma dalam media PDA Pertumbuhan Bakteri Selulolitik Bakteri selulolitik asal rayap yang digunakan pada penelitian ini diremajakan terlebih dahulu dengan memindahkan satu ose isolat bakteri dari biakan stok kedalam media Hans padat pada cawan petri. Setelah diinkubasikan selama 2 hari dihasilkan koloni berwarna putih agak kering (Gambar 11) Gambar 11 Bakteri selulolitik asal rayap pada media Hans Pada media Hans cair, pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari dan sambil dikocok pada putaran 120 rpm kultur terlihat keruh.

32 Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae yang digunakan pada penelitian ini diinkubasikan dalam media YEDP dengan kondisi suhu kamar setelah diinkubasikan selama 1-3 hari dihasilkan koloni berwarna putih yang memenuhi media padat tersebut (Gambar 12). Sedangkan pada media YEDP cair dihasilkan pula kultur keruh kecoklatan (Gambar 13). Gambar 12 Saccharomyces cerevisiae pada media YEDP Media Pertumbuhan (YEDP) Media YEDP + Ragi Gambar 13 Saccharomyces cerevisiae pada media YEDP Cair

33 Proses Delignifikasi Pada penelitian ini dilakukan proses delignifikasi TKKS menggunakan jamur pelapuk putih Omphalina sp dengan konsentrasi inokulum + 2,5% (b/v). Pada proses delignifikasi (penguraian lignin), komponen utama dinding sel yang terlibat adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Zabel dan Morrell, 1992) sedangkan kondisi delignifikasi yang diinginkan adalah penurunan kandungan lignin setinggi-tingginya dan selulosa serendah rendahnya (Kirk dan Chang, 1990). Jamur pelapuk putih Omphalina sp yang digunakan untuk proses delignifikasi ditumbuhkan pada 100 ml media PDB. Isolat dengan pertumbuhan yang baik digunakan sebagai sumber inokulum. Isolat diinokulasikan ke serbuk TKKS dalam wadah kantung plastik yang telah disterilkan, kemudian di inkubasi pada suhu kamar selama + 3 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, pertumbuhan miselium pada umur 7 hari baru tumbuh pada bagian atas TKKS dan pada umur 14 hari miselium tampak semakin melebar. Sedangkan setelah inkubasi 20 hari jumlah pertumbuhannya telah memenuhi permukaan serbuk hingga bagian dalam (Gambar 14 ). Pertumbuhan miselium jamur paling banyak adalah pada bagian permukaan, sedang bagian dalam lebih sedikit dibanding pada bagian permukaan. Kemungkinan hal ini disebabkan pada bagian dalam tumpukan serbuk TKKS tidak terdapat cukup udara untuk proses respirasi jamur. Gambar 14 TKKS setelah didelignifikasi

34 Hasil pengamatan secara visual pada proses delignifikasi menunjukkan bahwa terjadi perubahan fisik berupa pemucatan warna dari coklat gelap menjadi lebih terang. Pemucatan warna TKKS diduga disebabkan karena selama pertumbuhan JPP menyerang holoselulosa dan lignin. Lignin merupakan komponen yang menyebabkan warna pada kayu, sehingga penyerangan/pernguraian lignin menjadi komponen yang lebih sederhana dapat menyebabkan warna kayu lebih muda dari normal (Onysho, 1993). Selain pemucatan warna, TKKS hasil inkubasi juga mengalami perubahan menjadi lebih rapuh dan seratnya mudah diuraikan. Enzim jamur akan melunakkan dan memecahkan dinding-dinding serat sehingga melepaskan pita-pita serat dari mikrofibrilnya dan mempermudah proses penggilingan yang tadinya sulit karena tinginya kadar lignin ( Gambar 14 ). Menurut Nishida et al. (1998) enzim yang terlibat dalam pemecahan lignin adalah enzim ligninolitik yang umumnya dihasilkan oleh jamur kelas Basidiomycetes. Senyawa tersebut selanjutnya digunakan oleh jamur sebagai nutrisinya dengan cara absorpsi melalui dinding selnya. Hasil analisis komposisi kimia TKKS sebelum dan setelah perlakuan delignifikasi berdasarkan persen rata-rata basis kering terlihat pada Gambar 15 50 49.07 47.18 % Kadar 40 30 20 25.53 22.74 16.33 17.78 10 0 3.56 4.83 Lignin Hemiselulosa Selulosa Kadar Air Terdelignifikas Tanpa Delignifikasi Gambar 15 komposisi kimia TKKS Lignin Berdasarkan Gambar 15 terlihat kadar lignin hasil delignifiksai (16,33%), menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tanpa delignifikasi (17,78%). Hal ini berarti degdradasi lignin pada penelitian ini relatif rendah, diduga disebabkan

35 karena struktur lignin yang kompleks dengan berat molekul yang besar, sehingga sulit didegradasi oleh jamur (Hartoyo, 1989). Penelitian terdahulu (Away dan Goenadi, 1995) menunjukkan bahwa JPP dapat menurunkan kadar lignin TKKS secara drastis. Rendahnya lignolisis hasil penelitian ini kemungkinan karena kemampuan lignolisis enzim yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah. Kemungkinan hal ini menjadi salah satu penghambat proses lignolisis Kadar Hemiselulosa Dalam proses delignifikasi TKKS, kandungan hemiselulosa bahan ikut terdegradasi (Gambar 15). Hasil hemiselulosa setelah inkubasi 20 hari (22,74%) mengalami penurunan yang relatif besar dibanding hemiselulosa tanpa delignifikasi (25,53%). Degradasi hemiselulosa yang lebih cepat diduga karena hemiselulosa adalah komponen yang lebih sederhana dibandingkan dengan lignin. Menurut Zabel dan Morell (1992), hemiselulosa adalah komponen dinding sel yang seringkali didegradasi terlebih dulu oleh JPP, dimungkinkan karena memiliki rantai yang lebih pendek dibanding selulosa, daya larut, dan lokasi yang terbuka di sekitar mikrofibril selulosa. Kadar Selulosa Komponen kimia TKKS yang paling penting untuk pembuatan etanol adalah selulosa. Semakin tinggi kandungan selulosa bahan, akan semakin baik untuk bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan jamur sebagai pendegradasi lignin untuk delignifikasi diharapkan hanya mendegradasi lignin dan tidak secara simultan mendegradasi selulosa, sehingga residu hasil degradasi dapat mengandung selulosa setinggi mungkin dan lignin serendah mungkin. Berdasarkan Gambar 15 kadar selulosa TKKS setelah delignifikasi 20 hari (49,07%) mengalami kenaikan dibandingkan tanpa delinifikasi (47,18 %), kemungkinan disebabkan oleh penurunan kadar komponen lain dari TKKS selain selulosa akibat degradasi oleh kapang. Karena TKKS selain mengandung komponen dinding sel struktural (lignin, hemiselulosa dan selulosa), juga mengandung zat ekstraktif dan sedikit abu. Zat

36 ekstraktif dalam kayu sekitar 3-10% dari bobot kering kayu. Menurut Rayner dan Boddy (1989) zat ekstraktif terdiri dari lilin, lemak, asam lemak, alkohol, steroid, komponen dengan kandungan karbon tinggi dan resin. Zat ekstraktif mungkin dapat digunakan oleh kapang selama pertumbuhannya, sehingga persentasenya dalam bahan yang mengalami degradasi diduga menurun. Jadi untuk satu gram contoh TKKS hasil inkubasi memiliki persentase komponen dinding sel struktural lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang zat ekstraktifnya diduga masih tinggi. Selain itu, penurunan salah satu komponen mengakibatkan perubahan pada kadar komponen lain (lignin, hemiselulosa dan selulosa), karena penghitungan kadar dilakukan berdasarkan basis persentase berat dengan menghitung kadar komponen. Akibatnya, apabila salah satu komponen turun, komponen lain akan naik, begitu pula sebaliknya. Komponen lignin dan hemiselulosa menurun setelah delignifikasi, sedang komponen selulosa memperlihatkan kenaikan. Lignin dan hemiselulosa pada penelitian ini mengalami penurunan yang relatif kecil, sehingga diharapkan selulosa yang terdapat pada bagian dalam dinding sel belum terdegradasi. Hal ini didukung oleh pendapat Zabel dan Morrell (1992), bahwa degradasi komponen oleh jamur pelapuk putih dimulai dari hemiselulosa, lignin dan akhirnya selulosa. Kadar Air Kadar air merupakan parameter kunci untuk proses delignifikasi dan air mampu mempengaruhi pertumbuhan kapang, substrat, aktivitas enzim, laju tansfer massa oksigen dan karbon dioksida. Kandungan air dari substrat yang kecil akan menghambat pertumbuhan miselium, mengurangi aktivitas enzim dan aksesibilitas nutrien ( substrat ). Berdasarkan Gambar 15 kadar air TKKS setelah delignifikasi 20 hari ( 3,56 % ) mengalami penurunan dibandingkan tanpa delignifikasi ( 4,83 % ).

37 Hidrolisis kimiawi dan fermentasi Etanol Hasil Hidrolisis TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dengan HCl pada suhu 121 O C. Kadar gula pereduksi dari TKKS yang terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi menggunakan HCL dengan berbagai konsentrasi dan waktu hidrolisis terlihat pada Gambar 16 dan 17. Kadar gula pereduksi tertinggi yaitu TKKS terdelignifikasi dengan HCL 2N selama 120 menit adalah sebesar 0,42%. Kadar gula pereduksi tertinggi dari TKKS tanpa delignifikasi yaitu hidrolisis dengan HCL 2N selama 60 menit sebesar 0,26%, lebih rendah bila dibandingkan dengan TKKS terdelignifikasi. Kadar Gula Pereduksi (%) terhadap TKKS 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0,42 20 40 60 120 360 [ HCl ] 0.1N 0.5N 1N 2N 1% Waktu Hidrolisis (menit) Gambar 16 Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi HCl

38 Kadar Gula Pereduksi (%) terhadap TKKS Kadar Gula Pereduksi (%) 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 Gambar 17 0 0,26 [ HCl ] 20 40 60 120 360 Waktu Hidrolisis (menit) 0.1N 0.5N Kadar gula pereduksi TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi HCl. 1N 2N 1% Hasil Hidrolisis TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dengan H 2 SO 4 pada suhu 121 C Kadar gula pereduksi tertinggi diperoleh pada hidrolisis TKKS terdelignifikasi dengan H 2 SO 4 2N selama 120 menit sebesar 1,01% (Gambar 18). Kadar gula pereduksi tertinggi dari TKKS tanpa delignifikasi adalah 0,47% yaitu hidrolisis dengan H 2 SO 4 2N selama 120 menit. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar gula yang diperoleh dari hidrólisis TKKS terdelignifikasi ( Gambar 19 ). Kadar Gula Pereduksi (% terhadap TKKS) 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 1,01 [ H 2 SO 4 ] 0.1N 0.5N 1N 2N 1% 0 20 40 60 120 240 Waktu Hidrolisis (menit) Gambar 18 Kadar gula pereduksi hidrolisis TKKS terdelignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi H 2 SO 4

39 Kadar Gula Pereduksi (%) terhadap TKKS Kadar Gula Pereduksi (%) 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 20 40 60 120 240 Waktu Hidrolisis (menit) 0,47 [ H 2 SO 4 ] 0.1N 0.5N 1N 2N 1% Gambar 19 Kadar gula pereduksi TKKS Tanpa delignifikasi dengan variasi waktu dan konsentrasi H 2 SO 4 Hasil optimum hirolisis kimiawi TKKS terdelignifikasi dan tanpa delignifikasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil Optimum Hidrolisis Kimiawi TKKS HCl 2N ( 120 Menit ) H 2 SO 4 2N ( 120 Menit ) Terdelignifikasi Tanpa Delignifikasi Terdelignifikasi Tanpa Delignifikasi ( % ) ( % ) ( % ) ( % ) 0.47 0.26 1.01 0.42 H 2 SO 4 2N ( 120 Menit ) Optimasi lebih lanjut T=200 ; t=5;7,5;10;12,5 dan 15 menit

40 Berdasarkan Tabel 2 kadar gula pereduksi optimum tertinggi hidrolisis dengan H 2 SO 4 2N, 120 menit. Dari penelitian ini kadar gula pereduksi tertinggi diperoleh dari hidrolisis dengan H 2 SO 4 2N (1,01%). Hidrolisis dioptimalkan kembali dengan menaikkan suhu sampai 200 o C menggunakan H 2 SO 4 2N dengan waktu hidrolisis 5;7,5;10;12,5; dan 15 menit. Menurut Grethleim didalam Cowling (1975) hidrolisis asam harus dilakukan dalam kondisi yang tepat agar tidak dihasilkan produk terdekomposisi yang tidak diinginkan dan umumnya hidrolisis asam dilakukan dengan asam kuat pada suhu tinggi. Menurut Xiang, 2003 pada umumnya proses hirolisis bahan selulosa menggunakan H 2 SO 4 0,5% sampai 15% pada temperatur 90 600 o C dan tekanan di atas 800 psi. Bila hidrolisis dilakukan pada temperatur yang lebih tinggi lagi, hasil dari degradasi gula akan terbentuk furfural dan glukosa yang dihasilkan umumnya rendah, kurang dari 50%. Hasil Hidrolisis Kimia TKKS Pada Kondisi Optimum dengan H 2 SO 4 2N suhu 200 O C Optimasi waktu hidrolisis dengan H 2 SO 4 2N menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi pada hidrolisis selama 10 menit, dengan nilai konversi selulosa sebesar 30,86 persen. Berdasarkan hasil tersebut hidrolisis dilanjutkan dengan memperbesar volume hidrolisis hingga lima puluh kalinya agar diperoleh filtrat dalam jumlah yang lebih banyak, filtrat tersebut digunakan sebagai substrat untuk fermentasi etanol, karena glukosa adalah sumber energi utama bagi S. cerevisiae

41 Gambar 20 Optimasi waktu hidrolisis dengan H 2 SO 4 2N Fermentasi Etanol Hasil Hidrolisis Kimia Pada Kondisi Optimum Sebelum dilakukan fermentasi, pengaruh negatif furfural di dalam filtrat diminimalkan dengan cara overliming hingga ph 12 dengan penambahan Ca(OH) 2 dan dipanaskan dalam oven suhu 60 O C selama 20 jam, kemudian ph diturunkan menjadi ph 5. Sebelum dilakukan overliming filtrat awalnya berwarna kuning jernih setelah dipanaskan berubah menjadi coklat. Fermentasi awalnya terjadi secara anaerobik fakultatif, karena sedikit oksigen pada bagian atas fermentor yang digunakan untuk respirasi oleh khamir S. cerevisiae. Awal fermentasi umumnya ditandai dengan munculnya gas CO 2, namun sampling sudah dilakukan sejak 2 jam setelah penanaman, karena penguraian glukosa sudah dimulai dalam sel yang ditandai dengan turunnya kadar gula pereduksi. Besarnya kadar gula pereduksi yang hilang memberikan acuan untuk menentukan kadar etanol yang diperoleh. Hasil fermentasi etanol ( Gambar 21 ) menunjukkan terjadi penurunan kadar gula pereduksi selama fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimum ( 1,82% ) pada 48 jam dan ph menurun dari 5 hingga 4,5. Jumlah gas CO2 yang terbentuk optimum pada hasi ke-3, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi yang optimum di hari kedua dijadikan substrat untuk pertumbuhan S. cerevisiae.

42 35 120 gula pereduksi (g/l), CO2 (ml x 10), EtOH (%) 30 25 20 15 10 5 0 1.07 0 1 2 3 4 5 100 80 60 40 20 0 ph waktu inkubasi (hari) Kadar Gula Pereduksi PH Etanol CO2 Gambar 21 Penurunan kadar gula pereduksi, ph, kenaikan volume gas CO2 dan produksi etanol oleh S. cerevisiae Khamir tumbuh optimum pada ph 4-5 sehingga kemampuannya menggunakan glukosa untuk metabolisme sel dan fermentasi etanol mencapai optimum pada ph tersebut.. Penurunan kadar etanol setelah 48 jam mungkin juga disebabkan oleh penghambatan pertumbuhan khamir oleh gula pereduksi dalam konsentrasi yang tingggi sehingga aktivitas biokonversi juga menurun. Konversi glukosa menjadi produk akhir etanol melalui fermentasi tidaklah spontan seperti reaksi kimia biasa, diperlukan waktu untuk mengalami proses glikolisis. Oleh karena itu, tidak semua substrat terkonversi, dikarenakan sebagian digunakan untuk proses pertumbuhan dan energi metabolisme. Pada fermentasi glukosa, asam piruvat merupakan senyawa antara, kemudian asan piruvat tersebut akan mengalami perubahan lebih lanjut. Penguraian glukosa menjadi asam piruvat melalui jalur Heksosa Difosfat ( Jalur Emden-Meyerhof-Parnas ) atau glikolisis ( Stainer et al. 1976 ). Pada tahap ini pula, sel aerobik meregenerasi nicotinamide adenine dinukleotide ( NAD + ), yang diperlukan untuk glikolisis. Ia diperlukan untuk fungsi sel normal karena glikolisis merupakan satu-satunya sumber ATP dalam kondisi anaerobik.

43 Hidrolisis secara Enzimatis dan Fermentasi etanol. Metode Simultan. Hubungan penurunan kadar gula pereduksi, kenaikan gas CO 2 dan produksi etanol oleh isolat Trichoderma atau bakteri selulolitik dan S. cerevisiae dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23 0,33 Gambar 22 Penurunan kadar gula pereduksi, ph, kenaikan gas CO 2 dan produksi etanol oleh isolat Trichoderma sp dan S. cerevisiae secara simultan Hasil analisis secara simultan menggunakan isolat Trichoderma sp dan Saccharomyces cerevisiae pada Gambar 23 memperlihatkan penurunan kadar gula pereduksi selama fermentasi. Sementara produksi etanol mencapai maksimum ( 0,33 % ) pada 72 jam, ph menurun terus hingga 5 hari (5,7-5.0). Jumlah gas CO2 yang terbentuk optimum pada hasi ke-4, hal tersebut kemungkinan gula pereduksi yang optimum di hari ketiga dijadikan substrat untuk pertumbuhan S. cerevisiae.

44 0,27 Gambar 23 Penurunan kadar gula pereduksi, ph, kenaikan gas CO 2 dan produksi etanol oleh isolat bakteri selulolitik dan S.cerevisiae Proses enzimatis secara simultan menggunakan isolat bakteri selulolitik dan S. cerevisiae (Gambar 23) memperlihatkan bahwa kadar gula pereduksi menurun selama fermentasi, sementara produksi etanol mencapai maksimum (0,27 %) pada 72 jam, ph menurun terus hingga 5 hari. Hidrolisis dan fermentasi dapat dilangsungkan secara simultan. Selama hidrolisis glukosa dapat langsung dikonversi menjadi etanol sehingga mengurangi akumulasi selobiosa dan glukosa dan akibatnya mempercepat hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Wright et al. 1988)

45 Metode Terpisah 0,27 Gambar 24 Penurunan kadar gula pereduksi ph, kenaikan gas CO 2 dan produksi etanol oleh Trichoderma dan S.cerevisiae secara terpisah Hasil analisis proses enzimatis secara terpisah oleh isolat Trichoderma sp. dan Sascharomyces cerevisiae (Gambar 24) tersebut memperlihatkan bahwa kadar gula pereduksi setelah ditambah isolat Trichoderma dengan waktu inkubasi awal (48 jam) meningkat. Hal ini mungkin terjadi karena pada 48 jam pertama proses utama adalah pembentukan gula pereduksi. Setelah ditambahkan S. cerevisiae dan waktu inkubasi dilanjutkan hingga 144 jam menurun, sementara produksi etanol maksimum 0,27 % pada 120 jam, ph menurun hingga hari ke 4 dan pada hari ke 5 dan ke 6 tetap ( 4,22 ). Jumlah gas CO 2 terbentuk optimum pada hari ke-5.

46 gula pereduksi (g/l), EtOH (%), CO2 (ml) 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 ph 0,20 0 1 2 3 4 5 6 waktu inkubasi (hari ke) 5.45 5.40 5.35 5.30 5.25 5.20 5.15 5.10 Gula Pereduksi (gr/l) CO2 % Etanol ph Gambar 25 Penurunan kadar gula pereduksi ph, kenaikan gas CO 2 dan produksi etanol oleh isolat bakteri selulolitik S.cerevisiae secara terpisah Hasil analisis (Gambar 25) memperlihatkan kenaikan kadar gula pereduksi dari hari ke 0 (1 jam pertama) hingga 48 jam. Setelah 48 jam kedalam bejana ditambahkan S. cerevisiae dan waktu inkubasi dilanjutkan hingga 144 jam. Pada jam ke 72 kadar gula pereduksi menurun. Sementara produksi etanol mencapai maksimum ( 0,20 % ) pada hari ke 5, sedang ph menurun terus. Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SFS) dapat memperbaiki kinetika fermentasi dan meningkatkan efisiensi konversi selulosa menjadi etanol 25% lebih baik dibandingkan apabila fermentasi dilangsungkan pada reaktor yang terpisah ( Spangler & Emert, 1986 ). Hal ini karena SFS dapat menekan penghambatan terhadap selulase dan β-glukosidase akibat akumulasi selobiosa dan glukosa hasil hidrolisis, mengurangi resiko kontaminasi karena terbentuknya etanol ( Philippidis et al. 1992 ). Proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari selulosa menjadi glukosa di pengaruhi faktor penghambat yang sangat menentukan di dalam biokonversi selulosa menjadi etano. Faktor penyebab utamanya ialah adanya penghambatan produk (terutama selobiosa dan glukosa) terhadap semua tahapan hidrolisis karena rendahnya aktivitas enzim β-glukosidase dalam komplek enzim selulase (Gambar 26 ).

47 hambat hambat hambat Selulosa Selobiosa Glukosa Ethanol Gula lain Eksoglukanose β-glukosidase khamir endoglukanase Sakarifikasi dan Fermentasi Sinambung (SFS) Gambar 26 Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan fermentasi sinambung/simultan selulosa menjadi etanol (Koesnandar, 2001). Hasil perolehan etanol optimum enzimatis dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Hasil Perolehan Etanol Optimum Enzimatis Uraian Simultan - Trichoderma sp + S. cerevisiae - Bakteri selulolitik + S. cerevisiae % Etanol 0,33 0,27 Terpisah - Trichoderma sp + S. cerevisiae - Bakteri selulolitik + S. cerevisiae 0,27 0,20 Berdasarkan data dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode fermentasi secara simultan lebih baik dibanding secara terpisah. Isolat Trichoderma sp menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat bakteri selulolitik asal rayap. Hal ini mungkin disebabkan metabolisme jamur Trichoderma

48 lebih cepat dibandingkan bakteri selulolitik dan Trichoderma mempunyai enzim selulase yang lebih tinggi dibanding dengan mikroba asal rayap. Trichoderma merupakan salah satu jamur pelapuk lunak yang memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat memutus selulosa kristalin. (Eaton dan Hale, 1993). Perbandingan hasil analisis dengan cara kimia dan enzimatis dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perbandingan Hasil Kimia dan Enzimatis KIMIA ( H2SO4 2N, 10 menit ) ENZIMATIS Gula Pereduksi (%) Etanol ( % ) Gula Pereduksi g/l SIMULTAN Etanol ( % ) Gula Pereduksi g/l TERPISAH Etanol ( % ) 30,86 1,82 1,46 0,33 * 0,70 0,27 0,82 0,27 0,33 0,20