Dari Sistem Lisensi ke Monopoli Politik Ekonomi Garam di Indonesia pada Masa Kolonial Abdul Wahid Pengajar, Universitas Gadjah Mada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV)

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KLIPING MEDIA CETAK KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN RUANG LAUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

KINERJA PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA TIGA PEMERINTAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah

Bab V. Kesimpulan. dalam mengelola industri gula di Mangkunegaran khususnya, dan di Jawa

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

: SARJANA/DIPLOMA. PETUNJUK KHUSUS Pilihlah salah satu jawaban yang saudara anggap paling tepat diantara 5 pilihan yang tersedia

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

BAB 4 METODE PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BukuGRATISinidapatdiperbanyakdengantidakmengubahkaidahsertaisinya.

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)

2015 PENGARUH IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PERSEDIAAN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGENDALIAN PERSEDIAAN

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 % dari total luas

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB I PENDAHULUAN. Ketatnya persaingan bisnis pada perusahaan manufaktur merupakan sesuatu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Purwadany Samuel Pouw, 2013

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu, bangsa Indonesia kaya akan hasil bumi antara lain rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas: Langkah dan Tantangan

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

ANALISIS PELUANG INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

6HUL'HEDW 3HPEDQJXQDQ Kasus Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR \l TAHUN 2017 TENTANG CADANGAN PANGAN

Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan komoditi teh juga menjadi

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam usahanya membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah

BAB I PENDAHULUAN. Inspirasi yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah adanya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Lusia Efriani, alumnus Universitas Airlangga 2003 yang hariharinya

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari peforma pembangunan infrastrukturnya. Maka dari itu, perbaikan

BAB III DISKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Bentuk awal Departemen Perhubungan yang lahir dalam kancah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN BARANG KONSUMSI

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

Transkripsi:

Dari Sistem Lisensi ke Monopoli Politik Ekonomi Garam di Indonesia pada Masa Kolonial 1850 1940 1 Abdul Wahid Pengajar, Universitas Gadjah Mada Abtsract Salt has been an important trading commodity in the archipelago far before the coming of Europeans. It was an essential part of the indigenous food basket since the early modern period. Therefore, the successive political economic regimes showed their interest to dominate the production and distribution of this product. As the Dutch succesfully established their power since the early seventeenth century, they sought to established a monopoly over salt. Started with a license system due to a lack of human resources and weak of infrastructural and and administrative support. The Dutch could bring a salt monopoly into reality only after they estabished a colonial state in the archipelago. Under this monopoly system, the state took over the whole chain of salt business, from production up to its retail stage. It succesfully accrued substantial revenue over the year, yet at the cost of impoverished indigenous salt-makers population who had to give their saltpans up to the state s monopoly. Various forms of resistance arroused but the colonial state to strong to be challenged. This study traces the long history of salt problems that are still lingering in modern Indonesia. Keywords: salt, salt-makers, colonial state, monopoly, Java and Madura. 1 Sebagian data dalam artikel ini diambil dan dikembangkan dari Bab 6, disertasi Wahid (2013). Garam merupakan salah satu produk komersial sektor maritim yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena penggunaaannya yang cukup luas sebagai bahan baku industri dan pangan, serta proses produksi dan distribusinya yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Meski demikian, seperti halnya terjadi dalam sektor pertanian, industri garam nasional menunjukkan kisah dan sejarah ironi lainnya dari Indonesia. Betapa tidak, sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau, dengan bentangan wilayah laut seluas 93.000 kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, Indonesia yang seharusnya bisa memproduksi garam yang melimpah ternyata belum mampu mencukupi kebutuhan garam domestik penduduknya. Data resmi pemerintah 101

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 pada 2010 menunjukkan bahwa produksi garam pada musim normal antara 2001 hingga 2009 adalah 1,2 juta ton per tahun, sedangkan pada cuaca ekstrem dengan curah hujan yang tinggi produksi garam bisa merosot hingga 30 ribu ton. Sementara kebutuhan garam terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan penduduk dan industri nasional yang cukup tinggi. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012) menunjukkan bahwa kebutuhan garam nasional rata-rata pada periode 2008 11 telah mencapai 3 juta ton per tahun, dengan rincian 1,2 juta untuk garam konsumsi dan 1,8 lainnya untuk garam industri (KKP 2012). Untuk menutup kekurangan produksi tersebut, pemerintah harus mengimpor garam dari sejumlah negara tetangga. Kondisi tersebut ditengarai sudah berlangsung lama dan hingga kini masih belum teratasi (Dharmayanti, dkk. 2013: 104). Pemerintah Indonesia berjanji mengurai dan menyelesaikan persoalan garam tersebut. Kali ini tekad tersebut diletakkan di bawah payung besar visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam pidatonya di depan Kepala Negara dan Pemerintahan negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur IX, di Myanmar, 13 November 2014, Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa visi tersebut akan diwujudkan dengan mengandalkan lima program utama, yaitu, pertama, membangun kembali budaya maritimnya; kedua, menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama; ketiga, memberikan prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, serta pariwisata maritim; keempat, melalui diplomasi maritim, mengajak semua mitra Indonesia bekerja sama di bidang kelautan; dan kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim. 2 Dari kelima program tersebut, cita-cita menciptakan kembali swasembada garam termasuk dalam program membangun kedaulatan pangan laut. Setelah enam bulan sejak pelantikan, Kabinet Kerja membuktikan keseriusannya membenahi sektor kelautan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai ujung tombak visi poros maritim dunia yang dipimpin oleh Menteri Susi Pudjiastuti merupakan kementerian paling progresif dibandingkan lainnya berkat terobosan dan program-programnya yang fenomenal, terutama di bidang perikanan dan pemberantasan illegal fishing. Sementara itu, berkaitan dengan persoalan garam, KKP dan bertekad mewujudkan Indonesia berswasembada garam dalam kurun waktu dua tahun. Untuk mendukung ambisi tersebut, KKP pada 8 Maret 2015 mengumumkan mengalokasikan dana sebesar 269 miliar untuk memperbaiki produksi, pengolahan serta tata niaga garam. 3 Dengan suntikan dana tersebut, produksi garam nasional diproyeksikan bisa meningkat dari sebelumnya (2014) di kisaran 2,55 juta ton per tahun, dengan rincian 2.2 juta ton garam rakyat dan 350.000 buatan PT Garam, menjadi 4,6 juta ton per tahun pada 2015. Proyeksi jumlah produksi tersebut diperkirakan sudah melebihi kebutuhan garam nasional 2 Lihat http://ekonomi.metrotvnews.com/ read/2014/11/13. 3 Lihat www.kp3k.kkp.go.id/indeks.php/ arsip/c/267. 102

yang pada 2014 mencapai 4,019 juta ton, dan sekitar 40 persen di antaranya dipenuhi lewat garam impor. 4 Namun, KKP merevisi proyeksi ambisius tersebut dengan menetapkan target swasembada garam yang lebih realistis, tidak lagi dalam setahun melainkan dua hingga tiga tahun, yaitu pada 2017. Menurut sumber resmi di KKP, terdapat sejumlah kendala struktural yang menghambat upaya mencapai target tersebut. Pertama, struktur lahan garam yang terfragmentasi yang membutuhkan proses korporatisasi atau pengintegrasian lahan garam tersebut. Kedua, luas ratarata lahan garam rakyat relatif rendah, yaitu 0,27 hektar per orang, sebuah kondisi yang kurang ideal untuk bisa menciptakan efisiensi produksi garam. Akibatnya, kapasitas produksi per hektar masih pada kisaran 80 90 ton per hektar. Ketiga, proses geomembranisasi belum dilakukan secara masif dan maksimal; dan keempat, masih terdapat miskomunikasi sektoral antar lembaga pemerintahan terkait kebijakan impor garam yang ditengarai masih dilakukan Kementerian Perdagangan pada saat KKP berusaha meningkatkan kapasitas produksi petani garam nasional (Kompas, 7 Januari 2015). Pemerintah Indonesia tampak sudah menunjukkan komitmen politik yang semakin serius untuk membenahi sektor ekonomi maritim, termasuk memecahkan persoalan garam yang sudah lama mengakar. Namun, komitmen politik tersebut tampak belum sepenuhnya diterjemahkan dalam kebijakan praktis yang benar-benar bisa mengurai kerumitan persoalan di lapangan secara perlahan dan komprehensif. Beberapa kutipan dalam paragraf sebelumnya menunjukan kendala 4 Lihat www.tempo.co.id/indeks/06/01/2015. administratif dan birokratis sering kali muncul sebagai kendala teknis bagi pemerintah untuk mengimplementasikan visi dan program kemaritimannya. Hal yang tidak kalah penting adalah persoalan struktural di lapangan yang relatif tidak banyak berubah, seperti ketimpangan penguasaan lahan garam dan tata niaga garam yang tidak berpihak kepada petani garam. Kondisi tersebut hanya bisa diatasi jika ada pendekatan komprehensif untuk mengatasinya yang dibangun atas pemahaman yang memadai terhadap kondisi tersebut, termasuk pemahaman historis tentang tata niaga garam di Indonesia. Tulisan ini bermaksud melacak sejarah tata niaga garam di Indonesia, terutama Jawa sebagai pusat produksi, sejak periode awal kolonial; berangkat dari asumsi bahwa persoalan garam merupakan persoalan lama yang memiliki akar sejarah yang panjang bahkan hingga ke awal masa kolonial. Ini bukan berarti persoalan yang berkembang dewasa ini sepenuhnya merupakan warisan kolonial semata, namun melalui pemahaman historis yang memadai akan membantu memahami kompleksitas persoalan dalam tata niaga garam di Indonesia dewasa ini. Tulisan ini akan menggunakan pendekatan politik ekonomi institusional yang menyatakan bahwa faktor-faktor kebijakan dan lingkungan institusional, termasuk di dalamnya negara dan organisasi produksi sebuah komoditi, merupakan faktor penting untuk menjelaskan perubahan dan kondisi sosial ekonomi sebuah kawasan atau wilayah. Pembahasan dimulai sejak garam menjadi komoditi dan diperdagangkan dalam sistem perdagangan bebas atau terbuka yang telah berkembang sebelum kedatangan pedagang Eropa di Nusantara. 103

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 Pembahasan didasarkan pada data-data primer kolonial dan survei literatur. DARI SISTEM LISENSI KE MONOPOLI Sebagai salah satu kebutuhan pangan dasar penduduk Nusantara, garam telah diproduksi dan menjadi komoditas penting di Nusantara dan kawasan perdagangan Samudra Hindia jauh sebelum kedatangan pedagang Eropa. Penguasa dan pedagang lokal di pantai utara Jawa, misalnya, sudah memproduksi garam dalam skala besar melebihi kebutuhan subsisten masyarakat setempat sehingga mampu mengekspornya ke daerah atau kawasan tetangga untuk dipertukarkan dengan komoditas lain. Namun, garam menjadi sebuah industri dan mengalami peningkatan kapitalisasi, dalam arti diproduksi secara masal untuk tujuan komersial sepenuhnya, baru terjadi ketika VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan multinasional pertama bentukan Belanda, mulai menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Seiring dengan perluasan pengaruhnya, VOC mulai menguasai perdagangan bebas Nusantara dan secara bertahap mengubahnya menjadi sebuah sistem monopoli yang di dalamnya memiliki kekuasaan untuk menentukan harga dan menguasai pasar sepenuhnya. Garam termasuk dalam komoditas yang kemudian jatuh ke tangan VOC bersamasama dengan komoditas bernilai tinggi lainnya seperti opium, rempah-rempah, dan produk kerajinan tangan (Knaap dan Nagtegaal 1991: 127 30). 5 Untuk meraih keuntungan dari garam, VOC tidak langsung melakukan intervensi terhadap produksi dan distribusi (baca: perdagangan) garam, melainkan melalui sebuah sistem penguasaan tidak langsung yang dalam literatur sejarah ekonomi global disebut pachtstelsel atau sistem lisensi pajak. Melalui sistem tersebut VOC mendelegasikan kekuasaannya dalam menarik pajak keuntungan dari garam kepada pihak ketiga yang dipilih karena kesediaan dan kemampuannya untuk menyetor jumlah keuntungan tertentu setiap bulan dari perdagangan garam (Butcher dan Dick 1993: 5). Pihak ketiga tersebut kebanyakan pedagang Cina, dan merekalah yang bersentuhan langsung dengan petambak garam dan mengatur pola dan skala produksi serta tata niaga garam, termasuk menentukan harga. Awalnya sistem ini efektif berjalan di Jawa tetapi kemudian dikembangkan ke daerah lain di Nusantara, seperti di Bagan Siapi-api di pantai timur Sumatra. Sistem tersebut diterapkan sebab VOC tidak memiliki kemampuan finansialadministratif dan sumber daya manusia untuk mengelola langsung perdagangan garam. Dengan sistem tersebut, VOC meraih keuntungan tanpa mengeluarkan biaya birokratis dan administratif meski secara agregat tingkat keuntungan masih di bawah keuntungan dari perdagangan rempah-rempah dan opium yang mengisi hampir 75 persen pundi-pundi VOC 5 Ketika itu beberapa kawasan di Nusantara sudah dikenal sebagai penghasil garam, yakni di Jawa, Karesidenan Banten, Karawang, Cirebon, Rembang, Gresik, Surabaya, and Madura; di Sumatra, termasuk daerah pesisir Pantai Barat Sumatra, Bengkulu, Palembang, Riau, pantai timur Sumatra, Bangka-Billiton dan Lampung; di Kalimantan garam diproduksi di Keresidenan Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan dan Timur (van der Kemp 1894). 104

hingga akhir abad ke-18 (Souza 2009: 113). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika komoditas garam dikatakan sebagai perdagangan yang terlupakan selama periode VOC (Knaap dan Nagtegaal 1991: 127 57). Meskipun nilai praktis dan efisiensi sistem lisensi pengelolaan garam cukup bermanfaat bagi VOC untuk mengeruk keuntungan dari komoditas itu, namun dalam jangka panjang sistem tersebut ternyata memberikan ruang bagi praktik penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan pengusaha Cina pemegang lisensi. Oleh karena itu, mereka mencoba memperbaiki sistem tersebut dengan memperketat pengawasan dan bahkan mempertimbangkan menggantinya dengan sistem monopoli, mengen-dalikan sepenuhnya produksi dan perdagangan garam di tangan pegawai kompeni. Namun, gagasan tersebut tidak pernah terwujud karena VOC keburu bangkrut pada 1799 setelah beberapa tahun sebelumya Belanda terlibat peperangan dengan Inggris, yang turut berkontribusi pada runtuhnya imperium perdagangan VOC di berbagai belahan dunia, termasuk di Nusantara (ENI 1921 [3]: 865). Gagasan untuk menerapkan sistem monopoli atas produksi dan perdagangan garam akhirnya menjadi kenyataan justru setelah Belanda menyerahkan Jawa kepada Inggris pada 1811. Sir Thomas Stamford Raffles (1811 16) adalah figur yang memperkenalkan monopoli negara/ pemerintah atas produksi dan distribusi garam di Jawa dan Madura, tepatnya sejak 15 Oktober 1813. Meski demikian, pada masa awal operasi sistem monopoli tersebut, pasokan garam di beberapa wilayah Jawa masih dikelola melalui sistem lisensi pajak kepada pihak swasta yang utamanya didominasi para pengusaha Cina (van der Kemp 1894: 1; ENI 1921: 865). 6 Pada mulanya, sistem monopoli dirancang sebagai revisi atau perbaikan atas sistem lisensi, yang kemudian dinilai sangat mencekik penduduk dan tidak efisien. Melalui sistem monopoli tersebut pemerintahan Inggris mengontrol produksi dan distribusi garam di Jawa dan daerah kekuasaan Inggris lainnya. Saat memperkenalkan sistem monopoli, Raffles mengklaim bahwa sistem itu akan menghapuskan berbagai ketidakberesan dan akan meningkatkan pendapatan negara dari komoditi garam (Raffles 1817: 179). 7 Setelah Inggris mengembalikan kekuasaan Belanda atas Jawa dan Sumatra, sistem monopoli garam dipertahankan dan bahkan diperluas ke wilayah lain di Luar Jawa. Pengelolaan monopoli garam oleh negara kolonial dilakukan secara desentralisasi namun berada di bawah koordinasi langsung Direktur Keuangan dan pengawasan Dewan Keuangan (Raad van Financiën). Di Jawa, di bawah sistem 6 Hingga periode tersebut, garam banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, mengawetkan makanan, ikan dan daging (van Leur 1955: 343; Reid 1988: 28 9; Knaap dan Nagtegaal 1991: 127 57). 7 Mekanisme sistem monopoli adalah sebagai berikut: pemerintah membeli garam hasil panen petani garam dengan harga tetap dan mereka diwajibkan untuk menyerahkan hasil panennya itu ke gudang-gudang milik pemerintah. Garam kemudian dijual di pasar lokal atau di tempat lain kepada distributor dan pengecer dengan harga tertentu. Untuk meyakinkan mekanisme berjalan baik, Raffles mengangkat seorang perwira militer untuk mengepalai monopoli itu; dan membagi Jawa dan Madura sebagai kawasan monopoli menjadi tiga bagian, yang masing-masing diawasai oleh seroang agen pemerintah. Daerah produksi garam dibagi ke dalam beberapa unit produksi. Mereka yang melanggar ketentuan ini akan dihukum keras, dan perdagangan garam ilegal akan disita, serta mereka yang membawa keluar daerah lebih dari satu pikul garam (61.7 kilogram) harus memiliki surat izin (Raffles 1817: 177 8). 105

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 monopoli produksi garam dipusatkan di beberapa daerah pantai utara Jawa dan di Pulau Madura, tempat asal garam yang produksinya didistribusikan ke seluruh Nusantara (van der Kemp 1894). Dalam praktik, monopoli garam berjalan kurang memuaskan karena produksi garam tidak stabil, ada kalanya melimpah namun tidak jarang dalam periode tertentu seperti pada 1819 hingga 1922 terjadi kelangkaan di beberapa wilayah Nusantara. Pemerintah kolonial menyalahkan kondisi tersebut pada kesalahan individu pegawainya yang ditengarai melakukan praktik korupsi, utamanya mereka dari kalangan pegawai rendahan di daerah. Untuk mengatasi kesalahan tersebut, pemerintah kolonial memberlakukan kembali sistem lisensi (pachtstelsel) di beberapa daerah di Jawa antara 1829 hingga 1847, dan di Luar Jawa pada 1860. 8 Meski demikian, kebijakan tersebut tidak cukup efektif menyelesaikan persoalan garam. Akibatnya, kelangkaan garam kembali terjadi pada 1859 dan 1865. Kali ini, pemerintah kolonial mengakui bahwa sistemnya belum siap, bahkan menjadi persoalan baru. Sebagai solusinya beberapa pejabat kolonial mengusulkan kepada pemerintah untuk meninggalkan sistem monopoli dan mencabut pengawasannya terhadap produksi dan perdagangan garam. Namun, pemerintah menolak usulan tersebut 8 Di pusat perikanan Bagan Si Api-api, sistem lisensi pajak garam diterapkan secara ekpansif dan pedagang Cina mendominasi sistem itu sejak kali pertama mereka datang di daerah itu pada 1860-an. John Butcher mengatakan bahwa lisensi garam di sana memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan pesat industri perikanan, memenuhi kebutuhan garam terutama untuk pembuatan ikan asin dan terasi udang. Mengingat arti pentingnya itu, pemerintah kolonial baru menghapus lisensi pajak garam di Bagan Si Api-api pada 1917; padahal di daerah lain sistem yang sama telah lebih dulu dihapuskan dan diubah menjadi sistem monopoli pemerintah pada 1900-an (Butcher 1996: 90 121). karena mereka yakin bahwa rencana dan langkah apa pun saat itu hanya akan memperburuk keadaan. Mereka kemudian membentuk sebuah tim yang bertugas mengkaji kekurangan sistem monopoli dan mengusulkan berbagai langkah perbaikan untuk menyempurnakan sistem tersebut. Tim akhirnya berhasil membuat usulan yang, setelah melalui proses pembahasan di Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indië), disetujui menjadi keputusan khusus pemerintah yang disebut Peraturan untuk Memastikan Berjalannya Monopoli Garam atau Bepalingen tot verzekering van het zout monopolie (Indisch Staatsblad 73, 1882). Peraturan ini menjadi cetak biru pembentukan Jawatan Garam atau zoutregie, sebuah lembaga sejenis perusahaan negara yang bertugas menyempurnakan sistem monopoli garam sebelumnya (ENI 1921: 865 6). Hal terpenting dari keputusan tersebut adalah memberikan kepada pemerintah kontrol penuh seluruh mata rantai produksi dan distribusi garam di Jawa dan Madura dan di beberapa daerah di luar Jawa. Daerah produksi garam alam di Grobogan dan Boyolali menjadi dua daerah pengecualian, yang tetap memberikan izin kepada petani garam setempat berproduksi namun mereka harus membayar pajak sebesar 50 sen untuk setiap pikul 9 garam yang mereka hasilkan dan total produksi mereka dibatasi hanya sebesar 40.000 pikul untuk sekali panen. Ekspor dan impor garam tanpa izin pemerintah juga dilarang dan garam hanya bisa dikapalkan melalui pelabuhan yang telah ditetapkan di wilayah monopoli. Garam olahan, garam briket dalam kemasan dan garam olahan untuk tujuan pengobatan dibebaskan dari larangan tersebut. Peraturan monopoli tersebut sebenarnya memperkuat peraturan 9 1 pikul kurang-lebih 60,47 kilogram. 106

1870 yang menetapkan Madura sebagai pusat produksi garam di Hindia Belanda. Sebelumnya garam juga diproduksi di sejumlah keresidenan, antara lain Banten, Krawang, Cirebon, Rembang, Surabaya, dan Madura. Keputusan itu diambil berdasarkan perhitungan bahwa produksi yang terpusat akan mengurangi biaya produksi dan memperbesar kemungkinan pemerintah mengurangi aktivitas penyelundupan (ENI 1921: 866). Di bawah administrasi Zoutregie, dua pabrik garam briket didirikan di Madura pada 1898. Pabrik-pabrik tersebut mengolah hasil panen garam lokal di tiga wilayah penghasil garam Madura, yaitu Kalianget di Sumenep, Bunder di Pamekasan, dan Krampon di Sampang (de Jonge 1993: 171). Garam yang dibeli dari petani tersebut disimpan di depot dan gudang milik pemerintah, masing-masing dikelola oleh seorang penjaga gudang berkebangsaan Eropa (pakhuismeester). Sesudah 1901, garam hasil pembelian dari petani diangkut dari Kalianget dengan kereta api ke Pelabuhan Kamal yang memiliki fasilitas penyimpanan garam. Gudang tersebut dirancang untuk menyimpan cadangan garam untuk empat tahun sehingga diharapkan bisa mengurangi masalah kelangkaan garam, terutama pada musim hujan yang panjang. Dari fasilitas penyimpanan utama tersebut, garam mentah dan garam olahan dikapalkan menuju gudang-gudang transit di beberapa kota penting, seperti Batavia, Semarang, Pasuruan, Banyumas, dan Madiun. Gudang-gudang transit tersebut juga dikelola oleh manajer gudang berkebangsaan Belanda. Akhirnya, ujung tombak distribusi garam adalah toko atau warung garam (zoutverkooppakhuizen) yang dibuka di seluruh Jawa, Sumatra, dan Kalimantan (sesudah 1917); masing-masing dijalankan oleh pegawai berkebangsaan Belanda dibantu oleh pegawai pribumi yang biasa disebut mantri garam (ENI 1921: 865; van Braam 1919). Pada 1915, pemerintah kolonial mengembangkan monopoli garam sebagai sebuah perusahaan negara modern dengan mentransfer pengelolaannya di bawah pengawasan Direktur Perusahaan Negara (semacam BUMN sekarang). Seorang manajer Belanda (Hoofd van den Dienst der Zoutregie) mengkoordinasikan seluruh operasi perusahaan negara ini dari kantor pusatnya di Weltevreden, dan sejumlah kepala bagian produksi garam (Hoofd van den Zoutaanmaak) ditugaskan untuk mengawasi kerja para pengawas tambak garam dan pegawai teknis lainnya. Pegawai tingkat menengah-bawah ini umumnya pegawai tetap pribumi yang bergaji sekitar 25 150 gulden setiap bulan (Departement van Binnenlandsch Bestuur 1919: 10 1). Para pegawai Belanda mengawasi proses produksi di kolamkolam tambak garam, selain berwenang mengontrol tambak milik pribadi. Merekalah yang berwenang memberikan izin operasi tambak garam, mengontrol pasokan air laut, mengecek saluran air dan got, dan menentukan waktu panen garam. Selain merekrut pegawai tetap, Zoutregie juga mempekerjakan sejumlah besar buruh musiman berdasarkan upah mingguan atau harian. Jumlah mereka mencapai ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan dan dipekerjakan di berbagai macam sektor, seperti bagian pengumpulan, pengangkutan dan pengepakan, di depotdepot, dan di pabrik-pabrik garam (de Jonge 1993: 171). 107

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 Untuk mengatur distribusi dan penjualan garam secara lebih efektif, jawatan garam pemerintah kolonial membagi wilayah monopoli (regiegebied) menjadi empat wilayah garam, yang masing-masing diawasi oleh seorang pengawas Belanda dibantu oleh sejumlah pengawas dan personel administrasi. Empat wilayah garam itu meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar Jawa. Daerah terakhir yang dimasukkan ke dalam wilayah garam adalah Karesidenan Tapanuli, Pantai Barat Sumatra, Bengkulu, Lampung, Palembang, Bangka dan daerah sekelilingnya, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Selatan. Di setiap keresidenan, jawatan garam membangun gudang dan toko yang dikelola oleh mantri garam. Dalam keadaan mendesak atau jika petugas garam tidak berada di tempat, pejabat pemerintahan setempat (residen dan asistennya) mengambil alih tanggung jawab. Polisi setempat juga bertanggung jawab mengawasi aktivitas ilegal penyelundupan garam di wilayah kerjanya. Inilah bentuk dan skema terakhir sistem monopoli garam pemerintah kolonial Belanda. Dengan sistem tersebut, keuntungan yang mereka peroleh rata-rata mencapai 4 juta gulden setiap tahun pada 1916 dan 1917 (VZR 1920). MATA RANTAI NIAGA DAN NILAI EKONOMI GARAM Pemberlakuan kembali sistem monopoli garam pada akhir abad ke-19 telah mengubah mata rantai produksi dan distribusi garam dari urusan pemerintah menjadi perusahaan pemerintah, diinstitusionalisasikan dan dikelola seperti sebuah perusahaan swasta (de Jonge 1993: 168). Zoutregie menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam proses produksi, manufaktur dan transportasi garam briket, distribusi dan penjualan produk garam lainnya (berupa garam mentah maupun briket) ke seluruh penjuru Nusantara. Garam briket (verpaktzout) dijual hampir seluruhnya untuk konsumsi, sementara garam mentah (loszout) diserap oleh industri perikanan dan manufaktur. Madura dijadikan pusat produksi garam, sedangkan daerah penghasil garam lainnya di Nusantara ditutup atau dibiarkan beroperasi namun dalam pengawasan yang ketat. Di Madura, sebagian besar petani garam hidup di sepanjang pantai selatan pulau itu, dan sejak pemberlakuan sistem baru tersebut mereka harus memiliki izin khusus jika ingin menjual garam di pasar bebas atau menjual hasil panenan garamnya hanya kepada pemerintah. 10 Untuk memastikan pasokan tidak terganggu, Zoutregie juga membuka tambak baru di Nembakor Barat dan Gresik yang diharapkan bisa menambah produksi tambak-tambak garam yang sebagian besar dimiliki dan dikelola oleh pembuat garam di Sampang, Pamekasan dan Sumenep; semuanya terletak di sepanjang pantai selatan Madura (van Braam 1915: 116; ENI 1921 [IV]: 866). 11 Dinas jawatan garam membuka lebih 10 Garam yang diproduksi lokal itu dibeli dengan harga tetap. Para petambak garam setempat tetap diperbolehkan menjual garam mentah ke pasar lokal, namun mereka harus membayar pajak yang besarnya antara 2 hingga 20 sen tergantung pada kualitas garam yang mereka hasilkan (VZR 1920: 7). 11 Tambak-tambak garam di Sumenep terdiri dari 287 petak di Maringan, 97 di Kertasada, 282 di Palabunan, 178 di Mundung-mundung, 205 di Pinggir-Papas, 233 di Nembakor, dan 285 di Saroko. Di Pamekasan, kolam pembuatan garam memiliki 568 petak di Mangunan, dan 513 petak di Chapak; dan di Sampang terdiri 385 petak di Ragung, 285 di Dangpadang, dan 192 di Pengaringan (van der Kemp 1894: 272 3, 281 2; Kuntowijoyo 1980: 380). 108

banyak tempat penjualan garam untuk memfasilitasi distribusi produk garam secara lebih merata di seluruh Nusantara. Beberapa depot dan tempat penjualan tersebut sekaligus juga digunakan sebagai tempat penjualan opium. Pada 1935, tercatat 169 tempat penjualan garam di Jawa dan 198 di pulau-pulau luar Jawa. Sebuah struktur birokrasi garam di bawah arahan Kepala Dinas Monopoli Garam mengambil alih peran otoritas lokal dan mengontrol penuh produksi dan distribusi garam. Pada 1912, di Madura terdapat empat kepala gudang (hoofddepotpakhuismeester) dan 14 pengawas (opzichter) berkebangsaan Belanda. Dua belas mantri, semuanya menyandang gelar raden, kyai, dan mas, membantu meringankan tugas para atasan Belandanya. Selain orangorang manajemen tersebut, terdapat pula sejumah besar penjaga keamanan (opasser) pribumi dan pengawas lapangan (mandor) yang direkrut untuk mengawasi aktivitas harian produksi garam. Pada 1934, administrasi jawatan monopoli garam digabung dengan jawatan monopoli opium, yang kemudian beroperasi secara bersamaan di bawah kendali Departemen Perusahaan Milik Negara (VOZR 1934: 2; Kuntowijoyo 1980: 379). 12 Pada 1899, Zoutregie membangun dua pabrik pengolahan garam briket di Kalianget, Sumenep, dan Krampon, Sampang. Pabrik ketiga didirikan dua 12 Pada tahun tersebut, Departemen Monopoli Opium dan Garam secara keseluruhan memiliki 892 staf. Dari jumlah tersebut, 560 orang bekerja di bagian Monopoli Garam, meliputi 2 orang pejabat tinggi, 57 orang staf tingkat menengah, 75 orang personel tingkat rendah, 57 orang buruh bulanan (maandlooner), dan 369 orang buruh harian (daglooner). Sebagai tambahan, setiap tahun terdapat sekitar 1.123 buruh sewaan yang bekerja di pabrik-pabrik garam dan 73 orang di bidang transportasi laut (VOZR 1934: 41). puluh tahun kemudian di Mangoenan untuk mendongkrak produksi garam briket. Produk garam briket ketiga pabrik tersebut didistribusikan ke depot-depot garam di empat wilayah monopoli di Jawa dan di pulau-pulau luar Jawa. Pada 1901, sebuah perusahaan swasta membangun jalur kereta api yang menghubungkan Kalianget ke Kamal, daerah terdekat dengan pelabuhan. Pada 1915, Jawatan Zoutregie memulai usaha pertama pengembangan perusahaan pelayarannya sendiri untuk menjamin garam bisa sampai ke depotdepot di Jawa tepat waktu. Sementara, pengapalan garam ke depot-depot garam di Luar Jawa, Jawatan Zoutregie masih bergantung pada rute-rute pelayaran yang ada yang dilayani oleh KPM (Koninklijk Paketvaart Maaschappij). Dalam waktu singkat, Kalianget berkembang menjadi pelabuhan garam yang sibuk mengapalkan produk garam briket ke pulau-pulau lain di Nusantara (de Jonge 1993: 168). Dalam memorandumnya, van Braam (1919: 6), Kepala Divisi Monopoli Garam, mencatat bahwa jaringan tersebut masih jauh dari memadai dan transportasi masih menjadi problem utama bagi jawatan monopoli garam. Sebuah jaringan terintegrasi dari transportasi laut antarpulau dan transportasi darat antardepot garam merupakan solusi satu-satunya bagi masalah ini. Inilah yang menyebabkan paceklik dan kelangkaan garam pada 1909 dan 1910. Untuk segera memperoleh solusi atas persoalan mendesak tersebut, pada akhir 1917 Zoutregie merancang sebuah jaringan transportasi laut bekerja sama dengan sebuah perusahaan penyedia jasa transportasi swasta dan pemerintah daerah setempat. Jaringan transportasi tersebut dirancang untuk memadukan aktivitas unit-unit produksi garam, proses 109

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 manufaktur, dan penjualan produk garam olahan. Kerja sama tersebut mencakup perusahaan kereta api, Madoera Stoomtram Maatschappij, perusahaan pelayaran Oost-Java Zeevervoer dan KPM serta Pontianak River Transport di bawah koordinasi pemerintah daerah setempat. Untuk mendistribusikan garam di daerah pedalaman, pemerintah kolonial mempertahankan peran pedagang perantara, kebanyakan orang-orang Cina, untuk membeli produk garam dari gudanggudang milik pemerintah dan kemudian mengecerkannya kepada penduduk yang tinggal di daerah-daerah terpencil, seperti di Kalimantan dan Sumatra (van Braam 1919: 7; VOZR 1934: 44). Berkenaan dengan harga garam, Zoutregie menetapkan harga yang berbeda untuk dua jenis produk: pada 1915 garam mentah dihargai 6,72 gulden per pikul, sementara garam briket dijual seharga 8 gulden per pikul (Verslag betreffende de Zoutregie 1916: 9). Terdapat variasi harga garam di beberapa wilayah Nusantara yang utamanya mencerminkan perbedaan biaya transportasi. Sebagai contoh, pada 1935 di Jawa dan Madura, harga garam briket 0.10 gulden per kilogram, sementara di pulau-pulau luar Jawa berkisar antara 0.12 dan 0.15 gulden per kilogram. Demikian pula, garam mentah dijual dengan harga 3 gulden per 50 kilogram di Sumatra, 2 gulden di Sulawesi Selatan, dan 1.55 gulden di Kalimantan. Di wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, harganya 0.04 gulden per kilogram (VOZR 1935: 11). Seiring pertumbuhan penduduk yang pesat dan ekspansi administrasi monopoli garam pemerintah kolonial, permintaan pasar untuk garam briket dan garam mentah meningkat tajam. Dalam laporannya, van Braam (19919: 138), mengutip kalkulasi Wolf, menyatakan bahwa antara tahun 1890 dan 1915 permintaan garam meningkat sekitar 2 persen setiap tahun, melampaui angka pertumbuhan penduduk yang diperkirakan sebesar 1,5 hingga 1,7 persen. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian pendapatan pemerintah kolonial dari Monopoli Garam antara 1850 dan 1930 menunjukkan tren positif yang sedikit mengalami penurunan ketika krisis ekonomi mulai dirasakan pengaruhnya. Gambar 1 menunjukkan bahwa Dinas Monopoli Garam menyumbangkan pendapatan lebih dari dua kali lipat dari sekitar 70 juta gulden pada periode 1871 80 menjadi sekitar 150 juta gelar pada periode 1911 20. Selama masa Depresi Ekonomi, 1931 40, pendapatan pemerintah kolonial dari garam justru melampaui pendapatan Dinas Monopoli Opium (Opiumregie). Walaupun krisis ekonomi telah menyebabkan nilai pendapatan garam menurun dari sekitar 180 juta menjadi 155 juta gulden, nilai tersebut tetap di atas pendapatan pada tahun-tahun sebelum krisis. Ini menunjukan bahwa pemasukan dari Dinas Monopoli Garam cukup stabil, yang menjadikannya sebagai sumber keuangan pemerintah kolonial yang cukup bisa diandalkan. 110

Sumber: Mellegers (2004); bdk. Wahid (2013) Gambar 1 Nilai Pendapatan Pemerintah dari Garam (1851 1940) Data statistik lebih teperinci tentang komposisi penjualan garam dan nilai pendapatan darinya baru tersedia setelah 1925. Statistik tersebut menunjukkan bahwa dari 1926 hingga 1940 sebagian besar pendapatan dari monopoli garam, lebih dari 90 persen, dihasilkan dari penjualan garam briket yang didistribusikan terutama untuk konsumsi rumah tangga dan industri skala kecil seperti perikanan. Ini berarti bahwa sebagai dua pulau dengan penduduk paling padat, Jawa dan Madura merupakan pasar terbesar bagi penjualan garam briket, dan Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya merupakan pasar sisanya. Laporan resmi Pemerintah Kolonial mengungkapkan bahwa hingga menjelang masa krisis, monopoli garam selama periode 1926 30 telah menjual 715,1 ton garam briket dan 139,7 ton garam mentah, yang membuat Pemerintah Kolonial mendapatkan pemasukan senilai 86,5 juta gulden. Sepert telah disebutkan, krisis ekonomi 1930 hanya sedikit mempengaruhi penjualan garam briket dan garam mentah. Pada periode 1931 5, penjualan garam briket turun menjadi 636,4 ton dan garam mentah menjadi 115,9 ton, sedangakn total pendapatan turun menjadi 78,1 juta gulden. Pada periode berikutnya, 1936 40, situasi membaik. Penjualan kedua produk tersebut bahkan melonjak hingga 732,9 ton dan 146 ton, namun total nilai pendapatan garam hanya sebesar 74,1 juta gulden. Rendahnya nilai pendapatan ini bisa jadi disebabkan oleh penurunan harga garam di pasaran, sebuah tren yang diiikuti oleh komoditas lain selama masa krisis tersebut (VOZR 1940: 84 5). 111

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 DAMPAK SOSIAL TERHADAP PENDUDUK Ekstraksi keuntungan dari garam tidak sepenuhnya lancar. Keberlangsungan monopoli garam sering kali harus menemui ganjalan dan hambatan. Pada awalnya pemerintah kolonial Belanda berencana menjadikan monopoli garam di Madura sebagai bagian dari sebuah sistem kerja paksa (pajak tenaga kerja), seperti halnya Sistem Tanam Paksa di Jawa, namun kemudian menjadikannya lebih sebagai bagian dari sistem perpajakan (Kuntowijoyo 1980: 382). Namun, karena monopoli garam mencakup proses produksi garam yang membutuhkan suplai tenaga kerja dan tanah yang intensif, seperti halnya proses produksi sektor pertanian, maka sistem kerja Zoutregie berjalan cukup rumit dan berpotensi menimbulkan masalah. Meskipun secara umum pada tahap distribusi, pengolahan dan penjualan produk garam berjalan cukup lancar dan tidak menemui hambatan berarti namun proses produksi garam sering kali diganggu oleh berbagai bentuk protes yang dilakukan para pembuat garam setempat. Sejak pemerintah kolonial menetapkan Madura sebagai pusat produksi garam, kebanyakan informasi tentang protesprotes tersebut sering dilaporkan terjadi di pulau ini (van der Kemp 1894). Sejak awal, pemerintah kolonial menyadari bahwa tidaklah mungkin menutup sepenuhnya produksi garam yang telah menjadi sumber kehidupan penduduk setempat selama berabad-abad. Oleh karena itu Dinas Monopoli Garam didirikan tidak lebih dari sekadar mengatur kapasitas produksi tambak-tambak yang dikelola secara tradisional, dan menjamin pembuat garam lokal menjual panenannya hanya kepada pemerintah. Permasalahannya adalah bahwa dalam praktiknya Dinas Monopoli Garam sering melukai perasaan para pembuat garam setempat, terutama mereka yang hidup dan tinggal di pantai selatan Madura. 13 Selain biaya pembelian garam jauh lebih rendah, dalam periode tertentu pemerintah kolonial, untuk mencegah kelebihan produksi, menghentikan produksi garam tanpa memberikan kompensasi apa pun kepada pembuat garam tersebut. 14 Demikian pula, kondisi buruh musiman yang bekerja di pabrik-pabrik pengolahan garam sangat buruk karena mereka dibayar sangat rendah. 15 13 Di bagian pulau ini, membuat garam sama pentingnya dengan bertani atau mencari ikan sebagai mata pencarian hidup. Oleh karena teknik pembuatan garam tradisional sangat bergantung pada udara, pembuat garam sering berganti pekerjaan. Ketika udara terlalu buruk untuk membuat garam, mereka akan menggunakan tambangnya untuk memelihara ikan, atau bekerja di daerah pedalaman bercocok tanam. Pada 1885, sebuah laporan mengungkapkan bahwa hanya ditemukan 2.500 pembuat garam di Madura. Pada 1894, jumlah itu meningkat menjadi 24.600 orang ditambah 6.000 lainnya bekerja di sektor transportasi garam. Pada 1918, jumlah orang yang bekerja di sektor ini meningkat tajam menjadi 200.000 orang (ENI 1921: 867; Kuntowijoyo 1980: 381). 14 Istilah pembuat garam biasanya digunakan untuk menyebut berbagai kelompok yang terlibat dalam usaha pembuatan garam: pemilik lahan atau tambak garam, pembuat garam, dan buruh garam. Dua kelompok pertama sering berisikan orang yang sama, sedangkan kelompok ketiga kebanyakan merupakan buruh musiman yang bekerja untuk mencari upah yang kecil di tambak-tambak garam milik pengusaha swasta aupun pemerintah (KV 1887; Bijlage A; van der Kemp 1894: 272 3). Dua kelompok pertama digambarkan sebagai kelompok yang cukup makmur. Mereka memiliki rumah bagus, sejumlah perahu kano dan gaya hidup yang agak mewah, misalnya menghisap candu dan bermain judi (Kuntowijoyo 1980: 390). 15 Sebagai gambaran, pada 1861 harga beli garam dari petani garam naik dari 3,50 gulden menjadi 10 gulden per koyang (1825 kilogram) (Staatsblad 1876 No. 13). Namun, sekitar lima puluh tahun kemudian harga beli garam meningkat lagi menjadi 14,40 gulden lalu menjadi 17,60 gulden per koyang. Namun, pada 1915, harga garam jatuh kembali menjadi 8,93 gulden dan kemudian 6,50 gulden pada 1935. Sementara itu, para koeli yang bekerja dalam proses pembuatan garam atau di pabrik, pada 112

Jawatan Monopoli Garam mengeluarkan kebijakan membatasi produksi garam justru ketika pembuat garam berpeluang memperoleh panenan lebih banyak misalnya saat musim kemarau panjang pada 1875 dan 1930. Kelebihan produksi tidak terhindarkan sehingga pemerintah menghentikan produksi dan surplus panen garam dihancurkan. Kebijakan tersebut sangat merugikan para pembuat garam beserta buruhnya karena mereka kehilangan sumber pendapatan sehingga harus mencari cara lain untuk mendapatkan nafkah. Bahkan dalam kondisi normal sekalipun, para pembuat garam di Madura sering dihadapkan pada beragam kesulitan. Gagal panen merupakan risiko rutin dalam proses pembuatan garam tradisional karena hujan bisa turun secara tak terduga yang akan merusak proses penguapan atau kualitas garam. Tidaklah mengherankan bila Komisi Penyelidikan Madura yang dibentuk pemerintah kolonial pada 1920 menemukan mayoritas penduduk pembuat garam di Madura jauh lebih miskin dibanding penduduk yang bekerja di sektor lain, dan parahnya lagi mereka kebanyakan tidak memiliki tanah garapan sendiri. Aktivitas produksi yang tidak stabil mempengaruhi pendapatan petani garam, dan ketiadaan kredit sering kali memaksa mereka meminjam uang dengan bunga tinggi kepada tetangganya yang lebih kaya atau rentenir Cina dan Arab dengan menggunakan lahan mereka sebagai jaminan. Dalam jangka panjang, kondisi dan praktik meminjam uang seperti itu dianggap sebagai penyebab utama terjadinya proletarisasi dan kehilangan tahun 1890 memperoleh upah harian yang berkisar antara 30 hingga 50 sen atau total 16 hingga 20 gulden untuk sepanjang musim. Hanya sesudah tahun 1920, standar upah buruh garam meningkat menjadi 75 sen per hari, ditambah mereka menerima makan gratis sebagai tambahan atau bonus kerja (Kuntowijoyo 1980: 402). tanah di kalangan para petambak garam di Pulau Madura (Rapport 1920: 22-23; Kuntowijoyo 1980: 383). 16 Suatu hal yang wajar jika pembuat garam lokal menganggap kebijakan pemerintah kolonial tentang tata niaga garam bersifat tidak adil, khususnya yang berkaitan dengan pengoperasian Zoutregie, sebagai penyebab persoalan dan kesulitan yang mereka hadapi. Akibatnya, muncul kebencian dan kemarahan di kalangan pembuat garam yang mendorong mereka melakukan berbagai aksi protes. Aksiaksi tersebut diekspresikan dalam bentuk aksi halus seperti pembuatan garam rahasia, penjualan garam secara ilegal, pencurian, penyelundupan, pembajakan dan sejenisnya; selain juga dalam bentuk aksi protes anarkis, seperti pembakaran gudang garam dan fasilitas milik pemerintah lainnya (van der Kemp 1894: 297 300). Pembuatan garam rahasia, penyelundupan dan pembakaran gudanggudang garam merupakan persoalan akut yang harus dihadapi Zoutregie sejak tahun-tahun pertama operasionalnya. Untuk mengatasinya, pemerintah kolonial membentuk satuan polisi khusus aktif berpatroli di daerah penghasil garam, khususnya selama musim pembuatan garam. 17 Pemerintah kolonial juga melakukan upaya lain untuk mengurangi keresahan sosial di kalangan pembuat garam dengan mengeluarkan kebijakan khusus seperti menaikkan harga pembelian garam, mengurangi izin bagi orang Timur 16 Kondisi ini terlihat jelas di Sumenep pada 1930, saat sebuah laporan mengungkapkan bahwa 1,707 petak tambak garam, 298 di antaranya dimiliki oleh hanya tujuh orang pengusaha besar setempat. Salah seorang di antara ketujuh pemilik lahan besar tersebut menguasai 120 kolam tambak, 432 petak lainnya masing-masing memiliki satu petak tambak (Rapport 1920: 48; de Jonge 1993: 173). 17 Setelah digabungkan dengan Jawatan Monopoli Opium, satuan polisi garam dan opium juga digabung di bawah satu komando. Meski demikian, sesudah 1935 biaya operasi pencegahan penyelundupan dan pembuatan garam ilegal melampaui biaya operasi anti penyelundupan opium (VOZR 1935 40). 113

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 Asia, dan memberikan kredit lunak bagi para petani pembuat garam. Langkahlangkah tersebut, menurut de Jonge (1993: 175), memang cukup meringankan beban mereka namun bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah dasar yang dihadapi oleh para pembuat garam, yang kondisinya tetap miskin walau sudah bekerja keras bagi Jawatan Monopoli Garam milik pemerintah kolonial. Memasuki dekade kedua abad ke- 20, persoalan terkait garam di Madura memasuki dimensi baru ketika Sarekat Islam, organisasi Islam pelopor gerakan sosial politik mulai terlibat. Pada 1915, dilaporkan terjadi aksi protes dalam skala besar yang diawali dengan penolakan para pembuat garam untuk bekerja, diikuti pembakaran gudang-gudang garam milik pemerintah (van Braam 1917: 103; de Jonge 1993: 175). SI berinisiatif mengirimkan sebuah tim untuk meneliti kerusuhan tersebut, dan sebagai hasilnya adalah sebuah petisi yang ditujukan untuk pemerintah kolonial. Berisikan kritik keras terhadap Jawatan Monopoli Garam yang mengambil keuntungan besar dengan mengorbankan nasib para pembuat garam, petisi tersebut menuntut pemerintah kolonial supaya menaikkan harga pembelian garam dari 10 gulden menjadi 25 gulden per koyang sebagai kompensasi nasib mereka. Berdasarkan hasil investigasinya sendiri, pemerintah kolonial secara resmi menolak petisi tersebut pada 1918. Namun SI tidak menyerah begitu saja. Melalui perwakilannya di Volksraad, SI mengajukan petisi tersebut sebagai agenda pembahasan anggota parlemen. Pada saat yang sama, surat kabar pribumi turut berperan mengungkap kondisi kemiskinan di daerah-daerah penghasil garam kepada khalayak. SI memperoleh dukungan dari partai-partai lainnya, namun pemerintah kolonial bersikeras menolak petisi tersebut dan memilih membentuk komisi khusus untuk melakukan investigasi kondisi upah dan hubungan kerja di daerah-daerah penghasil garam. Komisi tersebut, terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah kolonial dan anggota parlemenu dari kalangan bumiputra, menghasilkan kesimpulan yang cukup mengecewakan bahwa buruh dan pegawai di Jawatan Monopoli Garam menyatakan puas dengan upah yang mereka terima dan karenanya tidak ada alasan untuk menaikan harga pembelian garam (Rapport 1920: 30; de Jonge 1993: 175-76). Akhirnya, pada 1920, pemerintah kolonial menerima harga pembelian garam yang diusulkan, yaitu 25 gulden per koyang, dengan alasan bahwa keputusan itu merupakan penyesuaian terhadap inflasi dan kenaikan umum biaya standar hidup. Kebijakan ini mendinginkan suasana di daerah-daerah penghasil garam di Madura, namun hanya untuk sementara waktu. Menjelang masa krisis 1930-an, ketegangan meningkat kembali di daerahdaerah tersebut. Pada 1934, pemerintah kolonial sekali lagi mengeluarkan kebijakan tidak poluer untuk mencegah kelebihan produksi dan menstabilkan harga yang tengah jatuh. Pemerintah membeli dan menutup sekitar seperlima lahan tambak garam milik swasta dan hanya memberikan kompensasi minimal. Kebijakan itu memicu protes di beberapa daerah. Di Sumenep, protes meledak dalam bentuk aksi kekerasan yang memaksa polisi setempat mengambil langkah keras, menangkap sejumlah besar peserta protes dan mengirim mereka ke penjara. Konflik lainnya terjadi pada 1936 ketika 114

pemerintah kolonial berencana mengubah kuburan menjadi tambak garam, namun konflik ini bisa diselesaikan secara damai melalui perundingan. Rencana tersebut merupakan bagian dari skema reorganisasi produksi garam yang bertujuan mengambil alih semua lahan tambak swasta untuk diubah menjadi bagian Jawatan Monopoli Garam. Meskipun rencana itu akan mengancam sumber kehidupan mereka, namun para pembuat garam tidak menunjukkan resistensinya, bisa jadi karena pemerintah kolonial memberikan kompensasi yang memuaskan, tetapi juga karena pemerintah kolonial menciptakan Madoera-welvaartfonds atau Dana Kesejahteraan Madura yang menjanjikan berbagai keuntungan bagi komunitas pembuat garam dan kelompok penduduk lainnya di Madura (de Jonge 1993: 178-79). Dengan mengusung semangat Politik Etis, pemerintah kolonial memperkenalkan Dana Kesejahteraan Madura pada 1937. Tujuan utamanya mendorong perkembangan ekonomi Pulau Madura dan memperbaiki standar umum kesejahteraan hidup penduduk Madura. Dengan total alokasi dana sebesar 4 juta gulden, pemerintah kolonial merencanakan sejumlah program pembangunan untuk jangka waktu lima belas tahun, dan sesudahnya penduduk Madura diharapkan mampu mengembangkan potensi mereka sendiri (de Jonge 2004: 91). 18 Dana 18 Menurut de Jonge (2004: 96), pemerintah pusat mengalokasikan total subsidi sebesar 800.000 gulden untuk mendukung program ini, sedangkan sisa uang sebesar 3,25 juta gulden akan dibayarkan melalui Jawatan Zoutregie, berkurang dari 400.000 gulden pada tahun-tahun awal menjadi 100.000 gulden pada tahun-tahun akhir. tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pertanian, pendidikan dan kesehatan. Empat tahun setelah pelaksanaan, sebelum dihentikan oleh invasi tentara Jepang, sebuah kajian dilakukan oleh Grader pada 1949 (sebagaimana dikutip de Jonge 2004) yang menunjukkan bahwa proyek tersebut gagal mencapai tujuannya untuk meningkatkan level kesejahteraan penduduk Madura. Waktu pelaksanaannya terlalu singkat, anggaran yang dialokasikan juga terlalu kecil, dan program yang dirumuskan tidak dipersiapkan secara matang karena ditentukan langsung di tempat. Setelah menghabiskan seperempat dana yang dianggarkan, hasil konkret hanya terlihat di sektor irigasi, sementara di sektor lain tidak maksimal, superfisial dan bahkan tidak kelihatan sama sekali. Oleh sebab itu, de Jonge menyimpulkan bahwa Dana Kesejahteraan Madura hanyalah serangkaian tipu muslihat yang tidak ada urusannya langsung dengan perbaikan standar hidup penduduk Madura. Pemerintah kolonial menggunakannya hanya sebagai kedok untuk menutupi upayanya memperkuat monopoli atas industri garam yang telah memiskinkan penduduk pembuat garam Madura (de Jonge 2004: 102). Berbeda dengan monopoli opium yang berakhir pada 1942 setelah pendudukan Jepang, monopoli atas produksi, distribusi, dan penjualan garam tetap dikuasai oleh pemerintah kolonial hingga akhir 1949, ketika monopoli diambil alih oleh negara Indonesia merdeka. 115

JEJAK NUSANTARA Volume 03 Agustus 2015 PENUTUP Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa persoalan struktural garam di Indonesia dewasa ini, bisa disaksikan asalusulnya sejak masa kolonial. Di sektor produksi garam, penguasaan lahan yang timpang di antara para petani pembuat garam menyebabkan aktivitas produksi garam berjalan secara fragmentatif dan relatif sulit diintegrasikan. Monopoli yang dilakukan oleh negara (kolonial) sering kali mengambil jalan pintas dengan memaksakan pengambilalihan proses produksi dan distribusi, terkadang dengan cara kekerasan, tanpa memberikan kompensasi yang memadai. Di bawah sistem monopoli tersebut, para petani garam tidak hanya kehilangan kedaulatan atas kemampuan produksi garamnya, tetapi juga kehilangan daya tawarnya untuk memperoleh harga jual garam yang pantas. Sementara lembaga monopoli negara beroperasi sepenuhnya sebagai sebuah perusahaan komersial, sehingga pertimbangan sosial-kesejahteraan yang semestinya menjadi bagian integral dari keberadaannya sering kali tergusur oleh kepentingan komersial. Akibatnya, institusi monopoli negara tersebut mengabaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak dasar para petani garam, padahal mereka adalah tulang punggung mata rantai produksi garam. Kebijakan kapitalistik negara kolonial seperti itu sudah sepantasnya dikoreksi oleh pemerintah Indonesia merdeka. Jika kondisi tersebut tidak berubah hingga sekarang, pemerintah Indonesia tidak lebih dari sekadar keberlanjutan dari negara kolonial yang dulu dihancurkanya. DAFTAR ACUAN van Braam, W. (1917), Een en ander over de zoutaanmaak der bevolking op Madoera, Koloniale Studien, 1 2 (83 117). ENI (1921), Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, 4 jilid. s-gravenhage/leiden: Martnus Nijhoff dan E. J. Brill. de Jonge, H. (1993), Monopolization and Resistance: State and Salt Producers in Madura, dalam P. Le Roux dan J. Ivanoff (ed.), Le sel de la vie du Sud-est. Paris: Centre National de la Recherche Scientific, Prince of Songkla University. (2004), State and Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund, Asian Journal of Social Science, 32 (1) (91 104). van der Kemp, P. H. (1894), Handboek voor de kennis van s lands zoutmiddel in Nederlandsch-Indië: Eene economisch-historische studie. Batavia/ s-gravenhage. Knaap, G. dan L. Nagtegaal (1991), A Forgotten Trade: Salt in Southeast Asia 1670 1813, dalam R. Ptak 116

dan D. Rothermund (ed.) Emporia, Commodities and Entrepreneurs in Asian Maritime Trade c. 1400 1750. Wiesbaden: Steiner. Kuntowijoyo (1980), Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850 1940, Disertasi Ph.D. New York: Columbia University. Raffles, T. S. (1817), The History of Java, 2 jilid. London: Black, Parbury & Allen. Souza, G. B. (2009), Opium and the Company: Maritime Trade and Imperial Finance on Java, 1684 1796, Modern Asian Studies, 43 (1) (113 33). van Zanden, J. L. dan D. Marks (2012), An Economic History of Indonesia 1800 2010. London dan New York: Routledge. Wahid, A. (2013), From Revenue Farming to State Monopolies: The Political Economy of Colonial Taxation in Indonesia, Java ca. 1816 1942, Disertasi Ph.D. Utrecht: Utrecht Universiteit. Dokumen/Penerbitan Resmi Departement van Binnendlandsch Bestuur (1919), Gouvernement besluit 3 desember 1915, No. 40, Bijblad No. 8486, Handleiding ten Dienste van de Inlandsch Bestuursambtenaren op Java en Madoera No. 30/G.B. Het Zoutmonopolie. KV, Koloniaal Verslag 1887. Rapport (1920), Rapport van de Madoeracommissie ingesteld bij Gouvernementbesluit van 5 maart 1919, 35. Weltevreden: Landsdrukkerij. (1932), Rapport van de zoutaankoopcommissie ingesteld bij Gouvernementbesluit van 9 september 1931, 40. Weltevreden: Landsdrukkerij. Staatsblad, Staatsblad van Nederlandsch- Indië 1876, No. 13. Verslag betreffende de Zoutregie (1916). VOZR (1935 41), Verslag betreffende de Opium- en Zoutregie en de zoutwinning over het jaar 1934 40. Batavia: Landsdrukkerij. VZR (1920 34), Verslag van den Dienst der Zoutregie en van de daarbij behoorende afdeeling: Vervoor en verkoop 1920 1934. Weltevreden: Landsdrukkerij. Internet http://ekonomi.metrotvnews.com/ read/2014/11/13 Mellegers, J. (2004), Public Finance of Indonesia 1817 1940, Working Memorandum,www.iisg.nl/ indonesianeconomy/.amsterdam: Indonesian Economic Development, International Institute of Social History. www.kkp.go.id/indeks.php/arsip/c/267. www.tempo.co.id/indeks/06/01/2015. 117