Policy Brief MEMFUNGSIKAN PENGAWASAN BIBIT TERNAK UNTUK MENDUKUNG EFISIENSI USAHA PETERNAKAN AYAM RAS SKALA KECIL. Nyak Ilham.

dokumen-dokumen yang mirip
Bibit niaga (final stock) umur sehari/kuri (day old chick) Bagian 2: Ayam ras tipe petelur

Bibit induk (parent stock) umur sehari/kuri (day old chick) Bagian 1: Ayam ras tipe pedaging

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN MUTU BIBIT INDUK AYAM RAS UMUR SEHARI (DOC-PS)

Disampaikan pada : Jamarizal, SPT Kasi Prod. Bibit Ternak Unggas Direktorat Perbibitan Ternak

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

I. PENDAHULUAN. umur 4 5 minggu. Sifat pertumbuhan yang sangat cepat ini dicerminkan dari. modern mencapai di bawah dua (Amrullah, 2004).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

[Pemanenan Ternak Unggas]

PERSYARATAN MUTU BENIH DAN/ATAU BIBIT TERNAK HASIL PRODUKSI DI DALAM NEGERI. No Nomor SNI Jenis Benih dan/atau Bibit Ternak

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

BAB I PENDAHULUAN. pangan dan gizi serta menambah pendapatan (kesejahteraan) masyarakat. Hal ini

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

PERAN ASOHI DALAM PELAKSANAAN IMPORTASI, PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ANTIBIOTIKA DI SEKTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DI INDONESIA

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

PERKEMBANGAN AYAM KUB pada Visitor Plot Aneka Ternak BPTP NTB. Totok B Julianto dan Sasongko W R

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

PETUNJUK TEKNIS PELAPORAN PEMBIBITAN AYAM RAS

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Break Even Point adalah titik pulang pokok dimana total revenue = total

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

REPUBLIK INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN PETERNAKAN UNGGAS TAHUN Lokasi perusahaan :...

I. PENDAHULUAN. semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan baru

LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN PETERNAKAN UNGGAS TAHUN 2009

EVALUASI ADOPSI TEKNOLOGI PETERNAKAN AYAM BROILER DI KECAMATAN SUNGAI GELAM KABUPATEN MUARO JAMBI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 49/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL YANG BAIK (GOOD NATIVE CHICKEN BREEDING PRACTICE)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

I Peternakan Ayam Broiler

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

E

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

TERNAK AYAM KAMPUNG PELUANG USAHA MENGUNTUNGKAN

I. PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan. kesejahteraan peternak. Masalah yang sering dihadapi dewasa ini adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bangkok dengan betina ras petelur tipe medium keturunan pertama pada umur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk menyeleksi pejantan dan betina yang memiliki kualitas tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

PERSEPSI PENGUSAHA ATAS PENGARUH KESEDIAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI TERHADAP LABA

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

REPUBLIK INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN PETERNAKAN UNGGAS TAHUN 2014 :... :... :... :... :...

GUBERNUR MALUKU UTARA

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

Dampak Diseminasi Ayam Kampung Unggul Balitnak di Provinsi Gorontalo

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler merupakan ayam yang berasal dari hasil genetik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

REPUBLIK INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN PETERNAKAN UNGGAS TAHUN 2013 :... :... :... :... :...

Nama : MILA SILFIA NIM : Kelas : S1-SI 08

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk

Outlook Bisnis Peternakan Menyambut Tahun Politik dan Tahun Bebas AGP

BAB I PENDAHULUAN. bentuk dan merek dagang yang berbeda, khususnya ayam olahan di pasaran.

2012, No.72 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan yang

HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur. Ayam bibit bertujuan untuk menghasilkan telur berkualitas tinggi

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79/Permentan/OT.140/6/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBIBITAN AYAM ASLI DAN AYAM LOKAL YANG BAIK

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit terbagi atas 4 yaitu ayam pembibit Pure Line atau ayam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

1. PENDAHULUAN. Produktivitas ayam petelur selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA

REKOMENDASI OMBUDSMAN BRIEF T AT A NIAGA SAPI SALURAN PANJANG, NIAGA INFRAST SAPI RUKTUR DI NT T T IDAK MENUNJANG, PET ERNAK T IDAK SEJAHT ERA

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

PROTER UNGGAS PETELUR MK PROTER UNGGAS SEMESTER V PS PROTER 16 DESEMBER 2014

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMENTAN/PK.240/5/2017 TENTANG KEMITRAAN USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Ayam Broiler Awal Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produk akhir ayam ras (Sudaryani dan Santoso, 2002). Ayam petelur dibagi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

Transkripsi:

Policy Brief MEMFUNGSIKAN PENGAWASAN BIBIT TERNAK UNTUK MENDUKUNG EFISIENSI USAHA PETERNAKAN AYAM RAS SKALA KECIL Nyak Ilham Pendahuluan 01. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha ayam ras pedaging dan petelur adalah efisiensi produksi. Sebagai unit produksi biologis, kualitas bibit dalam hal ini DOC-Kuri (Day Old Chicken Kutuk umur sehari) berpengaruh penting terhadap capaian efisiensi produksi. Selain bibit, efisensi produksi juga dipengaruhi oleh kualitas, kuantitas dan cara pemberian pakan, serta manajemen pemeliharaan. 02. Untuk menjaga kualitas DOC, ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Suatu SNI yang sudah diterbitkan, memungkinkan untuk dilakukan revisi. 03. Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 01-4868.1-2005 untuk bibit niaga (final stock) DOC/Kuri ayam ras tipe pedaging, di penetasan (hatchery) sebagai berikut: (1) Bobot kuri per ekor minimal 37 gram; (2) Kondisi fisik sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, paruh normal, tampak segar dan aktif, tidak dehidrasi, tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik, sekitar pusar dan dubur kering dan pusar tertutup; (3) Warna bulu seragam sesuai dengan warna galur (strain) dan kondisi bulu kering dan berkembang; dan (4) Jaminan kematian kuri maksimum 2%. Demikian juga SNI SNI 01-4868.2-2005 untuk bibit niaga (final stock) ayam ras tipe petelur umur sehari (Kuri/DOC), persyaratan mutu di penetasan mencakup bobot kuri per ekor 33 gram dan yang lainnya sama dengan kuri ayam ras pedaging (BSN, 2013). Permasalahan 04. Persyaratan SNI DOC yang dilakukan saat ini, masih pada lokasi penetasan. Padahal dari penetasan DOC didistribusikan langsung ke peternak atau melalui poultry shop, menggunakan angkutan udara dan/atau angkutan darat serta dikemas dalam suatu kemasan. Selama dalam aktivitas distribusi tersebut kemungkinan besar terjadi penurunan kualitas. 05. Persyaratan kemasan dan alat angkut juga diatur dalam SNI. Jika tidak ada pengawasan, baik sejak di penetasan, kemasan dan distribusi, penyimpangan dari SNI akan dibebankan kepada peternak. Untuk tidak membebankan hal itu pada peternak skala kecil, maka pemerintah perlu melakukan pengawasan reguler terhadap produksi dan distribusi DOC hingga sampai ke kandang ayam peternak.

Temuan-Temuan Pokok Dasar Hukum 06. Permentan No. 42/2014 Tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Benih dan Bibit Ternak, antara lain menjelaskan: (1) Pengawas Bibit Ternak diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan benih dan bibit ternak (Pasal 1, ayat 5); (2) Permentan ini sebagai dasar bagi pelaku usaha produksi dan peredaran benih atau bibit; dan Pengawas Bibit Ternak dalam melakukan pengawasan produksi dan peredaran benih atau bibit, sehingga benih atau bibit yang diproduksi atau diedarkan memenuhi standar yang ditetapkan secara berkesinambungan; dan melindungi konsumen dari perolehan benih atau bibit sesuai dengan standar (Pasal 2, ayat 1 dan 2). 07. Pengawasan benih atau bibit dalam peredaran dilakukan setiap saat baik pada pos lalu lintas dan unit pengguna benih atau bibit (Pasal 11, ayat 1). Pengawas bibit ternak mempunyai wewenang: (a) memasuki lokasi unit pembenihan atau pembibitan atau unit pengguna benih atau bibit; dan (b) mengusulkan penghentian sementara kegiatan produksi atau penarikan peredaran benih atau bibit yang tidak sesuai dengan persyaratan dan pencabutan izin usaha (Pasal 19, ayat 1). Implementasi Legislasi 08. Pada industri ayam ras pedaging dan petelur, Pengawas Bibit Ternak dinilai belum bekerja dengan baik, sehingga peternak ayam ras sebagai konsumen produk bibit (DOC) dirugikan. Beberapa indikasi atas kurangnya pengawasan di lapangan adalah: a. Pada usaha kemitraan ayam broiler antara peternak dan perusahaan inti, preferensi peternak bekerjasama pada perusahaan inti tertentu, antara lain disebabkan alasan kualitas DOC dari perusahaan inti tertentu relatif lebih bagus dari perusahaan inti lain. b. Tingkat kematian selama peternak membesarkan ayam petelur dari DOC-Pullet sekitar 5%-10%, sedangkan standar yang baik 1%-2%, sedang 3%-5% dan jelek > 5%. Berarti usaha yang dilakukan peternak masuk kategori jelek. Salah satu faktornya dapat disebabkan oleh kualitas DOC. c. Pada usaha ayam ras pedaging, selama ini ayam kerdil sekitar 5-10 persen dari populasi dalam kandang. Pada usaha kemitraan antara peternak dengan perusahaan inti yang terintegrasi, ayam kerdil yang ada dikeluarkan (culling) pada minggu pertama, sehingga sisanya relatif baik. Tidak demikian dengan peternak mandiri atau peternak yang melakukan kemitraan dengan poultry 2

shop, karena harga DOC mahal maka tidak dilakukan culling, sehingga secara agregat produktivitas rendah. Kualitas DOC di Lapangan 09. Menurut pihak poutry shop, umumnya kualitas DOC dari perusahaan yang sama, yang dijual di pasar melalui poultry shop bobotnya lebih rendah berkisar 37-38 gram per ekor, dari yang digunakan plasma integrator berkisar 40-42 gram per ekor. Bahkan ditemui dua kelas DOC: (1) dalam kotak bermerek dengan berat sekitar 37 gram/ekor, harga Rp600.000/box; (2) dalam kotak polos tanpa merek dengan berat sekitar 34-35 gram/ekor DOC, harga sekitar 530.000 500.000/box. 10. Apapun sebabnya, DOC yang beratnya rendah (di bawah standar) dapat menyebabkan potensi puncak produksi telur tidak tercapai dan waktu penurunan puncak produksi akan terjadi dalam waktu cepat. Untuk menghindari hal ini perlu upaya khusus, agar kondisi ayam sejak DOC sampai umur 6 minggu menjadi meningkat dengan memenuhi capaian berat standar tertentu. Namun upaya ini butuh biaya dan waktu sehingga sulit dilakukan oleh peternak. 11. Pihak pembibit berargumen bahwa masalah kualitas DOC lebih disebabkan penanganan selama distribusi hinga sampai tujuan. Peternak juga sering disalahkan karena penyiapan pemanas (brooder) saat ayam umur 1-18 hari tidak dilakukan dengan baik, sehingga produktivitas ayam tidak tercapai sesuai harapan. 12. Pada usaha kemitraan ayam ras pedaging, pihak perusahaan inti sudah melakukan kontrak kerja dengan pihak ekspedisi untuk transportasi DOC dan pakan. Jika ada kasus-kasus kerusakan merupakan tanggung jawab ekspedisi. Peran Lembaga Terkait 13. Menurut pihak perusahaan inti, selama ini peran Pengawas Bibit Ternak dalam pengawasan DOC dari perusahaan penetasan hingga ke peternak belum pernah terdengar. Jika kegiatan pengawasan ini dapat dilakukan oleh petugas, pihak perusahaan inti mendukung. 14. Jika peternak melakukan komplain kualitas DOC ke perusahaan inti, selanjutnya pihak perusahaan inti meneruskan pengaduan tersebut ke divisi pembibitan. Pihak perusahaan inti juga melakukan pengecekan ke peternak dan mengedukasi peternak agar melakukan pengecekan barang (DOC dan pakan) yang masuk. Sesudah dicek dan sesuai dengan daftar pada DO maka baru DO ditanda tangani. 3

15. Berdasarkan fakta di atas, berbagai pihak saling lepas tangan dan akibatnya ditanggung oleh peternak. Pihak pengawas mengatakan pengawasan kualitas DOC sangat sulit dilakukan karena keterbatasan tenaga. Penurunan kualitas bisa terjadi sejak dari perusahaan penetasan, dalam proses distribusi ke poultry shop hingga ke peternak. Perlu upaya, khusus untuk meningkatkan kualitas DOC yang diterima peternak sehingga dapat mengurangi kerugian peternak dan kehilangan produksi. Implikasi Kebijakan 16. Pada sisi pemerintah, peran pemerintah dalam hal ini Ditjen PKH dan dinas yang membidangi fungsi PKH di provinsi dan kabupaten/kota melalui Pengawas Bibit Ternak untuk menjaga kualitas DOC secara berjenjang di level perusahaan penetasan, perusahaan ekspedisi angkutan DOC, poultry shop, dan di kandang ayam peternak perlu diberdayakan. 17. Untuk mengefektifkan pengawasan, selain memfungsikan pejabat fungsional wasbitnak (pengawas bibit ternak) pada masing-masing level, juga diperlukan keterlibatan asosiasi peternak di daerah sebagai sumber informasi dari lapangan. Kebijakan ini sebaiknya disosialisasikan sampai tingkat peternak, sehingga peternak dapat melakukan kontrol terhadap kualitas DOC yang diterimanya, dan jika ada penyimpangan, dapat melaporkan ke pejabat wasbitnak mdlalui asosiasi yang ada, untuk dapat dilakukan tidaklanjuti. 18. Pada sisi standar kualitas DOC, jika secara alamiah, proses distribusi dari penetasan hingga peternak akan mengalami penyusutan berat DOC bahkan kematian, sehingga ada batasan kematian maksimal selama distribusi sebesar 2%. Jika kematian saja terjadi, besar kemungkinan penyusutan berat DOC juga akan terjadi. 19. Oleh karenanya, jika susut bobot DOC A gram, maka alternatif yang dapat dilakukan untuk menghindari penurunan kualitas adalah: (1) standar berat DOC di perusahaan penetasan ditingkatkan menjadi: (37+A) gram untuk DOC ayam ras pedaging dan (33+A) gram untuk DOC ayam ras petelur; atau, (2) standar DOC yang ditetapkan bukan di tingkat perusahaan penetasan, tetapi di tingkat kandang ayam peternak. 20. Dampak peningkatan bobot minimal DOC menyebabkan volume produksi DOC yang dipasarkan perusahaan penetasan berkurang. Hal ini dapat dijadikan alasan untuk: (1) menaikkan harga jual DOC; (2) jika boot DOC berbanding lurus dengan bobot telur tetas, maka akan banyak telur tetas yang tidak digunakan, jika pengawasan tidak dilakukan banyak telur tetas yang dijual di pasar; (3) pada 4

sisi lain penurunan pasokan DOC ke pasar menyebabkan produksi daging dan telur menurun, dan dengan kualitas DOC yang standar akan meningkatkan produktivitas sehingga peternak diuntungkan. Tiga dampak tersebut dapat dikurangi dengan mewajibkan pihak perusahaan memanfaatkan telur yang akan menghasilkan DOC di bawah standar untuk digunakan menjadi bahan baku pakan. 5