IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah Kabupaten Pulang Pisau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, yaitu antara 0-10 0 LS dan 110-120 0 BT. Kabupaten Pulang Pisau termasuk daerah beriklim tropis dan lembab, dengan suhu berkisar antara 26,5 o C-27,5 o C, suhu maksimum mencapai 32,5 o C, dengan panjang penyinaran matahari di atas 50%. Hujan terjadi hampir sepanjang tahun berkisar antara 2.000-3.500 mm setiap tahun dan curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Oktober - Desember serta Januari Maret. Bulan kering terjadi pada bulan Juni-September (Kabupaten Pulang Pisau, 2012). Persebaran jenis tanah di wilayah Kabupaten Pulang Pisau mengikuti pola kondisi topografinya. Di bagian Selatan, jenis tanah yang dominan adalah tanah gambut pada wilayah ini terdiri dari pantai/pesisir, rawa rawa dengan ketinggian antara 0-5 meter. Luas lahan gambut di wilayah ini tercatat sebesar 2.789 km 2 4.2. Hasil Analisis Sifat Kimia dan Kadar Serat Gambut Tanah gambut di Kalimantan Tengah memiliki sifat kimia masam, unsur hara sangat rendah, KTK sangat tinggi, tetapi kejenuhan basa sangat rendah (Hardjowigeno, 1996). Sifat-sifat kimia tanah gambut sangat beragam, dibedakan menjadi gambut eutropik (subur), gambut mesotropik (sedang), dan gambut oligotropik (miskin). Hasil analisis sifat kimia dari bahan gambut Kabupaten Pulang Pisau disajikan pada Tabel 1. 4.2.1 Nitrogen total dan Kandungan C-organik Sebagian besar N-total tanah dalam bentuk organik. Menurut Hardjowigeno (1996), kandungan N-total umumnya berkisar antara 2000-4000 kg/ha pada lapisan 0-20 cm dan umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi, yang tersedia bagi tumbuhan hanya kurang 3 persen dari jumlah tersebut Kandungan N- total bahan gambut bernilai 1.37 % atau setara dengan 27,4-54,8 kg N/ha.
16 Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Dari Bahan Gambut Pada Kedalaman 0-20 cm. Sifat Kimia Nilai ph (H 2 O) 4.69 C organik (%) 39.45 N-total (%) 1.37 P-total (ppm) 13 K-total (%) 14.59 Ca-total (%) 10.60 Mg-total (%) 9.34 Tanah gambut dapat menyimpan cadangan karbon jauh lebih besar dari tanah mineral, tergantung ketebalan lapisan tanah gambut tersebut. Semakin tebal lapisan gambut, maka semakin besar cadangan karbonnya. Konsentrasi karbon di dalam tanah gambut berkisar antara 30-70 g/dm 3 atau 30-70 kg/m 3 atau setara dengan 300-700 t/ha/m. Dengan demikian, apabila tanah gambut mempunyai ketebalan 10 m, maka cadangan karbon di dalamnya adalah sekitar 3.000-7.000 t/ha (Agus dan Subiksa, 2008). Nilai C-organik dari hasil analisis bahan gambut sebesar 39,47% pada kedalaman 20 cm atau setara dengan 23,7 t/ha. Kadar C-organik tanah gambut berbeda menurut kedalamannya. Semakin dalam gambut maka nilai karbon organik semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan laju dekomposisi bahan gambut tersebut. Pada lapisan atas laju dekomposisinya lebih cepat jika dibandingkan dengan lapisan bawah. Gambut dengan tingkat dekomposisi fibrik memiliki nilai kadar C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik dan saprik (Tabel 2). 4.2.2 Fosfor Fosfor pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P organik. Hasil analisis menunjukan kandungan P-total dari bahan gambut yang dianalisis sebesar 13 ppm. Ketersediaannya P umumnya rendah pada tanah dengan ph rendah seperti pada tanah gambut. Kondisi lingkungan tanah gambut yang reduktif dapat
menghambat aktivitas mikrob untuk mengubah P organik menjadi P inorganik melalui proses mineralisasi sehingga kandungan P-total pada tanah gambut rendah. Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar C-organik pada Tiap Kematangan Gambut di Kalimantan (Wahyunto et al., 2005): Tingkat Kematangan Gambut % C-organik Fibrik 42.63 Hemik 36.24 Saprik 35.53 17 4.2.3 Kalium, Kalsium, dan Magnesium Kandungan basa-basa pada tanah gambut umumnya rendah. Kalsium adalah mineral anorganik utama pada tanah gambut yang berasal dari batuan atau dari tanah mineral, sedimen bahan suspensi terlarut dan bio-akumulasi tumbuhan. Hasil analisis menunjukkan nilai Ca-total adalah 10.60%. Kalium merupakan salah satu unsur makro yang jumlahnya rendah pada tanah gambut Hasil analisis menunjukkan nilai K-total adalah sebesar 14.59%.. Kapasitas erap kation K + tanah gambut rendah sehingga mudah tercuci. Magnesium adalah salah satu unsur hara makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan Mg-total pada tanah gambut yang dianalisis adalah sebesar 9.34%. 4.2.4 Kadar serat dan indeks pirofosfat Sifat fisika tanah gambut yang umum digunakan untuk menilai tingkat kematangan gambut adalah kadar serat. Kadar serat merupakan butiran gambut yang tidak lolos saringan 100 mesh. Kadar serat adalah volume bahan organik tidak terdekomposisi yang menyusun tanah organik/gambut. Kadar serat dinyatakan dalam persentase serat dan secara kuantitatif dapat dihubungkan dengan sifat gambut lainnya. Hasil analisis kadar serat gambut yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 3.
18 Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Serat dan Tingkat Dekomposisi % vol serat warna munsell Indeks Pirofosfat Tingkat dekomposisi 46 10 YR 3/1 2 Hemik Pengujian dengan Na-pirofosfat digunakan untuk pengujian secara visual atau secara kualitatif melalui warna ekstrak gambut dalam larutan Na-pirofosfat. Warna yang timbul dicocokan dengan warna dalam buku Munsell Soil Collor Chart, dan notasinya dicatat dengan seksama. Indeks pirofosfat merupakan selisih antara nilai value dan chroma. Hasil analisis kadar serat dihubungkan dengan indeks pirofosfat, berdasarkan metode McKinzie (1974), untuk mendapatkan tingkat dekomposisi gambut. Gambar 2. Kriteria tes laboratorium untuk indeks pirofosfat dan presentase kadar serat (Mc Kinzie, 1974). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi gambut yang digunakan adalah hemik. Tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik adalah tanah gambut dengan tingkat dekomposisi sedang. Menurut Soil Survey Staff (1999), pada tanah gambut dengan tingkat dekomposisi hemik bahan asal pembentukannya tidak langsung dapat dikenali. Bahan gambut yang tertinggal ketika diremas dengan
19 jari adalah 1/6-2/3 di antara jari-jari telapak tangan. Beberapa daerah dengan lahan gambut tingkat dekomposisi hemik umumnya digunakan sebagai lahan pertanian, hutan, dan habitat satwa liar. Selain itu gambut hemik berada pada daerah khatulistiwa. 4.3. Pengukuran Konsentrasi CO 2 pada Inkubasi Tertutup Inkubasi tanah gambut dengan perlakuan herbisida Gramoxone dengan bahan aktif Paraquat, fungisida Score dengan bahan aktif Difenoconazol, dan insektisida Bassa dengan bahan aktif BPMC dilakukan pada tabung tertutup untuk menghidari pengaruh dari luar pada skala laboratorium. Perubahan konsentrasi CO 2 diamati pada saat awal masa inkubasi sampai hari terakhir inkubasi. Pada pengukuran konsentrasi CO 2 pada 7 hari inkubasi tidak ada CO 2 yang masuk maupun yang keluar dari tabung inkubasi yang tertutup rapat, sehingga konsentrasi CO 2 yang terukur merupakan konsentrasi CO 2 akumulasi selama 7 hari inkubasi. Hasil pengukuran kosentrasi CO 2 dari bahan gambut dengan herbisida Paraquat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi CO 2 Dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat Konsentrasi CO 2 (ppm) 1 1.744,32 2 2.599,12 4 2.138,79 5 2.204,94 7 6.282,98 Perlakuan bahan gambut dengan herbisida paraquat pada hari ke-1 inkubasi konsentrasi CO 2 yang terukur adalah 1.744,32 ppm, dan pada hari ke-2 inkubasi meningkat menjadi 2.599,12 ppm. Penurunan konsentrasi terjadi pada hari ke-4 inkubasi yaitu sebesar 2.138,79 ppm. Sedangkan pada hari ke-5 dan ke-7 inkubasi konsentrasi CO 2 meningkat kembali menjadi masing-masing sebesar 2.204,94 ppm dan 6.282,98 ppm. Pemberian paraquat menunjukan nilai konsentrasi CO 2 yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol bahan gambut. Meningkat dan menurunnya konsentrasi
20 CO 2 berkorelasi dengan aktivitas mikroba dalam tanah. Dalam penelitian Sahid (1992), penambahan paraquat pada 7 hari pertama inkubasi dapat meningkatkan produksi CO 2 yang bersumber dari aktivitas pernapasan mikroba tanah. Konsentrasi CO 2 dapat terlihat menurun pada hari inkubasi lebih lama yakni pada hari ke-60 dan dosis yang diaplikasikan lebih tinggi yaitu sebesar 100 ppm dan 250 ppm. Tabel 5 menyajikan hasil pengukuran konsentrasi CO 2 pada perlakuan Fungisida Difenoconazol. Tabel 5. Konsentrasi CO 2 Dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol Konsentrasi CO 2 (ppm) 1 1.499,73 2 1.822,27 4 2.472,75 5 1.967,16 7 5.043,72 Fungisida Difenoconazol merupakan fungisida sistemik, fungisida ini masuk keseluruh jaringan tanaman serta dapat membunuh hama yang terdapat di akar, batang, dan daun. Inkubasi bahan gambut dengan penambahan fungisida difenoconazol memiliki pola konsentrasi CO 2 yang berbeda dengan inkubasi paraquat. Pada perlakuan ini konsentrasi CO 2 meningkat dari inkubasi hari ke-1, ke-2, dan hari ke-4 yaitu sebesar 1.499,73 ppm, 1.822,27 ppm, dan 2.472,75 ppm. Namun pada inkubasi hari ke-5 terjadi penurunan konsentrasi CO 2 yaitu sebesar 1.967,16 ppm, dan konsentrasi CO 2 pada hari ke-7 meningkat menjadi 5.043,72 ppm. Pemberian insektisida BPMC terhadap konsentrasi CO 2 memiliki pola yang sama dengan perlakuan difenoconazol (Tabel 6). Konsentrasi CO 2 pada hari ke-1,ke- 2, dan ke-4 meningkat yaitu sebesar 1.818,07 ppm, 1.860,75 ppm, dan 2.405,61 ppm. Sedangkan pada hari ke-5 inkubasi terjadi penurunan konsentrasi sebesar 2.039,76 ppm, dan konsentrasi CO 2 meningkat kembali pada masa inkubasi yaitu sebesar 5.112,69 ppm.
21 Dalam penelitian Bartha et al. (1967), penambahan bahan pestisida golongan karbamat dapat meningkatkan produksi CO 2 karena bahan aktifnya termodifikasi oleh reaksi oksidatif. Pada 10 hari pertama inkubasi menunjukan produksi konsentrasi CO 2 yang terus meningkat dan menurun setelah 10 hari waktu aplikasi. Tabel 6. Konsentrasi CO 2 Dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC Konsentrasi CO 2 (ppm) 1 1.818,07 2 1.860,75 4 2.405,61 5 2.039,76 7 5.112,69 Konsentrasi CO 2 pada perlakuan kontrol menunjukan pola pertambahan yang bersesuaian dengan perlakuan difenoconazol dan BPMC dan berbeda sedikit dengan perlakuan Paraquat untuk pengamatan hari ke 4 (Tabel 7 dan Gambar 3). Pada perlakuan kontrol hari ke-1 inkubasi, konsentrasi CO 2 yang terukur adalah sebesar 1.435,42 ppm, dan meningkat pada hari ke-2 yaitu sebesar 1.965,04 ppm. Pada hari ke-4 konsentrasi CO 2 meningkat kembali yaitu sebesar 2.179,53 ppm dan menurun pada hari ke-5 sebesar 1.881,27 ppm. Pada akhir masa inkubasi konsentrasi CO 2 yang terukur adalah 4.716,70 ppm. Tabel 7. Konsentrasi CO 2 Dari Kontrol Bahan Gambut Konsentrasi CO 2 (ppm) 1 1.435,42 2 1.965,04 4 2.179,53 5 1.881,27 7 4.716,70 Kenaikan konsentrasi CO 2 pada awal masa inkubasi berhubungan langsung dengan konsentrasi pestisida yang diaplikasikan pada suatu sistem (Bartha et al., 1967). Konsentrasi yang diaplikasikan dari herbisida Paraquat adalah 5.5 ppm,
22 fungisida Difenoconazol 5 ppm, dan BPMC 5 ppm sehingga pada konsentrasi tersebut belum terlihat secara signifikan pengaruhnya terhadap penurunan konsentrasi CO 2 pada bahan gambut. Selain itu waktu hari inkubasi yang relatif singkat yakni 7 hari juga dapat berpengaruh terhadap belum terlihatnya penurunan konsentrasi CO 2. Perubahan konsentrasi CO 2 selama inkubasi dapat terlihat pada Gambar 3. konsentrasi CO 2 (ppm) 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1 2 4 5 7 Hari Inkubasi kontrol paraquat difenoconazol BPMC Gambar 3. Grafik Konsentrasi CO 2 selama waktu inkubasi Pada pengamatan hari kedua perlakuan herbisida Paraquat paling tidak efektif dalam menekan emisi CO 2 dibandingkan dengan perlakuan Difenoconazol dan BPMC. Hal ini terlihat dari emisi CO 2 yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pada pengamatan hari ke empat terjai perubahan yang mana Difenoconazol mempunyai emisi CO 2 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sedangkan Paraquat mempunyai emisi dibawah kontrol. Pada pengamatan hari ke 5 semua perlakuan pestisida mempunyai emisi lebih tinggi dibandingkan kontrol, demikian juga hasil pengamatan emisi CO 2 hari ke 7. Sumber CO 2 dalam inkubasi tertutup tersebut dapat berasal dari 2 hal : (1) dekomposisi bahan gambut; dan (2) respirasi mikroba. Emisi CO 2 yang lebih tinggi dari kontrol pada semua perlakuan perstisida pada pengamatan hari ke 5 dan ke 7 diduga berasal dan meningkatnya respirasi mikroba akibat pemberian pestisida.
23 Pola umum emisi CO 2 pada semua perlakuan termasuk perlakuan kontrol adalah hari ke 1 sampai ke 5 perubahan emisi CO 2 relatif rendah. Peningkatan emisi CO 2 yang cukup nyata terjadi pada hari ke 5 dan ke 7. Kondisi tertutup diduga menyebabkan kekurangan oksigen sehingga meningkatkan aktivitas respirasi mikroorganisme, sehingga tidak ada perbedaan pola antar perlakuan kontrol dengan perlakuan pestisida. 4.4. Pengukuran Fluks CO 2 pada Inkubasi Terbuka Fluks CO 2 adalah besarnya aliran konsentrasi CO 2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m 2 /jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Pada inkubasi terbuka dilakukan pengukuran fluks CO 2 karena pada perlakuan ini tabung inkubasi dibiarkan terbuka sehingga terdapat gas CO 2 yang masuk dan keluar, oleh karena itu pada perlakuan ini dapat diukur fluks CO 2. Hasil penelitian pada perlakuan paraquat yang diinkubasi terbuka (Tabel 8) memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan paraquat dengan inkubasi tertutup. Pada inkubasi hari ke-1 memiliki nilai fluks sebesar 0,012 mg/m 2 /sec, kemudian menurun pada hari ke-2 inkubasi sebesar 0,005 mg/m 2 /sec. Inkubasi hari ke-4 dan ke-5 mengalami peningkatan fluks CO 2 yaitu dari 0,008 mg/m 2 /sec menjadi 0,013 mg/m 2 /sec. Sedangkan pada hari ke-7 setelah masa inkubasi fluks CO 2 menurun menjadi sebesar 0,009 mg/m 2 /sec. Tabel 8. Fluks CO 2 dari Bahan Gambut dengan Herbisida Paraquat Fluks CO 2 (mg/m 2 /sec) 1 0,012 2 0,005 4 0,008 5 0,013 7 0,009
24 Pengaruh perlakuan fungisida Difenoconazol terhadap fluks CO 2 dengan inkubasi tertutup (Tabel 9) juga menunjukan pola yang berbeda dibandingkan dengan nilai fluks CO 2 pada pemberian paraquat. Hari ke-1 inkubasi nilai fluks CO 2 sebesar 0,070 mg/m 2 /sec, kemudian menurun pada hari ke-2 sebesar 0,003 mg/m 2 /sec. Fluks CO 2 kembali meningkat pada hari ke-4 sebesar 0,005 mg/m 2 /sec, dan menurun pada hari ke-5 yaitu sebesar 0,003 mg/m 2 /sec. ke-7 fluks CO 2 meningkat sebesar 0,005 mg/m 2 /sec. Tabel 9. Fluks CO 2 dari Bahan Gambut dengan Fungisida Difenoconazol Hari Inkubasi Fluks CO 2 (mg/m 2 /sec) 1 0,007 2 0,003 4 0,005 5 0,003 7 0,005 Fluks CO 2 pada perlakuan bahan gambut dengan insektisida BPMC (Tabel 10) menunjukan pola yang hampir sama dengan perlakuan difenoconazol. Pada hari ke-1 inkubasi fluks CO 2 sebesar 0,020 mg/m 2 /sec, kemudian menurun pada hari ke-2 inkubasi yaitu sebesar 0,002 mg/m 2 /sec. Fluks CO 2 meningkat pada hari ke-4 sebesar 0,007 mg/m 2 /sec, dan menurun pada inkubasi hari ke-5 sebesar 0,002 mg/m 2 /sec. Peningkatan fluks CO 2 kembali terjadi pada inkubasi ke-7 yaitu sebesar 0,015 mg/m 2 /sec. Tabel 10. Fluks CO 2 dari Bahan Gambut dengan Insektisida BPMC Fluks CO 2 (mg/m 2 /sec) 1 0,020 2 0,002 4 0,007 5 0,002 7 0,015
25 Pada pengukuran fluks CO 2 perlakuan kontrol (Tabel 11) terlihat bahwa mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan pestisida. Tabel 11. Fluks CO 2 dari Kontrol Bahan Gambut Fluks CO 2 (mg/m 2 /sec) 1 0,52 2 4,07 4 8,41 5 0,82 7 0,40 Hal ini menunjukkan bahwa emisi CO 2 pada perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pestisida atau proses dekomposisi pada perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pestisida. Hal ini menunjukkan bahwa pesisida mampu menekan aktivitas mikroba dekomposer, sehingga emisi CO 2 dari proses dekomposisi menurun drastis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pestisida mampu menekan proses dekomposisi pada tanah gambut. Fluks CO 2 dipengaruhi oleh produksi dan transpor CO 2, gas CO 2 dilepaskan ke atmosfer dengan cara difusi dan aliran masa (Moren and Lindorth, 2000). Produksi CO 2 akan menurun dengan adanya pengasaman karena difusi gas terhambat (Sitaula et al., 1995). Hasil pengukuran ph pada berbagai perlakuan yang dicobakan disajikan pada Lampiran 1. Secara umum nilai ph pada perlakuan BPMC lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, sedangkan perlakuan Paraquat dan Difenoconazol memiliki nilai ph yang lebih tinggi.