BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang terbuka publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang terbuka publik kemudian berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan, maupun membangun pemerintahan. Keberadaan ruang terbuka publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat seperti fungsi olahraga, rekreasi dan RTH. Dalam pengembangan ruang terbuka publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh di dalamnya. Sebagai suatu ruang terbuka publik perlu diketahui karakteristik pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Jika menilik dari fungsinya, ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi ruang sirkulasi kendaraan (jalan raya/freeway, jalan arteri, dll), ruang
terbuka publik di pusat komersial (area parkir, plaza, dan mall), ruang terbuka publik kawasan industri, dan ruang terbuka publik peringatan (Carr, 1992). Ruang terbuka publik adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan publik. Ruang terbuka publik adalah salah satu jalan bagi anggota masyarakat menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Namun pada kasus-kasus tertentu ruang terbuka publik cenderung diabaikan sebagai hasil dari rumitnya penataan ruang kota. Tidak seluruh kasus, strategi dan kenyataan dapat diurai penyebabnya. Hal ini terjadi bisa saja terjadi akibat dari penentuan faktor metode pendekatan yang keliru. Ruang terbuka publik pada perkembangannya sering digunakan tidak sebagaimana mestinya dengan dilanggarnya aturan perundangan yang ada baik berupa undang-undang, peraturan daerah atau peraturan yang lain yang bersifat mengikat. Salah satu contohnya adalah adanya perubahan-perubahan fungsi taman kota menjadi fungsi bangunan yang tidak terkendali; perancangan ruang terbuka publik yang ada sering tidak mengacu pada kriteria desain tidak terukur yang melibatkan aspirasi atau keinginan masyarakat pengguna; desain ruang terbuka publik sering tidak memikirkan masalah pengelolaan dan perawatannya. Dalam konteks penyediaan ruang-ruang terbuka publik di perkotaan, hampir semua kota besar mengalami defisit karena jumlah besaran/luas ruang publik yang disediakan oleh pemerintah tidak mampu menampung kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari warga kotanya.
Hal yang sama terjadi juga di Jakarta dimana sebagai ibukota negara dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia luas ruang terbuka publik yang ada kurang lebih hanya mencapai 10% dari luas wilayah atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha yang berarti Jakarta mengalami defisit jumlah besaran ruang terbuka sebesar 20%. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dicantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk ruang terbuka. Sebagai contoh gejala ini dapat diamati dari aktivitas sosial di beberapa kota besar utama di Indonesia seperti di Jakarta. Defisit ruang publik yang berupa taman bermain dan lapangan olahraga terlihat dari gejala banyaknya anak-anak kita yang bermain sepak bola, bersepeda maupun layang-layang di median jalan, di bawah flyover atau di bantaran sungai. Hal ini dikarenakan kurangnya atau bahkan tidak tersedianya tempat bermain di lingkungan permukiman dimana mereka tinggal. Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang terbuka publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Di Jakarta sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang terbuka publik untuk sekedar mengekspresikan diri harus dikorbankan. Akibatnya, anak-anak muda Jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan kelebihan energinya. Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya ruang terbuka publik untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian
pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang terbuka publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya. Hadirnya car free day yang pertama kali dilaksanakan di ruas jalan Thamrin-Sudirman pada tanggal 28 April 2008, sedikit banyak dapat memberi angin segar akan keberadaan ruang terbuka publik yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Car free day/hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) merupakan implementasi dari Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian dan Pencemaran Udara, dan menurut Ridwan Panjaitan, Kepala Bidang Penegakan Hukum Pengendalian Lingkungan DKI Jakarta Tujuan jangka pendek car free day adalah untuk membiasakan warga berjalan kaki atau naik sepeda. Fenomena yang ada adalah masyarakat menggunakan mobil untuk menempuh jarak hanya 200 meter. Sedangkan tujuan jangka panjangnya, kita semua berharap makin banyak orang yang memakai kendaraan umum sehingga udara kita makin jauh dari polusi (..., LintasJakarta.com, 2009). Pada hari pelaksanaan car free day, masyarakat dihimbau untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor pribadi, melainkan menggunakan kendaraan umum (busway, KRL, bus atau mikrolet) atau kendaraan tanpa motor, seperti sepeda. Pada pelaksanaannya, sepanjang jalan Thamrin-Sudirman akan ditutup sejak pk. 06.00-12.00 WIB bagi kendaraan bermotor, kecuali busway. Pada hari tersebut pengunjung dapat menikmati udara bersih, sesuatu yang amat langka di Jakarta.
Dalam perkembangannya, car free day kemudian digunakan masyarakat sebagai wadah untuk olah raga, rekreasi, mengekspresikan kesenian dan kebudayaan, bahkan juga untuk melakukan akivitas ekonomi. Ruas jalan itu kemudian tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas namun juga memiliki esensi sebagai ruang terbuka publik bagi warganya. Artinya, jalan itu mendorong partisipasi warganya untuk berbicara, berinteraksi, dan berekspresi. Aspirasi masyarakat tertampung ketika ruas jalan Thamrin-Sudirman mampu memproduksi kegiatan-kegiatan di luar fungsi manifesnya (fungsi sirkulasi), maka jalan tersebut dinilai mampu membangun daya hidup bagi dirinya. Berangkat dari fakta fakta yang ada, dapat dilihat adanya suatu nilai positif dari aktivitas car free day terhadap keberlangsungan ruang terbuka publik kota, tentunya dengan penanganan yang tepat. Oleh karenanya peneliti akan mencoba mengurai secara rinci segala aspek yang mempengaruhinya baik secara fisik, sosial, ekologi maupun ekonomi juga implikasi apa saja yang menyertainya, agar nantinya diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota dalam menetapkan regulasi ataupun perencanaan dan penataan yang tepat bagi ruang terbuka publik kota, selain itu diharapkan juga dapat memberikan masukan studi dan memperkaya arahan dalam perencanaan ruang terbuka publik yang lebih baik. 1.2 Rumusan Masalah Car free day menjadi daya tarik yang kuat sehingga meningkatkan jumlah pelaku aktifitas di ruas jalan ini. Meningkatnya jumlah pelaku aktifitas berdampak
pula pada hadirnya permasalahan yang menyertai gejala alih fungsi ruang terbuka publik ini. Implikasi yang kemudian muncul dapat ditinjau dari beberapa aspek: 1. Aspek fisik. Bagaimana pembagian jalur sirkulasi antara busway, sepeda dengan pejalan kaki, apakah pola sirkulasi yang terbentuk sudah efektif dan memenuhi indikator sirkulasi yang aman dan nyaman bagi semua pengguna? Bagaimana akses masuk ke dalam ruas jalan, apakah cukup mudah pencapaiannya bagi semua pengunjung? Apakah fasilitas parkir yang ada cukup memenuhi kebutuhan pengunjung dan telah memenuhi syarat syarat parkir yang baik bagi ruang terbuka? Apakah street furniture yang ada telah memenuhi kebutuhan pengunjung, apakah cukup membantu dalam proses kelancaran car free day? 2. Aspek sosial. Apakah car free day mampu menampung segala aktifitas pengunjung baik itu aktifitas aktif maupun aktifitas pasif? Sudahkah car free day menjadi ruang terbuka publik yang mewadahi interaksi sosial para pengunjung yang hadir didalamnya? 3. Aspek ekonomi. Apakah car free day sebagai ruang terbuka publik telah dapat meningkatkan omzet penjualan para pelaku pelaku ekonomi yang hadir di ruas jalan ini jika dibandingkan dengan pendapatan sehari harinya? Apakah kehadiran para pelaku ekonomi ini turut menunjang aktifitas utama? Apakah pengunjung merasakan
manfaat positif atau bahkan negatif dari kehadiran para pelaku ekonomi ini? 4. Aspek ekologi. Apakah kualitas udara kota Jakarta mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah diberlakukannya car free day? Seberapa besar persentase penurunan kadar partikel partikel udara yang mempengaruhi polusi udara? 1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian Ruang lingkup dan batasan kajian dalam penelitian ini akan dilihat dari beberapa aspek yang mempengaruhinya, yaitu aspek fisik yang meliputi jalur sirkulasi, aksesibilitas, area parkir, jalur pedestrian, aktifitas penunjang dan keberadaan street furniture, aspek sosial dengan mengidentifikasikan segala aktifitas pengunjung baik itu aktifitas utama maupun aktifitas pilihan yang kemudian akan digambarkan dalam bentuk behaviour mapping, aspek ekologis dengan menganalisis data sekunder berupa tingkat kualitas udara kota Jakarta sejak dilaksanakannya car free day untuk mengetahui dampak penurunan polusi udara yang terjadi dan aspek ekonomi yang menitikberatkan pada dampak ekonomi yang dirasakan oleh para pelaku bisnis yang hadir disana terutama dari sisi peningkatan omzet penjualan. 1.4 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi implikasi fisik, sosial, ekonomi, maupun ekologis pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik dalam kaitannya dengan kebijakan car free day. 2. Menganalisis implikasi tersebut dikaitkan dengan tingkat kesuksesan pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang terbuka publik dengan adanya kebijakan car free day. 1.5 Manfaat Penelitian Ada pun manfaat dari penelitian ini, antara lain: 1. Manfaat praktis, memberi masukan bagi pemerintah kota dalam menetapkan regulasi ataupun perencanaan dan penataan yang dapat mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat/implikasi dari adanya aktivitas car free day tersebut. 2. Manfaat teoritis, memberikan masukan studi dan memperkaya arahan dalam perencanaan ruang terbuka publik yang lebih baik. 1.6 Sistematika Pembahasan Sistematika pembahan akan dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang kajian yang menjadi alasan pemilihan judul. Selanjutkan menjabarkan rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penyusunan penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Mendeskripsikan tentang teori ruang jalan dan ruang publik, fungsi dan keterkaitannya dengan pengguna dan lingkungan sekitar sesuai dengan standart yang ada serta segala aspek yang mempengaruhinya. Tinjauan pustaka ini nantinya akan menjadi dasar dari perumusan kerangka analisis. BAB III : METODE PENELITIAN Berisikan pendekatan penelitian dan teknik analisis yang akan dilakukan serta teknik pengambilan sampel sehingga akan mempermudah dalam proses analisis masalah yang dikaji. BAB IV : TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN Mendeskripsikan tentang wilayah kota Jakarta secara umum, kondisi umum ruang terbuka di kota Jakarta dan wilayah kajian, yaitu ruas jalan Thamrin Sudirman secara khusus. Dalam bab ini dijelaskan pula data-data yang telah dihasilkan dari survey, wawancara dan kuesioner terhadap pengunjung yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. BAB V : ANALISA Berisikan analisis terhadap data yang diperoleh dengan dasar tinjauan pustaka yang ada sehingga dapat menghasilkan suatu hasil
penelitian yang diinginkan sesuai dengan permasalahan yang dikaji. BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan kesimpulan dari seluruh tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dan juga berisi saran guna menciptakan fungsi ruang publik ke arah yang lebih baik.