BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan sistem desentralisasinya memberikan kewenangan yang luas nyata dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah untuk mengurus rumah tangga menurut prakarsanya sendiri. Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah sebagai badan hukum publik, dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus antara lain kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan untuk memajukan desentralisasi fiskal dan perekonomian daerah yaitu : (1) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah 1
2 pembangunan yang kompleks. Tatanan baru masyarakat indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. Pengukuran keberhasilan maupun kegagalan dari pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sulit dilakukan secara obyektif. Kesulitan ini disebabkan karena belum adanya suatu sistem pengukuran kinerja yang dapat menginformasikan tingkat keberhasilan suatu organisasi. Kesulitan lain adalah pengukuran tingkat kinerja suatu instansi pemerintah lebih ditekankan kepada kemampuan instansi tersebut menyerap anggaran. Dengan kata lain, suatu instansi akan dinyatakan berhasil apabila dapat menyerap 100 persen anggaran pemerintah, walaupun hasil maupun dampak yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan tersebut berada di bawah standar. Oleh karenanya, sebagai studi awal sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang pengukuran kinerja instansi pemerintah secara menyeluruh dengan perspektif yang lain selain perspektif penyerapan anggaran. Mardiasmo (2009), menyatakan diperlukan adanya pengukuran kinerja sektor publik, hal tersebut dimaksudkan untuk: (1) membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik; (2) pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; serta (3) mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Ukuran kinerja yang digunakan oleh
3 pihak legislatif adalah untuk menentukan kelayakan biaya pelayanan (cost of service) yang dibebankan kepada masyarakat pengguna jasa publik. Masyarakat tentu tidak mau terus-menerus ditarik pungutan, sementara pelayanan yang mereka terima tidak ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Pengukuran kinerja organisasi memerlukan suatu sistem berbasis kinerja yang berorientasi pada kepuasan masyarakat. Sistem pengukuran kinerja yang baik diperlukan sebagai instrumen dalam mengukur kinerja yang handal dan berkualitas. Pengukuran kinerja pemerintah daerah dengan menggunakan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) melalui penyusunan laporan kinerja pemerintah daerah, masih terdapat banyak kelemahan kerena hanya mengukur dari sisi keuangan. Pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada sektor keuangan saja kurang mampu mengukur kinerja harta-harta tidak berwujud (intangible assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) organisasi. Selain itu pengukuran kinerja dengan cara ini juga kurang mampu bercerita banyak mengenai masa lalu organisasi, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya menuntun organisasi ke arah yang lebih baik (Gunawan, 2010). Pendapat lain juga menyatakan bahwa ukuran-ukuran keuangan dinilai kurang mewakili penilaian kinerja suatu instansi publik. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran keuangan memiliki beberapa kelemahan antara lain: pendekatan finansial bersifat historis sehingga hanya mampu memberikan indikator dari kinerja manajemen dan tidak mampu sepenuhnya menuntun organisasi kearah yang lebih baik. Selain itu, pengukuran tersebut lebih berorientasi kepada manajemen operasional dan kurang mengarah kepada
4 manajemen strategis (Mulyadi, 1997). Ukuran-ukuran keuangan tidak memberikan gambaran yang riil mengenai kondisi organisasi secara umum karena tidak memperhatikan hal-hal lain di luar sisi finansial misalnya sisi pelanggan yang merupakan fokus penting bagi organisasi dan karyawan, padahal dua hal tersebut merupakan roda penggerak bagi kegiatan organisasi (Kaplan dan Norton, 2000). Konsep Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja yang berusaha untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan dengan memasukkan empat aspek/perspektif di dalamnya yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Dari keempat perspektif tersebut dapat dilihat bahwa Balanced scorecard menekankan perspektif keuangan dan non keuangan. Balanced scorecard merupakan suatu sistem manajemen yang menjabarkan visi dan strategi suatu perusahaan ke dalam tujuan operasional dan tolok ukurnya ( Kaplan dan Norton, 1996:67) Menjamin proses berlangsungnya desentralisasi yang berkesinambungan, maka Pemerintah Daerah dalam hal memberikan pelayanan umum (public service) kepada masyarakat terutama pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan daerah yang adil dan merata. Pelayanan tersebut diantaranya adalah pelayanan di bidang perijinan yang merupakan suatu instrumen Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Ditetapkannya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
5 Pelayanan Publik dan Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mengamanatkan pembentukan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) untuk menyederhanakan mekanisme pelayanan sehingga kemanfaatannya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Dengan dibentuknya PTSP, diharapkan dapat menghasilkan pelayanan yang lebih mudah, sederhana, cepat, murah, dan tertib dalam administrasi pelayanan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil, dan menengah. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu, diharapkan terwujud pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik. Dalam konteks PTSP, Pemerintah Kabupaten Tabanan merespon positif sistem ini dengan harapan mampu dan memiliki keunggulan yang kompetitif atau kemudahan dalam memberikan pelayanan perijinan, melalui pembentukan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Daerah (BPMPD). BPMPD Kabupaten Tabanan yang terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Tabanan, adalah salah satu organisasi pelayanan publik yang melaksanakan fungsi penanaman modal dan perijinan daerah. Sebagai organisasi publik yang melaksanakan fungsi perijinan guna meningkatkan iklim investasi
6 demi kesejahteraan masyarakat, maka BPMPD Tabanan diwajibkan menyelenggarakan PTSP. Sejalan dengan tugas pokok dan fungsinya, BPMPD Tabanan menetapkan visi yaitu Terwujudnya Pelayanan Prima dalam Meningkatkan Investasi menuju Tabanan Sejahtera, Aman dan Berprestasi. PTSP ini diselenggarakan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah. Jenis perijinan yang diberikan pada Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah Kabupaten Tabanan sebanyak 13 jenis perijinan. Sejalan dengan visi BPMPD maka peneliti tertarik untuk mengukur kualitas kinerja pelayanan publik pada BPMPD Kabupaten Tabanan dengan empat pespektif balanced scorecard, sehingga pengukuran kinerja diharapkan dapat membantu BPMPD Kabupaten Tabanan dalam menentukan kebijakan strategis dalam menciptakan perbaikan dan secara tidak langsung juga mempengaruhi investasi yang terjadi di Kabupaten Tabanan. Pemberian pelayanan yang maksimal sesuai standar pelayanan perijinan akan memberikan rasa nyaman kepada para investor untuk berinvestasi di Kabupaten Tabanan. Berdasarkan Tabel 1.1 jumlah ijin yang dikeluarkan oleh BPMPD Kabupaten Tabanan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dalam melaksanakan usahanya sudah muali sadar bahwa setiap usaha yang dilakukan terlebih dahulu harus dilengkapi dengan perijinan yang sesuai dengan jenis usaha yang dilakukannya.
Tabel 1.1 Jumlah ijin yang dikeluarkan oleh Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2014 No Jenis ijin Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 1 Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 479 484 1051 1754 1523 2 Ijin Tempat Penjualan Minuman 15 15 16 11 8 Beralkohol (Situ Mikol) 3 Ijin Gangguan (HO) 298 328 402 501 371 4 Ijin Usaha Perdagangan Minuman 0 0 0 7 beralkohol (SIUP MIKOL) 5 Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) 919 925 1123 1303 1136 6 Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 1054 1060 1236 1404 1220 7 Ijin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum 5 5 15 18 8 8 Ijin Usaha Restoran, Rumah Makan dan 5 5 15 11 6 Kafe 9 Ijin Usaha Pondok Wisata 49 41 39 32 23 10 Ijin Usaha Hotel Melati 6 5 17 11 13 11 Ijin Tempat Usaha (SITU) 1083 1090 1252 1419 1228 12 Ijin Usaha Industri IUI 129 115 160 170 133 13 Tanda Daftar Gudang (TDG) 20 16 12 13 35 14 Penyosohan gabah 0 0 0 0 31 15 Persetujuan prinsip 0 0 0 0 6 Jumlah 4062 4089 5338 6647 5748 Sumber : Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah Kabupaten Tabanan tahun 2015 7 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif keuangan? 2) Bagaimanakah kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif pelanggan?
8 3) Bagaimanakah kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif proses bisnis internal? 4) Bagaimanakah kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan? 5) Bagaimanakah kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan secara keseluruhan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka akan dilakukan kajian dan analisis melalui metode Penilaian Kinerja Balanced Scorecard. Metode ini dilakukan bertujuan : 1) Untuk mengetahui kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif keuangan. 2) Untuk mengetahui kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif pelanggan. 3) Untuk mengetahui kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif proses bisnis internal. 4) Untuk mengetahui kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
5) Untuk mengetahui kinerja Badan Penanaman Modal dan Perijinan Daerah (BPMPD) Kabupaten Tabanan secara keseluruhan. 9 1.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : 1) Manfaat Teoritis Secara akademis diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih luas tentang penilaian kinerja pelayanan publik secara menyeluruh meliputi berbagai perspektif dengan metode Balanced Scorecard pada instansi pelayanan publik yang bersifat nirlaba. 2) Manfaat Praktis Membantu BPMPD Kabupaten Tabanan untuk menentukan kebijakan strategis dalam menciptakan perbaikan dan secara tidak langsung juga mempengaruhi investasi yang terjadi di Kabupaten Tabanan.