13 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia mengungguli Malaysia dengan produksi sebesar 16,8 juta ton pertahun dimana total produksi CPO di Malaysia adalah sekitar 14 juta ton pertahun, sementara total produksi CPO dunia pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 38,4 juta ton per tahun atau meningkat 4% dari tahun 2006. CPO merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia mengingat harganya yang relatif tinggi dipasar dunia yaitu sebesar US$ 997,5/ton pada bulan Desember 2007), atau naik sekitar 14% dari bulan November 2007. Kenaikan harga ini sejalan dengan permintaan CPO dunia berkaitan dengan pengembangan bahan bakar nabati yang ramah lingkungan. Perkembangan harga Minyak sawit di Eropa, C. I. F. Jenis Malaysia 5% (US$/mt) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Eropa, C.I.F. Jenis Malaysia 5% (US$/mt) Bulan Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Januari 458.00 496.00 401.00 424.30 575.50 Februari 452.00 535.00 403.00 445.00 582.00 Maret 426.00 550.00 435.00 440.00 597.80 April 412.00 538.00 397.30 439.50 684.00 Mei 417.00 513.00 417.00 440.00 765.50 Juni 430.00 440.00 419.00 437.00 794.30 Juli 411.00 426.00 417.00 471.00 798.30 Agustus 359.00 432.00 407.00 510.00 788.30 September 420.00 439.00 421.00 497.00 809.80 Oktober 485.00 431.00 442.00 507.00 978.00 November 503.00 433.00 444.00 547.00 985.00 Desember 510.00 423.00 428.30 574.30 997.50 Rata-rata 429.43 499.71 412.76 442.40 779.70 Sumber : Perum BULOG, 2007
14 9 0 0 8 0 0 7 0 0 harga US$/to 6 0 0 5 0 0 4 0 0 3 0 0 H arga 2 0 0 1 0 0 0 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 T ah u n Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Erop C. I. F. Jenis Malaysia 5% (US$/Ton) (Perum Bulog, 2007) Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil atau PKO) yang tidak berwarna (jernih). CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarine), industri sabun (bahan penghasil busa), industri textil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (Sastrosayono, 2003). Data dari PT. Capricorn Consult Inc. menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2003, pola konsumsi CPO di Indonesia adalah untuk margarin (1,6%), oleochemical (6,8%), sabun (2%), minyak goreng (29,6%), dan ekspor (60%). Sedangkan pengusahaan pemurnian minyak goreng di Indonesia dilakukan oleh sekitar 80 perusahaan, yang tersebar di 11 propinsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan dengan kapasitas produksi 7,79 juta ton pertahun. Sedangkan jaringan
15 bisnis hilir produk sawit ini (CPO dan PKO) telah luas. Jaringan bisnis hilir produk sawit dapat dilihat pada Gambar 2. Palm Oil/ Palm Cernel Oil Edible products Non edible products -Cooking oil -Fats for bakery produts -Table margarine -Specialty fats Oleochemical -fatty acids -fatty alcohol -glicerine Soap -liquid detergent -loundey soap -toilet soap Gambar 2. Skema Jaringan Bisnis Hilir Industri hilir kelapa sawit kategori produk pangan yang umum diusahakan di Indonesia berupa minyak goreng, margarine sedangkan produk bukan pangan berupa oleokimia meliputi fatty acid, fatty alcohol, stearin, glycerin dan methallic soap. Industri minyak goreng dan oleokimia berkembang di beberapa daerah, yang umumnya di kota-kota besar yang memiliki fasilitas pelabuhan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia berkembang pesat
16 terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (Risja, 1994). Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit dari tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia Tahun Luas Areal (Juta Ha) Produksi (Juta Ton) Produktivitas (Kg/Ha) 2003 5,285 10,440 3.045,24 2004 5,284 10,830 2.833 2005 5,453 11,861 2.925 2006 6,074 13,390 2.953 Sumber : Dinas Pertanian, 2007 Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia sehingga banyak perusahaan dalam berbagai skala dan petani yang berminat untuk membangun industri kelapa sawit, mulai dari kebun hingga industri hilir. Tidak semua industri kelapa sawit akan kompetitif untuk dibangun di seluruh wilayah Indonesia dan dapat dilakukan oleh semua golongan pengusaha/orang. Untuk mengembangkan kelapa sawit perlu kajian tentang : 1) Ketersediaan dan potensi lahan dan sumberdaya lainnya, 2) Ketersediaan dan lokasi pasar dan 3) Persaingan dan keunggulan komparatif Indonesia (Siahaan, 2007). Produksi minyak nabati dan hewani (edible oil) dunia adalah sekitar 154 juta ton (tahun 2006) yang telah didominasi minyak sawit (25%) dalam beberapa tahun terakhir ini, minyak kedelai sebesar 23,7%, serta minyak nabati dan hewani lainnya dalam jumlah yang lebih rendah. Dari produksi minyak sawit sejumlah 39 juta ton pada 2006, kontribusi Indonesia dalam produksi sekitar 41%. Dengan demikian, kontribusi Indonesia terhadap pasar minyak dunia hanya sekitar 10% (Siahaan, 2007).
17 Dengan adanya subtitusi antar minyak sangat besar, pengaruh Indonesia relatif kecil sehingga perubahan produksi maupun kebijakan perdagangan minyak sawit Indonesia tidak akan secara signifikan mempengaruhi perdagangan minyak dunia. Konsekuensi lainnya adalah berapapun biaya produksi CPO di Indonesia, harga minyak sawit dunia tidak akan banyak terpengaruh. Oleh sebab itu untuk dapat kompetitif dan bertahan dalam industri kelapa sawit, Indonesia harus terusmenerus mengupayakan biaya produksi serendah mungkin melalui efisiensi, peningkatan produktivitas dan optimasi pemanfaatan sumberdaya sehingga peran penelitian menjadi sangat penting dalam industri kelapa sawit (Siahaan, 2007). Menurut Sastrosayono (2003), Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai negara tropis yang masih memiliki lahan yang cukup luas, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan Perkebunan Kelapa Sawit, baik melalui penanaman modal asing maupun skala perkebunan rakyat. Grafik permintaan ekspor CPO Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3. E K S P O R C P O I N D O N E S I A 1 6 0 0 0 1 4 0 0 0 1 4 3 8 0 1 2 0 0 0 1 2 3 3 8 1 2 6 7 9 J U M L A H ( 1 0 1 0 0 0 0 8 0 0 0 6 0 0 0 7 3 7 0 8 9 9 6 1 0 4 3 6 4 0 0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 * T A H U N E K S P O R Gambar 3. Grafik Ekspor CPO Indonesia *=perkiraan (Oil World, 2007)
18 Devisa yang akan dihasilkan oleh sektor perkebunan ini akan sangat besar jika kita bisa mengantisipasi kebutuhan dunia dan tidak membanjiri pasar sehingga menjatuhkan harga. Oleh karena itu perdagangan CPO atau turunannya seperti olein di pasar berjangka menjadi sangat relevan. Selama ini kebijakan pemerintah sering tidak konsisten terhadap CPO sehingga menimbulkan distorsi pasar. Di sektor hulu terdapat disinsentif pajak ekspor ditengah situasi haus devisa seperti pada masa krisis ekonomi saat ini, yang sangat mempengaruhi kegairahan petani atau pekebun kelapa sawit dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Di sektor hilir, industri olein dan minyak goreng hanya dikuasi oleh satu atau dua perusahaan/konglomerat besar dengan penguasaan pangsa pasar yang sangat besar pula. Langkah pemerintah mengekang ekspor dan mengalokasikannya kepada pasar domestik dengan harga yang murah dapat dinilai sebagai bentuk distorsi ekonomi yang serius (Sofyan,2000). Dengan memperkirakan kelebihan suplai minyak sawit Indonesia ke pasaran dunia, hal yang sama dapat dianalogikan ke pasar domestik. Saat ini harga tingkat Petani yang cenderung menurun, maka makin banyak produsen CPO termasuk petani kecil peserta plasma dalam pola Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) yang tentu saja tidak memiliki pabrik minyak goreng bahkan secara langsung mensubsidi industri minyak goreng yang kebanyakan dikuasai pemodal kuat dan konglomerat. Oleh karena apabila permasalahan ini tidak segera dikenali dan dipecahkan, maka komoditi CPO yang sebenarnya sangat potensial tersebut, dapat menjadi penghalang yang serius bagi kinerja dan keberhasilan bursa komoditi berjangka dimasa mendatang (Sofyan, 2000).
19 Perdagangan minyak kelapa sawit dan inti sawit seluruhnya diekspor ke Eropa Barat. Tidak hanya minyak kelapa sawit dan inti sawit yang merupakan bahan olahan untuk menghasilkan minyak goreng. Masih banyak bahan-bahan lain, seperti minyak bunga matahari, minyak zaitun, kacang kedele, biji kapas dan lain-lain, sehingga mesin pengolahan yang telah digunakan untuk mengolah minyak kelapa sawit dan inti sawit. Inti sawit menjadi minyak yang sampai tahun tujuh puluhan seluruhnya diekspor, namun sejak tahun 1978 diolah menjadi minyak inti sawit dan bungkil. Dengan demikian mata dagangan dari kelapa sawit tidak lagi terbatas pada minyak kelapa sawit dan inti, tetapi telah meluas dan melebar menjadi olein, stearin, RDB olein, minyak inti sawit dan bungkil dalam berbagai bentuk, terutama untuk bahan makanan atau pakan ternak untuk keperluan industri (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003). Menurut Sofyan (2000), produk CPO mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak nabati lainnya. Keunggulan itu antara lain : Aspek produksi : CPO merupakan produk terbesar Aspek harga : CPO paling rendah Biaya produksi : biaya produksi CPO Indonesia paling efisien di dunia, perhatikan uraian berikut : - Biaya produksi Indonesia : US$ 150-180/Ton - Biaya produksi Malaysia : US$ 220/Ton. Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan devisa telah menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak
20 goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan untuk meningkatkan perolehan devisa, melalui ekspor Crude Palm Oil (CPO). Mengingat bahwa industri minyak goreng sawit Indonesia sampai saat ini masih belum berjalan dengan kapasitas penuh, bahkan menurut beberapa survei hanya berkisar 50-60 persen dari kapasitas terpasang, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui penghapusan bea masuk maupun pengenaan pajak ekspor serta alokasi CPO kepada Badan Urusan Logistik (BULOG). Dari gambaran intervensi pemerintah yang telah dilakukan selama ini terhadap minyak sawit Indonesia terlihat bahwa selalu terjadi benturan-benturan kepentingan dalam penerapan kebijakan. Dua dilema kebijakan yang dihadapi yaitu: 1. Pilihan antara pengembangan industri minyak goreng dalam negeri atau mengimpor minyak goreng dan mengekspor bahan mentah pembuatan minyak goreng (CPO) sebagai penghasil devisa; 2. Pilihan antara menggunakan instrumen minyak goreng impor atau pengaturan produksi minyak goreng dalam negeri untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng dalam negeri. Dilema kedua ini langsung terkait dengan jaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan demikian harga minyak gorengtidak akan berfluktuasi. (Susanto, 2004) Besarnya transaksi minyak goreng domestik dalam negeri yang mencapai kurang lebih 85% dari jumlah total yang beredar dipasar, menegaskan potensi pasar minyak goreng domestik sangat besar di Indonesia dan sebagai produsen
21 utama seharusnya kelangkaan tidak bisa terjadi. Besarnya potensi pembeli dan penjual di dalam negeri yang jauh lebih besar dibandingkan dengan luar negeri (Sofyan, 2000). Kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu yang lalu dijadikan sebagai komoditi politik yang dapat membuat aparatur negara dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah minyak goreng di Indonesia, maka untuk itu stabilisasi harga sangat diperlukan sehingga harga benar-benar tercipta secara transparan sesuai dengan mekanisme pasar (Sofyan, 2000). Harga minyak goreng di Indonesia terus melambung. Perkembangan harga minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Harga Minyak Goreng di Indonesia Tahun 2003-2006 (Rp/kg) Bulan Tahun 2003 2004 2005 2006 Januari 4.940,88 5.144,58 4.864,76 5.224,82 Februari 4.925,80 5.123,63 4.786,84 5.218,10 Maret 4.868,27 5.286,37 4.908,54 5.240,07 April 4.763,45 5.366,46 4.967,56 5.184,50 Mei 4.653,17 5.382,48 4.940,21 5.147,65 Juni 4.772,49 5.346,64 4.899,58 5.101,16 Juli 4.640,68 5.186,64 4.893,73 5.053,16 Agustus 4.651,65 5.047,06 4.924,31 5.310,56 September 4.631,97 5.134,62 5.056,01 5.450,89 Oktober 4.732,07 5.100,06 5.502,06 5.442,13 November 5.016,16 5.052,91 5.554,95 5.542,87 Desember 5.081,12 4.956,10 5.375,94 5.874,47 Rata-rata 4.802,31 5.177,29 5.065,93 5.315,87 Sumber : Perum BULOG, 2007 Harga minyak goreng kembali bergejolak sejak Desember 2007. Pemerintah mempunyai tiga instrumen pengendali harga yaitu pengenaan pajak ekspor progresif, penanggungan PPN minyak goreng dan pasar murah minyak goreng. Tetapi kebijakan tersebut susah melawan kenaikan harga CPO dunia (Anonim, 2008).
22 Harga minyak goreng mencapai Rp. 10.000. Bahkan harga minyak goreng di propinsi Papua mencapai Rp 30-40 ribu per liter. Kecenderungan naiknya harga minyak goreng di pasar domestik telah ditengarai oleh banyak kalangan. Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan jangka pendek diperlukan untuk meredam gejolak kenaikan harga ini. Dalam salah satu harian nasional, Presiden dan Wakil Presiden menghimbau para pengusaha kelapa sawit untuk ikut membantu menyelesaikan masalah minyak goreng di Tanah Air. Pemerintah berusaha menimbang beberapa opsi kebijakan antara lain: porgam stabilisasi harga dengan operasi pasar, pemberian subsidi minyak goreng, penerapan kenaikan pajak buah dan kernel kelapa sawit beserta CPO dan turunannya, dan Domestic Market Obligation bagi produsen minyak sawit (Anonim, 2007). Konsumsi domestik rata-rata hanya sekitar 30% dan 70% nya diekspor. Gejolak ini wajar mengingat kecenderungan naiknya permintaan CPO dunia dari tahun ke tahun yang diikuti oleh naiknya harga CPO dari tahun 2001. Jelas mekanisme pasar ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk mendapatkan Dollar sebanyak-banyaknya. Jadi dengan kata lain, daya tarik pasar ekspor lebih menjadi prioritas pengusaha (Anonim, 2007). Prospek pasar CPO dimasa mendatang terlihat sangat cerah. CPO diyakini mempunyai daya saing yang kuat dibanding minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, bunga matahari dan kelapa. Hal ini disebabkan karena kelapa sawit memiliki produktivitas minyak tertinggi sehingga biaya produksi relatif rendah. Melihat potensi ekonomi dan banyaknya kepentingan yang terlibat, maka jika tidak ada tata kelola yang baik dari semua stake holder CPO, kemungkinan
23 dapat menimbulkan keresahan. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang tegas mengenai ekspor CPO. Dengan demikian industri CPO dan produk turunannya memiliki jaminan dan arah pengembangan yang jelas demi kepentingan bersama (Anonim, 2007). Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia, membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan penjualan CPO ke luar negeri, dengan kata lain daya tarik pasar ekspor lebih prioritas pengusaha. Akibatnya, pasokan CPO domestik akan menipis. Kelangkaan minyak goreng pun bisa terjadi karena kekurangan salah satu komponen minyak goreng, yakni CPO. Harga minyak goreng dalam negeri akan terus mengalami kenaikan. Perkembangan harga CPO di dunia mempengaruhi harga CPO di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh harga CPO Internasional terhadap harga CPO domestik untuk melihat apakah harga CPO internasional ditransmisikan ke harga CPO domestik?. Dan apakah ada pengaruh harga CPO domestik terhadap harga minyak goreng domestik untuk melihat apakah harga CPO domestik ditransmisikan ke harga minyak goreng domestik?. 1.2. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah: 1. Bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik? 2. Bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga minyak goreng domestik?
24 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik 2. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga minyak goreng domestik 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi pengusaha minyak goreng dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengelola minyak kelapa sawit dan minyak goreng dalam pengambilan keputusan di dalam perusahaannya 3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan